BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Laporan UNAIDS tahun 2010 menyatakan bahwa walaupun secara global infeksi HIV baru turun 19%, namun jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS tetap naik karena angka kematian yang turun dimana tahun 2010 diperkirakan sebanyak 33,3 juta orang hidup dengan HIV/AIDS. Berdasarkan laporan Kemenkes RI (2011) terdapat total 26483 kasus AIDS di seluruh Indonesia secara kumulatif. Anemia adalah komplikasi yang sering terjadi pada penderita HIV, yaitu sekitar 20-80% (Balperio, dkk., 2006). Anemia lebih sering terjadi daripada leukopenia atau trombositopenia pada penderita AIDS (Attili, dkk., 2008). Anemia pada penderita HIV/AIDS memberikan dampak yang sangat besar terhadap kualitas hidup penderita. Penelitian menunjukkan penurunan kualitas hidup pada penderita HIV dengan anemia (Volberding, dkk., 2002; Volberding, dkk 2004). Anemia juga secara independen berhubungan dengan progresifitas penyakit dan penurunan survival (Russel, dkk., 2010). Intervenesi untuk mencegah terjadinya anemia dapat meningkatkan survival penderita terinfeksi HIV (Sullivan, dkk., 2002). Infeksi HIV dapat menimbulkan anemia melalui beberapa mekanisme antara lain: peningkatan produksi sitokin yang mempengaruhi eritropoesis (Salome, dkk., 2002; Koka, dkk., 2004; Constantini, dkk., 2009), adanya infeksi opportunistik
seperti mycobacterium avium complex (Hoursborgh, dkk., 1991) dan Parvovirus B19 (Frickhofen, dkk., 1990), pemberian terapi agen kemoterapeutik seperti zidovudine, ganciclovir (Faulds dan Heel, 1990), dan trimetroprimsulfametoxazole (Keisu, dkk., 1990) serta myeloptisis oleh karena kanker seperti limfosarkoma. Penyebab lain dari anemia yang berhubungan dengan HIV walaupun jarang antara lain: defisiensi vitamin B12 (Ramacha, dkk., 1991) dan destruksi eritrosit oleh mekanisme autoimun (Wasif, 2001). Penurunan kadar hemoglobin mencerminkan kecepatan progresifitas penyakit dan perkiraan prognosis pada kohort dengan demografi yang berbeda (Mocroft, dkk., 1999). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar hemoglobin dengan jumlah total sel limfosit T CD4 + darah perifer (Florence, dkk., 2004; Obirikorang, dkk., 2009; Marin, dkk., 2010; Owirebu, dkk., 2011). Mekanisme patogenesis utama terjadinya anemia dan penurunan jumlah limfosit T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV adalah hampir sama yaitu melalui apoptosis sel progenitor eritroid (Maciejewski, dkk., 1995; Taniguchi, dkk., 1997; Dai, dkk., 1998) serta apoptosis limfosit T CD4 + (Cottrez, dkk., 1997; Wang, dkk., 1999; Kirschner, dkk., 2000; Sousa, dkk., 2002; Resino, dkk., 2006). Apoptosis terjadi pada limfosit T CD4 + yang telah teraktivasi sebelumnya akibat presentasi antigen oleh antigen precenting cells (APC) serta ikatan dengan protein HIV gp120 pada reseptor CD4, mekanisme ini dikenal dengan activation-induced cell death (Groux, dkk., 1992; Banda, dkk., 1992). Peningkatan aktivasi imun oleh infeksi HIV menyebabkan adanya disregulasi sitokin terutama peningkatan interferon-γ (IFN-γ)
(Graziosi, dkk., 1996; Westby, dkk., 1998). IFN-γ adalah inhibitor eritropoesis yang paling poten dalam menyebabkan apoptosis sel progenitor eritroid (Dai, 1998). Fas reseptor/apo-1/cd95 adalah suatu molekul reseptor permukaan sel, dimana aktivasi oleh ligand-nya dapat menimbulkan tranduksi sinyal apoptosis (Krammer, dkk., 1994). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa interaksi Fas dengan Fas ligand (FasL) memainkan peranan penting dalam menimbulkan apoptosis baik pada sel limfosit T CD4 + yang teraktivasi (Katsikis, dkk., 1995) maupun sel progenitor eritroid yang terpapar IFN-γ (Dai, dkk., 1998). Mekanisme tersebut di atas dapat menjelaskan terdapatnya korelasi antara penurunan kadar hemoglobin dengan penurunan jumlah total sel limfosit CD4 + pada infeksi HIV. Status imun pada penderita terinfeksi HIV dewasa dapat dinilai melalui pemeriksaan jumlah absolut limfosit T CD4 +, dan ini merupakan standar untuk menilai dan menentukan derajat imunodefisiensi. Penurunan progresif limfosit T CD4 + berhubungan dengan progresifitas penyakit dan peningkatan infeksi opportunistik dan juga kematian. WHO membuat klasifikasi imunologis untuk menilai derajat imunodefisiensi menjadi empat kategori: imunodefisiensi yang tidak signifikan/no significant immunodeficiency (CD4 + > 500 sel/mm 3 ), imunodefisiensi ringan/mild (CD4 + 350-499 sel/mm 3 ), imunodefisiensi lanjut/advanced ( CD4 + 200-349 sel/mm 3 ), dan imunodefisiensi berat/severe (CD4 + < 200 sel/mm 3 ). Sedangkan CDC (2008) mengklasifikasikan derajat imunodefisiensi menjadi tiga stadium: stadium 1 (CD4 + > 500 sel/mm 3 ), stadium 2 (CD4 + 200-499 sel/mm 3 ), dan stadium 3/AIDS (CD4 + < 200 sel/mm 3 ). Progresifitas penyakit menjadi stadium AIDS atau
