ANALISIS KUANTITATIF RISIKO PENYEBARAN RABIES DARI BALI. (Quantitative risk analysis of rabies spreading from Bali province)

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL.

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SURVEILANS DAN MONITORING AGEN PENYAKIT RABIES PADA ANJING DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

Ekologi dan Demografi Anjing di Kecamatan Denpasar Timur

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA

ISSN situasi. diindonesia

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

Indonesia Medicus Veterinus Juni (3):

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

OSIR, June 2013, Volume 6, Issue 2, p. 8-12

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXIII, No.78, Juni 2011 ISSN: X

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali)

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXIV, No. 80, Juni 2012 ISSN: X

DISTRIBUSI KASUS GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DAN KASUS RABIES DI KABUPATEN NGADA, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RIWAYAT HIDUP. anak pertama dari pasangan drh Nyoman Reli dan Ibu Meigy S Pantouw. Penulis

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

Indonesia Medicus Veterinus Maret (2):

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

PROGRAM INOVASI RS INDERA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

ANALISIS SPASIAL DAN FAKTOR RISIKO KASUS RABIES DI PROVINSI BALI

PARTISIPASI PEMILIK HPR TERHADAP PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI DESA ABIANSEMAL DAN DESA BONGKASA PERTIWI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG

Cakupan Vaksinasi Anti Rabies pada Anjing dan Profil Pemilik Anjing Di Daerah Kecamatan Baturiti, Tabanan

SURVEILANS DAN MONITORING SEROLOGI SE DI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. jenis hewan, ikan, dan tumbuhan yang perlu dijaga serta dilindungi

WASPADA, ADA PMK DI DEPAN MATA Perlunya Analisa Risiko

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

Peran FAO sebagai Badan Internasional dalam Mendukung Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies di Indonesia (Bali dan Flores)

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah VIII Tahun

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXIII, No.78, Juni 2011 ISSN: X

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1

REPLIKASI isikhnas DAN SISTEM INFORMASI LABORATORIUM (INFOLAB) TERINTEGRASI isikhnas DI WILAYAH KERJA BALAI BESAR VETERINER DENPASAR

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

Perhatian Pemilik Anjing Dalam Mendukung Bali Bebas Rabies

KORELASI RABIES PADA ANJING DENGAN RABIES PADA MANUSIA DAN PENYEBARANNYA DI KABUPATEN TABANAN TAHUN SKRIPSI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PENETAPAN UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ABSTRAK ABSTRACT. Blank (11pt) Blank (11pt) Blank (11pt) Blank (11pt)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

Persebaran Wilayah Tertular Rabies dan Hubungan Kejadiannya pada Anjing dan Manusia di Kabupaten Jembrana, Bali Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 65 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 113 TAHUN 2011 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Waktu survival (survival time) merupakan salah satu penelitian yang digunakan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DISTRIBUSI RABIES DI BALI : SEBUAH ANALISA BERDASARKAN HASIL PENGUJIAN LABORATORIUM

BAB 1 PENDAHULUAN. endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high burden countries,

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini membahas mengenai implementasi pelayanan kesehatan

