95 Tabel 6.2 Pengetahuan Warga Mengenai Akibat Membuang Sampah Secara Sembarangan Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Band

dokumen-dokumen yang mirip
31 kegiatan yang menyebabkan kerusakan di hulu DAS dan juga melihat bagaimana pemangku kepentingan tersebut melakukan upaya penyelamatan hulu DAS Cita

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

ATURAN BERSAMA RENCANA PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DESA KEDUNGSARIMULYO

75 Kegiatan lainnya yang telah dilakukan komunitas CRP terkait rehabilitasi Sungai Cikapundung adalah kegiatan survey pendahuluan selama tiga bulan pa

PROGRAM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS (PLPBK) DOKUMEN ATURAN BERSAMA

BAB II RENCANA KEGIATAN KKN REVOLUSI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN 6% 1% Gambar 1.1 Sumber Perolehan Sampah di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

BAB VI RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS DAMPAK SOSIO-EKOLOGI HADIRNYA INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

BAB V POTRET BURAM PEREMPUAN DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT WONOREJO. A. Profil Gerakan Perempuan dan Lingkungan Hidup di Wonorejo

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG,

PERAN SERTA WANITA DALAM MEMPELOPORI GAYA HIDUP BERWAWASAN LINGKUNGAN DI RW O2 KELURAHAN PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN TUGAS AKHIR

KUISIONER FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI KAMPUNG APUNG RT10/01 KELURAHAN KAPUK JAKARTA BARAT

PELESTARIAN LINGKUNGAN MELALUI TATAJER

Tersedianya perencanaan pengelolaan Air Limbah skala Kab. Malang pada tahun 2017

KUESIONER PENELITIAN

LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2 ANALISIS SWOT

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2015 STUDI TENTANG PEMBERDAYAAN PARTISIPATIF DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI DAN PERILAKU WARGA MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebersihan lingkungan merupakan salah satu tolak ukur kualitas hidup

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara

BAB I. PENDAHULUAN. masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk

3. Pelestarian makhluk hidup dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat berupa

CIPTAKAN LINGKUNGAN LESTARI EVALUASI WARGA PEMECUTAN WUJUDKAN MIMPI

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan

Jarak tangki septik ke sumber air bersih 10 m, ke bangunan 1,5 m. Ada bidang resapan. Ada jaringan pipa air limbah.

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,

Implementasi Perda No 02 Tahun 2011 Di Kota Samarinda (Ghea)

Pemberdayaan Lingkungan untuk kita semua. By. M. Abror, SP, MM

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV. A. Upaya yang Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat dalam Mencegah dan. Menanggulangi Pencemaran Air Akibat Limbah Industri Rumahan sesuai

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Bertindak tepat untuk sehat dengan menjaga lingkungan dan kebersihan

KUESIONER UNTUK PEDAGANG

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Hendrik L. Blum dalam Haryanto Kusnoputranto (2005) dikatakan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini:

BAB V IMPLEMENTASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. produktif secara sosial dan ekonomis. Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE)

Foto & Cerita dari Hulu SUNGAI CITARUM Sekilas Sejarah, Banjir: Dulu hingga Sekarang, Menuju Tujuan Bersama

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PROGRAM DAN KEGIATAN SANITASI

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

IV. METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Populasi dan Contoh

BUPATI POLEWALI MANDAR

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II HASIL IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALISIS POTENSI

LAMPIRAN II HASIL ANALISIS SWOT

PLPBK RENCANA TINDAK PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PRIORITAS KELURAHAN BASIRIH BANJARMASIN BARAT

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

Komunitas IBRA : Profil singkat. Profil Komunitas IBRA : Latar Belakang Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku buruk tentang sampah. Masyarakat membuang sampah sembarangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan yang bertujuan untuk membangun manusia indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam semua aspek kehidupan manusia selalu menghasilkan manusia

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kota Gorontalo ± 4 km. Jumlah penduduk pada tahun 2011 adalah Jiwa

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahlah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah.

GAMBARAN SANITASI DASAR PADA MASYARAKAT NELAYAN DI KELURAHAN POHE KECAMATAN HULONTHALANGI KOTA GORONTALO TAHUN 2012

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

KONSEP PENANGANAN SAMPAH TL 3104

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tasya Fildzah Shabrina, 2016

PROPOSAL DESIGNING PROJECT PENANGANAN SAMPAH DAN PENCEMARAN SUNGAI BRANTAS DI KAWASAN SPLENDID-MALANG. Oleh. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)

Pemberdayaan Masyarakat Rumpin Melalui Pengolahan Sampah Organik Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. perlu dijaga agar tetap mampu menunjang kehidupan yang normal. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

BAB I PENDAHULUAN. dan mutlak. Peran penting pemerintah ada pada tiga fungsi utama, yaitu fungsi

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kota-kota seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. kurang tepat serta keterbatasan kapasitas dan sumber dana meningkatkan dampak

kabel perusahaan telekomunikasi dan segala macam (Setiawan, 2014).

TEKNIS PELAKSANAAN BANTUAN SOSIAL BIDANG SARANA DAN PRASARANA LINGKUNGAN PERMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1. Pendahuluan PENDAMPINGAN MASYARAKAT DALAM PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MENDUKUNG PROGRAM URBAN FARMING

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

BAB I. Pendahuluan. yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

terpaksa antri atau harus berjalan jauh puluhan kilometer hanya untuk mendapatkan air bersih. Sebaliknya, ketika musim hujan tiba, air menjadi banyak

Transkripsi:

94 BAB VI EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DALAM PENYELAMATAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG) 6.1 Pengetahuan Sikap dan Perilaku Warga 6.1.1 Pengetahuan Warga Mengenai Sampah Pengetahuan warga mengenai sampah diperlukan untuk melihat sejauh mana warga mengetahui berbagai jenis sampah rumah tangga sebelum hadirnya kelembagaan partisipatoris. Berikut tingkat pengetahuan warga di dua lokasi penelitian yaitu di Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi: Tabel 6.1 Pengetahuan Warga Mengenai Jenis Sampah Rumah Tangga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Mengetahui Tidak Mengetahui Total Kelurahan Jenis Sampah Jumlah (Orang) Persentase (%) Jenis Sampah Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Dago 27 90 3 10 30 100 Lebak Siliwangi 29 96,67 1 3,33 30 100 Pada Tabel 6.1 terlihat bahwa pengetahuan warga di dua lokasi penelitian rata-rata sudah mengetahui dan mengklasifikasikan jenis sampah, dimana sampah terbagi menjadi dua kategori yaitu sampah organik atau sampah yang mudah terurai oleh tanah dan sampah non-organik atau sampah yang sulit terurai oleh tanah. Untuk responden yang belum dapat membedakan klasifikasi sampah organik dan non-organik di Kelurahan Dago sebesar sepuluh persen sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi jauh lebih rendah yaitu hanya sebesar 3,33 persen saja. Selanjutnya, berikut disajikan pengetahuan responden di dua lokasi penelitian mengenai akibat membuang sampah secara sembarangan:

95 Tabel 6.2 Pengetahuan Warga Mengenai Akibat Membuang Sampah Secara Sembarangan Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Akibat Membuang Sampah Sembarangan Menimbulkan Bau, Lingkungan Penyakit dan Menjadi Kotor Bencana Alam Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Total Jumlah (Orang) Dago 7 23,33 23 76,67 30 100 Lebak Siliwangi 11 30 19 36,67 63,33 100 Persentase (%) Rata-rata responden di kedua lokasi penelitian sebelum hadirnya kelembagaan partisipatoris di daerahnya, sudah sangat mengetahui akibat dari membuang sampah secara sembarangan. Hal ini terlihat dari banyaknya responden yang menjawab membuang sampah secara sembarangan dapat menimbulkan bau, penyakit dan bencana alam dimana sebesar 76,67 persen untuk responden di Kelurahan Dago dan 63,33 persen untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi, sisanya sebesar 23,33 persen warga Kelurahan Dago dan 36,67 persen warga Kelurahan Lebak Siliwangi menyatakan membuang sampah secara sembarangan menyebabkan lingkungan menjadi kotor. Sebesar seratus persen responden penelitian di dua kelurahan, baik itu Kelurahan Dago maupun Kelurahan Lebak Siliwangi menjawab bahwa tindakan membuang sampah ke sungai merupakan tindakan yang salah, namun walaupun responden sadar bahwa tindakan membuang sampah ke sungai merupakan tindakan yang salah, tidak semua warga di dua kelurahan setuju untuk memberi sanksi kepada individu yang membuang sampah ke Sungai Cikapundung, hal ini sebagaimana terlihat pada Tabel 6.3.

96 Tabel 6.3 Pengetahuan Warga Mengenai Pemberian Sanksi atas Tindakan Membuang Sampah/Limbah ke Sungai Cikapundung, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Pemberian Sanksi Total Ya Tidak Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) (Orang) (%) Dago 17 56,67 13 43,3 30 100 Lebak Siliwangi 8 26,67 22 73,3 30 100 Pada Tabel 6.3 terlihat sebesar 56,67 persen warga di Kelurahan Dago menjawab setuju untuk memberikan sanksi terhadap individu yang masih membuang limbah rumah tangganya ke Sungai Cikapundung, berbeda dengan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang pada umumnya menjawab tidak setuju sebesar 73,3 persen atas pemberian sanksi kepada individu yang masih membuang sampah ke Sungai Cikapundung. Dapat disimpulkan bahwa responden sebenarnya paham dan sadar mengenai akibat dari membuang sampah rumah tangga ke sungai, tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak responden yang belum melaksanakan peraturan di daerahnya, hal ini terlihat dari masih banyaknya responden yang menolak untuk diberi sanksi dikarenakan anggapan bahwa tindakan membuang sampah ke sungai bukanlah sesuatu hal yang berbahaya dan tindakan kriminal. Menurut beberapa responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang tidak setuju pada pemberian sanksi terhadap warga yang masih membuang limbah rumah tangga, individu yang masih membuang sampah rumah tangga perlu diberikan teguran atau peringatan terlebih dahulu sebelum diberikan sanksi, jika teguran dan peringatan tidak didengar maka barulah dikenai sanksi yang berlaku di daerahnya. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, saya kurang setuju bila warga yang masih membuang sampah ke sungai langsung dikenai sanksi, dimana mungkin masih banyak warga yang belum terdedah informasi atau pengetahuannya masih rendah, jadi menurut saya untuk mengubah perilaku warga harus menggunakan cara yang lebih halus terlebih dahulu, seperti ditegur atau diperingati, bila tidak digubris juga, barulah warga dapat dikenai sanksi baik sanksi moral maupun sanksi materi (Ryt, 39 thn). Sebanyak seratus persen responden di dua lokasi penelitian pun mengatakan bahwa masih perlu diadakan sosialisasi pembuangan atau

