DAMPAK KECEMASAN DAN AGRESIFITAS TERHADAP PRESTASI OLAHRAGA BELA DIRI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sifat yang berbeda. Mereka yang ekstrim adalah yang sangat rendah emosinya.

sama maka diadakan babak tambahan untuk menentukan pemenang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sportifitas dan jiwa yang tak pernah mudah menyerah dan mereka adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Bab 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia kegiatan psikologi olahraga belum berkembang secara meluas.

BAB I PENDAHULUAN. Pencak silat merupakan budaya dan seni beladiri warisan bangsa yang

Dampak Kecemasan pada Atlet Bola Basket Sebelum Memulai Pertandingan

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN SEBELUM MENGHADAPI PERTANDINGAN PADA ATLET FUTSAL NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia menjadi sehat dan kuat secara jasmani maupun rohani atau dalam istilah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diperhatikan, seperti waktu latihan, waktu makan, dan waktu istirahat pun diatur

BAB I PENDAHULUAN. Permainan bola basket di Indonesia telah berkembang sangat pesat. Event kejuaraan olahraga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Olahraga adalah sebuah aktivitas olah tubuh yang memiliki banyak sisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan dunia olahraga khususnya pada olahraga prestasi saat ini semakin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pandu Fauzi Fahmi, 2014 Profil Kualitas Interaksi Sosial Atlet Cabang Olahraga Beladiri

2016 HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN SEBELUM BERTANDING DENGAN PERFORMA ATLET PADA CABANG OLAHRAGA BOLA BASKET

BAB 1 PENDAHULUAN. kompetisi kemenangan merupakan suatu kebanggaan dan prestasi. serta keinginan bagi setiap orang yang mengikuti pertandingan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGARUH PELATIHAN RELAKSASI TERHADAP KECEMASAN PADA ATLET KARATE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Olahraga merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dilepaskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membicarakan olahraga, tidak akan terlepas dari persoalan

BAB I PENDAHULUAN. tetap dapat menempatkan diri pada kedudukannya yang mulia dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat guna. Tercapainya prestasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Perubahan pola hidup manusia adalah akibat dari dampak era

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN TINGKAT AGRESIVITAS ATLET BELADIRI KARATE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbunyi mens sana en corpore sano yang artinya dalam tubuh yang sehat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mohammad Zepi Prakesa, 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menghadapi era globalisasi, tantangan yang dihadapi akan semakin berat, hal ini disebabkan karena semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebelumnya. Data itu disampaikan pengelola liga, PT Deteksi Basket Lintas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bila dihadapkan pada hal-hal yang baru maupun adanya sebuah konflik.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari perilaku. Maka dari itu olahraga merupakan bidang yang tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga. sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mendaki gunung adalah suatu kegiatan berpetualang di alam terbuka

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

TINGKAT KECEMASAN ATLET SEBELUM, PADA SAAT ISTIRAHAT DAN SESUDAH PERTANDINGAN

PENGARUH BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP KECEMASAN SISWA DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN Yusni Arie Apriansyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

ANXIETY. Joko Purwanto. Oleh : FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (DBL) Indonesia, setelah berakhirnya babak Championship Series di Jogjakarta.

BAB I PENDAHULUAN. FIDE (Federation Internasional Des Echecs). Hingga sekarang FIDE. mencapai 156 federasi dari seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sepakbola merupakan salah satu cabang olahraga yang sudah mendunia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Olahraga merupakan suatu kegiatan yang melibatkan fisik dan mental

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pertandingan serta banyak atlet yang mengikuti sejumlah pertandingan yang

2014 PENGARUH METODE LATIHAN MENTAL IMAGERY TERHADAP PENGUASAAN KETERAMPILAN PASSING DAN STOPPING DALAM PERMAINAN SEPAKBOLA

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan fisik, teknik, taktik dan mental. Keempat faktor tersebut

2015 DAMPAK LATIHAN FARTLEK TERHADAP PENINGKATAN V02MAX.

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa dipisahkan. Didalam hidup manusia dituntut untuk dapat menjaga

ASPEK PSIKOLOGI DALAM PEMBINAAN ATLET TENIS MEJA. A.M. Bandi Utama, M,Pd. FIK UNY

PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PSIKOLOGI PELATIHAN FISIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bambang Sugandi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pembuktian bahwa pada jaman itu Taekwondo berafialiasi ke ITF (International

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. dimainkan dari anak usia sekolah dasar hingga para karyawan di instansi instansi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki pulau yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berlian Ferdiansyah, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Latihan mental merupakan unsur yang sangat penting hampir diseluruh

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara multi budaya dan keanekaragaman. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya

PENERAPAN IPTEKS TINGKAT KECEMASAN (ANXIETY) ATLET DALAM MENGIKUTI PERTANDINGAN OLAHRAGA. Indah Verawati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Taufik Permana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Olahraga di Indonesia sedang mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kehamilan merupakan suatu anugerah yang menyenangkan bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. khususnya olahraga prestasi. Olahraga prestasi yang dimaksud dalam

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Qodriannisa Puspaningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pusat Pendidikan Latihan dan Olahraga Pelajar (PPLP) Provinsi Sumatera

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakaria Nur Firdaus, 2013

BAB I PENDAHULUAN. istilah Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Pendidikan jasmani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lebih baik. Olahraga adalah kegiatan gerak tubuh yang sering dilakukan untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. ini terbukti dari pertandingan dan perlombaan olahraga bola voli yang telah

BAB I PENDAHULUAN. waktu, dan tempat dengan selalu menjaga kehormatan masing-masing secara

BAB I PENDAHULUAN. Pencak silat merupakan salah satu budaya nenek moyang bangsa Indonesia

Hubungan Kecemasan Dan Agresivitas Atlet Terhadap Prestasi Olahraga Kabupaten Buleleng Dalam PORPROV Bali 2011.