Penyebaran Penyakit Rabies pada Hewan Secara Spasial di Bali pada Tahun

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

ANALISIS KUANTITATIF RISIKO PENYEBARAN RABIES DARI BALI (Quantitative risk analysis of rabies spreading from Bali province) I Nyoman Dibia, Ketut Diarmita, Ni Luh Dartini, Ni Made Arsani Balai Besar Veteriner Denpasar ABSTRAK Siklus penularan rabies pada hewan di Bali terus berlangsung hingga saat ini. Walaupun transportasi HPR seperti anjing, kucing, monyet secara ilegal yang keluar dari Bali telah dilarang, namun indikasi peristiwa penyelundupan HPR yang dilakukan oleh masyarakat masih terjadi. Kondisi tersebut akan berdampak terhadap kemungkinan penyebaran rabies ke daerah / pulau lain yang berstatus bebas. Dalam makalah ini dikaji secara kuantitatif risiko menyebarnya rabies dari Bali melalui transportasi anjing secara ilegal. Hasil analisis menunjukkan bahwa risiko lolosnya anjing tertular rabies dari Bali pada tahun 2008 yakni sebesar 0,27 per seribu anjing yang diselundupkan secara ilegal, kemudian meningkat pada tahun 2009 sebesar 2,64 dan mengalami puncaknya pada tahun 2010 yaitu 14,76. Sejak tahun 2011 hingga 2013 risiko tersebut cenderung menurun, namun masih tinggi yakni secara berturut turut sebesar 4,30 (2011), 5,52 (2012) dan 1,78 pada tahun 2013. Hal ini menegaskan bahwa perlu pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas HPR (khususnya anjing) antar pulau. Kata kunci: Rabies, Bali, risiko penyebaran. ABSTRACT Until now, rabies spreading cycle toward animals in Bali keep on going on. Although, transmitter animal transportation especially dogs, cats, and monkey out from Bali has been illegally banned, but this smuggling still takes place. This condition will have impact for possibility of rabies spreading to other free status area / island. In this paper, it is described quantitative analysis of rabies spreading through illegal dogs transportation. The result shows that risk of getting through for rabid dogs from Bali in 2008 is 0.27 per thousand of dogs to be illegally smuggled, after that increases 2.64 in 2009 and its peak in 2010 is 17.76. From 2011 to 2013, this risk tends to decrease, they are, however, still high 4.30 (2011), 5.52 (2012), and 1.78 (2013), respectively. This asserts that it is necessary to have tight supervision toward interisland transmitter animals traffic (especially dogs). Keywords : Rabies, Bali, risk spreading. PENDAHULUAN Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat karena hampir selalu berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies, genus Lyssavirus dari keluarga Rhabdoviridae (Muleya et al., 2012). Kasus rabies / lyssa telah dikenal lama oleh masyarakat dan telah tersebar luas di beberapa negara di dunia. Kematian manusia akibat rabies di Afrika dan Asia diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun (Knobel et al., 2005). Keberadaan rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Provinsi Jawa Barat pada tahun 1884. Sampai saat ini, rabies di Indonesia masih menimbulkan

masalah utama dari aspek kesehatan masyarakat dengan kematian yang dilaporkan rata-rata 125 orang per tahun (Sedyaningsih, 2011). Oleh karena itu, rabies dikelompokkan ke dalam penyakit hewan strategis dan mendapat prioritas dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasannya. Wabah rabies dalam dua dekade belakangan ini memiliki kecendrungan semakin cepat menyebar ke pulau/wilayah lain yang sebelumnya berstatus bebas seperti ke Pulau Flores (1997), Provinsi Maluku (2003), Provinsi Maluku Utara (2005), Provinsi Kalimantan Barat (2005), Provinsi Bali (2008), dan Pulau Nias (2010). Situasi ini terkait dengan keadaan setempat yang menyangkut pola pemeliharaan anjing, pemahamam, partisipasi, dan perilaku masyarakat. Kebiasaan masyarakat membawa anjing antar pulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah terbukti berperan dalam penyebaran penyakit ini (Dibia dan Amintorogo, 1998; Akoso, 2007; Putra dkk., 2009). Provinsi Bali secara historis dikenal sebagai kawasan yang bebas rabies. Kasus rabies di Bali hasil konfirmasi laboratorium pertama kali dilaporkan terjadi di Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung pada November 2008. Rabies dalam kurun waktu 19 bulan sejak dilaporkan secara resmi, menyebar ke seluruh kabupaten dan kota di Bali sampai ke Pulau Nusa Penida. Sejak Bali dinyatakan tertular, upaya-upaya pemberantasan rabies pada hewan telah dilakukan oleh pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat dengan mengimplementasikan prosedur Kesiagaan Darurat Veteriner Rabies Indonesia (Kiatvetindo Rabies). Prinsip utama dalam memutus mata rantai penularan rabies adalah dengan melaksanakan program pengendalian dan pemberantasan secara massal, serentak dan terintegrasi. Program yang dilaksanakan tersebut adalah vaksinasi, eliminasi selektif, surveilans, pengawasan lalu lintas HPR, dan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat. Teknis pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan rabies secara operasional di lapangan menggunakan pendekatan sistem pengendalian wabah (Incident Control System) (Putra dkk., 2008). Selama 4 tahun program pemberantasan, upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini dapat dibuktikan dari kasus rabies pada hewan di Bali sampai saat ini tetap ada setiap bulan. Bahkan, Dibia dkk. (2013) menyatakan status bebas rabies untuk Provinsi Bali belum dapat dicapai hingga 2015. Data epidemiologi sampai dengan Desember 2012 menunjukkan bahwa dari 5.304 sampel otak hewan yang dikonfirmasi di Balai Besar Veteriner Denpasar, 672 diantaranya positif rabies (Supartika dkk., 2013). Hewan yang ditemukan tertular rabies dan telah dikonfirmasi secara laboratorium adalah anjing, kucing, babi, kambing, dan sapi. Diantara hewan yang bertindak sebagai reservoir, anjing merupakan sumber utama penularan rabies. Putra (2012) melaporkan bahwa sampai dengan November 2012, kasus rabies ditemukan di 315 desa dari 723 desa di Bali dengan korban