97 pengelolaan dan pemilahan sampah rumah tangga di daerahnya, karena masih banyak warga yang belum terdedah mengenai pengelolaan limbah rumah tangga, khususnya diperlukan pelatihan daur ulang sampah rumah tangga agar dapat menarik warga khususnya kaum ibu rumah tangga. Selanjutnya, kondisi sungai Cikapundung menurut responden di dua kelurahan sebelum dan setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung adalah sebagai berikut: 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 23.33% 60% 76.67% 40% Sangat Buruk Buruk Baik Sangat Baik Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris 36.67% 73.33% 63.33% 26.67% Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Gambar 6.1 Kondisi Sungai Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.1 sebesar 23,33 persen responden di Kelurahan Dago menjawab kondisi Sungai Cikapundung sebelum adanya kelembagaan partisipatoris sangatlah buruk, sisanya sebesar 76,67 persen responden menjawab kondisi sungai dalam keadaan buruk. Berbeda dengan Kelurahan Lebak Siliwangi yang berlokasi sudah masuk wilayah tengah hingga hilir Sungai Cikapundung, dimana responden yang menjawab kondisi Sungai Cikapundung sangat buruk jauh lebih besar dibandingkan dengan responden di Kelurahan Dago yaitu sebesar 60 persen, sisanya responden yang menjawab kondisi sungai dalam keadaan buruk yaitu sebesar 40 persen. Sebagaimana yang diungkapkan salah satu responden

98 Kelurahan Lebak Siliwangi mengenai kondisi Sungai Cikapundung sebelum adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung seperti saat ini. Dahulu sebelum banyak komunitas pegiat Sungai Cikapundung, kondisi sungai sangat kotor, jarang sekali orang yang mau masuk ke sungai untuk berenang seperti saat ini, terutama pada musim hujan, sampah dari hulu hanyut hingga ke hilir, warga yang berada di tepian sungai pun masih sering membuang sampah lewat jendela belakang rumahnya (Dih, 53 thn). Setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung kondisi sungai sudah sedikit mengalami perubahan walaupun perlahan tetapi pasti, dimana kondisi Sungai Cikapundung sudah jauh lebih baik. Sebagaimana terlihat pada jawaban responden di dua lokasi penelitian dimana setelah adanya kelembagaan partisipatoris di daerahnya, sebanyak 63,33 persen responden Kelurahan Dago menjawab kondisi sungai sangat baik dan sisanya sebesar 36,67 persen responden menjawab baik. Responden di Kelurahan Lebak Siliwangi yang menjawab kondisi sungai sangat baik hanya sebesar 26,67 persen serta responden yang menjawab baik sebesar 73,33 persen. Hal ini sesuai penuturan warga Kelurahan Lebak Siliwangi yang mengamati kondisi Sungai Cikapundung dari hari ke hari semakin baik. Sungai Cikapundung sekarang sudah jauh lebih baik setelah adanya komunitas pegiat sungai, walaupun saya belum mengetahui bagaimana kualitas sungai untuk saat ini, namun bila dilihat secara kasat mata sudah tidak ada lagi sampah-sampah di sungai seperti dahulu kala, yang ada saat ini adalah semakin banyak orang-orang yang menggiatkan Sungai Cikapundung (Try,45 Thn). Umumnya kualitas air di hulu Sungai Cikapundung (Kelurahan Dago) masih lebih baik dibandingkan dengan kualitas air yang berada di tengah Sungai Cikapundung (Kelurahan Lebak Siliwangi). Hal ini terjadi karena wilayah hulu Sungai Cikapundung pada umumnya masih merupakan kawasan hijau dan bukan merupakan kawasan padat penduduk seperti di daerah tengah hingga hilir Sungai Cikapundung yang warna airnya sudah sangat coklat keruh.

99 6.1.2 Pengetahuan Warga Mengenai Penghijauan Rata-rata responden di dua lokasi penelitian mengatakan bahwa adanya kegiatan penghijauan yang dilakukan adalah agar di daerahnya terdapat resapan air, ruang terbuka hijau, mencegah banjir dan juga longsor, serta agar lingkungan terlihat indah dan segar. Sementara itu, di dua lokasi penelitian yaitu Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi sama-sama tidak memiliki program penghijauan. Penghijauan dilakukan atas dasar inisiatif warga pada saat-saat tertentu saja. Walaupun program penghijauan tidak ada di dua kelurahan tersebut, namun warga mengaku masih sangat memerlukan penghijauan atau penanaman pohon di daerahnya masing-masing, sebagaimana dinyatakan pada Gambar 6.2 di bawah ini: 70% 60% 50% 63.33% 70% 40% 30% 20% 16.67% 30% 20% 10% 0% 0% Kurang Penting Cukup Penting Sangat Penting Gambar 6.2 Kebutuhan Warga Akan Penghijauan/Penanaman Pohon, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Sebesar 70 persen responden di Kelurahan Dago mengatakan bahwa kegiatan penghijauan masih sangat penting untuk diadakan di daerahnya, sisanya responden menjawab kegiatan penghijauan cukup penting diadakan di daerahnya yaitu sebesar 30 persen. Responden di Kelurahan Lebak Siliwangi menjawab kebutuhan penghijauan lebih rendah dibandingkan dengan Kelurahan Dago dimana hanya sebesar 20 persen responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang

100 menjawab kegiatan penghijauan sangat penting diadakan, sisanya 63,33 persen menjawab cukup penting dan 16,67 persen menjawab kegiatan penghijauan kurang penting di daerahnya. Melihat fakta sebagian besar responden di dua lokasi penelitian menjawab bahwa kegiatan penghijauan masih perlu diadakan di daerahnya, maka dapat disimpulkan bahwa semakin hari keadaan ruang terbuka hijau semakin dibutuhkan oleh warga di dua kelurahan, hal ini dikarenakan semakin hari ruang terbuka hijau harus selalu berhadapan dengan pembangunan infrastruktur yang terus menerus dilakukan guna kepentingan ekonomi. Selain untuk mengetahui pendapat responden mengenai kegiatan penghijauan, maka secara kasat mata responden diminta menilai kondisi lahan kritis di daerahnya sebelum dan setelah adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung, sebagaimana pada Gambar 6.3 di bawah ini: 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 13% 100% 87% 0% Sedikit Banyak Sedikit Berkurang Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris 36% 100% 63% 0% Banyak Berkurang Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Gambar 6.3 Kondisi Lahan Kritis Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kondisi lahan kritis sebelum adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung dinyatakan banyak oleh 87 persen responden di Kelurahan Dago, dan sebesar 13 persen menyatakan lahan kritis tidaklah banyak di daerahnya. Jauh berbeda dengan kondisi lahan kritis di Kelurahan Lebak Siliwangi dimana 100 persen respondennya menjawab hanya ada sedikit lahan kritis di daerahnya.

101 Perbedaan yang besar antara kedua kelurahan ini terjadi karena perbedaan karakteristik lahan antara wilayah hulu yang masih banyak terdapat lahan kosong dan wilayah tengah yang sedikit akan lahan kosong dan juga merupakan daerah padat pemukiman. Setelah adanya kelembagaan partisipatoris dengan berbagai kegiatan penghijauannya, lahan kritis di dua lokasi penelitian pun sedikit demi sedikit mulai berkurang dimana kondisi lahan kritis untuk Kelurahan Dago setelah adanya kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung mengalami penurunan dimana sebesar 64 persen responden menjawab lahan kritis telah banyak berkurang, serta sisanya sebesar 36 persen responden menjawab lahan kritis sudah sedikit berkurang. Pada umumnya sebagian besar komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung setiap akan melakukan kegiatan penghijauan bersama dengan warga dan instansi-instansi sepeti swasta dan lembaga pemerintah lainnya, selalu menunjuk kawasan Curug Dago sebagai tempat untuk menanam bibit-bibit pohon yang daerahnya memang cocok untuk melakukan penanaman dan masih terdapat banyak lahan kritis. Untuk Kelurahan Lebak Siliwangi tidak ada perubahan yang signifikan, namun sebesar 76,67 persen responden menjawab lahan kritis sudah sedikit berkurang, sementara sebesar 23,33 responden lainnya menjawab lahan kritis tidak berkurang sama sekali. Responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang menjawab lahan kritis sudah sedikit berkurang adalah responden yang pernah mengikuti penghijauan atau hanya sekedar memantau lingkungan ruang terbuka hijau di daerah sekitarnya. Umumnya kegiatan penghijauan yang dilakukan oleh Komunitas Zero dilakukan di lahan kosong dekat pemukiman warga dan di hutan kota Kelurahan Lebak Siliwangi. Selain dilihat dari adanya kegiatan penghijauan dan kondisi lahan kritis, berikut disajikan data mengenai kondisi daerah resapan air sebelum dan setelah adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris di dua lokasi penelitian.

102 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 100% 100% 100% 100% Buruk Baik Buruk Baik Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Gambar 6.4 Kondisi Daerah Resapan Air Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Dari Gambar 6.4 di atas terlihat bahwa kondisi daerah resapan air di dua kelurahan sebelum adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris jauh berbeda, dimana umumnya sebesar 100 persen responden di Kelurahan Dago menjawab daerah resapan air masih tergolong baik. Hal ini jauh berbeda dengan Kelurahan Lebak Siliwangi dimana sebesar 100 persen responden menyatakan kondisi resapan air di daerahnya tergolong buruk. Setelah adanya kegiatan penghijauan kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung di dua kelurahan yang berbeda, maka kondisi daerah resapan air untuk Kelurahan Dago masih tergolong baik yaitu sebesar 100 persen responden menjawab baik terhadap resapan air di daerahnya, namun walaupun masih tergolong baik responden mengaku daerah resapannya jauh lebih baik setelah adanya kegiatan-kegiatan penghijauan yang khususnya dilakukan oleh komunitas CRP. Berbeda dengan kondisi daerah resapan air di Kelurahan Lebak Siliwangi yang tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dimana sebesar 100 persen responden masih menyatakan resapan air di daerahnya khususnya di pemukimannya tetap tergolong buruk, hal ini dikarenakan jalan di sekitar pemukiman warga Kelurahan Lebak Siliwangi sudah menggunakan aspal berbeda dengan Kelurahan Dago dimana daratan di

