BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Kindersley (2010), sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos Spesies : Bos sp. 2.2 Budidaya Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut juga sebagai sapi pedaging. Ciri-ciri sapi pedaging biasanya memiliki tubuh besar, dengan kualitas daging maksimum, laju pertumbuhan cepat, dan efisiensi pakan yang tinggi (Santosa, 1995). Abidin (2006) menambahkan, sapi potong adalah jenis sapi khusus yang dipelihara untuk digemukkan. Teknik budidayaya sapi bertujuan untuk mendapatkan ternak yang bermutu tinggi, mempunyai daya adaptasi yang baik, dan tahan terhadap penyakit tertentu, melalui seleksi, pemilihan bibit dan perkawinan. Manajemen yang dilakukan meliputi cara pemeliharaan ternak, misalnya bagaimana membersihkan kandang, pengaturan perkandangan, melakukan rekording, peremajaan, penjagaan kesehatan, dan pemberian
pakan yang berkualitas dengan jumlah pemberian sesuai kebutuhan ternak. Manajemen tersebut merupakan salah satu aspek yang penting dalam menunjang keberhasilan usaha peternakan (Haryanti, 2009). Sistem pemeliharaan sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif adalah semua aktivitas dilakukan di padang penggembalaan. Sistem semi intensif adalah memelihara sapi untuk digemukkan dengan cara digembalakan dan pakan disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem ekstensif dan intensif. Sementara sistem intensif adalah sapisapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak (Susilorini, 2008). Kebutuhan pakan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi ternak, karena sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Pakan yang baik adalah pakan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, seperti energi, protein, lemak, mineral dan juga vitamin. Semuanya dibutuhkan dalam jumlah yang tepat serta seimbang, sehingga bisa menghasilkan produk daging berkualitas dan berkuantitas tinggi (Sugeng, 1998). Menurut Munadi (2011), salah satu hambatan dalam pengembangan peternakan adalah persoalan penyakit. Penyakit merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan ternak, serta dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. 2.3 Penyakit Pada Sapi Arifin dan Soedarmono (1982) mengatakan, bahwa salah satu penyakit ternak yang cukup merugikan adalah penyakit parasit cacing, penyakit ini berbeda dengan penyakit ternak yang disebabkan oleh virus dan bakteri, karena kerugian ekonomis yang disebabkan oleh virus dan bakteri dapat diketahui dengan mudah melalui kematian ternak. Pada penyakit parasit cacing kerugian utamanya adalah gangguan pertumbuhan, turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, dan gangguan metabolisme.
Pada umumnya masyarakat peternak tidak memperhatikan masalah penyakit cacing, karena penyakit tersebut jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung (Hasan, 1970). Kasus kecacingan pada ternak sapi hampir menyerang seluruh ternak sapi di belahan dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan survei di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90% ternak sapi dan kerbau terinfeksi parasit cacing diantaranya cacing hati (Fasciola spp.), cacing gelang (Neoascaris vitulorum), dan cacing lambung (Haemonchus contortus) (Erwin et al, 2010). 2.4 Jenis Cacing Parasit Pada Sapi a). Cacing Hati (Fasciola spp.) Cacing hati (Fasciola spp.) merupakan cacing daun yang besar dan lebar, bertubuh pipih. Penghisapnya berdekatan satu sama lain, telurnya berkulit tipis dan mempunyai operculum (Levine, 1990). Selanjutnya Martindah et al., (2005) dalam Dewi et al., (2011) menjelaskan bahwa, Fasciola yang menyerang ternak pada umumnya adalah Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. F. hepatica biasanya ditemukan di daerah empat musim atau subtropis, seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia, dan New Zealand, sedangkan F. gigantica umumnya ditemukan di negara tropis dan subtropis, seperti India, Indonesia, jepang, Filipina, Malaysia, dan Kemboja. Di Indonesia F. gigantica lebih sering ditemukan pada sapi dan kerbau daripada domba atau kambing dengan sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basah. Menurut Levin (1990), hospes dari Fasciola spp. adalah siput dari genus Lymnaea dan metaserkaria (larva infektif cacing hati) yang terdapat pada tumbuhtumbuhan. Dewi et al., (2011) menambahkan, ternak terinfeksi cacing Fasciola spp. karena memakan hijaun yang mengandung metaserkaria. Sekitar 16 minggu kemudian cacing tumbuh menjadi dewasa dan tinggal di saluran empedu. Cacing dewasa memproduksi telur yang keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok telur cacing menetas dan mengeluarkan mirasidium.