meninggal terkait gigitan anjing dan diduga kuat akibat rabies adalah 145 orang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran rabies sangat luas dan siklus penularan rabies terus terjadi, dan secara perlahan menyebar ke seluruh Bali. Kondisi tersebut tentu akan berdampak terhadap kemungkinan penyebaran rabies dari Bali dan sangat mengancam daerah / pulau lain terutama pulau-pulau disekitarnya yang masih berstatus bebas seperti pulau Lombok di Provinsi NTB. Kekhawatiran ini sangatlah beralasan mengingat lalu lintas manusia antara Bali dan Lombok sangat tinggi. Patut diakui bahwa tertularnya suatu pulau yang sebelumnya berstatus bebas rabies adalah akibat dari masuknya HPR yang terinfeksi (dalam masa inkubasi) ke pulau tersebut. Oleh karenanya, perlu diupayakan suatu model kajian untuk mengetahui besarnya risiko lolosnya anjing tertular rabies yang diselundupkan secara ilegal dari Bali. Dalam makalah ini dianalisis secara kuantitatif risiko menyebarnya rabies dari Bali melalui transportasi anjing secara ilegal. Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi ilmiah mengenai epidemiologi rabies dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dan langkah-langkah pencegahan masuknya rabies dari Bali ke daerah / pulau yang masih berstatus bebas. MATERI DAN METODE Data yang dianalisis dalam kajian ini adalah data yang bersumber dari Balai Besar Veteriner Denpasar, Dinas Peternakan Provinsi Bali dan Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar. Sumber data dari Balai Besar Veteriner Denpasar adalah kasus positif rabies pada hewan yang telah dikonfirmasi secara laboratorium dengan metode pewarnaan Sellers dan atau metode Fluorescent Antibody Test (FAT). Data estimasi populasi anjing bersumber dari Dinas Peternakan Provinsi Bali, sedangkan data HPR yang digagalkan keluar dari Bali bersumber dari Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar. Jumlah rabies pada tingkat lapangan yang paling mungkin (most likely) dikalkulasi menggunakan model probabilitas insiden rabies di Bali menurut Townsend et al. (2013). Pada kajian ini definisi insiden adalah jumlah kasus rabies pada populasi dalam rentangan waktu tertentu. Untuk memprediksi besarnya risiko penularan rabies keluar dari Bali melalui lalu lintas anjing secara ilegal dihitung menggunakan metode yang dikembangkan oleh MacDiarmind and Corrin (1999). HASIL Estimasi populasi anjing yang tercatat pada Dinas Peternakan Provinsi Bali sejak wabah rabies tahun 2008 sampai puncak epidemik tahun 2010 mengalami penurunan, sementara sejak tahun 2011 sampai tahun 2013, populasi anjing menunjukkan peningkatan kembali seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi populasi anjing di Bali, tahun 2008 2013 Estimasi populasi anjing No Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Jembrana 30.863 23.360 37.316 25.747 29.794 33.000 2 Tabanan 51.778 39.610 33.284 33.284 38.000 42.000 3 Badung 58.919 59.129 72.138 50.471 55.000 44.777 4 Gianyar 48.837 58.203 58.203 46.548 40.000 39.942 5 Klungkung 21.927 21.829 8.050 4.890 5.000 5.700 6 Bangli 26.562 40.322 40.775 24.781 49.478 49.602 7 Karangasem 47.218 43.325 53.564 35.775 29.690 31.192 8 Buleleng 80.409 97.747 48.946 33.561 45.000 55.000 9 Denpasar 57.160 38.000 55.327 46.986 42.246 51.000 Jumlah 423.673 421.525 407.603 302.043 312.899 352.213 Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Bali Kejadian kasus rabies pada hewan di Bali periode Januari 2010 sampai Desember 2013 sangat berfluktuasi. Pada tahun 2010, kasus rabies menunjukkan puncak epidemi dengan jumlah rata-rata kasus per bulan adalah 35,1 kasus. Selanjutnya pada tahun 2011 terjadi penurunan kasus yang sangat tajam dengan jumlah rata-rata kasus per bulan adalah 7,5 kasus. Namun demikian, selama tahun 2012 kasus rabies meningkat dari tahun 2011 dengan jumlah rata-rata kasus per bulan adalah 10,1 kasus. Sementara rata-rata kasus rabies per bulan pada tahun 2013 adalah 3,7 kasus, disajikan pada Tabel 2. Data jumlah kasus rabies pada hewan yang sebenarnya terjadi di Bali tidak diketahui dengan pasti, namun dengan pendekatan modeling seperti yang dilaporkan oleh Townsend et al., 2013), probabilitas deteksi insiden rabies di Bali adalah sebesar 0,07. Berdasarkan model tersebut, kasus rabies pada anjing dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Kasus rabies pada anjing di Bali yang dikonfirmasi laboratorium, tahun 2008-2013 No Kabupaten/Kota Kasus rabies pada anjing 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Jembrana 0 0 21 24 37 7 2 Tabanan 0 7 18 6 1 0 3 Badung 7 25 34 7 11 2 4 Gianyar 0 13 106 23 10 6 5 Klungkung 0 0 30 8 4 1 6 Bangli 0 1 52 9 37 13 7 Karangasem 0 11 59 2 8 8 8 Buleleng 0 10 59 7 10 7 9 Denpasar 1 11 42 5 3 0 Jumlah 8 78 421 91 121 44 Sumber : Balai Besar Veteriner Denpasar. No Tabel 3. Estimasi jumlah kasus rabies yang layak Bali, tahun 2008-2013 Kabupaten/Kota 1 Jembrana 2 Tabanan 3 Badung 4 Gianyar 5 Klungkung 6 Bangli 7 Karangasem 8 Buleleng 9 Denpasar Jumlah Estimasi jumlah kasus rabies yang layak * 2008 2009 2010 2011 2012 2013 0 0 300 343 529 100 0 100 257 86 14 0 100 357 486 100 157 29 0 186 1514 329 143 86 0 0 429 114 57 14 0 14 743 129 529 186 0 157 843 29 114 114 0 143 843 100 143 100 14 157 600 71 43 0 114 1114 6014 1300 1729 629 * Insiden / jumlah kasus rabies yang layak dihitung menurut Townsend et al. (2013)