103 sekitar warganya masih didominasi oleh tanah. Perubahan daerah resapan memang tidak dialami pemukiman warga di RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, namun perubahan daerah resapan air dapat dirasakan saat memasuki kawasan hutan kota Kelurahan Lebak Siliwangi yang memang tempatnya digunakan untuk menanam pohon dan tumbuhan hijau oleh Komunitas Zero. 6.1.3 Pengetahuan Warga Mengenai Gotong Royong Kegiatan gotong royong yang diadakan di dua kelurahan memiliki perbedaan karakteristik, dimana untuk Kelurahan Dago gotong royong tidak dijadikan agenda rutin untuk dilakukan sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi kegiatan gotong royong memang sudah ada sejak dahulu dan merupakan salah satu tradisi di Kelurahan Lebak Siliwangi. Hingga kini, kegiatan tersebut semakin digencarkan/disosialisasikan kelembagaan partisipatoris khususnya kepada warga di bantaran Sungai Cikapundung. Berikut pendapat responden di dua kelurahan terhadap kegiatan gotong royong di daerahnya masing-masing. 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 86.67% Perlu 63.33% 13.33% Sangat Perlu 36.67% Gambar 6.5 Perlunya Kegiatan Gotong Diadakan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

104 Responden di Kelurahan Dago menjawab sebesar 86,67 persen kegiatan gotong royong perlu diadakan di daerahnya, sementara 13,33 persen responden lainnya menjawab sangat perlu adanya kegiatan gotong royong di daerahnya. Untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi sebanyak 63,33 persen menjawab bahwa kegiatan gotong royong juga masih perlu diadakan di daerahnya, sisanya sebesar 36,67 persen responden menjawab sangat perlu diadakan kegiatan gotong royong di daerahnya. Melihat data diatas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan gotong royong ini memang sangat diperlukan oleh warga di dua kelurahan yang berbeda. Untuk mengetahui lebih lanjut tujuan responden di dua kelurahan untuk mengadakan kegiatan gotong royong dipelihatkan dalam Gambar 6.6 di bawah ini. 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 86.67% 56.67% Agar Lingkungan Bersih dan Sehat 13.33% 43.33% Agar Lingkungan Bersih, Sehat, Tidak Menimbulkan Penyakit dan Menjaga Solidaritas Diantara Warga Gambar 6.6 Tujuan Diadakannya Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Responden di dua Kelurahan yaitu Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi rata-rata menjawab bahwa tujuan diadakannya kegiatan gotong royong adalah agar lingkungan menjadi bersih dan sehat yaitu sebesar 86,67 persen untuk Kelurahan Dago dan 56,67 persen untuk jawaban responden di Kelurahan Lebak Siliwangi. Responden yang menjawab agar lingkungan bersih dan sehat, tidak

105 menimbulkan penyakit serta menjaga solidaritas diantara warga yaitu hanya sebesar 13,33 persen untuk responden di Kelurahan Dago dan 43,33 persen untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi. Fakta ini sejalan dengan pernyataan responden pada Gambar 6.8 dimana responden di dua kelurahan memang sangat memerlukan kegiatan gotong royong untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan di sekitarnya. Untuk kegiatan gotong royong sendiri, sebelumnya responden di dua kelurahan mengaku bahwa kegiatan gotong royong di daerahnya dipengaruhi oleh ada atau tidaknya sosialisasi terlebih dahulu kepada warga, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.7 di bawah ini. 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 86.67% Ada 93.33% 13.33% Tidak Ada 6.67% Gambar 6.7 Adanya Sosialiasi Kegiatan Gotong di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.7 sebesar 13,33 persen responden Kelurahan Dago mengaku bahwa kegiatan gotong royong tidak disosialiasikan terlebih dahulu kepada warga dan sisanya sebesar 86,67 persen responden menjawab kegiatan gotong royong telah disosialiasikan kepada warga. Sebesar 93,33 persen responden Kelurahan Lebak Siliwangi mengungkapkan bahwa kegiatan gotong royong selalu disosialisasikan terlebih dahulu kepada warga di daerahnya, dan hanya sebesar 6,67 persen warga yang merasa tidak pernah ada sosialisasi kegiatan royong di daerahnya. Menurut penuturan dari ketua RT di dua lokasi

106 penelitian bahwa pada umumnya gotong royong selalu disosialisasikan terlebih dahulu kepada warganya, mengenai tahu atau tidak tahu warga akan kegiatan gotong royong yang diadakan, itu dikembalikan lagi kepada warganya yang mungkin tidak mendapatkan informasi akan diadakannya kegiatan gotong royong di daerahnya atau biasanya lebih dikarenakan sibuk dengan pekerjaannya sehingga sulit mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya. 6.2 Tingkat Keterlibatan Warga dalam Membuang dan Mengelola Sampah/Limbah Rumah Tangga Kesadaran warga untuk mengelola sampah rumah tangganya menjadi hal yang sangat berpengaruh terhadap kelestarian Sungai Cikapundung. Berikut perilaku warga dalam membuang limbah rumah tangganya sebelum adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Sebagaimana yang dinyatakan oleh salah satu warga RT 02/RW 01Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong (Cep, 57 thn) yang menyatakan bahwa dahulu warga memang tidak peduli dengan keberadaan Sungai Cikapundung, serta tak jarang warga setempat menjadikannya tempat pembuangan sampah rumah tangga. Dahulu sama seperti warga lainnya, saya dan istri saya juga biasa membuang sampah ke sungai belakang rumah (Cep, 57 thn). Sama halnya dengan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga mereka. Menurut (Ibu Rcr, 45 tahun) kegiatan membuang sampah rumah tangga di Sungai Cikapundung sudah lama dilakukan warga RT 03/ RW 08. Sebelum sekitar akhir tahun 2010, masih sedikit warga yang menggunakan jasa pengangkut sampah, hampir 90 persen warga yang berada di bantaran sungai membuang sampah langsung ke Sungai Cikapundung (Rcr, 45 thn). Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 6.11 dimana sebelum adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris masih banyak warga di dua lokasi penelitian yang tidak menggunakan jasa pengangkut sampah. Berikut tempat pembuangan sampah yang digunakan oleh warga di dua lokasi penelitian sebelum

107 dan setelah adanya kelembagaan partisipatoris, sebagaimana pada Gambar 6.8 di bawah ini. 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 23.33% 60% Dibuang ke Sungai 53.33% 6.67% 6.67% 0% 16.67% Dibakar Dikubur TPS TPS Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris 33.33% 100% 100% Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Gambar 6.8 Tempat Membuang Sampah/Limbah Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.8 rata-rata responden Kelurahan Dago yang membuang sampah/limbah rumah tangga sebelum adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris dengan cara dibakar yaitu sebesar 53,33 persen, dibuang ke sungai sebesar 23,33 persen, kemudian yang menggunakan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sebesar 16,67 persen dan sisanya dikubur sebesar 6,67 persen. Berbeda dengan Kelurahan Dago yang tidak semua warganya membuang sampah ke sungai, di Kelurahan Lebak Siliwangi rata-rata responden yang membuang sampah ke sungai sebesar 60 persen, sebesar 33 persen lainnya responden Kelurahan Lebak Siliwangi telah lebih dahulu menggunakan jasa TPS atau pengangkut sampah, selanjutnya sebesar 6,67 persen warga Lebak Siliwangi mengelola sampahnya dengan cara dibakar. Setelah adanya kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung dengan kegiatan aksi bersih kalinya, terdapat perubahan yang signifikan pada perilaku warga di dua lokasi penelitian,

108 dimana sebesar 100 persen responden di dua kelurahan kini telah menggunakan jasa TPS atau pengangkut sampah dan sudah tidak ada lagi warga yang membuang sampahnya ke Sungai Cikapundung. Efektivitas kelembagaan partisipatoris terlihat dari pernyataan warga Kelurahan Dago yang pada umumnya kini sudah menggunakan jasa pengangkut sampah. Sekitar tiga tahun yang lalu warga yang menggunakan jasa TPS masih sangat sedikit, kebanyakan warga membakar sampahnya atau membuangnya langsung ke sungai, namun setelah adanya komunitas CRP, satu persatu warga kini menggunakan jasa pengangkut sampah, karena sudah mulai adanya larangan membuang sampah ke sungai baik oleh komunitas maupun aparat pemerintah (Dew, 47 thn) Menurut warga RT 02/RW 01 Kelurahan Dago, komunitas CRP telah berhasil mengubah perilaku warga untuk tidak membuang sampah ke Sungai Cikapundung lagi, walaupun terkadang memang masih ada masyarakat yang diam-diam membuang sampah ke Sungai Cikapundung. Setelah adanya komunitas CRP di sini, setiap sisi sungai dipagari dan dipasang papan larangan untuk tidak membuang sampah ke sungai,namun walau sudah menggunakan pagar dan papan larangan masih saja ada sampah-sampah yang berserakan yang dibuang warga ke sungai (Bhr, 56 thn) Sama halnya dengan warga di RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi yang kini warganya sudah tidak lagi membuang sampah rumah tangga ke Sungai Cikapundung. Saya menjamin sebesar 95 persen warga saya sudah tidak membuang sampah lagi ke Sungai Cikapundung, saya tidak berani mengatakan 100 persen karena lima persennya itu pasti masih ada saja yang diam-diam suka membuang sampah ke sungai tanpa ketahuan. Ibarat kita setiap hari makan menggunakan tangan kanan, bila tiba-tiba diperintahkan makan dengan menggunakan tangan kiri pasti akan kaget yang intinya kebiasaan itu tidak dapat dirubah secara cepat dan langsung tetapi harus bertahap dan perlahan (Hrd, 35 thn, Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Data ini diperkuat dengan salah seorang warga RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi yang melihat adanya perubahan pada kondisi Sungai Cikapundung setelah adanya kelembagaan partisipatoris.