kematian mengalami peningkatan dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/mm 3 (WHO, 2007a). Kesulitan dalam pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada penderita HIV adalah mengidentifikasi penderita yang benar-benar memerlukan terapi. Pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + dan viral load yang merupakan gold standar membutuhkan peralatan yang mahal dan teknisi yang terlatih serta tidak selalu tersedia pada beberapa negara dan juga beberapa daerah di Indonesia. Beberapa penanda laboratorium telah diteliti untuk tujuan ini, yaitu penanda yang sederhana yang dapat diukur untuk menilai progresifitas penyakit pada sumber daya yang terbatas. Beberapa di antaranya termasuk delayed type hypersensitivity (DTH), total lymphocyt count (TLC), hemoglobin, dan body mass index (BMI) (Langford, dkk., 2007). Berdasarkan pedoman Kementerian Kesehatan RI (2007) serta WHO (2006), pada seting dimana pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + tidak tersedia, terapi ARV bisa diberikan pada penderita dengan WHO stadium III atau IV tanpa memandang jumlah limfosit total atau stadium II dengan jumlah total limfosit 1200 sel/mm 3. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat korelasi yang baik antara TLC dan jumlah limfosit T CD4 + (Fornier dan Sosenko, 1992; Blatt, dkk., 1993; Beck, dkk., 1996; van der Ryst, dkk., 1998). Namun memprediksi jumlah limfosit T CD4 + dengan TLC juga terdapat kelemahan. Letak kesulitannya adalah menentukan letak cut off point untuk TLC dalam menentukan imunodefisiensi berat (limfosit T CD4 + < 200 sel/mm 3). Cut off point ini akan mempengaruhi sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan. Dengan menurunkan level TLC untuk memprediksi jumlah limfosit T CD4 +, kita dapat
mengoptimalkan spesifisitas dan meminimalkan jumlah penderita dengan jumlah limfosit T CD4 + yang tinggi di misklasifikasikan sebagai sebagai penderita dengan jumlah limfosit T CD4 + rendah. Akan tetapi, cut off point TLC yang rendah akan meningkatkan jumlah penderita dengan hasil false negatif. Meningkatkan cut off point dari TLC kita dapat memaksimalkan sensitifitas dan lebih dapat mendeteksi penderita dengan jumlah limfosit T CD4 + rendah akan tetapi juga meningkatkan angka false positif (Spacek, dkk., 2003; Kamya, dkk., 2004). Penelitian menunjukkan peningkatan sensitifitas TLC dalam memprediksi rendahnya jumlah limfosit T CD4 + apabila dikombinasikan dengan kadar hemoglobin (Spacek, 2003), namun apakah kombinasi ini memberikan kontribusi yang bermakna terhadap penambahan akurasi diagnostik TLC sendiri dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV belum pernah diteliti. Pemberian terapi ARV khususnya zidovudin akan mempengaruhi kadar hemoglobin, sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita terinfeksi HIV yang belum memulai terapi ARV (HIV naive patient). Dengan demikian akan didapatkan korelasi antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + yang disebabkan oleh aktivasi imun akibat infeksi HIV itu sendiri. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi dan besarnya korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 +. Penelitian ini juga mencoba mengkombinasikan TLC dengan kadar hemoglobin untuk memprediksi imunodefisiensi berat (CD4 < 200 sel/mm 3 ) pada penderita HIV. Kombinasi ini dapat digunakan untuk mendeteksi (screening) penderita dengan imunodefisiensi berat sehingga dapat dijadikan pedoman untuk memulai terapi ARV pada daerah
dengan sumber daya terbatas dimana pemeriksaan jumlah limfosit T CD4 + atau viral load tidak tersedia atau menentukan apakah penderita tersebut perlu dirujuk untuk pemeriksaan tersebut. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral? 2. Berapakah cut off point kadar hemoglobin untuk memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral? 3. Apakah kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dapat meningkatkan akurasi diagnostik TLC sendiri dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit CD4 + pada penderita terinfeksi HIV. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral. 2. Mencari cut off point kadar hemoglobin untuk memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV antiretroviral.
3. Membuktikan bahwa kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dapat meningkatkan akurasi diagnostik TLC sendiri dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan: dapat diketahui adanya korelasi antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit T CD4 + pra terapi antiretroviral. 2. Manfaat praktis: dengan mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 +, maka kadar hemoglobin dapat dipakai sebagai penanda adanya imunodefisiensi berat pada penderita HIV sehingga dapat dijadikan pedoman untuk memulai terapi ARV pada daerah dengan sumber daya terbatas. dimana pemeriksaan jumlah limfosit T CD4 + dan viral load tidak dapat dikerjakan, atau apakah penderita ini perlu di rujuk segera untuk pemeriksaan tersebut.