Risiko lolosnya anjing tertular rabies dari Bali pada tahun 2008 yakni sebesar 0,27 per seribu anjing yang diselundupkan secara ilegal, kemudian meningkat pada tahun 2009 sebesar 2,64 dan mengalami puncaknya pada tahun 2010 yaitu 14,76. Sejak tahun 2011 hingga 2013 risiko tersebut cenderung menurun, namun masih tinggi yakni secara berturut-turut sebesar 4,30 (2011), 5,52 (2012) dan 1,78 pada tahun 2013. Hasil analisis risiko lolosnya anjing tertular disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Risiko lolosnya anjing tertular per seribu-anjing ilegal yang keluar dari Bali No Kabupaten/Kota Risiko lolosnya anjing tertular per seribu* 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Jembrana 0.00 0.00 8.04 13.32 17.74 3.03 2 Tabanan 0.00 2.52 7.73 2.58 0.38 0.00 3 Badung 1.70 6.04 6.73 1.98 2.86 0.64 4 Gianyar 0.00 3.19 26.02 7.06 3.57 2.15 5 Klungkung 0.00 0.00 53.24 23.37 11.43 2.51 6 Bangli 0.00 0.35 18.22 5.19 10.68 3.74 7 Karangasem 0.00 3.63 15.74 0.80 3.85 3.66 8 Buleleng 0.00 1.46 17.22 2.98 3.17 1.82 9 Denpasar 0.25 4.14 10.84 1.52 1.01 0.00 Jumlah 0.27 2.64 14.76 4.30 5.52 1.78 * Risiko disimulasikan berdasarkan MacDiarmid and Corrin (1999)

