EMELDA SAVIONITA 1 EMELDA SAVIONITA ABSTRACT

dokumen-dokumen yang mirip
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

PUTUSAN MK NO 46/ PUU-VIII/2010, MEROMBAK HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dengan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap

BAB I PENDAHULUAN. sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI LUAR PERKAWINAN. A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perkawinan tidak dapat dikatakan sempurna apabila belum

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

Jurnal Ilmiah DUNIA ILMU Vol.2 No.1 Maret 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

ANALISIS TERHADAP ISTBAT NIKAH OLEH ISTRI YANG DI POLIGAMI SECARA SIRRI (Studi Putusan Mahkamah Syar iah Nomor: 206/Pdt.G/2013/MS.

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN

HUBUNGAN KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan, LN tahun 1974 Nomor 1, TLN no. 3019, Perkawinan ialah ikatan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

FENOMENA NIKAH MASSAL DAN KORELASI TERHADAP ISBAT NIKAH ( Titik Singgung Wewenang 2 in 1 Pengadilan Agama dengan Kementerian Agama )

HAK MEWARIS ANAK DILUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010. Ismawati Septiningsih,SH,MH

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

Retna Gumanti 1 ABSTRAK. Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUUVII/2010, anak tidak sah, hubungan keperdataan.

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

BAB II LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. A. Anak Luar Nikah dalam Mahkamah Konstitusi

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

BAB I PENDAHULUAN. satu upaya manusia untuk bisa mendapatkan hal tersebut. Dilihat dari

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa *

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

SKRIPSI PELAKSANAAN PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

STATUS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR: 46/PUU-VIII/2010

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP HAK WARIS ANAK PERKAWINAN SIRI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

KEDUDUKAN ISTRI DAN ANAK DALAM PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Monica Putri M.C. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

BAB I PENDAHULUAN. dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1 Hatinya yang

Outer Children Marriages Status After Constitutional Court Decision No: 46/PUU- VII/2010

I. PENDAHULUAN. manusia adalah zoon poloticon, yaitu selalu mencari manusia yang lain untuk

ANALISIS KEDUDUKAN ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM KEWARISAN

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu

KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. anak. Selain itu status hukum anak menjadi jelas jika terlahir dalam suatu

A. Tenripaang Chairan. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat.

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

BAB I PENDAHULUAN. sah dan anak tidak sah. Menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

BAB III ISI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN. 1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk

ABSTRAK. Adjeng Sugiharti

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari

BAB V PENUTUP. A. Simpulan Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974 adalah ikatan lahir bathin

KEDUDUKAN ANAK DARI PERKAWINAN SIRRI SETELAH PUTUSAN MAHAKAH KONSTITUSI NO 46/PUU-VIII/2010. Wahyuni *

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB II KEWENANGAN KURATOR VENTRIS UNTUK MEWAKILI KEPENTINGAN ANAK DALAM KANDUNGAN JANDA DARI PERNIKAHAN SIRI

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

Transkripsi:

EMELDA SAVIONITA 1 KEWENANGAN KURATOR VENTRIS UNTUK MEWAKILI KEPENTINGAN ANAK DALAM KANDUNGAN JANDA DARI PERNIKAHAN SIRI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 EMELDA SAVIONITA ABSTRACT A marriage can be divided into two; namely, a legal marriage according legal provisions and regulations and pernikahan siri, a marriage performed before the religious authorities but not registered by the State. The type of research was a judicial normative and analytical descriptive. Ventris curator has the authority to be the supporter or guardian of the child from the widow s pregnancy of siri wedlock because the child s status is considered equal in the legal position to the child from his mother s pregnancy of legal marriage after the Ruling of the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010 is issued. BHP is given the authority to be the supporter and guardian to the fetius that is still in the widow s pregnancy of pernikahan siri has the same authority of BHP toward the child in his mother s pregnancy of a legal marriage, based on legal provisions, laws, and regulations on marriage. Keywords: Ventris Curator, Child, Pernikahan Siri PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara guna membentuk keluarga, oleh sebab itu perkawinan mutlak diperlukan dan menjadi syarat terbentuknya sebuah keluarga, sehingga masyarakat membutuhkan suatu peraturan hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang membuat mereka merasa aman dan terjamin dalam melaksanakan hubungan ikatan perkawinan tersebut. 1 Menurut Idris Ramulyo dikatakan bahwa dipandang dari segi hukum, maka perkawinan itu merupakan perjanjian, karena cara mengatur ikatan tersebut telah diatur terlebih dahulu, yaitu 1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2007), hlm. 108.