109 Dahulu Sungai Cikapundung kotor dan banyak sampah, walaupun kita pernah beberápa kali membersihkan sungai, tetapi bila tiba-tiba datang sampah dari hulu, maka sungai pun kembali kotor, kita juga jadi merasa percuma membersihkan sungai, dimana dari hulunya saja sudah kotor. Namun sekarang sampah yang datang dari hulu sungai lumayan berkurang. Setelah adanya kegiatan bersih-bersih sungai oleh komunitas Zero, warga disini pun sudah jarang membuang sampah lagi ke sungai, justru sering mengikuti kegiatan bersih-bersih kali san kini menggiatkan sungai (Ism, 56 thn). Keberhasilan merubah perilaku warga di bantaran Sungai Cikapundung tidak terlepas dari peran pemangku kepentingan yang ada. Kelompok-kelompok yang terdapat di RT 03/ RW 08 sangat bermanfaat untuk mempercepat perubahan perilaku warga khususnya membuang sampah ke sungai, kelompok-kelompok tersebut antara lain; ketua RW; ibu-ibu PKK; ketua RT; karang taruna; dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dari gencarnya sosialisasi yang dilakukan ketua RW 08 yang juga menjabat sebagai ketua dari komunitas Zero dimana ketua RW 08 menjadi motor penggerak bagi kelompok-kelompok warga di RW 08 untuk bersama-sama menggalakan Cikapundung bersih dengan selalu mengadakan aksi susur sungai setiap hari sabtu dan minggu untuk mengumpulkan sampah yang juga bersamaan dengan jadwal rutin gotong royong di RW 08. Sekitar bulan Januari 2011 warga disini sudah tidak ada lagi yang membuang sampah ke Sungai Cikapundung, komunitas kita memiliki orang yang menjaga dan memantau warganya yang masih membuang sampah ke sungai. Jika ingin menegur warga yang masih membuang sampah ke sungai maka harus disertai bukti seperti foto, namun jika tidak ada bukti maka warga tersebut tidak dapat ditegur, bila sudah ditegur namun masih membuang sampah ke sungai, barulah warga dikenai sanksi berupa denda uang, namun hingga kini warga kami belum ada yang sampai dikenai sanksi denda uang, hanya sanksi moral semata (Ant 54 thn, Ketua RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Adanya dukungan dari warga setempat serta pemerintah daerah menjadi kekuatan untuk mengubah perilaku warga membuang sampah ke sungai hingga pada generasi berikutnya. Dalam merehabilitasi dan merevitaliasi Sungai Cikapundung, kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung senantiasa melakukan penyadaran kepada warganya dengan cara memberikan sosialisasi, penyuluhan atau pelatihan terkait pengelolaan sampah rumah tangga. Warga di dua Kelurahan mengaku, baik komunitas CRP maupun komunitas Zero sama-

110 sama pernah mengadakan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga di daerahnya. Untuk mengubah perilaku warga bukan hanya sekedar tidak lagi membuang sampah atau limbah rumah tangga ke Sungai Cikapundung namun juga mengubah perilaku warga agar mau memanfaatkan limbah rumah tangganya dengan cara mendaur ulangnya, maka kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung seringkali menyelenggarakan kegiatan sosialisasi, penyuluhan sekaligus pelatihan kepada warga, bekerjasama dengan berbagai instansi baik itu instansi pendidikan yang umumnya tingkat universitas juga instansi pemerintah lainnya. Berikut jumlah responden di dua kelurahan yang pernah mengikuti sosialiasi dan pelatihan pegelolaan sampah rumah tangga yang diselenggarakan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung bekerjasama dengan berbagai instansi terkait. 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 16.67% Ikut 36.67% 83.33% Tidak Ikut 63.33% Gambar 6.9 Keterlibatan Warga dalam Kegiatan Sosialisasi dan Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga oleh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.9 terlihat bahwa 16,67 persen responden Kelurahan Dago dan 36,67 persen responden Kelurahan Lebak Siliwangi mengikuti kegiatan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga yang diadakan oleh komunitas CRP dan komunitas Zero. Seluruh responden yang mengikuti

111 sosialisasi dan pelatihan menyatakan bahwa pengetahuan mereka mengenai pengelolaan sampah rumah tangga bertambah, dimana rata-rata pengetahuan warga yang bertambah mengenai pembuatan pupuk organik hasil limbah rumah tangga (pupuk) serta cara mendaur ulang sampah rumah tangga menjadi benda yang bernilai guna tinggi. Terlihat dari persentase yang ada dapat disimpulkan bahwa partisipasi warga dalam kegiatan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga yang diadakan kelembagaan partisipatoris masih tergolong rendah. Dari jumlah responden yang mengikuti kegiatan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga, hasilnya tidak seluruh responden menerapkan apa yang telah disosialisasikan oleh komunitas CRP dan komunitas Zero, hal ini terbukti dari jumlah responden yang mengikuti kegiatan sosialiasi pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga dimana tidak semua responden langsung menerapkan pengetahuan yang telah didapatnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebelumnya terlebih dahulu diperlihatkan perilaku responden di dua kelurahan dalam mengelola sampah rumah tangga sebelum adanya kegiatan sosialiasi dan pelatihan yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Tabel 6.4 Pemilahan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Sebelum ada Sosialisasi/Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ya, Melakukan Tidak Melakukan Pemilahan Sampah Pemilahan Sampah Rumah Tangga Rumah Tangga Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Total Jumlah (Orang) Dago 2 6,67 28 93,33 30 100 Lebak Siliwangi 3 10 27 90 30 100 Persentase (%) Pada Tabel 6.4 terlihat responden penelitian di Kelurahan Dago yang melakukan pemilahan sampah sebelum adanya kelembagaan partisipatoris hanya berjumlah dua orang atau sebesar 6,67 persen, sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi, responden yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga yaitu sebanyak tiga orang atau sebesar sepuluh persen. Hal ini menunjukkan bahwa

112 masih rendahnya perilaku warga yang melakukan kegiatan pemilahan sampah rumah tangga yaitu dengan tidak memisahkan jenis sampah organik dengan sampah anorganik. Umumnya responden mengaku malas untuk melakukan pemilahan sampah karena tidak memiliki waktu luang yang cukup, selain itu warga seringkali menggunakan bahan baku plastik untuk menampung seluruh sampah rumah tangganya baik organik maupun non organik. Berbeda halnya dengan responden yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga yang mengaku sudah dari dulu memilah sampah organik dan non organik karena dapat digunakan atau dijual kembali. Selanjutnya Tabel 6.5 memperlihatkan perilaku responden di dua kelurahan yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga setelah adanya sosialiasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Tabel 6.5 Pemilahan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Setelah ada Sosialisasi/Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ya, Melakukan Tidak Melakukan Pemilahan Sampah Pemilahan Sampah Rumah Tangga Rumah Tangga Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Pada Tabel 6.5 setelah adanya sosialisasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga warga. Responden yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga untuk Kelurahan Dago hanya bertambah satu orang saja atau sebesar 3,3 persen, sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga lebih banyak dibandingkan dengan responden di Kelurahan Dago yaitu bertambah tiga orang atau sebesar sepuluh persen. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh (Opk, 55 tahun) warga Kelurahan Lebak Siliwangi yang telah mengikuti kegiatan pelatihan pengelolaan sampah namun belum sepenuhnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Total Jumlah (Orang) Dago 3 10 27 90 30 100 Lebak Siliwangi 6 20 24 80 30 100 Persentase (%)

113 Iya, saya mengikuti pelatihan yang diadakan komunitas Zero, memang bagus pelatihannya, tetapi terkadang saya sendiri masih tetap menyatukan sampah basah dengan sampah kering, saya terkadang malas untuk memisahkannya (Opk, 55 thn). Bpk Opk mengaku bahwa di daerahnya memang sudah terdapat TPS yang mengklasifikasian sampah menurut jenisnya. Namun pada saat membuang sampah warga tetap membungkus dengan plastik dan membuangnya pada jenis TPS yang salah. Begitupun dengan jasa pengangkut sampah di Kelurahan Lebak Siliwangi dan Kelurahan Dago dimana petugas kebersihan belum dapat mengangkut sampah berdasarkan klasifikasi sampahnya yaitu organik dan non organik. Menurut beberapa responden pemilahan sampah berdasarkan jenis sampahnya tidak terlalu penting dan bukan suatu masalah yang besar bila tidak dilakukan. Perubahan sikap dan perilaku warga di dua lokasi dalam mendaur ulang sampah rumah tangganya, sebelum dan setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung diperlihatkan pada Tabel 6.6. Tabel 6.6 Daur Ulang Sampah Rumah Tangga oleh Warga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Sebelum ada Sosialisasi/Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ya, Melakukan Daur Tidak Melakukan Ulang Sampah Daur Ulang Sampah Rumah Tangga Rumah Tangga Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Total Jumlah (Orang) Dago 1 3,33 29 96,67 30 100 Lebak Siliwangi 0 0 30 100 30 100 Persentase (%) Pada Tabel 6.6 perilaku mendaur ulang sampah rumah tangga sangatlah sedikit yaitu hanya sebanyak satu orang untuk Kelurahan Dago dan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi tidak ada satupun warga yang melakukan daur ulang sampah rumah tangga. Beberapa responden mengaku, mereka tidak memiliki ilmu dan waktu yang cukup khususnya untuk melakukan kegiatan daur ulang sampah rumah tangga. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pemangku kepentingan di Kelurahan Dago, kegiatan daur ulang sampah memang hampir tidak pernah ada, dimana lembaga-lembaga atau organisasi seperti PKK dan Karang Taruna

114 tidak pernah mengagendakan atau tidak pernah memiliki program pelatihan daur ulang sampah, khusunya daur ulang sampah rumah tangga. Wajar jika warga disini tidak ada yang melakukan kegiatan daur ulang sampah, organisasi PKK atau karang tarunanya saja tidak ada yang berinisiatif untuk melakukan kegiatan-kegiatan semacam daur ulang sampah rumah tangga. Jika dilihat dan dianalisis, untuk menyadarkan dan menggerakkan warga terlebih dahulu kita melihat apakah lembaga-lembaga sosial di daerah sini sudah berjalan sebagaimana mestinya? Jika tidak, sudah dapat dipastikan warganya pun tentu akan begitu (Rtr, 50 Thn). Selanjutnya disajikan Tabel 6.7 yaitu perilaku daur ulang sampah rumah tangga oleh warga di dua lokasi yang berbeda setelah adanya kegiatan sosialiasi dan pelatihan sampah rumah tangga oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Tabel 6.7 Kelurahan Daur Ulang Sampah Rumah Tangga oleh Warga Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Setelah ada Sosialisasi/Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ya, Melakukan Daur Tidak Melakukan Ulang Sampah Daur Ulang Sampah Rumah Tangga Rumah Tangga Total Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Dago 3 10 27 90 30 100 Lebak Siliwangi 3 10 27 90 30 100 Persentase (%) Dari Tabel 6.7 responden Kelurahan Dago yang melakukan daur ulang sampah bertambah dua orang atau menjadi sebesar 6,67 persen, sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang melakukan daur ulang sampah rumah tangga menjadi tiga orang atau sebesar sepuluh persen. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengubah perilaku warga tidaklah mudah dan diperlukan proses penyadaran dan pelatihan yang terus menerus. Berikut salah satu pernyataan responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang telah melakukan daur ulang sampah rumah tangga. Sebenarnya karena pernah mengikuti pelatihan daur ulang sampah yang diadakan oleh komunitas dan mahasiswa saya mulai tertarik, selain itu