PEMBAHASAN Pencegahan penyakit dalam arti luas merupakan tindakan penolakan suatu penyakit eksotik yakni penyakit yang belum pernah ada sebelumnya masuk ke suatu wilayah yang bebas dari penyakit tersebut. Dalam konteks ini, pengawasan lalu lintas HPR merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam tindak pencegahan rabies. Memahami tingginya pergerakan dan risiko penyebaran penyakit merupakan hal yang fundamental dalam menjelaskan aspek epidemiologi dari penyakit tersebut (Fevre et al., 2006). Ancaman yang paling memungkinkan untuk masuknya rabies ke pulau bebas adalah melalui masuknya hewan tertular yang sedang dalam masa inkubasi secara ilegal. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan semakin lancarnya arus lalu lintas HPR yang ke luar dari Bali maka risiko menyebarnya rabies ke daerah / pulau lain semakin meningkat. Tinggi rendahnya risiko masuknya rabies ke pulau pulau yang masih bebas dapat diprediksi secara kuantitatif berdasarkan tingkat insiden rabies di daerah asal hewan penular rabies tersebut diselundupkan. Risiko karena terjadinya lewat pemasukan hewan penular rabies secara ilegal, dapat dihitung dengan model simulasi Monte Carlo (MacDiarmid and Corrin, 1999). Hasil analisis menunjukkan bahwa risiko lolosnya anjing tertular rabies per seribu anjing yang keluar dari Bali secara ilegal pada tahun 2008 adalah sebesar 0,27 per seribu anjing yang diselundupkan, kemudian meningkat pada tahun 2009 sebesar 2,64 dan mengalami puncaknya pada tahun 2010 yakni 14,76. Sejak tahun 2011 hingga 2013 risiko tersebut cenderung menurun, namun relatif masih tinggi yakni secara berturut turut sebesar 4,30 (2011), 5,52 (2012) dan 1,78 pada tahun 2013. Dengan nilai risiko 14,76 pada tahun 2010 misalnya, memberikan potensi risiko penyebaran rabies pada tahun tersebut sebesar 15 ekor anjing tertular (dalam masa inkubasi) per seribu anjing yang ditransportasikan ke luar dari Bali dan selanjutnya menularkan rabies di tempat yang baru. Meskipun masa inkubasi rabies bervariasi, namun umumnya dampak dari perpindahan anjing yang tertular ini akan dapat diamati sekitar 2-3 bulan kemudian. Dalam ordonansi 1926 No. 451 dan 452, yang lebih dikenal dengan sebutan ordonansi rabies dengan tegas melarang pemasukkan anjing, kucing, monyet dan sebangsanya ke daerah tertentu di Indonesia untuk mencegah penularan. Filosofi yang terkandung dalam ordonansi rabies tersebut adalah melokalisir keberadaan rabies dalam suatu pulau / area tertentu dengan memanfaatkan potensi geografis yaitu laut sebagai barrier alami. Ironisnya, rabies di Indonesia memiliki kecenderungan yang semakin menyebar ke pulau / daerah yang sebelumnya berstatus bebas secara historis. Penyebab utama penyebaran tersebut karena intervensi manusia yaitu memindahkan hewan penular rabies dari daerah tertular ke daerah bebas. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya rabies masih rendah yang diindikasikan oleh belum diperhatikannya larangan pengaturan lalu lintas HPR yang berpotensi menyebarkan rabies hingga mampu menerobos system perkarantinaan yang ada saat ini, terutama melalui jalur pelabuhan penyeberangan (ASDP) dan jalur pelabuhan tradisional. Menurut Idris (2010), ada kebiasaan nelayan tradisional membawa anjing untuk keselamatan pada pelayaran tradisional, sehingga nelayan-nelayan tersebut sering melalu-lintaskan anjing-anjing dalam pelayarannya. Mengingat masa inkubasi rabies pada anjing cukup lama bisa beberapa minggu sampai beberapa bulan, sehingga