EMELDA SAVIONITA 2 dengan akad nikah dan rukun atau syarat tertentu, dan cara untuk memutuskan ikatan tersebut juga telah diatur sebelumnya. 2 Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1 Tahun 1974) ditegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan dalam ayat (2) disebutkan bahwa tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa untuk sahnya perkawinan, maka selain harus sah berdasarkan agama, juga harus didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang, sehingga perkawinan mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibuktikan atau peristiwa perkawinan itu telah diakui oleh negara. Hal ini penting artinya demi kepentingan suami isteri itu sendiri, anak yang lahir dari perkawinan serta harta yang ada dalam perkawinan tersebut. Tujuan pencatatan perkawinan ini dilakukan agar perkawinan yang berlangsung tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan pasti, yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami-isteri, anak yang dilahirkan menjadi anak yang sah, hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, hak saling mewarisi antara suami-isteri dan anak-anak dengan orang tua, dan bagi anak perempuan seorang ayah berhak menjadi wali nikahnya. 3 Menurut Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, jika suatu perkawinan tidak dicatat, sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama atau kepercayaan, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula akibat yang timbul dari perkawinan itu, 4 sedangkan salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk mendapatkan anak dan akibat dari perkawinan adalah tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan. Kewajiban suami isteri terhadap anak tersebut lebih rinci diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI), bahwa suami wajib menanggung sesuai peng- 2 Mohd. Idris Ramulyo (1), Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004), hlm. 16. 3 Mohd. Idris Ramulyo (2), Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1996), hlm. 248. 4 Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 16.

EMELDA SAVIONITA 3 hasilannya, nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak, biaya pendidikan bagi anak, sebaliknya kewajiban isteri adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya, sedangkan kewajiban suami dan isteri adalah memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia sering terjadi perkawinan siri yang tidak tercatat di Kantor Pencatat Nikah dan nikah yang dicatat tetapi disembunyikan dari orang lain, karena khawatir terganggu bagi keluarganya, 5 dan pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan hadist rasul, karena rasul menyuruh masyarakat yang menikah untuk mengumumkan pernikahannya dengan walimah (kenduri/syukuran). Selain karena harus mengeluarkan biaya administrasi yang cukup besar, ada berbagai alasan seseorang melaksanakan perkawinan siri, antara lain: 1. karena sudah bertunangan untuk menghindari perselingkuhan dan perzinahan, lebih baik melakukan nikah siri, dan dalam kasus ini biasanya terjadi karena salah satunya masih sekolah atau kuliah; 2. untuk menghemat ongkos dan menghindari prosedur administrasi yang dianggap berbelit-belit (seperti: syarat-syarat administrasi dari RT, Lurah, KUA, izin isteri pertama, izin Pengadilan Agama, izin atasan jika PNS/anggota TNI/Polri dan sebagainya); 3. karena calon isteri terlanjur hamil di luar nikah; 4. untuk menghindari tuntutan hukum oleh isterinya di belakang hari, karena perkawinan yang tidak dicatat oleh KUA, tidak dapat dituntut secara hukum di Pengadilan, dan biasanya kasus ini terjadi pada perkawinan untuk yang kedua kali (poligami); 5. untuk menghapus jejak oleh isteri pertama, sekaligus untuk menghindari hukuman administratif yang dijatuhkan oleh atasan bagi mereka yang berstatus PNS/anggota TNI/Polri yang melakukan perkawinan kedua kalinya; 2011), hlm. 17. 5 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta : Graha Ilmu,

EMELDA SAVIONITA 4 6. salah seorang dari calon pengantin (biasanya pihak perempuan) belum cukup umur melakukan perkawinan melalui KUA; dan 7. alasan lain yang bersifat khusus, seperti di beberapa daerah yang telah menjadi tradisi melakukan perkawinan siri sebelum menikah di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (KUA), adanya sikap orang tua atau wali yang menganggap bahwa ia memiliki hak dan kewajiban menikahkan anaknya (perempuan) dengan pasangan dicarikan tanpa meminta persetujuan anaknya. Perkawinan yang sah dan dicatat memberikan kejelasan kedudukan anak di mata hukum, seperti tertuang dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai anak akibat dari perkawinan yang sah. Begitu juga sebaliknya akibat hukum terhadap anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan yang diperoleh dari perkawinan tersebut seperti yang tertuang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata, maka BHP hanya dapat mewakili kepentingan anak yang masih dalam kandungan janda dari perkawinan orang tuanya yang tercatat, sedangkan terhadap perkawinan yang tidak tercatat (perkawinan siri), maka BHP tidak dapat menjadi kurator ventris terhadap anak. Dalam kaitannya pertanyaan di atas, perlu kiranya dirujuk Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010, yang menyebutkan bahwa: 1. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. 2. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan

EMELDA SAVIONITA 5 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan lakilaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Memperhatikan isi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tetap diakui apabila terbuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayahnya (secara biologis). Akibat putusan Mahkamah Konstitusi ini, tentunya dapat pula menimbulkan pertanyaan yuridis terkait kedudukan kuratos ventris untuk mewakili kepentingan anak dari perkawinan perkawinan siri, sedangkan anak dalam kandungan janda terbukti mempunyai hubungan biologis dengan ayahnya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahmakah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 terkait dengan hubungan keperdataan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri? Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri

EMELDA SAVIONITA 6 2. Mengetahui pertimbangan hukum hakim di dalam putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait dengan hubungan keperdataan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri. II. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif. Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim, 6 antara lain: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010. b. Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen-dokumen teks, buku-buku, jurnal-jurnal hukum dan termasuk komentar-komentar atas putusan pengadilan. 7 c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, misalnya: Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini. Disamping itu 6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 141. 7 Ibid.

EMELDA SAVIONITA 7 penelitian ini juga didukung dengan wawancara terhadap yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada tanggal 12 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi RI mengeluarkan putusan tentang status anak di luar nikah. Putusan ini mengubah Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang sebelumnya tidak mengakui anak di luar nikah. Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 diubah dan menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Sebelum MK mengeluarkan putusan, anak di luar nikah hanya bisa terkait dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan putusan ini, maka anak hasil nikah siri atau pun di luar nikah berhak mendapatkan hak-haknya dari sang ayah seperti biaya hidup, akta lahir hingga warisan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan perkawinan. Itu juga dapat didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang bersangkutan. Padahal dia tidak bersalah atas kelahirannya. Setiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci. Jika ditilik lebih lanjut, konsekuensi putusan ini meliputi empat hal. a. Status nasab (bin/binti) anak tersebut beralih kepada ayahnya. b. Hubungan mahram dalam hal dimana anak tersebut berjenis kelamin perempuan. c. Status perwalian ketika kelak anak perempuan di luar nikah melangsungkan perkawinan, maka ayahnya yang berhak dan berkewajiban menjadi wali. d. Perolehan harta warisan layaknya anak sah. 8 8 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung : Pustaka Setia, 2011), hlm. 26

EMELDA SAVIONITA 8 Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata. Persoalan yang sering ada di masyarakat adalah menyangkut status dan akibat hukum dari perkawinan siri yang banyak dilakukan oleh masyarakat muslim. Perkawinan siri merupakan bentuk perkawinan yang dilangsungkan tanpa melibatkan petugas pencatatan perkawinan, sehingga pelaksanaannya hanya sekedar memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan oleh Hukum Islam. Jika dianalisa mekanisme pengaturan undang-undang tentang kewajiban pencatatan atas suatu perkawinan, maka benar bahwa keabsahan perkawinan tidak terikat pada persoalan dicatat atau tidaknya perkawinan tersebut, karena pengaturan antara keabsahan perkawinan dengan kewajiban pencatatan dirumuskan dalam dua aturan yang terpisah, sehingga hal tersebut mengandung pengertian bahwa keabsahan perkawinan merupakan domain dari hukum agama dan kepercayaan para calon mempelai, sedangkan kewajiban pencatatan akan berhubungan dengan akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan tersebut. Suatu perkawinan yang dilangsungkan, baru akan mengandung kekuatan hukum jika perkawinan itu memenuhi segi-segi hukum secara formal, yaitu dengan tindakan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi mereka yang beragama Islam dan di Kantor Catalan Sipil bagi mereka yang bukan beragama Islam. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari 2012 yang memberikan putusan permohonan uji materil Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) telah membuat terobosan hukum pada status anak yang dilahirkan di luar perkawinan (selanjutnya disebut anak luar kawin).