115 dikarenakan sering melihat tetangga yang suka mendaur ulang sampah hasil dari bersih-bersih sungai, saya mencoba untuk membuat karya yang serupa, lumayan hasilnya bagus dan banyak yang membelinya, salah satunya mahasiswa-mahasiswa yang membeli untuk dijadikan percontohan (Dde, 34 thn). Menurut komunitas CRP yang berada di Kelurahan Dago, anggota mereka memang belum ada yang memiliki kemampuan untuk mendaur ulang sampah rumah tangga menjadi nilai bernilai jual tinggi. Untuk di Kelurahan Dago, daur ulang sampah lebih didominasi daur ulang sampah organik untuk dijadikan kompos, sedangkan di Kelurahan Lebak Siliwangi bentuk daur ulang sampah warga yaitu dengan membuat berbagai jenis benda kreatif baik dari hasil limbah rumah tangga maupun limbah yang didapat dari hasil kali bersih di Sungai Cikapundung. Responden yang melakukan daur ulang sampah yang juga merupakan anggota komunitas Zero, mengaku banyak bekerjasama dengan para mahasiswa perguruan tinggi di Kota Bandung untuk melakukan kegiatan daur ulang sampah rumah tangga agar lebih banyak jenis produk-produk daur ulang sampah lainnya. Salah satu kegiatan lainnya yang menjadi prioritas bagi kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung adalah membuat septic tank komunal di beberapa RT dan RW agar pencemaran Sungai Cikapundung dapat diminimalisir dengan mengurangi pipa-pipa santasi yang umumnya dialirkan warga langsung ke Sungai Cikapundung. Jenis sanitasi yang digunakan warga di kedua lokasi penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 6.8 Jenis Sanitasi yang Digunakan oleh Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Sanitasi Menggunakan Tidak Menggunakan Total Kelurahan Septic Tank Septic Tank Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Dago 5 17 25 83,33 30 100 Lebak Siliwangi 0 0 30 100 30 100 Umumnya responden di dua kelurahan baik itu Kelurahan Dago maupun Kelurahan Lebak Siliwangi memiliki karakteristik yang sama, dimana sebesar

116 83,33 persen responden di Kelurahan Dago dan sebesar 100 persen responden di Kelurahan Lebak Siliwangi sama-sama tidak memiliki septic tank untuk membuang hasil sanitasinya. Responden di kedua lokasi penelitian mengaku bahwa mereka menggunakan Sungai Cikapundung untuk membuang hasil sanitasi lewat pipa-pipa yang langsung dialirkan ke sungai. Responden mengaku mengalirkan hasil sanitasi ke Sungai Cikapundung merupakan suatu hal yang sudah dianggap sangat wajar, karena sudah sejak dahulu dilakukan oleh hampir seluruh warga di daerahnya. Warga tidak terlalu memikirkan dan mempermasalahkan dampak apa yang ditimbulkan terhadap pembuangan hasil sanitasi tersebut. Sosialiasasi pembuatan septic tank komunal oleh kelembagaan partisipatoris senantiasa terus dilakukan yaitu dengan melakukan pendekatan kepada para pemangku kepentingan terlebih dahulu seperti RT dan RW. Berikut kesediaan warga untuk mensukseskan pelaksanaan pembuatan septic tank komunal. Tabel 6.9 Kesediaan Warga Membuat Septic Tank Setelah Adanya Sosialisasi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Menggunakan Septic Tank Total Bersedia Tidak Bersedia Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) (Orang) (%) Dago 12 40 18 60 30 100 Lebak Siliwangi 9 30 21 70 30 100 Pada Tabel 6.9 terlihat bahwa dari 30 orang responden di Kelurahan Dago hanya sebanyak 12 orang atau sebesar 40 persen responden yang bersedia untuk membuat dan menggunakan septic tank komunal, sementara 18 orang lainnya atau sebesar 60 persen responden menyatakan tidak bersedia atas pembuatan septic tank komunal di daerahnya. Untuk kelurahan Lebak Siliwangi hanya sebanyak sembilan orang responden yang bersedia atau sebesar 30 persen yang bersedia atas pembuatan septic tank komunal sementara 21 orang lainnya atau sebesar 70 persen menyatakan tidak bersedia jika tetap dipaksakan untuk membuat septic tank komunal di daerahnya. Dengan adanya program pembuatan septic tank komunal membuat pro-kontra di antara warga di RT 02/RW 01 Kelurahan Dago. Sebagaimana penuturan ketua RT 02/RW 01 yang mengaku warganya tidak setuju

117 dengan adanya pembuatan septic tank komunal. Hal ini dikarenakan septic tank tersebut dibangun di daerah yang terletak dekat dengan rumah beberapa warga. Warga ada yang pro dan kontra untuk masalah pembuatan septic tank komunal disini, warga yang kontra umumnya warga yang tidak setuju dengan adanya lubang septic tank di sekitar rumahnya, walaupun sebenarnya Bapak Lurah, RW dan komunitas CRP sudah sangat sering melakukan sosialisasi kepada warga bahwa lubang septic tank tersebut tidak akan berdampak terhadap lingkungan sekitar, namun begitu pun saya sendiri juga tidak terlalu setuju dengan adanya lubang septic tank di depan rumah saya (Rka, 30 thn, Ketua RT 02/RW 01, Kelurahan Dago). Untuk pembuatan septic tank komunal, tidak semua RW di Kelurahan Dago dijadikan daerah sasaran, dari 13 RW yang ada di Kelurahan Dago hanya ada beberapa RW saja yang akan dibuat septic tank komunal yaitu di RW 01, 03, 04, 12, dan RW 13. Untuk program septic tank komunal belum ada yang terealisasikan, sementara ini kita masih mencari lokasi yang tepat dan masih melobi untuk melakukan pembebasan lahan, karena lahan yang akan digunakan adalah milik orang. Insya Allah setelah bulan puasa ini program septic tank komunal akan mulai dilaksanakan. Kemarin baru hanya sosialisasi ke warga-warga saja agar mendukung pembuatan septic tank komunal ini (Mfd, 55 thn, Lurah Dago). Menurut staf ahli kelurahan yang juga merupakan ketua perkumpulan RW Lebak Siliwangi, permasalahan yang dihadapi dalam merealisasikan septic tank komunal di Kelurahan Lebak Siliwangi adalah ketersediaan lahan. Kelurahan Lebak Siliwangi merupakan pemukiman yang padat, untuk membuat satu septic tank komunal di satu RT saja sudah sangat sulit karena dibutuhkan lahan kosong. Sementara ketersediaan lahan kosong yang tidak ada pemiliknya sudah tidak ada di RT 03/ RW 08. Pembebasan lahan inilah yang menjadi kendala utama untuk pembuatan septic tank komunal, sedangkan untuk sarana dan prasarana pembuatan septic tank komunal sendiri sudah dibantu oleh PDAM dan Bank Dunia. Saat ini, perealisasian septic tank komunal baru dapat dilaksanakan di dua RW saja, dari delapan RW yang ada di Kelurahan Lebak Siliwangi, RW-RW tersebut antara lain RW 05 dan RW 07 saja, itupun tidak pada semua RT di RW tersebut, namun hanya di beberapa RT tertentu saja.

118 Untuk pembuatan lubang septic tank komunal kita harus memilih lokasi yang tepat sasaran, dimana lokasi tersebut harus berada pada lokasi yang dapat mengalir atau lubang harus berada pada daerah hilir, sedangkan di RT 03/RW 08 sendiri daerah hilirnya sudah tidak ada lagi lahan kosong (Ukh, 41 thn, Aparat Lebak Siliwangi). Untuk melakukan revitalisasi di Sungai Cikapundung, kelembagaan partisipatoris harus menyadarkan warganya di bantaran Sungai Cikapundung. Penyadaran tersebut terjadi bila upaya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris dapat diterima oleh warga di bantaran sungai dengan baik. Berikut partisipasi dan tanggapan warga setempat di dua kelurahan yang berbeda terhadap kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung, sebagaimana dipaparkan pada gambar 6.10. 60% 50% 40% 30% 60% 33.33% 40% 46.67% 20% 10% 13.33% 6.67% 0% Biasa Saja Baik Baik Sekali Gambar 6.10 Tanggapan dan Partisipasi Warga Terhadap Kegiatan Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.10 tanggapan dan partisipasi warga Kelurahan Dago terhadap setiap kegiatan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung yaitu sebesar 60 persen responden menjawab biasa saja, 33,33 persen menjawab kegiatan kelembagaan partisipatoris baik dan sebesar 6,67 persen responden menjawab baik sekali. Untuk responden di Kelurahan Lebak

119 Siliwangi sebesar 46,67 persen menyatakan adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris sungai di daerahnya dinilai warga baik sekali, kemudian sebesar 40 persen lainnya menyatakan baik dan 13,33 persen lainnya responden menyatakan biasa saja. Dari hasil persentase di atas terlihat bahwa Kelurahan Dago tidak terlalu terpengaruh dengan adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung, berbeda halnya dengan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang memandang adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris di daerahnya membawa manfaat yang sangat besar bagi lingkungan, khususnya sungai di daerahnya. Adanya perbedaan tanggapan antara responden di Kelurahan Dago dengan responden di Kelurahan Lebak Siliwangi lebih disebabkan karena kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan di Kelurahan Dago sudah sejak dahulu ada di daerah tersebut, sedangkan kegiatan lingkungan di Kelurahan Lebak Siliwangi baru kembali dimunculkan, langsung oleh ketua RW Kelurahan Lebak Siliwangi pada akhir tahun 2010, khususnya kegiatan lingkungan yang berhubungan dengan sungai. 6.3 Tingkat Keterlibatan Warga dalam Penghijauan Kegiatan lainnya yang telah dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung adalah penghijauan atau penanaman pohon. Untuk kegiatan penghijauan di Kelurahan Lebak Siliwangi, hal ini tidak terlalu sering dilakukan dikarenakan lahan kosong atau lahan kritis di RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong Bandung Barat, sudah sangat sedikit, serta rumah antar warga sangat berdekatan sehingga untuk menanam pohon atau sekedar menanam tanaman sudah sangat sulit, menurut responden di Kelurahan Lebak Siliwangi penghijauan atau penanaman pohon hanya beberapa kali saja dilakukan dalam satu tahun di daerahnya. Disini sekarang sudah sulit untuk menanam pohon, lahannya sudah tidak ada, sebagai gantinya warga di sini menanam tanaman atau pohon-pohon kecil di pot-pot, kemudian diletakkan di halaman depan rumah agar lingkungan tidak terlalu gersang (Ujg, 38 thn). Berbeda halnya dengan Kelurahan Dago dimana kegiatan penghijauan atau penanaman pohon memang sudah ada sejak dahulu kala, namun setelah