kemungkinkan anjing yang dilalu lintaskan tersebut telah terinfeksi rabies (dalam masa inkubasi) dapat dibawa masuk ke Bali tanpa menunjukkan gejala klinis. Disamping itu, pada pelabuhan-pelabuhan tradisional tersebut tidak ada petugas dari karantina hewan. Anjing-anjing nelayan tersebut dapat dengan mudah dibawa ke darat tanpa pengawasan petugas karantina sehingga anjing-anjing tersebut dapat saja berinteraksi dengan anjing-anjing lokal. Kondisi tersebut memiliki potensi risiko dalam penyebaran rabies. Secara epidemiologi, hanya dibutuhkan satu ekor anjing penderita rabies yang masuk ke daerah baru sudah cukup untuk menimbulkan wabah. Beberapa peneliti sebelumnya melaporkan bahwa masuknya rabies ke suatu wilayah adalah hasil dari pergerakan hewan-hewan peka rabies akibat intervensi manusia (Bourhy et al., 2005; Servas et al., 2005; Windiyaningsih et al, 2004; Dibia, 2007; Susetya et al., 2008; Susilawathi et al., 2012). Secara epidemiologi, hanya dibutuhkan satu ekor anjing penderita rabies yang masuk ke suatu daerah yang berstatus bebas sudah cukup untuk menimbulkan wabah. Sebagai pulau yang pada awalnya berstatus bebas rabies, dengan densitas populasi anjing yang tinggi dan tanpa vaksinasi rabies serta berkeliaran di jalan jalan, maka sekali kasus rabies masuk maka wabah rabies yang terjadi dapat dipastikan akan berlangsung cukup dahsyat. Berdasarkan nilai intensitas gigitan pada manusia dalam rasio orang : anjing yang terjadi pada puncak epidemik kasus dapat mencerminkan kedahsyatan berlangsungnya wabah di suatu daerah. Hasil kajian epidemiologi pada masing-masing puncak epidemik wabah menunjukkan bahwa rabies di Bali berjalan lebih dahsyat dibandingkan wabah yang terjadi di Pulau Flores (Dibia, data tidak dipublikasi). Penanganan rabies di Bali yang tidak tuntas akan cenderung memberi peluang penyakit menjadi endemik. Kondisi ini menyebabkan pulau-pulau lainnya di sekitar Bali yang masih berstatus bebas rabies memiliki risiko yang tinggi dari ancaman masuknya rabies. Keadaan yang cukup mengkhawatirkan adalah menyebarnya rabies dari Bali ke daerah / pulau yang masih bebas, terutama Pulau Lombok NTB. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan satu satunya provinsi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar yang masih dinyatakan bebas rabies. Lemahnya system pengawasan transportasi HPR terutama di pelabuhan pelni dan ASDP serta pelabuhan tidak resmi (tradisional) yang keberadaannya cukup banyak merupakan tantangan yang cukup berat untuk tetap mempertahankan NTB bebas rabies. Oleh karena itu, survailans rabies yang efektif pada titik-titik yang rawan penyelundupan sangat penting dilakukan. Pencegahan masuknya virus rabies ke daerah / pulau yang masih bebas harus terus diupayakan. Mengingat kompleksitas permasalahan penanganan rabies yang berkaitan dengan sosial budaya dan kebiasaan masyarakat, merupakan cerminan beratnya tantangan dalam membebaskan kembali suatu daerah dari rabies seperti kejadian wabah di Bali, maka peraturan perundang-undangan seperti filosofi yang terkandung dalam ordonansi rabies tersebut masih sangat relevan untuk diterapkan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Masuknya rabies ke pulau Bali pada November 2008 mengingatkan kembali bahwa betapa pentingnya melakukan tindak pencegahan/penolakan penyakit (disease prevention) yang berbasis pulau dengan laut sebagai barrier alami, dibandingkan dengan memberantas penyakit (disease eradication) yang memerlukan pemikiran yang