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bara Yusuf Saeful Putra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dan Asia setelah diselenggarakanya Kejuaraan Dunia Pecak Silat1 di Jakarta pada

BAB I PENDAHULUAN. menampilkan hasil kerja dengan kadar tertentu, dan untuk menampilkan hasil

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Olahraga merupakan kegiatan fisik yang mengandung sifat permainan dan

TUGAS DAN PERAN PELATIH (Hak dan Kewajiban Pelatih) OLEH: YUNYUN YUDIANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beberapa tahun terakhir, beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai

BAB I PENDAHULUAN. diperoleh suatu fungsi alat-alat tubuh yang dapat bekerja dengan normal dan

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi psikis atau mental akan mempengaruhi performa atlet baik saat latihan

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin. angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

BAB I PENDAHULUAN. Karate merupakan olahraga bela diri yang mempunyai ciri khas yang dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dea Gardea, 2013

ANALISIS KECEMASAN MAHASISWA PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FKIP UNLAM BANJARMASIN DALAM MENGHADAPI UJIAN AKHIR SEMESTER.

Transkripsi:

DAMPAK KECEMASAN DAN AGRESIFITAS TERHADAP PRESTASI OLAHRAGA BELA DIRI Risna Podungge Dosen Pendidikan Keolahragaan FIKK UNG Email : risnapodungge@yahoo,co.id ABSTRAK kecemasan berhubungan langsung bersifat negatif terhadap prestasi, agresivitas berhubungan langsung bersifat positif terhadap prestasi dan kecemasan berhubungan tidak langsung terhadap prestasi olahraga melalui agresivitas bersifat negatif sebagai variabel intervening. Disarankan kepada pelatih olahraga, untuk meningkatkan pencapaian prestasi yang maksimal diharapkan di dalam melatih dan membina atlet yang merupakan tugas utamanya, tidak hanya melatih fisik, tehnik dan taktik, namun juga lebih memperhatikan faktor psikologis atlet yang berkaitan dengan kecemasan dan agresivitas. Kepada atlet, sebaiknya sering berkonsultasi dengan para pelatihnya bila menghadapi masalah yang bisa menimbulkan kecemasan dan, hendaknya juga memahami bagaimana cara mengembangkan dan meningkatkan perilaku agresif, menjaga dorongan agresif agar tetap terkendali supaya tidak menimbulkan permusuhan dan mengendalikan perilaku agresif sesuai dengan tuntutan pertandingan. Kata Kunci: Kecemasan, Agresivitas, Prestasi, prestasi olahraga PENDAHULUAN Iskandar (2000:19) membagi kecemasan menjadi tiga tingkat, yaitu tingkat kecemasan ringan, tingkat kecemasan sedang, tingkat kecemasan berat. Pada atlet yang kecemasannya berat penampilan menurun, sedangkan atlet yang kecemasannya ringan penampilan akan meningkat (Setyobroto, 2009:99). Selanjutnya Setyobroto (2009:99) mengatakan bahwa penelitian Craty 1973 telah membuktikan kalau kecemasan berpengaruh besar terhadap kemungkinan penampilan atlet, maka dengan sendirinya juga akan berpengaruh terhadap prestasi.

Menurut Pesurnay (2000:182) prestasi diantaranya ditentukan oleh keadaan psikis olahragawan artinya bahwa prestasi olahraga ditentukan oleh aspek psikis, karena faktor psikislah yang menentukan pemenang suatu pertandingan. Faktor psikis yang dimaksudkan adalah kemampuan atlet untuk tampil dengan baik dalam keadaan yang diwarnai ketegangan serta persaingan seperti dalam pertandingan olahraga prestasi (Gunarsa, 1996:94). Bila mencermati suatu pertandingan kelas dunia, apalagi saat final semua pemain tampaknya memiliki kemampuan fisik dan teknik yang tidak jauh berbeda. Namun bila salah seorang pemain kalah, salah satu faktor yang sering dituding penyebab kekalahan ialah psikis (Intan Sugih, 2001:1). Pada beberapa cabang olahraga tertentu, seperti olahraga beladiri Karate, pencak silat dan tinju sering diperlukan sikap agresif, pola laku agresif, dimana atlet harus menunjukkan usaha yang aktif, menyusun berbagai strategi untuk menguasai pertandingan dan mencapai kemenangan. Sikap agresif ini belum berarti bahwa atlet dalam permainannya melakukan pola laku khusus untuk mencelakakan pihak lawannya agar tidak sanggup meneruskan permainan atau cukup cedera sehingga mengurangi mutu permainan lawan. Agresivitas berhubungan erat dengan kekerasan fisik yang bertujuan mengurangi kondisi fisik pihak lawannya agar dapat memastikan kemenangannya. Pada umumnya pada tingkat pertandingan yang lebih tinggi, perilaku agresif yang lebih ekstrim justru diperlukan dan dianggap wajar, karena agresivitas merupakan suatu pola laku usaha ditandai keberanian dan semangat tinggi untuk untuk mengejar suatu tujuan (Gunarsa, 1996:85). tidak akan memperoleh nilai.

Dalam olahraga beladiri karate nomor kumite dibutuhkan pula keberanian untuk menyerang lawan. Berkaitan dengan keberanian untuk menyerang atau agresivitas, Husdarta (2010:76) menjelaskan, cabang-cabang olahraga sentuhan fisik langsung memerlukan keberanian menyerang. Sifat agresif mutlak diperlukan oleh setiap olahraga beladiri. Selanjutnya Sudibyo Setyobroto (2009 : 57) pemain-pemain yang agresif sangat diperlukan untuk dapat memenangkan pertandingan seperti dalam sepak bola, tinju dsb, tetapi sifat dan sikap-sikap agresif apabila tidak terkendali dapat menjurus pada tindakan-tindakan berbahaya, melukai lawan, melanggar peraturan dan mengabaikan sportivitas. Agresif diartikan sebagai semua perilaku yang diarahkan untuk menyakiti atau mencederai orang lain yang dimotivasi untuk menghindari perlakuaan semacam itu Baron (dalam Gunarsa, 2009:183). Perilaku yang bermotivasi semangat kemungkinan menjadi jenis agresi yang efektif dan yang diperlukan dalam olahraga, dimana intimidasi kadang-kadang dapat memainkan peran penting dalam keberhasilan. Karena perilaku agresif memainkan peran penting dalam keberhasilan olahraga, khususnya olahraga beladiri Karate nomor kumite, pelatih harus memahami bagaimana cara mengajar olahragawannya : (1) mengembangkan sikap agresif, (2) tetap meningkatkan sifat agresif yang tertentu untuk penampilan olahraga, dan (3) menjaga dorongan-dorongan agresif agar tetap terkendali supaya tidak menimbulkan cedera pada diri sendiri atau pada olahragawan lainnya. Menurut K. Lorenz (dalam Gunarsa 2009:188), agresivitas merupakan dorongan alami yang wajar dan perlu penyaluran untuk mencegah timbulnya kecenderungan permusuhan. Supaya kecenderungan permusuhan bisa dinetralisasikan, agresivitas harus diarahkan ke tujuantujuan yang tidak membahayakan dan aman. Pendapat Lorenz menunjang perlunya pertandingan

