BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang- orang yang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB II LANDASAN TEORI

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa bertambah, begitu juga halnya di Indonesia (

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan berbagai kesempurnaan.

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

BAB I PENDAHULUAN. tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Anak tuna rungu

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB IV INTERPRESTASI HASIL PENELITIAN. telah dipilih selama penelitian berlangsung. Selain itu juga berguna untuk

BAB II LANDASAN TEORI. A. Interaksi Sosial. Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA TUNARUNGU (Studi Kasus di SMK Negeri 30 Jakarta)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang memiliki bentuk tubuh yang ideal memang menjadi

HUBUNGAN ANTARA SUASANA KELUARGA DENGAN MINAT BELAJAR PADA REMAJA AWAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sempurna. Ada sebuah. ungkapan yang mengatakan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup setiap orang, yang berguna

HUBUNGAN ANTARA SELF BODY IMAGE DENGAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI REMAJA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keterbatasan, tidak menjadi halangan bagi siapapun terutama keterbatasan

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Salah satu masalah yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

Bab II Tinjauan Teori

BAB I PENDAHULUAN. sisi lain. Orang mempunyai kecacatan fisik belum tentu lemah dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki ukuran dan proporsi tubuh yang berbeda-beda satu

BAB V PENUTUP. Penelitian yang bejudul Konsep Diri Pada Penderita Tumor Jinak

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam pembangunan. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. peserta tingkat pendidikan ini berusia 12 hingga 15 tahun. Dimana pada usia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

Sosialisasi Bahasa dalam Pembentukkan Kepribadian Anak. Sosialisasi bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan inti dan arah penelitian,

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat

GAMBARAN KONSEP DIRI ORANG TUA DENGAN ANAK RETARDASI MENTAL DI SLB NEGERI WIRADESA KABUPATEN PEKALONGAN

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Setiap aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu fase dalam perkembangan individu adalah masa remaja. Remaja yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak ke masa dewasa. Remaja dianggap sebagai individu yang hampir dewasa dan berada diambang perbatasan untuk memasuki dunia orang dewasa, karena itu pada masa remaja seorang individu dituntut untuk meninggalkan sifat kekanakkanakan seperti sifat manja dan mulai untuk mengembangkan perspektif kearah masa depan seperti mempunyai cita-cita yang sudah realistik. Bila diamati pada masa remaja terjadi perubahan baik secara fisik, perasaan, cara pandang dan cara menilai dirinya sendiri atau yang dikenal dengan istilah konsep diri (Fitts, 1971). Konsep diri tidak dibawa sejak lahir melainkan merupakan hasil proses pembentukan yang berlangsung sejak masa kanak-kanak berdasarkan pengolahan dari pengalaman yang didapat oleh individu melalui interaksinya dengan lingkungan. Proses perkembangan konsep diri membutuhkan suatu kondisi yang ideal agar konsep diri dapat berkembang ke arah positif. Kondisi ideal yang diperlukan seperti keutuhan atau hubungan keluarga yang harmonis, lingkungan sekolah yang nyaman, teman sebaya yang baik (teman merupakan tempat remaja lebih banyak mencurahkan isi hati baik di saat senang maupun sedih) dan adanya usaha dari pihak sekolah untuk membantu mengembangkan kemampuan remaja dalam 1

