151 Perda yang Bias Agama. Oleh Victor Silaen

dokumen-dokumen yang mirip
PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Melalui nilai-nilai Empat Pilar,

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara yang lebih demokratis, berjalannya mekanisme cheks and

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

[97] Memahami Perda-perda Syariah Sunday, 03 February :51

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA

PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEKOLAH DASAR KELAS V SEMESTER

PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME. Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

Modul ke: Identitas Nasional. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa-2

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

PLEASE BE PATIENT!!!

MENDENGARKAN HATI NURANI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari letak geografis

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

JK: Tradisi Golkar di Pemerintahan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

DIMENSI POLITIS AND YURIDIS KETETAPAN MPR NO. XXXIII/MPRS/1967. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

Soal Undang-Undang Yang Sering Keluar Di Tes Masuk Sekolah Kedinasan

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

PENDIDIKAN PANCASILA

S a o l a CP C N P S N Te T s e Wa W w a a w s a a s n a Ke K b e a b n a g n s g a s a a n

PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PENERAPAN SILA PERTAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

RINGKASAN PUTUSAN.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi

[

PANCASILA Sebagai Paradigma Kehidupan

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang heterogen, kita menyadari bahwa bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ideologi. Aktual, karena kajian ideologi

BAB II LANDASAN PEMBANGUNAN HUKUM TAHUN

JAKARTA, 11 Juli 2007

TUTORIAL DALAM RANGKA UJIAN DINAS DAN PENYESUAIAN PANGKAT BPOM-RI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia

IDENTITAS NASIONAL dan tantangan era Globalisasi. Oleh : Dewi Triwahyuni, S.IP., M.Si.

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA EsA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

SEJARAH PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

GAGASAN PEMBENTUKAN LEMBAGA PENGKAJIAN DAN PEMASYARAKATAN KONSTITUSI. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

ESENSI DAN URGENSI IDENTITAS NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU DETERMINAN PEMBANGUNAN BANGSA DAN KARAKTER

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XI/2013 Tentang Sosialisasi UUD 1945 Oleh Pimpinan MPR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

BAB V PENUTUP. aliran kepercayaan disetarakan statusnya layaknya agama resmi lainnya (Mutaqin

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D)

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004

KISI-KISI PENILAIAN AKHIR SEMESTER (PAS) GANJIL MADRASAH TSANAWIYAH KOTA SERANG TAHUN PELAJARAN 2017/2018. Proses perumusan dan. penetapan Pancasila

Benarkah HTI tidak berhak melakukan itu semua dengan alasan tersebut di atas?

*13595 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2002 (31/2002) TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perpolitikan di Indonesia mengalami perkembangan pesat bila ditinjau dari segi

PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

CITA-CITA NEGARA PANCASILA

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

4.4 Uraian Materi Nilai-Nilai Pancasila dalam Hidup Bermasyarakat. Ideologi merupakan seperangkat sistem yang menjadi dasar pemikiran setiap

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

ISLAM DAN KEBANGSAAN. Jajat Burhanudin. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)

Presiden Seumur Hidup

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN DAN TUGAS MEDIATOR DAN HAKAM DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 66/PUU-XII/2014 Frasa Membuat Lambang untuk Perseorangan dan Menyerupai Lambang Negara

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Sambutan Presiden RI pada Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Jakarta, 1 Juni 1945 Rabu, 01 Juni 2011

BAB IV ANALISIS SIYASAH DUSTURIYAH TERHADAP PENYELENGGARAAN SISTEM PRESIDENSIAL DENGAN FORMAT KOALISI

WAWASAN NUSANTARA. Dewi Triwahyuni. Page 1

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

Head to Head Dukungan Capres Pasca Penetapan Resmi KPU

PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI SILA DUA DAN TIGA

Perundang-undangan Nasional. Kompetensi. Materi. Makna dan Pentingnya. Untuk Kelas VII

URUSAN KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DALAM NEGERI URUSAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

Transkripsi:

151 Perda yang Bias Agama Oleh Victor Silaen Para uskup se-indonesia telah menulis surat tertanggal 30 Mei 2009, yang isinya antara lain meminta dengan tegas agar presiden dan wakil presiden terpilih nanti membatalkan 151 peraturan daerah (perda) yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. Peraturan-peraturan ini bagaikan puncak karang yang secara kasat mata menghadang bahtera bangsa kita. Untuk menjaga keutuhan NKRI, kami menganjurkan kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk membatalkan 151 Perda ini serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundangan yang bertentangan dengan konstitusi, kata Mgr Sutrisno Atmoko yang juga Uskup Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kepada pasangan capres-cawapres JK-Wiranto yang bertandang ke Kantor Waligereja Indonesia, 9 Juni lalu. Mengejutkankah seruan moral para uskup itu? Rasanya tidak. Boleh jadi karena aspirasi senada sudah berulangkali disampaikan oleh pelbagai komponen bangsa yang merasa prihatin melihat kian maraknya perda bias agama di sejumlah daerah, termasuk di ibukota Jakarta (melalui Perda Tibum No. 8 Tahun 2007, yang antara lain mengatur untuk tidak boleh menjual makanan haram ). Karena sudah berulangkali, maka tak heran jika perda yang diserukan untuk dibatalkan itu kini telah berjumlah 151. Disebut bias agama, karena perda-perda tersebut bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang tak sedikit pun menyebut agama tertentu di dalamnya. Tetapi, mengapa seolah seruan-seruan itu tak diresponi secara proporsional? Antara lain jawabannya 1 / 5

adalah, karena perda-perda tersebut dinilai tidak diskriminatif. Bahkan menurut calon presiden dari Partai Golkar dan Partai Hanura, Jusuf Kalla, perda-perda tersebut hanya sebagai aturan yang bernilai anjuran. Jadi, tidak ada sanksi hukum dalam perda syariah, ujar Kalla yang juga Wakil Presiden RI dalam dialog tentang hukum dengan Indonesian Legal Roundtable di Hotel Four Seasons, Jakarta, 8 Juni lalu. Ucapan Kalla tersebut merupakan respon terhadap pertanyaan salah satu panelis, Todung Mulya Lubis, yang menganggap perda-perda syariah bersifat diskriminatif. Karena mengikat semua, tidak hanya Muslim, kata Todung. Sungguh memprihatinkan. Bagaimana mungkin seorang politikus kawakan sekaligus pemimpin bangsa dapat mengatakan hal yang keliru tentang sebuah peraturan publik? Tidakkah dia paham bahwa sebuah peraturan publik memiliki kekuatan mengikat yang sah, yang karenanya diikuti dengan sanksi hukum bagi siapa pun yang melanggarnya tanpa hiraukan agamanya apa? Pasca-Soeharto, agenda-agenda reformasi telah dan terus bergulir deras. Namun ironisnya, hingga kini Indonesia masih gamang dalam memosisikan dirinya sebagai negara hukum atau negara agama. Ataukah memang Indonesia secara sadar membiarkan dirinya terus-menerus menjadi bukan negara hukum sepenuhnya dan bukan negara agama sepenuhnya? Sebab, kalau negara hukum sepenuhnya, mengapa banyak peraturan di tingkat lokal (perda) maupun nasional (undang-undang/uu) yang bias agama tertentu? Sebaliknya, jika dikategorikan sebagai negara agama, Indonesia jelas tak cocok. Sebab di negara ini, para pemimpin di tingkat lokal maupun nasional tidak dibatasi harus beragama ini atau itu. Sejak awal, Indonesia telah didesain menjadi negara hukum dan bukan negara agama. Secara faktual pun tak dapat diingkari bahwa agama-agama di Indonesia sejak dulu memang beraneka ragam. Berdasarkan itulah maka merancang-bangun negara ini di atas pilar-pilar yang bukan-agama merupakan pilihan rasional yang baik dan tepat. Sebab, seandainya agama tertentu dipilih untuk dijadikan pilar negara, pertanyaannya adalah: agama yang mana? Bukankah secara sosiologis tak ada agama yang benar-benar satu (monolitik)? Sementara agama yang secara nasional dikategorikan mayoritas secara statistik, faktanya di sejumlah daerah ia justru merupakan minoritas. 2 / 5