EMELDA SAVIONITA 9 Sejak keluarnya Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut, maka bagi anak luar kawin akan memperoleh jaminan kelangsungan hidupnya, karena dengan dapat membuktikan dirinya ada hubungan darah (nasab) dengan bapak biologisnya, maka status anak tersebut tidak ubahnya seperti anak sah, karena ia akan mempunyai hubungan keluarga dengan orangtua (ayah dan ibunya) serta keluarga ayah dan ibunya. Lebih jauh lagi putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut tentu akan mempengaruhi hukum keluarga di Indonesia. Sebagaimana Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka secara otomatis anak luar kawin akan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya sepanjang dapat memenuhi apa yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diputuskan karena adanya permohonan (hak uji materil) yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha binti H Mochtar Ibrahim atas uji materil terhadap Undang-undang Perkawinan, khususnya terhadap Pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1). Permohonan tersebut diajukan dengan memberikan kuasa kepada Rusdianto Matulatuwa, Oktryan Makta dan Mifachul I.A.A, advokat dari Kantor Hukum Matulatuwa & Makta di Jakarta. Permohonan uji materiil tersebut dilakukan berawal dengan tidak diakuinya anak hasil perkawinan sirinya bernama Muhamamd Iqbal oleh ayahnya bernama Moerdiono. Telah terjadi perkawinan siri yang dilakukan oleh Hj Aisyah Mochtar dengan Moerdiono pada tanggal 20 Desember 1993 dengan ijab kobul yang dilakukan antara wali nikah bernama H. Mochtar Ibrahim dengan Moerdiono dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang dua ribu real serta satu set perhiasan emas berlian yang dibayar tunai. Ijab kobul tersebut diucapkan dihadapan dua orang saksi yakni KH M Yusuf Usman dan Risman. Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari permohonan Hj Machica Mochtar, yakni yang berkaitan dengan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Menurut Iskandar Wakil Ketua

EMELDA SAVIONITA 10 Pengadilan Agama Klas II A Dumai mengenai perkawinan siri merupakan suatu perkawinan yang tidak dicatatkan pada pegawai pencatat nikah sehingga negara tidak mengetahui atau tidak menganggap perkawinan itu ada, sehingga perkawinan tersebut dianggap sebagai perkawinan siri karena tidak tercatat pada kantor pencatat nikah untuk menjadikan perkawinan yang tercatat sehingga menjadi perkawinan yang diakui sah oleh negara maka pasangan suami isteri yang menikah secara sirih tersebut mengajukan permohonan itsbat ke pengadilan agama. 9 Itsbat nikah dilaksanakan oleh pengadilan agama karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk megnurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumendokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami isteri. Itsbat nikah memiliki pengertian penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Tanpa permohonan itsbat nikah dari pasangan suami isteri yang menikah siri maka perkawinan tersebut tetap dipandang sebagai perkawinan yang tidak sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 10 Keputusan Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan bahwa secara alamiah anak lahir karena pertemuan antara ovum dan sperma, baik melalui hubungan seksual maupun karena perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu menurut Mahkamah Konstitusi adalah tidak tepat dan tidak adil manakala anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya saja. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula untuk membebaskan laki-laki yang menjadi ayah biologis dari tanggungjawabnya sebagai bapak dan bersamaan dengan itu pula menghilangkan hak anak terhadap bapaknya tersebut. Hubungan anak dengan laki-laki sebagai bapak tidak sematamata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi juga dapat didasarkan pada adanya hubungan darah antara keduanya. Dengan demikian terlepas dari prosedur administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak ada perlindungan demikian, maka yang akan dirugikan adalah 9 Wawancara dengan Iskandar Wakil Ketua Pengadilan Agama Klas II A Dumai, pada hari Kamis, tanggal 22 Mei 2015, pukul 09.00-11.00 WIB di ruang kerjanya. 10 Ibid

EMELDA SAVIONITA 11 anak tersebut, padahal anak tersebut tidak berdosa dan kelahirannya di luar kehendaknya. Dengan adanya Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja, akan tetapi dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayah jika dapat membuktikan bahwa ada hubungan darah antara anak dan ayahnya, bahkan jika terbukti adanya hubungan darah tersebut, maka anak luar kawin akan mempunyai hubungan perdata juga dengan keluarga ayahnya. Pasca Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, karena ada hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan ayah serta keluarga ibu dan ayah, maka anak luar awin dapat menjadi pewaris baik dari ibu dan keluarga ibu serta ayah dan keluarga ayah. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pasca Putusan MK tersebut secara otomatis akan ada hubungan antara anak luar kawin dengan ibu dan keluarga ibu serta ayah dan keluarga ayah atau harus melalui satu prosedur administrasi tertentu yang akan diatur kemudian mengingat sampai dengan saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang anak luar kawin yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perkawinan sebagaimana telah diuraikan di atas. Permasalahannya adalah apakah secara empiris memang tidak perlu dilakukan tindakan administrasi sebagai bukti telah ada hubungan perdata antara ayah-ibu serta keluarga ayah ibu dengan anak luar kawin. Perangkat hukum ini yang mesti disediakan oleh Pemerintah, mengingat dalam Hukum perdata yang diperlukan adalah bukti formalnya. Untuk mengisi kekurangan tersebut lembaga pengakuan anak masih dapat diterapkan dengan mendasarkan pada penafsiran a contrario dari Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 yakni bahwa peraturan perundangan tentang perkawinan yang ada sebelum UU No. 1 Tahun 1974 dapat diberlakukan sepanjang belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan isinya tidak bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974. Oleh sebab itu peraturan yang mengatur tentang terciptanya hubungan perdata antara anak luar kawin dengan bapak-ibunya (melalui pengakuan anak) masih dapat diterapkan dengan berbagai penyesuaian. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 mengakibatkan terjadinya perlindungan hukum kepada anak luar kawin yang tidak hanya menjadi tanggung