2 bidang-bidang tertentu sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan Fitts (1971) yang mengungkapkan bahwa pembentukan konsep diri pada masa remaja melibatkan identifikasi dengan orang lain, khususnya orang yang dekat dengannya, seperti orang tua, guru, dan teman sebaya. Sejalan dengan kondisi ideal diatas dalam proses pembentukan konsep diri terdapat hal-hal yang mempengaruhinya, yaitu pengalaman interpersonal yang menghasilkan perasaan positif dan dinilai berharga, kemampuan yang diakui oleh individu dan orang lain serta aktualisasi diri atau pelaksanaan dan perwujudan dari potensi yang dimilikinya. Begitu pula pada remaja tunarungu, gambaran diri yang dimiliki remaja tunarungu pada saat ini merupakan hasil pembentukan yang berlangsung sejak masa kanak-kanak yang dipengaruhi oleh interaksi remaja tunarungu dengan keluarga, lingkungan sekitar, teman, dan sekolah sehingga remaja tunarungu memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkannya. Tidak berbeda dengan remaja normal, remaja tunarungu yang memiliki konsep diri positif diharapkan akan memiliki penerimaan yang tinggi terhadap keadaan diri, memiliki keyakinan atau kepercayaan diri yang positif. Hal seperti ini dapat membawa banyak manfaat bagi remaja tunarungu, misalnya mampu bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungan, mampu menghadapi persaingan, dan mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Semakin positif konsep diri individu maka semakin positif juga pandangannya tentang orang lain (Fitts, 1971). Sedangkan remaja tunarungu yang memiliki konsep diri negatif tidak dapat menerima dan menghargai keadaan dirinya sehingga menjadi kurang percaya diri,

3 merasa rendah diri, dan hal ini tentunya akan menghambat proses perkembangan diri remaja tunarungu, misalnya menarik diri dari pergaulan karena merasa malu, merasa dirinya tidak berguna karena tidak mengenal dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, remaja tunarungu tidak dapat menerima stimulus dari lingkungan dengan menggunakan indera pendengar karena melalui indera pendengaran individu dapat menangkap dan menyadari suara-suara disekelilingnya, seperti suara orang berbicara, suara musik, suara air mengalir, suara hewan, dan suara-suara lainnya. Secara psikologis suara-suara akan memberikan rasa aman pada individu dan merasa adanya kontak yang terusmenerus dengan orang dan benda yang berada disekelilingnya namun hal ini tidak dapat dirasakan oleh remaja tunarungu. Pendengaran juga merupakan media untuk berkomunikasi secara lisan, karena dapat mendengar dan mengerti pesan yang disampaikan pembicara, dapat menerima berbagai informasi baik tentang hal-hal yang terjadi di sekitar kita ataupun kejadian-kejadian yang jauh dari tempat kita, yang dapat diketahui dari melalui radio, televisi, dan sebagainya. Ketunarunguan dapat disebabkan oleh kelainan kromosom, infeksi, tulang tengkorak yang retak, mendengar suara yang keras, saat hamil ibu terkena virus rubella yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan bicara dan bahasanya karena tidak dapat mendengar sehingga remaja tunarungu mengalami kesulitan untuk mengungkapkan pikiran dan keinginannya melalui ucapan atau bicara (Somad, 1996). Pemahaman bahasanya sangat terbatas, sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Akibat dari tidak

4 berfungsinya pendengaran, remaja tunarungu kurang dapat menguasai atau memahami hal-hal yang tidak terdengar olehnya karena remaja tunarungu berusaha memahami lingkungan melalui penglihatannya. Dengan demikian pemahaman terhadap lingkungan menjadi lebih sempit dibandingkan individu yang mendengar. Remaja tunarungu memiliki kekakuan karakteristik, egois, kurang kreatif, kurang dapat mengontrol diri, impulsif, sugesti, dan kurang dapat berempati (Meadow 1975, dalam Kirk 1979). Remaja tunarungu mengalami kerentanan secara psikologis yaitu pengembangan potensi remaja tunarungu yang tidak berkembang, kurang percaya diri, cenderung sensitif sehingga terasing dari lingkungannya, tertutup, mudah curiga, memiliki mekanisme pertahanan diri yang kuat, tidak puas, timbul inner conflict dalam dirinya dan self-centered (Gamayanti, dalam Harian Umum Suara Merdeka 1 April 2004). Apabila hal tersebut berlanjut maka akan mempengaruhi konsep diri remaja tunarungu, yaitu bagaimana remaja tunarungu menerima cacatnya dan memahami diri beserta kekurangan dan kelebihannya, serta menganggap diri berarti. Dampak psikologis yang negatif ini akan menyebabkan menurunnya konsep diri remaja tunarungu ke arah negatif sehingga untuk memperbaikinya perlu dukungan dari lingkungan dan kesadaran diri remaja tunarungu sendiri untuk lebih dapat memahami dan menerima keadaan dirinya. Dalam kompleks SLB-B terdapat dua YP3ATR, yaitu YP3ATR I menangani anak-anak yang murni tunarungu, sedangkan YP3ATR II menangani anak-anak tunarungu plus cacat yang yang lain (seperti tunarungu dan tunanetra, tunarungu dan autis, dan lain-lain. Dari hasil wawancara dengan salah seorang