120 adanya komunitas CRP, kegiatan penghijauan semakin gencar dilaksanakan. Berikut pasrtisipasi masyarakat dalam kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung di dua lokasi penelitian. 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 16.67% Mengikuti 30% 83.33% Tidak Mengikuti 70% Gambar 6.11 Keterlibatan Warga dalam Penghijauan oleh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.11 responden yang mengikuti kegiatan penghijauan di Kelurahan Dago hanya sebesar 16,67 persen, sementara responden yang tidak mengikuti kegiatan penghijauan sangatlah tinggi yaitu sebesar 83,33 persen. Untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 30 persen mengatakan pernah mengikuti kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris, sementara 70 persen lainnya mengatakan tidak pernah mengikuti kegiatan penghijauan tersebut. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi warga dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris masih sangat rendah. Namun hal ini dapat dijelaskan dengan alasan sebagai berikut. Sebenarnya setiap akan diadakan kegiatan penghijauan, kami selalu mensosialisasikannya kepada warga setempat, hal ini biasa kami lakukan dalam upaya penyadaran warga, namun yang terjadi adalah warga yang datang hanya segelintir. Walaupun begitu kegiatan penghijauan masih tetap dilaksanakan oleh warga asli Cikapundung yang merupakan anggota

121 komunitas, jadi, warga yang tidak tergabung dalam keanggotaan komunitas berdalih sudah banyak orang yang membantu kegiatan penghijauan tersebut sehingga tidak perlu datang (Arf, 46 thn, Anggota Komunitas CRP). Rata-rata responden yang mengikuti kegiatan penghijauan dikarenakan kesadaran akan ruang terbuka hijau saat ini yang sudah sangat memprihatinkan. Responden di kedua lokasi penelitian mengaku bahwa dalam setiap kegiatan penghijauan baik yang diadakan oleh komunitas CRP dan komunitas Zero senantiasa selalu mengajak warga untuk turut berperan serta dan melakukan aksi penghijauan langsung di tempat. Untuk Kelurahan Dago, rata-rata penghijauan yang dilakukan lima hingga sepuluh kali dalam satu tahun. Sementara untuk di Kelurahan Lebak Siliwangi frekuensi kegiatan penghijauan lebih rendah dibandingkan dengan di Kelurahan Dago dimana responden menjawab penghijauan yang dilakukan di daerahnya hanya sebanyak tiga hingga tujuh kali dalam satu tahun. Selanjutnya pada Gambar 6.12 memperlihatkan apakah kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris dapat memicu kegiatan yang serupa di dua lokasi penelitian. 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 16.67% Memicu Kegiatan Penghijauan 76.67% 83.33% 23.33% Tidak Memicu Kegiatan Penghijauan Gambar 6.12 Pengaruh Kegiatan Kelembagaan Partisipatoris Terhadap Kegiatan Penghijauan di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Jawa Barat, 2011

122 Pada Gambar 6.12 diperlihatkan bahwa kegiatan penghijauan yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris kurang memicu kegiatan serupa di Kelurahan Dago dimana responden yang menyatakan kegiatan penghijauan yang diadakan oleh komunitas CRP memicu kegiatan serupa di daerahnya hanya sebesar 16,67 persen. Berbeda halnya dengan Kelurahan Lebak Siliwangi dimana responden menjawab 76,67 persen kegiatan-kegiatan komunitas Zero memicu dan menginisiasi warga untuk melakukan kegiatan serupa di daerahnya. Berikut pernyataan responden dari kedua kelurahan yang berbeda. Memang lokasi kita dekat dengan sekret komunitas CRP dan juga setelah adanya komunitas CRP disini, kegiatan penghijauan semakin banyak, tapi tidak terlalu berpengaruh terhadap warga di sini, sama keadaanya seperti dahulu, biasa-biasa aj (Rka, 30 thn, Ketua RT 02/RW 01, Kelurahan Dago). Menurut salah seorang anggota komunitas CRP yang juga merupakan warga RT 02/RW 01, walaupun dengan adanya keberadaan komunitas CRP di lingkungannya berpengaruh terhadap kelestarian Sungai Cikapundung dan ruang terbuka hijau, namun partisipasi warga RT 02/RW 01 di hampir setiap kegiatan lingkungan yang diadakan oleh komunitas CRP sangat rendah. Selain solidaritas yang tidak begitu kuat, warga RT 02/RW 01 memang memiliki permasalahan dengan komunitas CRP terkait persoalan septic tank komunal. Kegiatan-kegitan komunitas CRP lebih banyak diminati dan digemari oleh anak remaja dibandingkan oleh orang dewasa di RT 02/ RW 01. Umumnya remaja-remaja tersebut merupakan remaja yang telah putus sekolah serta tidak memiliki pekerjaan apapun. Remaja-remaja tersebut sangat membantu anggota komunitas CRP dalam mengambil sampah-sampah dari sungai dan sebagai tenaga tambahan dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh komunitas. Berbeda dengan pernyataan salah seorang warga RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi dimana sudah mulai terlihat perubahan sikap dan perilaku warganya dalam kegiatan penghijauan. Sekarang setelah adanya komunitas Zero banyak perubahan yang terjadi, dahulu di RT 03 jarang sekali warga yang manaman tanaman di depan rumahnya, karena disini sudah tidak ada tanah atau halaman yang dapat ditanam, tetapi sekarang hal tersebut sudah disiasati dengan menggunakan pot-pot. coba saja lihat di sepanjang jalan RT 03 semua warga menanam pot

123 di depan rumahnya agar tidak lagi gersang (Hrd, 35 thn, Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Penanaman tumbuhan hijau dengan menggunakan pot tersebut merupakan instruksi langsung yang diberikan ketua RW 08 yang juga merupakan ketua komunitas Zero kepada seluruh warganya khususnya warga RT 03/RW 08. Selanjutnya berikut disajikan data mengenai partisipasi warga dalam setiap kegiatan penghijauan atau penanaman pohon di daerahnya yang dikategorikan menjadi empat kategori yaitu selalu melakukan kegiatan penghijauan di daerahnya, kadang-kadang saja mengikuti penghijauan, jarang mengikuti kegiatan penghijauan, dan terakhir tidak pernah mengikuti kegiatan penghijauan di daerahnya. 60% 50% 50% 56.67% 40% 30% 20% 13.33% 20% 30% 23.33% 10% 6.67% 0% Selalu Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah Gambar 6.13 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Penghijauan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Gambar 6.13 memperlihatkan bahwa partisipasi warga di kedua kelurahan dalam setiap kegiatan penghijauan dapat dikatakan tergolong rendah dimana sebanyak 56,67 persen warga Kelurahan Dago menjawab tidak pernah ikut kegiatan penghijauan atau penanaman pohon di daerahnya, sementara 30 persen lainnya menjawab jarang dan 13,33 persen lainnya menjawab kadang-kadang saja mengikuti kegiatan penghijauan. Untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden

124 yang menjawab tidak pernah mengikuti kegiatan penghijauan di daerahnya yaitu sebanyak 23,33 persen, menjawab jarang sebesar 50 persen, kadang-kadang sebesar 20 persen dan yang menjawab selalu sebesar 6,67 persen. Dapat disimpulkan bahwa partisipasi warga yang berlokasi sudah ke tengah Sungai Cikapundung lebih baik dalam kegiatan penghijauan dibandingkan dengan warga di Kelurahan Dago yang berada di daerah hulu dan masih memiliki banyak lahan kosong. Hal ini dikaitkan kembali dengan rasa solidaritas dan gotong royong diantara warga di setiap kelurahan. Umumnya warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang sudah memasuki kawasan tengah Sungai Cikapundung memiliki rasa solidaritas dan gotong royong yang lebih kuat dibandingkan dengan warga di Kelurahan Dago yang merupakan kawasan hulu Sungai Cikapundung, diakarenakan para elit politik seperti RT, RW, komunitas, karang taruna dan lain sebagainya saling bekerjasama dalam setiap permasalahan lingkungan yang muncul di daerahnya. Kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di kedua kelurahan dikategorikan menjadi dua kategori yaitu sangat baik dan kurang baik. Berikut disajikan kondisi kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di daerah warga di dua lokasi penelitian pada Gambar 6.14. 90% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Baik 30% 10% Kurang Baik 70% Gambar 6.14 Kegiatan Pemeliharaan Pepohonan/Tanaman Hijau di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

125 Pada Gambar 6.14 kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di Kelurahan Dago lebih baik dibandingkan dengan kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di Kelurahan Lebak Siliwangi, dimana 90 persen responden menjawab baik dalam kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di daerahnya. Sementara di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 70 persen responden menyatakan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di daerahnya kurang baik. Berbeda dengan warga RT 02/ RW 01 Kelurahan Dago yang tempat tinggal sebagian warganya berjarak dekat dengan area penanaman pohon dan tumbuhan hijau. Warga RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi tidak memiliki lahan tempat untuk menanam pohon, jika komunitas atau warga melakukan kegiatan penanaman bibit pohon maka itu kembali dilakukan di taman hutan kota Lebak Siliwangi, sehingga tempat pemeliharaan pepohonan atau tumbuhan hijau memiliki jarak yang cukup jauh dari pemukiman warga RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi. Selanjutnya, berikut kegiatan penanaman pohon atau tanaman hijau di pekarangan responden di dua lokasi penelitian setelah adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris. 80.00% 70.00% 60.00% 73.33% 63.33% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 26.67% 36.67% 0.00% Menanam Tidak Menanam Gambar 6.15 Kegiatan Penanaman Pohon/Tanaman Hijau di Pekarangan Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

126 Pada Gambar 6.15 sebanyak 26,67 persen responden di Kelurahan Dago menjawab menanam pepohonan atau tanaman hijau di daerah pekarangan rumahnya, sisanya sebanyak 73,33 persen responden tidak memelihara atau menanam tanaman hijau di pekarangan rumahnya. Untuk kegiatan menanam pohon atau tanaman hijau di pekarangan rumah sebanyak 36,67 persen responden Kelurahan Lebak Siliwangi melakukan penanaman di pekarangan rumahnya dan sebanyak 63,33 persen responden tidak melakukan penanaman tanaman hijau atau pepohonan di pekarangan rumahnya. Rata-rata warga RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi yang menanam tumbuhan hijau di pekarangan rumahnya adalah warga yang rumahnya menghadap langsung ke jalan raya dan tidak berada di dalam gang-gang kecil, dimana responden yang tinggal di dalam gang kecil mengaku tidak memiliki lahan yang cukup bahkan hanya untuk menyimpan pot. Warga RT 02/RW 01 Kelurahan Dago secara kasat mata melihat memang jarang sekali ada yang menanam tumbuh-tumbuhan atau tanaman hias di pekarangannya. Selanjutnya, berikut diperlihatkan tanggapan mengenai kehadiran responden di dua lokasi penelitian dalam kegiatan penghijauan atau penananaman pohon. 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 13.33% 6.67% Penting Sekali 93.33% 86.67% Tidak Begitu Penting Gambar 6.16 Kehadiran Warga dalam Kegiatan Penghijauan/Penanaman Pohon di Daerahnya, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