holistik, waktu yang relative panjang dan kontinyuitas dana yang memadai. Dikawasan bebas rabies harus selalu waspada kemungkinan masuknya penyakit melalui lalu lintas hewan penular rabies yang tidak terawasi. Lalu lintas hewan HPR yang tidak terawasi ini merupakan faktor risiko utama penularan rabies ke daerah yang masih bebas. Kondisi tersebut menegaskan, masyarakat di kawasan entri point wajib mendapatkan sosialisasi / edukasi tentang rabies dan bahayanya terhadap kesehatan, sehingga timbul kewaspadaan dan kepekaan untuk turut menjaga kemungkinan terburuk, sehingga dapat membantu mencegah meluasnya penyakit ke daerah yang masih bebas rabies. KESIMPULAN Potensi risiko penyebaran rabies melalui transportasi anjing yang keluar dari Bali masih cukup tinggi yaitu pada tahun 2008 adalah sebesar 0,27 per seribu anjing yang diselundupkan, kemudian meningkat pada tahun 2009 sebesar 2,64 dan mengalami puncaknya pada tahun 2010 yakni 14,76. Sejak tahun 2011 hingga 2013 risiko tersebut cenderung menurun, namun masih tinggi yakni secara berturut turut sebesar 4,30 (2011), 5,52 (2012) dan 1,78 pada tahun 2013. SARAN 1. Perlu pengawasan lalu lintas HPR yang ekstra ketat untuk tetap mempertahankan daerah daerah yang masih berstatus bebas rabies. 2. Perlu edukasi kepada masyarakat tentang dampak transportasi anjing secara illegal terhadap penyebaran rabies. 3. Perlu dilakukan survailans rabies yang efektif pada titik titik yang rawan penyelundupan di daerah / pulau yang masih bebas rabies. DAFTAR PUSTAKA Akoso, B.T., 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Bourhy, H., Cowley, J. A., Larrous, F., Holmes, E. C., Walker, P. J., 2005. Phylogenetic relationships among rhabdoviruses inferred using the L polymerase gene. J. Gen. Virol. 86: 2849-2858. Dibia, N., 2007. Evaluasi Pemberantasan Rabies di Pulau Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur: Kajian Surveilans Tahun 2006. Bul. Vet. XIX (70): 6-13. Dibia, N., dan Amintorogo, S., 1998. Epidemiologi Wabah Rabies di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Makalah Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan dan Konferensi Veteriner Nasional XII di Bandar Lampung, 23-27 Nopember 1998. Dibia, I N., Diarmita, I K., Dartini, I N. L., 2013.Kajian epidemiologi pola kejadian rabies pada hewan di Bali.Bul. Vet. XXV (82): 10-18. Fèvre, E. M., Bronsvoort, B. M., Hamilton, K. A., Cleaveland, S., 2006. Animal movements and the spread of infectious diseases. Trends Microbiol.14(3): 125-131.