5 guru SLB-B YP3ATR I Bandung, orang tua rata-rata sudah dapat menerima bahwa anak mereka menderita tuna rungu, karena dapat terlihat dari peran serta orang tua dalam kegiatan sekolah dan dalam memperhatikan pendidikan remaja tunarungu sehingga mereka dapat mengetahui kemampuan dan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak-anak tersebut secara optimal. Secara fisik sangat sulit untuk membedakan anak yang tuli dan kurang dengar, tetapi dapat diketahui ketika melihat reaksi mereka bila mendengar panggilan nama. Pada umumnya mengajar remaja tunarungu tidak berbeda jauh dengan mengajar remaja yang normal, mungkin kesulitan yang dialami adalah dalam menjelaskan maksud atau makna dari suatu kata, karena remaja tunarungu membutuhkan penjelasan yang lebih mendetail hingga remaja tunarungu mengerti perbedaan kata yang satu dengan kata yang lain, hal ini dikarenakan terhambatnya perkembangan bicara dan bahasa yang mereka miliki. SLB-B YP3ATR I Bandung memberikan kesempatan kepada remaja tunarungu untuk mengembangkan diri seperti memberikan keterampilan untuk bekerja sehingga mereka aka merasa lebih berharga, mampu untuk menilai dirinya, merasa didukung serta diterima oleh lingkungan, dan pada akhirnya akan mempengaruhi konsep diri mereka. Pengalaman yang diberikan di SLB-B YP3ATR I tidak selalu dapat membentuk konsep diri positif karena hal tersebut bukan saja dipengaruhi oleh pengalaman yang diperoleh dari sekolah namun dari lingkungan sekitar dan keluarga, serta dipengaruhi juga oleh kompetensi dan aktualisasi diri yaitu bila tidak disertai dengan penerimaan diri remaja tunarungu serta tidak didukung oleh kemampuan remaja tunarungu itu sendiri maka dapat

6 membentuk konsep diri yang negatif. Diharapkan dari pendidikan di SLB-B YP3ATR I remaja tunarungu dapat memiliki bekal keterampilan atau keahlian khusus untuk menjalani hidupnya sehingga mereka akan merasa dirinya lebih berharga, mandiri, dan dapat diterima oleh lingkungannya dengan kekurangan yang dimilikinya sehingga diharapkan akan memiliki konsep diri yang positif. Dari hasil survei awal dengan remaja tunarungu di YP3ATR I Bandung terungkap bahwa JC seorang remaja tunarungu anak ke-2, tunarungu sejak TK merasa bahwa dirinya tidak menarik termasuk penampilan fisiknya, merasa kurang dapat memahami orang lain sehingga merasa menyesal menjadi remaja tunarungu yang mengakibatkan mudah menyerah bila menghadapi suatu masalah, merasa tidak bangga dengan kemampuan yang dimilikinya walaupun pernah berprestasi dalam pertandingan olah raga, hubungan dengan orang tua dan saudara kandung juga kurang akrab, merasa tidak nyaman bila berada bersama-sama dengan orang yang normal, oleh karena itu selalu berhati-hati ketika bergaul dengan orang lain terutama dengan orang yang normal. Dari pernyataan di atas JC menilai dan memandang dirinya secara negatif, penghayatan diri JC memungkinkan pembentukkan konsep diri yang negatif. Begitu pula dengan A seorang remaja tunarungu merupakan anak ke-5, tuna rungu sejak lahir walaupun bangga dengan kemampuan yang dimiliki dalam bidang olah raga, tidak mudah menyerah dalam menghadapi masalah, berusaha tidak selalu mengalah terhadap saudara-saudaranya yang normal, tapi merasa dirinya tidak menarik termasuk penampilan fisiknya, merasa menyesal menjadi tunarungu, merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, merasa