Jadi jelaslah bahwa Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan terserak dari Sabang sampai Merauke ini sungguh tak cocok untuk dijadikan negara agama. Inilah yang mestinya disadari betul oleh segenap komponen bangsa. Artinya ke depan jangan sampai ada orang-orang (apalagi mereka yang diposisikan sebagai pemimpin maupun tokoh masyarakat) yang merasa dirinya dan kelompoknya sebagai mayoritas berdasarkan agama yang dianut, dan sebaliknya memandang orang-orang lain sebagai minoritas dikarenakan agama mereka berbeda. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru sekaligus kontraproduktif dalam rangka membangun NKRI. Karena itu, alih-alih menjadikan mayoritas dan minoritas berdasar agama sebagai penanda suatu kelompok atau komunitas, lebih baiklah mengusangkan sekat-sekat keagamaan itu seraya memperkuat spirit nasionalisme di atas semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai umat beragama, tentu saja setiap kita masih memiliki identitas keagamaan yang melekat di dalam diri. Namun, ketika kita berada di ruang-ruang publik yang pluralistik dan dalam konteks-konteks yang formalistik, lebih baiklah jika identitas tersebut disimpan dan tak digunakan sama sekali. Dengan demikianlah niscaya konflik primordialistik berdasarkan identitas keagamaan dapat dicegah. Ini penting disadari agar setiap kita terbiasa untuk berinteraksi di ruang-ruang publik sebagai sesama warga dan bukan sebagai sesama umat beragama. Jika kesadaran kritis ini dimiliki, maka ia pun niscaya menjadi etika sekaligus etiket di dalam kehidupan sesehari. Seandainya dalam kasus-kasus tertentu diperlukan pedoman yang lebih tegas dan pasti, maka hukumlah jawabannya -- bukan agama. Berdasarkan pemikiran di atas, maka secara rasional-argumentatif kita harus menolak politisasi agama. Sebab, politik hakikatnya untuk mengelola kehidupan publik, dan publik Indonesia bukanlah publik yang agamanya tunggal. Jadi, sangatlah berbahaya jika agama digunakan untuk kepentingan politik. Itu namanya memerkosa agama, karena agama yang hakikatnya sakral diperalat untuk politik yang hakikatnya profan. 3 / 5

Kembali pada seruan moral para uskup tentang peraturan bias agama, apa sikap kita? Pertama, h ukum seharusnya menjadi alat rekayasa sosial. Artinya, hukum harus mampu mengadakan perubahan di masyarakat. Karena masyarakat kita beranekaragam agamanya, maka hukum pun seharusnya tidak bias agama tertentu. Kedua, hukum di tingkat nasional maupun lokal tak boleh melanggar konstitusi dan hierarki hukum, melanggar prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan, juga melanggar jiwa dan semangat Pancasila sebagai Cita Hukum ( Rechtsidee) maupun Norma Fundamental Negara (Staatsf undamentalnorm ). Tentang hierarki hukum, sangat jelas diatur bahwa semua perundangan/peraturan tak boleh bertentangan dengan perundangan/peraturan yang berada di atasnya ( Tap MPR No. III/MPR/2000 dan UU No. 10 Tahun 2004). Jadi, baik UU maupun perda yang dibentuk tak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, atau berakibat terganggunya kerukunan antarwarga, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta tidak bersifat diskriminatif. Kita berharap semua orang Indonesia, terutama para pemimpin, memahaminya dan konsisten dengan itu. * Dosen Fisipol UKI, pemerhati politik. Dimuat pada Harian Sinar Harapan, 13 Juli 2009 4 / 5

5 / 5