olahraga sebagaimana menetralisirkan kecenderungan permusuhan dengan cara-cara yang bisa diterima umum. Agar akibat penyaluran agresivitas terhadap lawan atau regu lawan tidak terlalu parah, berat, luka fisik, maka disusun berbagai peraturan dan hukuman terhadap agresivitas yang melampaui batas. Perkembangan olahraga cabang beladiri karate di Indonesia belakangan tumbuh pesat, ditandai dengan cukup banyak peminat sekaligus dibukanya pusat-pusat pelatihan di sejumlah sekolah, instansi dan di daerah-daerah. Pertumbuhan dunia olahraga karate, pencak silat dan tinju makin kondusif, antara lain ditandai dengan adanya kejuaraan-kejuaraan yang digelar kalangan dinas pendidikan di setiap provinsi, di samping kejuaraan-kejuaraan secara reguler oleh Forki, Percasi dan Pertina baik untuk atlet usia dini, junior, senior seperti Piala Mendagri/Mendiknas dan Piala Kasad. Selain itu juga kejuaraan terbuka di luar Forki seperti SBY Cup dan Mahesa Cup, serta berbagai kegiatan nasional untuk memotivasi karateka lebih bergiat menghadapai iven-iven terjadwal secara teratur. Sejumlah kegiatan pembinaan dan pengembangan bakat anak juga dilakukan Pekan Olahraga AD, Oliampiade Olahraga Siswa Nasional SD, SMP, SMA, Pekan Olahraga Mahasiswa. Menurut Rita Subowo Ketua Umum KONI/KOI menyatakan bahwa tingkat kecemasan atlet Indonesia yang sangat tinggi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya prediksi raihan medali emas dari beberapa cabang unggulan pada Asian Games XVI/2010 di Guangzhou. Tingkat persaingan yang ketat mempengaruhi mental juang para atlet, sehingga menimbulkan tingkat kecemasan tinggi dan kurangnya percaya diri. Kecemasan membuat atlet menjadi tidak optimal, dan itu sangat wajar karena mereka ingin mempersembahkan yang terbaik bagi Indonesia. Rita Subowo mencontohkan kegagalan Umar Syarif di nomor kumite karate tidak lepas dari beban menanggung target, yang diharapkan emas

juga gagal di tangan karateka Iran (http://www.bola.net/olahraga_lain_lain/kecemasan-tinggimembuat-atlet-indonesia-gagal-raih-target-60b936.html). Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa faktor psikis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi bidang olahraga prestasi atlet dari cabang olahraga apapun. Begitu pula pada prestasi olahraga beladiri karate nomor kumite. Olahraga ini berkarakter Body Contact atau sentuhan kontak fisik langsung, tentunya sangat memerlukan keseimbangan emosional yang baik. PEMBAHASAN Olahraga Beladiri Seni beladiri memenuhi nilai-nilai di atas dan mendapat tempat khusus dalam perkembangannya hingga saat ini. Cabang olahraga beladiri yang paling populer di dunia hingga kini, Hal ini dimungkinkan karena dalam penampilan olahraga bela diri bersifat tegas, efisien, logis dan simpel. Tegas karena diatur dengan kode etik baku yang berlandaskan doktrin disiplin kuat yang membentuk semacam hierarki yang bersifat setengah militer (Abdul Wahid, 2007:1) Efesien karena meskipun terdiri atas banyak aliran, namun bahasa pengantar dan substansi pokok yang digunakan adalah seragam sehingga mempermudah standarisasi pemahamannya di bagian dunia mana pun. Logis karena dapat dikaji secara ilmiah dari berbagai sudut pandang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Simpel karena bersifat sangat sederhana dalam praktik latihannya, yaitu tidak mengenal adanya variasi alat pelengkap maupun ritual yang terlalu bertele-tele seperti mayoritas jenis beladiri berbasis tradisional lainnya (Abdul Wahid, 2007:2).

Lazimnya perkembangan sebuah kemajuan teknologi pada masa kini, dimana negara Eropa dan Amerika sudah lebih dulu mencapai perkembangan dibandingkan Indonesia yang notabene sesama pewaris budaya Timur. Pengaruh globalisasi yang dimulai pada era 1990-an bahwa informasi tentang olahraga bela diri dapat dengan mudah diakses oleh siapa pun lewat berbagai macam media yang tersedia. Buku, majalah, internet, video adalah yang paling umum kita ketahui di luar tempat kita berlatih formal. Pengertian Prestasi Prestasi bisa diartikan sebagai suatu kualitas yang dicapai melalui belajar atau berlatih (Sugiyanto, 1999:83). Poerwadarminta (1995) berpendapat bahwa, prestasi adalah hasil yang dicapai atau dilakukan, dikerjakan dan sebagainya. Olahraga prestasi menitikberatkan pada pencapaian prestasi dalam cabang olahraga yang ditekuni. Prestasi olahraga tidak dapat diperoleh dalam waktu yang singkat atau jalan pintas. Prestasi olahraga dihasilkan melalui program pembinaan dan pengembangan secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam meningkatkan prestasi olahraga bukan hal yang mudah, namun diperlukan pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan, sumber daya manusia dan sumber daya alam (Pesurnay, 2000: 180). Prestasi maksimal bukanlah hal mudah dicapai. Prestasi maksimal dapat dihasilkan melalui proses panjang. Latihan sejak dini atau usia muda merupakan salah satu proses mencapai prestasi maksimal. Karena usia muda dimungkinkan dapat dilakukan pembinaan dalam rentang waktu yang relatif panjang, dan sekaligus merupakan ajang pencarian bibit-bibit atlet berbakat yang merupakan salah satu syarat mutlak dalam pengembangan prestasi maksimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiyanto (1999: 12) bahwa, pembibitan adalah upaya yang diterapkan