7 dirinya tidak berguna, merasa bahwa orang tuanya tidak dapat menerima keadaan dirinya sehingga hubungan dengan orang tua menjadi kurang akrab, merasa kurang nyaman bila berada bersama-sama dengan orang yang normal sehingga selalu bersikap hati-hati ketika bergaul dengan orang lain terutama dengan orang yang normal. Dari pernyataan di atas A juga menilai dan memandang dirinya secara negatif, sehingga penghayatan diri seperti ini dapat membentuk konsep diri yang negatif. Lain lagi menurut JA seorang remaja tunarungu anak ke-1, tunarungu sejak TK, merasa menyesal karena menjadi seorang tunarungu, walaupun merasa bahwa dirinya tidak menarik karena tunarungu tapi merasa cukup percaya diri dengan penampilan fisiknya. JA bangga dengan kemampuan yang dimiliki dan pernah meraih prestasi dibidang model dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi suatu masalah, bila berada di rumah berusaha untuk tidak selalu mengalah terhadap adiknya yang normal, walaupun tidak merasa nyaman bila berada bersama dengan orang-orang normal tapi mudah untuk bergaul dengan siapapun, merasa bahwa orang tuanya tidak malu memiliki anak yang tunarungu sehingga hubungan merka menjadi akrab. Dari pernyataan di atas JA memandang dan menilai dirinya positif, sehingga penghayatan seperti ini akan membentuk konsep diri yang positif. Begitu pula dengan HS seorang remaja tunarungu merupakan anak ke-2, tunarungu sejak lahir, merasa walaupun tunarungu tapi tetap percaya diri, merasa tidak menyesal menjadi seorang yang tunarungu, merasa bangga dengan kemampuan yang dimilikinya, juga pernah berprestasi dalam bidang olah raga,

8 tidak mudah menyerah dalam menghadapi suatu masalah, berusaha untuk tidak selalu mengalah terhadap saudara-saudaranya yang normal, tapi merasa bahwa memiliki tubuh yang terlalu kurus, merasa kurang nyaman bila berada bersama dengan orang yang normal sehingga selalu bersikap selalu hati-hati bila bergaul dengan orang lain walaupun demikian tetap bergaul dengan teman-temannya yang normal di rumah. Dari pernyataan di atas, HS memandang dan menilai dirinya secara positif, sehingga penghayatan seperti ini menunjukkan bahwa HS memiliki konsep diri yang positif. Berdasarkan hasil wawancara diatas maka ada remaja tunarungu yang memandang dan menilai dirinya sebagai remaja tunarungu yang diterima, disayangi oleh keluarga, berarti bagi lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial, menghayati dirinya memiliki kelebihan dibanding remaja lainnya, merasa dirinya cukup pintar, merasa tampan atau cantik, cukup berprestasi, pintar bergaul, memiliki keyakinan diri atau kepercayaan diri yang tinggi sehingga mereka memiliki konsep diri yang positif sehingga mampu menghadapi persaingan serta mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Tetapi ada pula remaja tunarungu yang merasa dirinya tidak berarti, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sosial, tidak disayang, memiliki kekurangan dibandingkan remaja lainnya, merasa tidak tampan atau cantik, merasa tidak pintar, memandang orang lain selalu dapat melakukan yang lebih baik dari dirinya, memiliki keyakinan diri atau rasa percaya diri yang rendah sehingga mereka memiliki konsep diri yang negatif, hal ini akan menyebabkan remaja

9 tunarungu menarik diri dari pergaulan karena merasa malu, merasa dirinya tidak berguna, serta merasa rendah diri. Berdasarkan fakta diatas maka peneliti merasa tertarik ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana konsep diri pada remaja tunarungu di SLB-BYP3ATR I Bandung. 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH Pada penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran konsep diri remaja tunarungu di SLB-B YP3ATR I Bandung. 1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Maksud penelitian Untuk mengetahui gambaran tentang konsep diri remaja tunarungu di SLB-B YP3ATR I Bandung. 1.3.2. Tujuan penelitian Untuk memperoleh gambaran yang mendalam dan rinci tentang konsep diri remaja tunarungu. 1.4. KEGUNAAN PENELITIAN 1.4.1. Kegunaan teoritis Memberi masukan bagi peneliti lain yang ingin mengetahui atau meneliti lebih lanjut tentang konsep diri pada remaja tunarungu.