127 Pada Gambar 6.16 responden Kelurahan Dago yang menyatakan bahwa kehadirannya dalam kegiatan penghijauan atau penanaman pohon penting sekali sebesar 6,67 persen, sedangkan untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 13,33 persen. Persentase di atas menunjukkan bahwa responden di dua kelurahan belum mengangggap kehadirannya penting dalam setiap kegiatan penghijauan di daerahnya. Responden mengaku, ada atau tidak ada dirinya dalam setiap kegiatan penghiijauan tidak akan mempengaruhi kegiatan penghijaun itu sendiri, para responden menganggap cukup anggota kelembagaan partisipatorislah yang wajib hadir dalam kegiatan penghijauan tersebut. Setiap kegiatan penghijauan, perencanaan penghijauan umumnya dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung terlebih dahulu yang masih merupakan warga asli Cikapundung. Responden yang mengikuti kegiatan sosialisasi penghijauan mengaku bahwa pengetahuannya bertambah antara lain mengenai jenis-jenis pohon yang biasa ditanam yang juga dapat dimanfaatkan secara langsung oleh warga, cara penanaman pohon yang baik dan benar, serta cara perawatan pohon yang telah ditanam agar tumbuh dan tidak cepat mati. 6.4 Tingkat Keterlibatan Warga dalam Kegiatan Gotong Royong Kegiatan gotong royong merupakan salah satu kegiatan yang begitu penting karena selain menjaga kebersihan lingkungan secara bersama-sama, kegiatan gotong royong pun dapat mempererat ikatan kekeluargaan diantara warganya. Hal inilah yang sedang dibangun kembali oleh kelembagaan partisipatoris sungai dimana mereka senantiasa mengajak warganya untuk selalu peduli dengan kebersihan lingkungan khususnya kelestarian Sungai Cikapundung. Kegiatan-kegiatan seperti bersih-bersih sungai pun kini selalu disisipkan oleh kelembagaan partisipatoris dalam setiap agenda gotong royong atau kebersihan lingkungan. Berikut pengaruh adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris terhadap kegiatan gotong royong di daerah warga.

128 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 6.67% Memicu Kegiatan Gotong Royong 100% 93.33% 0.00% Tidak Memicu Kegiatan Gotong Royong Gambar 6.17 Pengaruh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Gambar 6.17 memperlihatkan dengan adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung dapat memicu kegiatan gotong royong khususnya di Kelurahan Lebak Siliwangi dimana sebesar 100 persen responden menjawab kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris telah memicu kegiatan gotong royong di daerahnya. Berbeda halnya dengan Kelurahan Dago yang berlokasi di hulu Sungai Cikapundung, dimana 93,33 persen responden menjawab adanya kelembagaan partisipatoris tidak mempengaruhi atau sama sekali tidak memicu adanya kegiatan gotong royong di daerahnya, hal ini dikarenakan ketua RT maupun RW serta komunitas CRP di Kelurahan Dago tidak mengagendakan kegiatan gotong royong secara rutin bersama warga setempat, dimana kegiatankegiatan lingkungan terutama terkait kelestarian Sungai Cikapundung hanya dilimpahkan kepada anggota komunitas CRP saja. Berbeda halnya dengan asas gotong royong di Kelurahan Lebak Siliwangi yang sebelumnya telah lama ada, setelah adanya komunitas Zero, kegiatan semacam gotong semakin gencar dilaksanakan atas inisiatif warga sendiri. Sebelumnya, di Kelurahan Lebak Siliwangi tidak ada semacam komunitas-komunitas pegiat lingkungan, namun setelah masuknya komunitas CRP ke daerah Lebak Siliwangi, kini sudah ada beberapa komunitas pegiat sungai di Kelurahan Lebak Siliwangi. Dari delapan

129 RW di Kelurahan Lebak Sliwangi kini telah ada lima komunitas pegiat Sungai Cikapundung dengan berbagai nama yang berbeda yang ditempatkan di beberapa RW. Berikut frekuensi kegiatan gotong royong di dua lokasi penelitian sebelum dan setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung sebagaimana Gambar 6.18 di bawah ini: 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 20% 37% 83.33% Berkala Insidentil Rutin Berkala Insidentil Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris 63% 0% 100% 26.67% 73.33% 0% 0% Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Gambar 6.18 Kegiatan Gotong Royong di Daerah Warga Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kegiatan gotong royong sebelum adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung di Kelurahan Dago umumnya dilakukan secara insidentil dimana responden menjawab sebesar 83,33 persen, sisanya sebesar 20 persen responden menjawab bahwa gotong royong di daerahnya dilakukan secara berkala. Untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang menjawab gotong royong di daerahnya dilakukan secara insidentil sebesar 63,33 persen dan yang menjawab berkala ada sebanyak 37 persen. Setelah adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung terjadi perubahan frekuensi kegiatan gotong royong dimana dimana 100 persen responden di RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi menjawab bahwa kegiatan gotong royong di daerahnya dilakukan secara rutin yaitu seminggu sekali tepatnya dilaksanakan pada hari sabtu pagi.

130 Berbeda dengan Kelurahan Dago yang hampir tidak ada perubahan dari sebelum adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris, dimana sebanyak 73,33 persen responden menyatakan kegiatan gotong royong di daerahnya bersifat insidentil dan sebesar 26,67 persen menjawab gotong royong dilakukan secara berkala hanya menjelang hari-hari besar saja. Berikut pernyataan salah seorang anggota komunitas Zero di Kelurahan Lebak Siliwangi yang juga warga asli RT 03/RW 08. Dahulu kegiatan gotong royong di sini diadakan hanya jika menjelang hari-hari besar saja, seperti puasa, 17 agustus, atau hanya jika ada masalah lingkungan seperti saluran-saluran yang tersumbat oleh sampah-sampah yang datang dari hulu sungai dan sebagainya. Namun saat ini, kegiatan gotong royong setelah adanya komunitas Zero menjadi bervariasi dimana kegiatan bersih-bersih kali menjadi agenda utama, jadwal gotong royong disni pun rutin menjadi seminggu sekali yaitu pada hari sabtu atau minggu (Aan, 33 thn, Humas Zero). Partisipasi responden dalam setiap kegiatan gotong royong dikategorikan menjadi empat kategori yaitu selalu, kadang-kadang, jarang dan tidak pernah, berikut persentase warga yang mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya dipaparkan dalam Gambar 6.19. 60% 56.67% 50% 40% 30% 20% 30% 23.33% 23.33% 40% 20% 10% 0% 6.67% Selalu Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah 0% Gambar 6.19 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

131 Pada Gambar 6.19 partisipasi responden dalam kegiatan gotong royong di dua lokasi penelitian tidaklah jauh berbeda dimana sebesar 30 persen responden di Kelurahan Dago menjawab selalu mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya, sementara 23,33 persen lainnya menjawab kadang-kadang saja mengikuti kegiatan gotong royong, 40 persen lainnya menjawab jarang mengikuti kegiatan gotong royong dan 6,67 persen responden menyatakan tidak pernah mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya. Untuk tingkat partisipasi di Kelurahan Lebak Siliwangi, responden yang menjawab selalu dalam setiap kegiatan gotong royong sebesar 23,33 persen, kadang-kadang sebesar 56,67 persen dan menjawab jarang sebesar 20 persen. Ketidakhadiran responden di dua lokasi penelitian memiliki berbagai macam alasan, namun pada umumnya dua alasan responden tidak mengikuti kegiatan gotong royong adalah karena disibukkan dengan pekerjaannya serta berbagai acara keluarga sehingga berbentrokan dengan waktu dilaksanakannya gotong royong dan juga karena masalah informasi dimana banyak warga yang tidak tahu bahwa akan diadakan kegiatan gotong royong di daerahnya. Berikut alasan responden yang mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya, adalah sebagai berikut: 80% 70% 73.33% 70% 60% 50% 40% 30% 30% 20% 20% 10% 0% 6.67% 0% Menjaga Kebersihan Lingkungan serta Menghindari Penyakit Agar Lingkungan Terlihat Bersih dan Indah Ikut-Ikutan Tetangga Gambar 6.20 Alasan Warga Mengikuti Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

132 Pada Gambar 6.20 sebesar 70 persen responden di Kelurahan Dago menjawab bahwa mereka mengikuti kegiatan gotong royong adalah untuk menjaga kebersihan lingkungannya serta agar terhindar dari berbagai penyakit yang dapat ditimbulkan dari sampah yang tidak dibersihkan, sisanya sebesar 30 persen responden menjawab alasan mereka mengikuti kegiatan gotong royong adalah agar lingkungan terlihat bersih dan indah saja. Responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang mengikuti kegiatan gotong royong dengan alasan untuk menjaga kebersihan lingkungan serta terhindar dari penyakit sebesar 73,33 persen, yang menjawab agar lingkungan terlihat bersih, nyaman dan indah ada sebesar 20 persen, dan yang hanya ikut-ikutan tetangga sebesar 6,67 persen. Salah satu pernyataan responden warga Kelurahan Lebak Siliwangi yang mengikuti kegiatan gotong royong dengan alasan mengikuti tetangganya adalah sebagai berikut. Saya mengikuti kegiatan gotong-royong jika teman-teman saya yang lainnya juga ikut, bila hanya saya sendiri saja yang ikut, saya tidak mau (Jun, 52 thn). Pada umumnya warga di dua kelurahan sudah sangat mengetahui manfaat dan pentingnya kegiatan gotong royong diadakan di daerahnya. Namun dalam kenyataannya masih saja terdapat warga yang tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan gotong-royong tersebut. Selanjutnya, dipaparkan bagaimana pandangan serta tanggapan responden terhadap kegiatan gotong royong di daerahnya.

133 70% 60% 70% 63.33% 50% 40% 30% 20% 30% 36.67% 10% 0% 0.00% Sangat Baik Baik Kurang Baik Gambar 6.21 Tanggapan Warga Terhadap Kegiatan Gotong Royong di Daerahnya, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Responden di Kelurahan Dago yang menyatakan kegiatan gotong royong di daerahnya baik ada sebesar 36,67 persen, dan yang menyatakan kurang baik sebesar 63,33 persen. Sementara di Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang menyatakan kegiatan gotong royong di daerahnya sangat baik ada sebesar 30 persen, serta yang menyatakan baik sebesar 70 persen. Dari persentase di atas terlihat bahwa pandangan responden terhadap kegiatan gotong royong di daerahnya jauh lebih baik di Kelurahan Lebak Siliwangi dibandingkan dengan kegiatan gotong royong di Kelurahan Dago. Hal ini terjadi karena kegiatan gotong royong di Kelurahan Dago diadakan hanya pada saat-saat tertentu saja atau bersifat insidentil. Komunitas CRP dan komunitas Zero yang berada di dua lokasi penelitian selalu melakukan aksi bersih-bersih Sungai Cikapundung, hal ini diterapkan komunitas sebagai salah satu bentuk kegiatan gotong royong bersamasama dengan warga. Berikut partisipasi warga dalam kegiatan bersih-bersih sungai yang biasanya dilakukan secara rutin setiap hari oleh komunitas.