Idris, I., 2010. Memberantas Rabies. http://kesehatan.kompasiana.com/medis/ 2010/02/02/rabies/ Knobel, D. L., Cleaveland, S., Coleman, P. G., Fevre, E. M., Meltzer, M. I., Miranda, M. E. G., Shaw, A., Zinsstag, J., Meslin, F., 2005. Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull. WHO. 83(5): 360-368. Mac-Diarmid, S. C., and Corrin, K. C., 1999. Case study: the risk of introducing rabies through the importation of dogs. New Zealand: Ministry of Agriculture. Muleya, W., Namangala, B., Mweene, A., Zulu, L., Fandamu, P., Banda, D., Kimura, T., Sawa, H. and Ishii., A. 2012. Molecular epidemiology and a loop-mediated isothermal amplification method for diagnosis of infection with rabies virus in Zambia. Virus Res. 163: 160-168. Putra, A. A. G., 2012. Analisis perkembangan pemberantasan rabies di Provinsi Bali: capaian pasca vaksinasi massal ketiga. Bul.Vet XXIV(81): 10-23. Putra, A. A. G., Dharma, D. M. N., Mahardika, I G. N. K., Rompis, A. L. T., Muditha, I D. M., Asrama, I G., Soedarmono, dan Windarto, W., 2008. Ringkasan Strategi Pemberantasan Rabies di Kecamatan Kuta Selatan dan Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Makalah Pertemuan Koordinasi Teknis Kesehatan Hewan dan Workshop Rabies di Bali, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peternakan, tanggal 12-13 Desember 2008. Sedyaningsih, E. R., 2011. Kasus rabies mulai mengkhawatirkan, 125 kasus per tahun.www.republika.co.id/berita/breaking-news/kesehatan/11/02/01. Servas, V., Mailles, A., Neau, D., Castor, C., Manetti, A., Fouquet, E., Ragnaud, J.M., Bourhy, H., Paty, M.C., Melik, N., Astoul, J., Cliquet, F., Moiton, M.P., Francois, C., Coustillas, M., Minet, J.C., Parriaud, P., Capek, I., Filleul, L., 2005. An Imported case of canine rabies in Aquitaine: investigation and management of the contacts at risk, August 2004-March 2005. Euro Surveill. 10(11): 222-225. Supartika, I K., E., Wirata, I K., Uliantara, I G., J., Diarmita, I K., 2013.Rabies pada hewan di Provinsi Bali tahun 2008 2012.Bul.Vet. XXV (82): 98 108. Susetya, H., Sugiyama, M., Inagaki, A., Ito, N., Mudiarto, G., and Minamoto, N., 2008. Molecular epidemiology of rabies in Indonesia. Virus Res. 135: 144-149. Susilawathi, N. M., Darwinata, A. E., Dwija, I B., Budayanti, N. S., Wirasandhi, G. A., Subrata, K., Susilarini, N. K., Sudewi, R. A., Wignall, F. S., Mahardika, G. N., 2012. Epidemiological and clinical features of human rabies cases in Bali 2008-2010. BMC Infect. Dis. 12(1): doi.10.1186/1471-2334-12-81. Townsend SE, Lembo T, Cleaveland S, Meslin FX, Miranda ME, Putra AA, Haydon DT, Hampson K., 2013. Surveillance guidelines for disease elimination: A case study of canine rabies. Comp. Immunol. Microbiol. Infect. Dis. 36 (3): 249-261. Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F. X., Suroso, T., Widarso, H. S., 2004. The rabies epidemic on Flores Island, Indonesia (1998-2003). J. Med. Assoc. Thai. 87(11): 1389-1393.