untuk menjaring atlet berbakat dalam olahraga prestasi, yang diteliti secara terarah dan intensif melalui orang tua, guru dan pelatih pada salah satu cabang olahraga. Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Prestasi yang tinggi merupakan perwujudan dari bakat, proses latihan/ pembinaan dan lingkungan. Bakat merupakan penentu awal dari keberhasilan seorang atlet, karena bakat merupakan sumbangan yang besar bagi tercapainya suatu prestasi (M. Furqon H, 2002:3). Adanya bakat besar didukung dengan dengan proses pembinaan yang baik dengan pelatih yang profesional, maka untuk mencapai prestasi tinggi bukan hanya impian. Adanya bakat, proses pembinaan yang baik, adanya pelatih yang profesional dengan program latihan yang baik juga belum menjamin tercapainya prestasi. Faktor lain yang juga sangat penting adalah faktor lingkungan. Lingkungan yang pertama kali akan mempengaruhi prestasi awal anak adalah lingkungan keluarga dengan faktor sosialnya. Lingkungan lain yang juga mempengaruhi prestasi adalah lingkungan masyarakat, teman sebaya dan teman bermain. Lingkungan lain yang tidak kalah penting adalah lingkungan organisasi atau klub. Adanya perhatian dari klub tempat atlet berlatih sangat diperlukan dan dengan adanya pelatih yang profesional dan program latihan yang sistematis. Perhatian dari pihak yang terkait dengan cabang olahraga yang ditekuni, dalam hal ini adalah organisasi olahraga. Dukungan dari organisasi yaitu Klub, Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Besar hingga organisasi dunia sangat diperlukan oleh atlet sehingga prestasinya akan terus berkembang ( Sugiyanto, 1999: 21) Memang prestasi olahraga tidak dapat dipisahkan dengan sistem pembinaan, organisasi, sarana dan prasarana serta faktor lainnya yang menunjang pengembangan olahraga seperti

keadaan sosial-budaya, ekonomi dan politik. Selain hal-hal tersebut diatas, aspek mental dan kepribadian sebagai telaah psikologi juga menjadi perhatian utama, khususnya di negara-negara yang sudah maju prestasi olahraganya, sedangkan di Indonesia aspek ini masih kurang mendapat perhatian (Husdarta, 2010:18) Kalau mengamati lebih mendalam penampilan-penampilan para atlet, kita mudah melihat bahwa penampilan atlet sebenarnya meliputi berbagai aspek. Sebenarnya penampilan para atlet yang mencapai prestasi-prestasi tertentu merupakan hasil gabungan beberapa faktor. Pertama, faktor fisik, yakni berkaitan dengan kondisi fisik seperti struktur, postur dan daya tahan. Kedua adalah faktor teknik, faktor keterampilan dan kemampuan khusus yang berhubungan erat dengan bakat dan latar belakang konsitusioanal. Faktor yang berasal dari keturunan acapkali juga sulit dibina dan dikembangkan. Para pelatih sering menghadapi seorang atlet yang sebenarnya mempunyai postur tubuh yang ideal, namun pelatih itu mengalami kesulitan dalam menanamkan teknik-teknik yang dibutuhkan agar dapat berprestasi. Hal ini karena kurangnya atau terbatasnya bakat (dalam arti teknik, keterampilan khusus) yang dimiliki atlet (M. Furqon, 2002:3) Disamping kedua faktor diatas, masih ada faktor penting lain, yakni faktor yang berkaitan dengan struktur dan kepribadian atlet. Faktor ini kadang-kadang lupa diperhatikan, padahal sebenarnya pada cabang olahraga tertentu memegang peran penting bahkan acapkali sebagai faktor utama yang mempengaruhi prestasi yang diharapkan. Faktor ini bisa berfungsi sebagai penggerak atau pengarah pada penampilan atlet, terungkap dalam ucapan-ucapan seperti adu akal, taktik, motivasi, determinasi atau yang menghambat seperti, kecemasan, ketegangan dan tidak percaya diri (Husdarta, 2010:22)

Juara adalah hasil perpaduan antara atlet berbakat dan proses pembinaan yang benar selama proses berlatih. Artinya, untuk menjadi juara atlet harus harus mempunyai bakat yang baik dan juga didukung dengan proses pembinaan yang benar. Dalam kegiatan yang kompetitif, prestasi obtimal adalah tujuan utama yang ingin dicapai atau diperlihatkan oleh para atlet. Prestasi seseorang dibandingkan atau diadu dengan prestasi lawan-lawannya untuk ditentukan menang atau kalah. Prestasi yang diperlihatkan adalah pemunculan (aktualisasi) tiga faktor yang terpadu pada seorang atlet yaitu fisik, teknis dan psikis (Pesurnay 2000:172) Faktor psikologis perlu diperhatikan, meskipun seperti kedua faktor lain sulit ditentukan seberapa besar pengaruhnya terhadap prestasi yang hendak dicapai. Sering didengar ungkapan, bermain dengan otot saja tidak akan mencapai hasil yang baik (Intan Sunggih, 2001:1). Sebaliknya bermain dengan otak saja juga tidak ada gunanya. Faktor psikologis sering diungkapkan dengan sebutan faktor mental. Walaupun faktor mental ini penting sekali, namun agaknya sering dilupakan, khususnya pada penanganan dalam rangka pembinaan yang sistematis dan berjadwal. Pesurnay (2000:182) mengatakan bahwa prestasi ditentukan oleh tujuh faktor, dengan tujuh faktor ini maka olahragawan akan mencapai prestasi yang tinggi, ketujuh faktor itu adalah: 1) Keadaan teknis peralatan dan sarana dan prasarana olahraga Pengadaan peralatan olahraga berkualitas baik akan membantu atau mempermudah atlet dalam mencapai prestasi olahraga yang tinggi, karena tanpa didukung dengan peralatan latihan yang memadai prestasi tinggi akan sulit dicapai. 2) Keadaan atau situasi pertandingan