10 Memberikan informasi dalam bidang psikologi perkembangan yang berkaitan dengan konsep diri remaja tunarungu. 1.4.2. Kegunaan praktis Memberi informasi mengenai konsep diri kepada tunarungu dalam rangka meningkatkan keyakinan diri dan sikap optimis dalam bergaul, juga pengembangan diri remaja tunarungu secara optimal.. Memberi informasi bagi guru SLB-B YP3ATR yang dapat dijadikan umpan balik untuk merencanakan program selanjutnya dalam usaha mengembangkan konsep diri yang positif pada remaja tunarungu. 1.5. KERANGKA PIKIR Masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan dimana seseorang mulai memikirkan tentang cita-cita, harapan, dan keinginan-keinginannya, tetapi sekaligus yang paling membingungkan karena mulai mengintegrasikan antara keinginan diri dan keinginan orang-orang disekitarnya. Menurut Hurlock (1980) ciri-ciri masa remaja adalah sebagai periode yang penting, sebagai periode peralihan, sebagai periode perubahan, sebagai usia bermasalah, sebagai masa mencari identitas, sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, sebagai masa yang tidak realistik, dan sebagai ambang masa dewasa. Tidak semua remaja memiliki panca indera yang dapat berfungsi dengan baik, diantaranya adalah remaja tunarungu. Remaja tunarungu mengalami kerusakan pada indera pendengarannya sehingga mereka tidak dapat mendengar

11 suara yang berasal dari lingkungan sekitar. Menurut Moores (1978, dalam Kirk 1979) tunarungu di klasifikasikan menjadi dua jenis yaitu deaf (tuli) dan hard of hearing (kurang dengar). Orang yang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 db ISO (International Standard Organization) atau lebih sehingga tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar. Orang yang kurang dengar adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 db sampai 69 db ISO sehingga mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar. Fitts mendefinisikan konsep diri sebagai diri yang diobservasi, dialami dan dinilai oleh individu itu sendiri. Konsep diri tidak dibawa sejak lahir melainkan merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya terutama dengan keluarga. Menurut Taylor (dalam Fitts 1971 : 28) mengatakan bahwa konsep diri muncul pada usia enam atau tujuh bulan dan akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya nilai-nilai yang diperoleh oleh individu dari interaksinya dengan lingkungan. Fitts (1971) membagi konsep diri ke dalam empat aspek diri, yaitu aspek kritik diri, aspek keyakinan diri, dan aspek integritas diri, aspek harga diri. Aspek kritik diri yaitu bagaimana remaja tunarungu menggambarkan dirinya serta pribadinya dan menyadari serta menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya, aspek keyakinan diri yaitu kemantapan atau keyakinan diri remaja tunarungu yang berasal dari tingkat kepuasannya terhadap dirinya sendiri,

12 aspek integritas diri yaitu kemampuan remaja tunarungu untuk menyatakan seluruh aspek konsep diri menjadi satu kesatuan yang utuh dan konsisten dalam memandang dirinya, aspek harga diri yaitu bagaimana remaja menilai dan menghargai dirinya sendiri serta memiliki kepercayaan diri sehingga dapat bertindak sesuai dengan keyakinannya, didalamnya terdapat dua dimensi yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal adalah penilaian remaja terhadap diri sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri, begitupula pada remaja runarungu mereka menilai dirinya berdasarkan dunia batinnya. Dimensi internal terdiri atas diri identitas, diri pelaku, dan diri penilai. Diri identitas adalah untuk menjawab pertanyaan siapa saya? dan sebagai label atau simbol untuk membentuk identitas diri. Penilaian yang positif terhadap diri dan usaha untuk mengatasi kekurangan ditemukan pada remaja tunarungu dengan konsep diri yang positif sebaliknya perasaan bahwa dirinya serba kekurangan akibat cacat yang dideritanya akan ditemukan pada remaja tunarungu dengan konsep diri yang negatif. Diri pelaku adalah gambaran remaja tunarungu mengenai tingkah lakunya meliputi tingkah laku yang dipertahankan atau yang diabaikan. Diri identitas berkaitan erat dengan diri pelaku. Sejak kecil setiap orang termasuk remaja tunarungu cenderung untuk menilai atau memberikan label kepada orang lain maupun dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku yang ditampilkan dan akan bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan kepadanya (Combs dan