134 80% 73.33% 70% 60% 50% 43.33% 40% 30% 20% 10% 13.33% 7% 23.33% 20% 20% 0% Selalu Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah Gambar 6.22 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Bersih-Bersih Sungai, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Gambar 6.22 memperlihatkan bahwa sebesar tujuh persen responden di Kelurahan Dago menjawab kadang-kadang saja mengikuti kegiatan bersih-bersih, responden yang menjawab jarang sebesar 20 persen dan yang tidak pernah sama sekali mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai yaitu 73,33 persen. Responden di Kelurahan Lebak Siliwangi yang selalu mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai, sebesar 13,33 persen, 23,33 persen menjawab kadang-kadang saja mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai, 20 persen lainnya menjawab jarang dan sebesar 43,33 persen mengaku tidak pernah mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai di daerahnya. Persentase yang rendah di dua kelurahan ini terjadi karena kegiatan bersih-bersih sungai merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan hanya bagi anggota komunitas CRP dan komunitas Zero saja. Bagi warga biasa kegiatan bersih-bersih sungai bukan merupakan hal yang wajib diikuti dalam setiap kegiatan gotong royong serta pada umumnya kegiatan bersih-bersih atau susur sungai kebanyakan dilakukan oleh bapak-bapak dan para pemuda. Hal ini sebagaimana pernyataan humas komunitas Zero. Jadi sebenarnya, kegiatan susur sungai ini hanya diwajibkan kepada para anggota komunitas saja, biasanya anggota komunitas yang sudah beberapa kali

135 absen dari kegiatan susur sungai akan mendapat teguran atau sanksi, namun dalam kegiatan gotong royong kami selalu mengajak bapak-bapak dan para pemuda untuk turut serta dalam kegiatan ini. Memang warga disini masih merasa jijik untuk turun langsung ke sungai karena warna air sungainya yang coklat keruh, namun jika terus menerus dibiasakan maka lama-kelamaan warga akan ketagihan untuk ikut susur sungai lagi (Adr, 33 thn) Baik komunitas CRP dan komunitas Zero senantiasa mengajak warga khususnya para ibu-ibu agar turut serta berpartisipasi dalam kegiatan susur sungai. Biasanya para ibu-ibu rumah tangga yang tidak turun ke sungai menyiapkan makanan dan minuman untuk disuguhkan kepada para pemuda dan kepada bapak-bapak yang baru pulang dari kegiatan susur sungai. Selain perubahan perilaku pada warga yang tidak lagi membuang sampah ke Sungai Cikapundung, adanya kelembagaan partisipatoris membuat para warga RT 03/RW 08 menjadi lebih memperhatikan keberadaan dan keberfungsian Sungai Cikapundung, hal ini dikarenakan setiap selesai melakukan monitoring, bersihbersih ataupun hanya sekedar bermain di Sungai Cikapundung, banyak warga yang antusias melihat, atau sekedar menunggu kepulangan suami atau anak-anak mereka yang turut ikut turun ke Sungai Cikapundung. Sebagaimana penuturan Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong. Setiap Bapak RW bersama komunitas Zero pulang sore setelah melakukan monitoring Sungai Cikapundung dengan menggunakan boat atau ban, di sepanjang jembatan kuning ini, pasti warga RW 08 sudah banyak yang menunggu mulai dari ibu-ibu, nenek-nenek, bapak-bapak, anak muda hingga anak kecil semuanya bersorak. Hal ini termasuk salah satu bentuk penyadaran terhadap warga secara tidak langsung dan bentuk perhatian warga terhadap Sungai Cikapundung (Hrd, 35 tahun, Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Menurut penuturan Bpk Hrd adanya kelembagaan partisipatoris telah membawa kebiasaan baru yang positif bagi warga RW 08 khususnya warga RT 03 Kelurahan Lebak Siliwangi. Dahulu anak-anak sering meminta uang kepada orang tuanya untuk bermain game online di warung internet, namun kini mereka sudah jarang meminta uang lagi karena kini mereka sibuk bermain di Sungai Cikapundung. Hal ini sangat positif karena bila mereka sudah tumbuh besar nanti, merekalah yang menjadi penerus untuk mengurus dan memelihara Sungai

136 Cikapundung secara turun temurun agar tetap digiatkan (Hrd, 35 tahun, Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Untuk mengetahui seberapa sering kegiatan bersih-bersih di Sungai Cikapundung, berikut disajikan frekuensi diadakannya bersih-bersih sungai menurut responden di dua lokasi penelitian. 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 93.33% Selalu 66.67% 6.67% Kadang-Kadang 30% Gambar 6.23 Frekuensi Diadakannya Kegiatan Bersih-Bersih Sungai di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.23 sebesar 93,33 persen responden Kelurahan Dago menyatakan selalu terdapat kegiatan bersih-bersih sungai di daerahnya, dan 6,67 persen lainnya mengatakan kadang-kadang saja kegiatan bersih-bersih sungai diadakan. Sementara di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 66,67 persen responden mengatakan selalu ada kegiatan bersih-bersih sungai setiap hari dan setiap minggu di daerahnya, 30 persen responden lainnya mengatakan hanya kadang-kadang saja, dan sebesar tiga persen responden di Kelurahan Lebak Siliwangi menjawab jarang ada kegiatan bersih-bersih sungai di daerahnya. Walaupun responden di Kelurahan Dago pada umumnya menjawab selalu ada kegiatan bersih-bersih di sungai namun warganya sendiri jarang mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai tersebut. Kegiatan bersih-bersih sungai di Kelurahan

137 Lebak Siliwangi yang selama ini dilakukan oleh komunitas Zero berubah menjadi kegiatan monitoring sungai. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh salah satu anggota komunitas Zero (Wwn, 40 thn). Pada masa awal terbentuknya komunitas Zero, kita memang benar-benar membersihkan Sungai Cikapundung, namun setelah warga disini sudah tidak membuang sampah lagi ke sungai dan di hulu pun sudah lumayan bersih. Kegiatan bersih-bersih sungai pun berubah menjadi kegiatan monitoring sungai untuk melihat dan memantau siapa saja warga atau industri yang masih membuang sampah atau limbahnya ke Sungai Cikapundung (Wwn, 40 thn). Setiap kegiatan gotong royong baik itu di Kelurahan Dago maupun Kelurahan Lebak Siliwangi, membutuhkan peralatan untuk digunakan warga dalam kegiatan gotong-royong ataupun bersih-bersih sungai, peralatan tersebut merupakan hasil swadaya warga. Penelitian ini juga mengukur tingkat partisipasi responden dalam kegiatan rapat-rapat, perbaikan dan pemeliharaan lingkungan di dua kelurahan setelah adanya kelembagaan partisipatoris, sebagaimana disajikan pada Gambar 6.24. 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 43% 43% 33.33% 27% 23.33% 16.67% 7% 6.67% Selalu Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah Gambar 6.24 Partisipasi Warga dalam Rapat-Rapat Perbaikan dan Pemeliharaan Lingkungan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

138 Pada Gambar 6.24 terlihat responden di Kelurahan Dago yang selalu mengikuti kegiatan rapat-rapat perbaikan dan pemeliharaan lingkungan sebesar tujuh persen, yang menjawab kadang-kadang sebesar 16,67 persen, menjawab jarang sebesar 43 persen dan yang tidak pernah ikut kegiatan rapat-rapat perbaikan dan pemeliharaan lingkungan sebesar 33,33 persen. Responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang mengikuti kegiatan rapat-rapat perbaikan dan pemeliharaan lingkungan jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan Kelurahan Dago yaitu sebesar 23,33 persen sementara yang menjawab kadang-kadang hanya sebesar 6,67 persen dan yang menjawab jarang sebesar 27 persen, terakhir responden yang tidak pernah mengikuti kegiatan rapat-rapat perbaikan dan pemeliharaan sungai ada sebesar 43 persen lebih tinggi daripada jumlah responden di Kelurahan Dago. Kegiatan rapat ini dilakukan bila terjadi permasalahan lingkungan di kedua daerah, terjadinya perbedaan partisipasi diantara kedua kelurahan disebabkan oleh para pemangku kepentingan serta lembaga yang berlaku di masyarakat. Bila dilihat ketua RT 03 dan RW 08 serta lembaga masyarakat yang berada di Kelurahan Lebak Siliwangi cenderung lebih solid dibandingkan dengan yang ada di RT 02/ RW 01 Kelurahan Dago. Dalam kegiatan gotong royong biasanya diperlukan sumberdaya yang dapat menunjang keberlangsungan perbaikan dan pemeliharaan lingkungan, sumberdaya tersebut bisa berbentuk tenaga, materi, serta pikiran. Selanjutnya disajikan bentuk sumbangan yang diberikan responden penelitian dalam kegiatan perbaikan dan pemeliharaan lingkungan di daerahnya.

139 40% 35% 30% 25% 33% 36.67% 40% 23.33% 27% 40% 20% 15% 10% 5% 0% Pemikiran, Tenaga, Materi Tenaga, Materi Uang Gambar 6.25 Bentuk Sumbangan Warga dalam Kegiatan Perbaikan dan Pemeliharaan Lingkungan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Umumnya sumbangan yang diberikan responden di Kelurahan Dago berupa pemikiran, uang/materi dan tenaga yaitu sebesar 33,33 persen, sumbangan uang dan tenaga sebesar 40 persen, serta responden yang hanya menyumbang uang/materi dan tenaga sebesar 27 persen. Untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang menyumbangkan pemikiran dan uang/materi serta tenaga sebanyak 36,67 persen jauh lebih besar dibandingkan dengan sumbangan responden Kelurahan Dago, sedangkan untuk responden yang menyumbangkan uang/materi dan tenaga ada sebesar 23,33 persen, terakhir responden yang hanya menyumbangkan uang/materi dalam kegiatan perbaikan dan pemeliharaan jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden di Kelurahan Dago yaitu sebesar 40 persen. Warga RT 03/ RW 08 mengaku setelah adanya kegiatan bersih-bersih setiap hari sabtu dan minggu maka semangat untuk bergotong royong lebih terasa, tidak seperti dahulu dimana kegiatan gotong-royong waktunya tidak menentu dan bersifat berkala ataupun insidental. Setelah adanya komunitas Zero banyak diadakan kegiatan-kegiatan yang memperkuat solidaritas antar warga, salah satunya pertandingan olahraga antar RT.