Dengan mengemas pertandingan dengan baik akan memotivasi untuk memenangkan pertandingan, suasana/ situasi pertandingan sebagai faktor positif dalam pembinaan olahraga mencapai prestasi tinggi. 3) Konsitusi tubuh olahragawan Banyak kemampuan yang dimiliki olahragawan adalah hasil latihan, hanya sedikit/ sebagian kecil yang dimiliki sebagai bawaan. Memiliki konsitusi tubuh yang ideal (memiliki jantung yang besar dan kuat serta memiliki serabut otot putih yang lebih banyak yang dibawa sejak lahir) akan mempermudah untuk berprestasi. 4) Keadaan fisik olahragawan Pengertian fisik yang dimaksud disini adalah empat kemampuan dasar manusia yang terdiri dari : 1) kelenturan/ kelentukan, dapat ditingkatkan melalui peregangan yang statis, peregangan pasif dan dengan metode PNF. 2) kekuatan, seperti halnya kecepatan dan daya tahan adalah suatu komponen dengan elemen-elemen kekuatan maksimal, kekuatan yang cepat dan daya tahan kekuatan. 3) kecepatan, kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan aksi, kecepatan reaksi dan kecepatan lokomotorik. 4) daya tahan, daya tahan yang dimaksud adalah daya tahan aerobik dan daya tahan anaerobik. Seorang pelatih harus mengetahui metode melatih fisik yang benar supaya prestasi tinggi dapat tercapai. 5) Teknik cabang olahraga Temuan-temuan baru harus disosialisasikan, sehingga atlet tidak tertinggal keterampilan tekniknya. 6) Taktik dan strategi

Dengan fisik yang baik, kualitas teknik bisa ditingkatkan, dengan fisik dan teknik yang baik, baru bisa mematangkan taktik dan strategi permainan sehingga prestasi yang tinggi akan lebih mudah dicapai. 7) Keadaan psikis atlet Faktor psikis merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai prestasi, maka psikis atlet harus diperhatikan dengan baik. David Mc Clelland (dalam Gunarsa 2009:137) mengatakan bahwa negara-negara yang perkonomiannya maju, masyarakatnya pada umumnya memiliki dorongan berprestasi yang tinggi, artinya sumber daya yang ada dapat dibina dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Small Graham dalam Anderson (2008) menyimpulkan, bahwa faktor-faktor sosial merupakan faktor kontribusi terbesar dan merupakan penunjang yang baik dalam pencapaian prestasi. Intan Sugih (2001:1) mengatakan, bahwa pikiran dan mental lebih penting dari pada kekuatan otot, hal ini membuktikan bahwa prestasi dalam bidang olahraga tidak hanya ditentukan oleh kekuatan otot, tetapi oleh otak dan mental. Kesiapan pikiran dan mental ternyata sangat bermanfaat untuk meraih perstasi. Wilk, S.R. et al., (1993) mengatakan bahwa berlatih yang keras tanpa kompromi dan tanpa menyerah adalah bagian pembentukan mental juara. Bertahan dalam kelelahan baik saat latihan fisik maupun latihan teknik akan mampu membangun mental yang tangguh. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa salah satu faktor tercapainya prestasi adalah usaha yang keras untuk menguasai pola gerak dominan yang dibutuhkan pada saat pertandingan.

Disamping adanya bakat dan pembinaan yang baik serta adanya faktor psikis yang baik, kesiapan pikiran juga sangat bermanfaat untuk pencapaian prestasi. Kecemasan Pengertian Kecemasan Nideffer (1992: 127) mengemukakan, kecemasan adalah perasaan dan pikiran yang berhubungan dengan keraguan dan kekhawatiran. Kata-kata yang mengandung arti kecemasan meliputi panik, khawatir, tegang, sesak nafas, gugup, gelisah, bingung, tertekan dan tergesa-gesa. Kecemasan merupakan emosi dasar manusia, disamping gembira, sedih dan marah. Dalam keadaan moderat, kecemasan diperlukan bagi penampilan individu untuk suatu tugas atau keperluan lain, karena disamping emosi dasar yang lain dalam keadaan moderat kecemasan dapat memacu individu dalam penampilannya. Kecemasan yang diperlukan individu dalam penampilan disebut kecemasan normal. Rukmi Kusningsih, dkk (1994: 43) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan istilah yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari, yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan sebagainya disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau menyertai berbagai kondisi/ situasi kehidupan, berbagai gangguan fisik atau mental. Pada umumnya kecemasan berhubungan dengan situasi yang mengancam dan membahayakan. Biasanya dengan berjalannya waktu, keadaan tersebut akan teratasi sendiri. Akan tetapi ada kecemasan yang berkepanjangan, bahkan tidak jelas kaitannya dengan suatu faktor penyebab atau pencetus tertentu. Hal tersebut pada umumnya sudah merupakan gangguan dibidang kejiwaan, yang dapat menyebabkan kendala dalam berbagai segi kemampuan dan fungsi sosial bagi yang bersangkutan.

Daradjat (1990: 27) mendefenisikan kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami frustasi dan konflik. Kecemasan mempunyai segi yang didasari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa bersalah atau berdosa, terancam dan sebagainya. Ada juga segi-segi yang terjadi diluar kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan yang tidak menyenangkan itu. Freud dan Corey (2009: 17) mengemukakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang memotivasi seseorang untuk berbuat sesuatu. Fungsinya adalah memperingatkan adanya ancaman bahaya. Apabila tidak dapat mengendalikan kecemasan dengan cara-cara yang rasional dan langsung, maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak realistis, yaitu tingkah laku yang beroriantasi pada pertahanan ego. Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan menurut Maslim Nasution (2001) yaitu kondisi dari individu itu sendiri seperti perasaan takut akan adanya penyakit (nosofobia) dan takut akan perubahan bentuk badan (dismorfofobia) yang tidak realistik. Davidoff. L (dalam Badariyah, 2001) mengatakan bahwa kecemasan merupakan emosi yang ditandai oleh perasaan akan bahaya yang diantisipasikan, termasuk ketegangan dan stress yang menghadang. Lebih lanjut dikatakan oleh Priset (dalam Gunarsa, 2009:142) bahwa kecemasan adalah istilah yang melukiskan perasaan was-was dan takut terhadap keadaan yang dialami sekarang atau yang akan datang, bisa juga merupakan panik tanpa adanya penyebab yang jelas.