b). Cacing Pita (Taenia saginata ) Ciri dari cacing pita (T. saginata) memiliki ukuran sangat besar, panjang, terdiri dari kepala (skoleks), leher, dan stobila yang tersusun dari proglotid. Telur berbentuk bulat, berukuran 30-40 x 20-30 mikron, memiliki dinding tebal bergaris radier, dan berisi embrio heksakan, sedangkan skoleks berukuran 1-2 milimeter dan memiliki empat batil isap. Pada cacing dewasa panjang badan dapat mencapai 4-12 cm, jumlah proglotid antara 1000-2000 buah, terdiri atas proglotid immature-mature dan gravid (Ongowaluyo, 2001). Menurut Kusumamiharja (1995), cacing pita ini melekat pada rumput bersama dengan feses, kemudian ternak sapi memakan rumput yang telah terkontaminasi oleh cacing pita tersebut, telur yang tertelan, dicerna dan embrio heksakan menetas. Embrio heksakan di saluran pencernaan ternak menembus dinding usus, masuk kesaluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah, serta masuk ke jaringan ikat sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing pita, peristiwa ini terjadi setelah 12-15 minggu. c). Cacing Lambung (Haemonchus contortus) Cacing ini merupakan genus nematoda yang paling penting pada domba dan sapi. cacing jantan mempunyai panjang 10-20 mm dan berdiameter 400 mikron, sedangkan betina memiliki panjang 18-30 mm dengan diameter 500 mikron dengan telur berukuran 62-90 x 39-50 mikron. Haemonchus contortus merupakan cacing lambung yang besar yang biasanya disebut cacing barberpole, cacing lambung berpilin, atau cacing kawat pada ruminansia. Cacing ini terdapat pada abomasum domba, kambing, sapi, dan ruminansia lain (Levine, 1990). Menurut Reinecke (1983) Selain ketiga jenis parasit diatas jenis parasit lain yang sering menginfeksi sapi adalah Paramphistomum spp. pada rumen, reticulum, abomasum, Trichostrongylus axei, di abomasums, Bunostomum phlebotomum, Cooperia spp, Strongyloides papillol, Toxocara vitolorum, Trichostrongylus
colubriformis, di usus kecil, Trichuris spp. pada Caecum, Oesophagostomum radiatum di colon, Setaria labiato papillosa di ruang Abdomen. 2.5 Penularan atau Penyebaran Penyakit Pengetahuan penularan atau penyebaran penyakit akan membantu mengatasi kejadian penyakit secara menyeluruh. Tidak hanya mengobati penyakit secara individual pada ternak, namun juga dapat memutus siklus agen penyakit atau memutus jalur penularan serta melakukan pencegahan-pencegahan agar penyakit tidak semakin meluas (Hayes, 1987). Menurut Raphaela (2006), penyakit pada ternak secara umum terdiri dari penyakit infeksius dan penyakit non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi penyebab penyakit antara lain virus, bakteri, mikal, parasit, sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan selain agen infeksi misalnya akibat defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral, keracunan, pakan. Lokasi lesi akibat penyakit non infeksius ini bisa bersifat lokal ataupun sistemik. Penyebab terjadinya penularan infeksi parasit cacing pada sapi sangat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kebersihan kandang, areal pengembalaan, tempat mencari makan, dan pemahaman peternak dalam pemeliharaan kesehatan ternaknya (Onggowaluyo, 2001). Suweta (1985) menambahkan, perkembangan telur endoparasit diluar tubuh ternak sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti adanya genangan air, kehadiran siput sebagai inang, perantara di sekitar kandang, dan juga faktor lainnya seperti cuaca. Harmida (2011) menambahkan, pemeliharaan sapi dengan sistem gembala juga merupakan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak. Menurut Sudardjat (1991), pengaruh lingkungan di daerah tropis memungkinkan perkembangan parasit cacing, karena berbagai faktor yang mendukungnya kehidupan parasit diantaranya adalah kehangatan dan kelembaban tubuh hospes, serta nutrisi
makanan di dalam tubuh hospes yang mempengaruhi pertumbuhan parasit. Menurut Santosa (2003), faktor lingkungan yang kotor menjadi sumber berbagai penyakit sehingga kondisi hewan menurun. Pada keadaan ini parasit yang semula tidak berbahaya pada hewan menjadi berbahaya karena faktor kondisi tersebut. 2.6 Pengendalian atau Pencegahan Efektifitas pengendalian suatu penyakit sangat tergantung pada ketepatan dan kesempurnaan pelaksanaan tindakannya, dalam hal ini yang meliputi kesempurnaan tindakan adalah pemberantasan parasit di dalam tubuh hospes melalui pengobatan, pemberantasan siput hospes secara fisik, kimia, dan biologi, dan kesempurnaan tindakan penyelamatan ternak dari kemungkinan adanya infeksi cacing parasit (Suweta, 1985). Apabila tindakan pengobatan akan dilaksanakan, sebaiknya dikaitkan dengan saat terdapatnya penyebaran telur, metasekaria, dan siput secara meluas. Dalam hal ini perlu dilaksanakan pengobatan sebanyak tiga kali setahun yaitu: a. Pada permulaan musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh ternak selama musim kemarau. b. Pada pertengahan musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh selama musim hujan, dan untuk mengurangi infeksi siput oleh mirasidia. c. Pada akhir musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh selama musim hujan, dan mengurangi pencemaran lapangan oleh telur cacing dimusim kemarau (Boray, 1966). Pemberantasan siput hospes intermedier dapat dilaksanakan dengan cara: a. Fisik, dengan mengeringkan lahan berair, yang pengairannya tidak diperlukan lagi. b. Kimia dengan mollusida. Penggunaan mollusida harus berhati-hati karena dapat merusak lingkungan hidup lainnya. Dalam hal ini dianjurkan penggunaan dalam pengenceran 1 : 50.000 atau sebanyak-banyaknya 10-30 kg/ha c. Biologis, dengan melepaskan itik untuk memakan siput hospes intermadier (Kendall, 1960).
Dalam usaha pencegahan untuk menyelamatkan ternak dari kemungkinan infeksi endoparasit secara operasional pada tingkat peternak antara lain: a. Perlu dihindari pengembalaan ditempat-tempat yang tergenang air atau pernah tergenang air dalam waktu yang cukup lama. b. Tidak menyabit rumput yang pernah tergenang air. Dalam keadaan terpaksa boleh menyabit rerumputan yang berada jauh diatas permukaan air. c. Mengeringkan tempat-tempat pergenang air yang tidak perlukan (Suweta, 1985).