EMELDA SAVIONITA 12 jawab ibu dan keluarga ibunya tapi juga menjadi tanggung jawab ayahnya dan keluarga ayahnya sepanjang dapat dibuktikan secara ilmu dan teknologi bahwa anak luar kawin tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak luar kawin juga memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya khususnya dibidang hukum harta kekayaan (hukum waris). Dengan kata lain anak luar kawin secara hukum perdata dapat mewarisi harta kekayaan ayahnya dan keluarga ayahnya apabila dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dipandang cukup adil dalam memberikan perlindungan hukum kepada anak luar kawin karena selama ini, banyak anak luar kawin yang hanya ditanggungjawabi oleh ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan ayahnya dan keluarga ayahnya tidak mempunyai tanggung jawab terhadap anak luar kawin tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan suatu upaya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, khususnya untuk melindungi hakhak anak yang masih dalam kandungan ibunya (janda) dari perkawinan siri, sementara perkawinan orang tuanya bukan merupakan perkawinan yang sah, dan tentunya kesalahan orang tua yang tidak mencatatkan perkawinannya tidak boleh mengorbankan kepentingan anak. Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukan Thomas Aquinas yang diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa suatu hukum disebut adil jika hukum tersebut dapat berfungsi efektif dalam menjamin atau melindungi hak-hak subjek yang diaturnya, termasuk yang diatur dalam hukum positif, keadilan merupakan kehendak yang kekal di antara satu satu orang dan sesamanya untuk memberikan segala sesuatu yang menjadi haknya, defenisi ini memberikan gambaran hubungan antara hak dan keadilan hak yang dimiliki setiap manusia. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 maka hak-hak dan kepentingan anak yang masih berada dalam kandungan janda dari perkawinan siri tetap harus dilindungi secara hukum sama dengan hak-hak anak yang masih berada dalam kandungan dari perkawinan yang sah. Oleh karena itu kurator ventris wajib bertindak dalam melaksanakan kewenangannya sebagai pengampu dalam

EMELDA SAVIONITA 13 mengampu anak yang masih berada dalam kandungan janda dari perkawinan siri tersebut dan juga wajib bertindak sebagai wali pengawas untuk mengadakan segala tindakan yang perlu guna menyelamatkan kehidupan dan kepentingan si anak dalam kandungan janda dari perkawinan siri tersebut agar tidak dirugikan oleh pihak lain khususnya dalam hal harta IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan pada BAB BAB terdahulu sampai I pada penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. KUHPerdata hanya menentukan bahwa Balai Harta Peninggalan dapat bertindak selaku pengampu (kurator ventris) terhadap anak yang masih dalam kandungan seorang janda dari perkawinan yang sah, tetapi tidak ada ditentukan bahwa anak yang berada dalam kandungan seorang janda dari perkawinan tidak sah, dapat diwakili kepentingannya oleh kurator ventris. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak luar kawin termasuk anak-anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri, sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, oleh sebab itu harus dimaknai bahwa anak dalam kandungan janda dari perkawinan siri, juga mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, karena hukum akan dapat berfungsi efektif apabila dapat melindungi hak-hak subjek hukum yang diaturnya. B. Saran 1. Hendaknya pemerintah segera mengeluarkan ketentuan yang terkait dengan kewenangan Balai Harta Peninggalan untuk dapat bertindak sebagai kurator ventris dari anak yang masih dalam kandungan seorang janda dari perkawinan siri. 2. Hendaknya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dapat dijadikan bahan pengkajian lebih lanjut dalam upaya memperbaharui aturan

EMELDA SAVIONITA 14 hukum yang terkait dengan kewenangan Balai Harta Peninggalan untuk dapat bertindak sebagai kurator ventris dari anak yang masih dalam kandungan seorang janda dari perkawinan siri. V. Daftar Pustaka Abdurrahman dan Syahrani, Ridwan, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Alumni, 1986 Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung : CV. Mandar Maju, 2007 Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung : Pustaka Setia, 2011 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2010 Ramulyo, Mohd. Idris (1), Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004 (2), Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1996