Gunarsa (2009:40) mengemukakan bahwa kecemasan sebagai suatu ketegangan mental yang biasanya disertai dengan ganguan tubuh yang menyebakan individu yang bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa harus berada dalam keadaan waspada terhadap ancaman bahaya yang tidak jelas. Juga dikatakan bahwa pada batas waktu tertentu, seorang atlet wajar memiliki rasa khawatir akan kalah menghadapi lawannya, karena kekhawatiran ini justru dapat meningkatkan kewaspadaan atlet dalam menghadapi lawan. Atlet akan bertindak lebih berhati-hati tidak terburu-buru (tidak gegabah), dan bersikap waspada untuk mengantisipasi serangan lawan. Tetapi apabila atlet mengalami kekhawatiran secara berlebihan, ia dapat menjadi ekstra hati-hati, takut berbuat salah, tidak berani membuat keputusan dan terlalu bersifat menunggu. Kecemasan yang berlebihan pada atlet menimbulkan gangguan dalam perasaan yang tidak menyenangkan, sehingga kondisi psikologis atlet berada dalam keadaan tidak seimbang. Sehingga konsentrasi atlet untuk menghadapi lawan akan menjadi berkurang, berarti kinerja menurun, maka kecermatan juga akan menurun menyebabkan prestasi menurun. Menurut Sugiyanto (1999 :107) kecemasan merupakan reaksi normal pada situasi tertentu. Keadaan cemas ada hubungnnya dengan rasa takut atau keadaan tertekan. Rasa cemas bisa menurunkan efisiensi perseptual, tetapi pada tingkat yang rendah justru menimbulkan kesiagaan dimana organisme dapat membedakan stimulus lingkungan dengan lebih baik. Dalam menghadapi suatu pertandingan olahraga, keadaan cemas ini sering timbul. Bagi atlet yang sudah berpengalaman kecemasan yang timbul bisa dikontrol sehingga tidak mengganggu konsentrasi, tetapi bagi atlet yang belum berpengalaman, kecemasan yang timbul bisa berlebihan sehingga berakibat tidak baik terhadap penampilannya. Singer (dalam Gunarsa, 2004:73) mengatakan bahwa kemungkinan yang paling lazim pada atlet adalah terlalu tegang atau terlalu cemas sebelum pertandingan, dan tidak tahu apa yang

harus dilakukan mengenai hal itu. Singer mendefinisikan kecemasan adalah reaksi takut pada atau di dalam suatu situasi. Kecemasan adalah kecenderungan memahami situasi itu sebagai yang menakutkan dan menekan, kadang-kadang alasannya dapat dimengerti oleh atlet, tetapi kadang-kadang tidak. Bila kompetisi itu berarti bagi atlet, maka penampilannya dan hasil pertandingannya dinilai tinggi, meski dalam konteks tak pasti, satu tingkat kecemasan dipastikan ada. Meskipun beberapa atlet sangat tenang dalam pertandingan apa saja, adalah atlet yang luar biasa yang beruntung mempunyai kemampuan mengendalikan dan mengarahkan emosinya. Kadang-kadang atlet memberitahukan kecemasannya pada tingkat tertentu dan ini adalah normal, tetapi ada juga atlet yang tidak suka mengaku bahwa atlet tersebut takut, karena olahraga berhubungan erat dengan ketegangan mental. Jadi jelaslah bahwa kecemasan adalah sangat lazim di dalam olahraga, bahkan diantara atlet-atlet yang terbaik. Kecemasan adalah reaksi emosi terhadap suata kondisi yang dipersepsi mengancam seperti yang dikutip oleh Monty P (2000:95), juga dijelaskan bahwa didalam olahraga, kecemasan menggambarkan perasaan atlet bahwa sesuatu yang yang tidak dikehendaki akan terjadi. Hal yang tidak dikehendaki misalnya, atlet tampil buruk, lawannya dipandang sedemikian superior, atlet akan mengalami kekalahan, dan kekalahan menyebabkan atlet dicemooh oleh teman-teman atau penonton dan seterusnya sehingga membentuk kecemasan berantai. Menurut Spielberger seperti yang dikutip oleh Monty P (2000:96), kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu: 1) kecemasan bawaan (trait anxiety) dan 2) kecemasan sesaat (state anxiety). Kecemasan bawaan adalah faktor kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk mempersepsi suatu keadaan sebagai situasi yang mengandung ancaman, atau situasi yang mengancam. Kecemasan bawaan ini relatif menetap derajatnya dan merupakan kepribadian

seseorang yang mempengaruhinya dalam mempersepsi suatu keadaan tertentu. Kecemasan sesaat, berfluktuasi berubah-ubah dari suatu waktu ke waktu yang lainnya, yang sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi saat kini. Jadi, sekalipun seorang individu memiliki derajat kecemasan bawaan rendah, namun ia kini tengah bersiap-siap menghadapi seorang lawan, ia akan mengalami kecemasan sesaat lebih tinggi dari pada jika ia sedang menghadapi serangan lawan. Dalam kenyataannya kecemasan sesaat ini dipengaruhi kecemasan bawaan. Setyobroto (2009:99) mengatakan, bahwa hasil penelitian Olympic Games 1968 atlet yang motif berprestasinya tinggi tetapi disertai kecemasan tinggi, akan menunjukkan penampilan yang menurun, sedangkan atlet yang kecemasannya rendah dan motif berprestasi tinggi akan menunjukkan penampilan yang meningkat. Wirawan (1999) menyimpulkan hasil penelitian Warren dan Johnson pada tahun 1991, bahwa luapan emosi yang kuat sebelum pertandingan dalam bentuk rasa cemas bukan merupakan faktor utama pada sepakbola Amerika Serikat, tetapi ada indikasi yang kuat bahwa faktor tersebut merupakan sesuatu yang penting dan serius dalam gulat. Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut, maka dalam pembinaan aspek psikologis atlet karate sebagai olahraga individual kontak, seperti halnya dengan olahraga gulat sangat penting untuk memperhatikan aspek emosinya, terutama masalah kecemasan dalam menghadapi pertandingan. Berdasarkan teori-teori ditas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah proses emosi yang tidak spesifik dan merupakan reaksi sementara, yang dirasakan sebagai suatu ancaman atau sesuatu yang menakutkan meliputi interpretasi subjektif dan rangsangan fisiologis yang berdampak mengganggu kinerja atlet dan akan mempengaruhi prestasi atlet tersebut.