13 Snygg dalam Fitts 1971), dengan kata lain tingkah laku akan sejalan dengan konsep diri. Diri penilai merupakan penilaian remaja tunarungu akan interaksi diri identitas dengan diri pelaku. Peran remaja tunarungu pada diri penilai adalah sebagai pengamat, penetap standar, pembanding, mediator antara identitas dan diri pelaku sambil menilai diri dalam kategori baik, memuaskan atau buruk. Sejalan dengan yang telah diungkapkan sebelumnya, penilaian yang positif tentang diri akan ditemukan pada remaja tunarungu yang memiliki konsep diri positif dan sebaliknya penilaian yang negatif tentang diri akan ditemukan pada remaja tunarungu yang memiliki konsep diri yang negatif. Dimensi eksternal adalah penilaian tentang diri sebagai hasil interaksi dengan dunia diluar diri, termasuk pengalaman dan hubungan interpersonalnya. Dimensi eksternal terdiri atas diri sosial, diri fisik, diri keluarga, diri personal, dan diri moral etik. Diri sosial yaitu yang menyangkut kesesuaian remaja tunarungu berinteraksi dengan masyarakat atau lingkungan sosial yaitu bagaimana remaja tunarungu menerima perlakuan dari lingkungan sosial. Perasaan bahwa dirinya sama dengan orang lain yang normal ditemukan pada remaja tunarungu dengan konsep diri positif sehingga mereka tidak sulit berinteraksi baik dengan lingkungan keluarga maupun lingkungan yang lebih luas, sedangkan perasaan yang lebih mudah tersinggung dan sulit untuk menjalin interaksi yang baik karena ada perasaan berbeda dengan orang lain akan ditemukan pada remaja tunarungu dengan konsep diri negatif.

14 Diri fisik adalah bagaimana remaja tunarungu mempersepsi keadaan fisik yaitu gangguan pada telinga, kesehatan tubuh dan penampilannya. Remaja tunarungu yang berusaha untuk mencari kelebihan pada bagian tubuhnya yang lain berarti memandang dirinya secara positif dan berarti pula mereka memiliki konsep diri yang positif. Diri keluarga adalah hubungan pribadi remaja tunarungu dengan keluarga serta perasaannya sebagai anggota keluarga yaitu bagaimana penerimaan dan perlakuan orang tua remaja tunarungu. Merasa dirinya tetap berharga dalam keluarga walaupun dengan kekurangannya ditemukan pada diri remaja tunarungu dengan konsep diri positif sedangkan yang merasa malu dengan kekurangan yang dimiliki akan muncul pada remaja tunarungu yang memiliki konsep diri negatif. Diri personal adalah sejauhmana remaja tunarungu puas terhadap diri pribadi atau merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat. Remaja tunarungu yang berusaha mengembangkan sisi lain yang merupakan kelebihan dirinya untuk mengimbangi kekurangan yang dimilikinya adalah ciri dari remaja tunarungu dengan konsep diri yang positif, sedangkan remaja tunarungu yang sulit untuk menerima diri dengan kekurangan yang dimilikinya merupakan hal yang ditemukan pada remaja tunarungu dengan konsep diri negatif. Diri moral etik adalah bagaimana remaja tunarungu mempersepsi hubungannya dengan Tuhan, kepuasan mengenai kehidupan agamanya, nilai moral yang dipegang meliputi batasan baik atau buruk. Sikap berusaha mengambil hikmah dari keadaan dirinya merupakan ciri dari remaja tunarungu dengan konsep