Kecemasan ada tiga tingkat yaitu, 1) tingkat kecamasan ringan/ rendah, 2) tingkat kecemasan sedang 3) tingkat kecemasan berat/ tinggi, setiap tingkat kecemasan akan berpengaruh terhadap penampilan yang berdampak pada prestasi atlet tersebut. Faktor-faktor dan Gejala Kecemasan Rukmi Kusningsih, dkk (1994:45) mengemukakan bahwa gejala-gejala kecemasan menunjukkan gejala somatik yang sangat bervariasi pada masing-masing individu yaitu: 1) Pada sistem urogenital : sering kencing atau sulit kencing. 2) Pada sistem kardiovasculer : tekanan darah tinggi, keringat dingin, palpitasi, sakit kepala, kaki tangan dingin. 3) Pada sistem gastrointestinal : diare, kembung, iritasi lambung dan colon, obstipasi. 4) Pada sistem respiratorik : kejang, nyeri, hiperventilasi, hidung tersumbat. 5) Pada sistem musculoskeletal : kejang, nyeri otot, keluhan mirip rematik, nyeri kepala. Agresivitas Pengertian Agresivitas Agresivitas berasal dari kata agresi yang diartikan sebagai perilaku melukai atau maksud seseorang untuk melukai, Sears (dalam Minarni, 2006:8). Pendapat ini sejalan dengan Berkowitz (1995) yang menyatakan bahwa agresi sebagai tingkah laku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun secara mental. Robert Baron (2005:7) menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku yaitu, tujuan

untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban, dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku. Cox (dalam Husdarta, 2010:76) mendefinisikan agresi sebagai serangkaian perilaku yang tujuannya untuk melukai orang lain. Agresi sebagai perilaku yang diarahkan terhadap sasaran mahluk hidup kemungkinan dapat memberikan stimulus yang berbahaya. Agresivitas dalam Olahraga Banyak olahraga memerlukan tingkah laku yang mungkin disebut agresif. Banyaknya perilaku agresif yang dapat diterima dan dibutuhkan sangatlah berbeda, tergantung dari tingkat pertandingan dan jenis olahraganya. Pada beberapa cabang olahraga pola laku agresif tertentu diperbolehkan. Suasana kompetisi olahraga kerapkali menjadi media potensial yang mendorong terjadinya perilaku agresif. Perilaku ini dalam kadar yang sesuai sangat perlu dimiliki oleh para pemain untuk dapat memenangkan pertandingan, misalnya dalam tinju, karate, sepak bola dll., tetapi jika berlebihan dan tidak dapat terkendali dapat menjurus pada tindakan-tidakan yang tidak diinginkan, berbahaya, mencederai lawan, melanggar peraturan, tidak fair play, bahkan dapat berakibat fatal. Tindakan agresif tidak sama peluangnya pada setiap cabang olahraga dan setiap atlet. Upaya untuk mendefinisikan agresif telah banyak dilakukan oleh para ahli. Sebagian dari defenisi tersebut dapat dirangkumkan bahwa agresivitas adalah beberapa bentuk atau serangkaian perilaku yang bertujuan untuk membahayakan dan mencederai orang lain, Dolard dan Sear, Baron (dalam Husdarta 2010;76). Defenisi agresif seperti itu sering digunakan interchangeably dengan istilah hostility pada satu sisi, padahal sebenarnya sangat berbeda dari segi maknawi dengan istilah asertif atau agresif sebagai tindakan yang sering muncul pada

praktik olahraga disisi yang lain, yang justru dibutuhkan untuk menampilkan keterampilan secara efektif dalam kompetisi olahraga, Freischlag & Schmedke (dalam Husdarta 2010;76) R.H.Cox (dalam Husdarta 2010:76) mengelompokkan tindakan agresif kedalam dua kategori yaitu : 1) Hostility Aggresion adalah tindakan agresif yang disertai permusuhan dan dilakukan dengan perasaan marah serta bermaksud melukai orang lain. 2) Instrumental aggresion adalah perilaku agresif yang dijadikan sebagai alat untuk memenangkan pertandingan, tanpa bermaksud melukai orang lain atau kawan bertanding. Lebih lanjut Cox (dalam Husdarta 2010:76) menyebutkan bahwa agresi instrumental bertujuan untuk memperoleh kemenangan, uang dan prestise. Cratty (dalam Husdarta 2010:84) telah menyatakan bahwa jumlah maupun jenis agresi yang diinginkan untuk penampilan yang optimal dapat ditempatkan pada suatu skala. Pada umumnya, pada tingkat pertandingan yang lebih tinggi perilaku agresif yang lebih ekstrim justru diperlukan dan dianggap wajar. Namun, dalam tahun-tahun terakhir ini, peningkatan perilaku agresif semakin jelas didorong secara aktif oleh para olahragawan muda dan kurang terampil. Zillman (dalam Russell R. Pate 1993:128) membagi perilaku agresif menjadi dua macam, disesuaikan dengan pengertian olahraga. Agresi dapat dipandang bermotivasi gangguan dan bermotivasi semangat. Perilaku agresif yang bermotivasi gangguan dilakukan sebagai tanggapan terhadap rangsangan yang merugikan. Perilaku agresif yang bermotivasi semangat dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam perilaku yang bermotivasi semangat, tujuan merupakan kepentingan utama sedangkan cidera yang terjadi selama mencapai tujuan tersebut adalah suatu kebetulan. Dalam tingakah laku agresif yang bermotivasi gangguan, tujuannya adalah untuk mencelakakan orang lain. Tampaknya perilaku yang bermotivasi semangat

kemungkinan menjadi jenis agresi yang efektif dan yang diperlukan dalam olahraga dimana intimidasi kadang-kadang dapat memainkan peran penting dalam keberhasilan. Perilaku agresif dapat ditingkatkan apabila mempercepat mencapai tujuan. Dalam olahraga, agresi yang bermotivasi semangat itu sangat penting dan menyebabkan peningkatan perilaku agresif apabila tujuannya sangat jelas dan dianggap penting Buss dan Duquette (dalam Russel R. Pate 1993:130). Tentang tingkah laku agresif atlet bisa disimpulkan bahwa agresivitas itu tidak sama peluangnya pada setiap cabang olahraga dan setiap atlet. Tingkah laku agresif erat kaitannya dengan sifat olahraganya, sifat olahraga bisa dibagi tiga yaitu, 1) olahraga dengan adu kekuatan, pada olahraga ini tingkah laku agresif tertentu merupakan bagian cabang olahraga tersebut, misalnya olahraga tinju. 2) olahraga dengan sentuhan kontak, pada olahraga ini dimana sentuhan badan, kontak bagian tubuh diperbolehkan dalam batas-batas tertentu, sehingga tingkah laku agresif yang ringan masih bisa ditoleransi. Pada cabang olahraga kontak, gerakan dan sentuhan yang secara sadar ataupun tidak dapat menggangu permainan lawan. Olahraga ini memberi peluang lebih besar akan timbulnya tingkah laku agresif, misalnya pada olahraga bola basket. 3) olahraga tanpa sentuhan kontak, pada cabang olahraga ini hampir tidak ada kesempatan untuk bersentuhan kontak dengan atlet lainnya, maka tidak ada peluang bagi tingkah laku agresif misalnya pada olahraga bola voli. Simpulan Ada hubungan langsung dan tidak langsung antara tingkat kecemasan terhadap prestasi olahraga beladiri melalui tingkat agresivitas bersifat negatif. Semakin tinggi kecemasan atlet semakin rendah agresivitasnya dan selanjutnya semakin rendah pula prestasinya.

Saran Kepada pelatih olahraga beladiri untuk meningkatkan pencapaian prestasi yang maksimal diharapkan di dalam melatih dan membina atlet yang merupakan tugas utamanya, tidak hanya melatih fisik, tehnik dan taktik, namun juga lebih memperhatikan faktor psikologis atlet yang berkaitan dengan kecemasan dan agresivitas. Sebab betapapun sempurnanya perkembangan fisik, tehnik, dan taktik atlet, apabila mentalnya tidak turut berkembang prestasi tinggi tidak akan mungkin dicapai. Karena mental berfungsi sebagai penggerak, pendorong dan pemantap bagi atlet untuk kemampuan fisik dan teknik dalam mencapai prestasi prima. Atlet sebaiknya sering berkonsultasi dengan para pelatihnya bila menghadapi masalah yang bisa menimbulkan kecemasan. Atlet harus berusaha menekan kecemasan serendah mungkin dengan mengedepankan nalar dan mengenyampingkan emosi. Atlet harus belajar menggambarkan pengalaman-pengalaman pada waktu mengalami kecemasan sehingga atlet yang bersangkutan lebih memahami gejala kecemasan dan sebab akibat yang dialaminya. atlet karena perilaku agresif berperan penting dalam keberhasilan suatu pertandingan, maka atlet harus memahami bagaimana cara mengembangkan dan meningkatkan perilaku agresif, menjaga dorongan agresif agar tetap terkendali supaya tidak menimbulkan permusuhan dan mengendalikan perilaku agresif sesuai dengan tuntutan pertandingan. DAFTAR PUSTAKA Badariyah, R. 2001. Kemampuan Berafiliasi Remaja Ditinjau Dari Kecemasan dan Tipe kepribadian. Skripsi. Surakarta. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Bahri, Syaiful.1994. Kecendrungan Agresi siswa SMA Ditelaah Dari Iklim Kehidupan Keluarga dan Sekolah. Bandung: Tesis. PPS IKIP.

Daradjat, Z. 1990. Kesehatan Mental. Jakarta: PT Temprint. Furqon, M. 2002. Pembinaan Olahraga Usia Dini. Surakarta: UNS Press Gunarsa,.D. Singgih, dkk., 1996. Psikologi Olahraga ; Teory dan Praktik. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia. Husdarta, H.J.S. 2010. Psikologi Olahraga. Penerbit Alfabeta Bandung http://kushinryu.wordpress.com, download tgl 9 Nopember 10 jam 09.15 http://www.bola.net/olahraga_lain_lain/kecemasan-tinggi-membuat-atlet-indonesia-gagal-raihtarget-60b936.html, download tgl 15 Nopember 10 jam 10.00 http://www.antara,co.id. download tgl 11 Desember 10 jam 15.00 Intan Sugih. 2001. Pikiran Sehat Meningkatkan Daya Tahan Tubuh. (http:www.satulelaki.com/tren/bugar/0,14141,00.html: 2 Agustus 2009). Isom. D. Margaret. 1998. The Social Learning Theory. Journal Of Psychologi November 30. 1998. Koeswara, E. 1998. agresi Manusia. Bandung: PT. Eresco. Kurniastuti, Y. 2004. Kecemasan Dengan Perilaku Coping Menghadapi Kelahiran Pada Wanita Hamil. Skripsi. Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Taman siswa. Monty P. Satiadarma. 2000. Dasar-dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Minarni. 2006. Hubungan Antara Kecemasan Dengan Agresivitas Pada Remaja di SMA Negeri Pangkajene Sidenreng Rappang. Sikripsi. Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawijawa Taman Siswa. Mulyana. 2004. Kecenderungan Perilaku Agresif Atlet Pencak Silat. Tesis. PPS UPI Bandung. Nasution. M. 1990. Study Tentang Pengaruh Asertivitas Terhadap Agresivitas Pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Medan. Skripsi Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Pesurnay, Paulus. 2000. Reposisi Dan Reaktualisasi Sistem Keolahragaan Menuju Indonesia Baru. Jawa Timur : Panitia Seminar Ilmiah PON XV. Priset. 1994. Bagaimana Cara Mencegah Dan Mengatasi Stres Dan Depresi (ed). Jakarta: Dahara Prize. Pate, Russell R.;Clanaghan, Bruce Mc & Rotella, Robert. 1993. Dasar-dasar Ilmu Kepelatihan, Semarang Press.

Rukmi Kusningsih. 1994. Hubungan Stresor Psikososial Dan Bantuan Sosial Dengan Anxieates Pada Remaja Pelajar 2 SLTA di Yogyakarta (dalam Jiwa Majalah Psikiatri) Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Darmawangsa. Sudiyanto, A. 2003. Pengalaman Klinik Penatalaksanaan Non Farmakologik Gangguan Anxietas, PIDT PDSKJI. Jakarta 5-8 juli 2003. Sudradjat, N.W. 1995. Kecemasan Bertanding Serta Motif Keberhasilan Dan Keterkaitannya Dengan Prestasi Olahraga Perorangan Dalam Pertandingan Untuk Kejuaraan. Jurnal Psikologi Indonesia, No. 1, 7-13 Sukadiyanto. 2006. Perbedaan Reaksi Emosional antara Olahragawan Body Contact dan Non Body Contact. Jurnal Psikologi Volume 33, No. 1, 50-62. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Wahid Abdul. 2007. Shotokan: Sebuah Tinjauan Alternatif Terhadap Aliran Karate-Do Terbesar di Dunia. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. Wilk, S.R. et al., 1993.The Physics of Karate. American Journal of Physics 51, 783-790 Wirawan, Y.G. 1999. Rasa Percaya Diri, Motivasi, dan Kecemasan dalam Olah Raga Bulu Tangkis. Jurnal Psikologika Nomer 8 Tahun IV 1999, 5-14.