15 diri yang positif, sedangkan remaja tunarungu yang menyesali keadaan dirinya dan menyalahkan Tuhan menunjukkan konsep diri negatif. Dari keempat aspek tersebut diharapkan remaja tunarungu mampu menggambarkan diri serta pribadinya, menyadari serta menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya, mampu menilai dan menghargai diri sendiri serta memiliki kepercayaan diri sehingga dapat bertindak sesuai dengan keyakinannya, mampu menyatakan seluruh aspek konsep diri menjadi satu kesatuam, serta memiliki keyakinan diri karena merasa puas pada dirinya. Ada tiga faktor menurut Fitts (1971) yang mempengaruhi konsep diri, yaitu pengalaman, konpetensi, dan aktualisasi diri. Pengalaman yaitu bagaimana lingkungan mempersepsi individu terutama pengalaman interpersonal yang dapat meningkatkan perasaan-perasaan positif yang berharga. Vargas (1968 dalam Fitts 1971) juga mengatakan bahwa konsep diri yang positif dilandasi oleh pengalaman masa kanak-kanak yang lebih positif dibandingkan individu dengan konsep diri yang negatif. Remaja tunarungu yang hidup di lingkungan (orang tua, saudara, teman-teman, guru, masyarakat) yang mendukung dirinya cenderung akan memiliki konsep diri yang positif. Perasaan rendah diri karena mengalami kecacatan banyak ditemukan pada remaja tunarungu yang hidup di lingkungan yang kurang memberikan dukungan sehingga mereka memiliki konsep diri negatif, namun tidak menutup kemungkinan remaja tunarungu yang hidup di lingkungan yang mendukungnya dan memberikan pengalaman yang positif memiliki konsep diri yang negatif dan juga sebaliknya. Hal tersebut dapat terjadi

16 karena konsep diri dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain seperti kompetensi dan aktualisasi diri. Kompetensi yaitu kemampuan dalam lingkup yang dihargai oleh individu dan orang lain. Remaja tunarungu yang memiliki keahlian khusus seperti menjahit, mengetik, komputer, sablon, tata boga, atau memiliki prestasi dalam bidang olehraga dan kesenian dapat memiliki konsep diri yang positif karena dengan keahlian tersebut remaja tunarungu diharapkan dapat mengembangkan dirinya secara optimal walaupun memiliki kekurangan dalam segi pendengaran sehingga dapat terjun ke masyarakat. Remaja tunarungu yang memiliki keahlian dibidang tertentu cenderung menunjukkan penerimaan diri dan konsep diri yang positif dibandingkan yang tidak memiliki keahlian tertentu. Aktualisasi diri merupakan upaya merealisasikan potensi-potensi individu. Kata aktualisasi mengacu pada proses untuk membuat sesuatu menjadi nyata atau proses mengimplementasikan potensi yang dimiliki individu dalam kehidupan nyata. Remaja tunarungu yang memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya akan memiliki konsep diri yang positif sedangkan remaja tunarungu yang tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya akan memiliki konsep diri yang negatif. Untuk lebih lanjutnya kerangka pikir tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut :

17 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri : - Pengalaman - Kompetensi - Aktualisasi diri Positif Remaja Tuna Rungu : - Deaf (tuli) Konsep Diri - Hard of Hearing Negatif (kurang dengar) Aspek-aspek Konsep Diri : 1. Aspek Kritik Diri 2. Aspek Keyakinan Diri 3. Aspek Integritas Diri 4. Aspek Harga Diri, dibagi dalam : Dimensi Internal : - diri identitas - diri pelaku - diri penilai Dimensi Eksternal : - diri sosial - diri fisik - diri keluarga - diri personal - diri moral etik Bagan 1. 5. Bagan Kerangka Pikir 1.6. ASUMSI PENELITIAN : Konsep diri remaja tunarungu tidak dibawa sejak lahir melainkan merupakan hasil interaksi remaja tunarungu dengan lingkungannya

18 (orang tua, saudara, teman-teman, guru atau tetangga) sehingga akan berpengaruh terhadap semua aspek dalam konsep diri. Pandangan, penilaian dan keyakinan diri memiliki peranan penting dalam pembentukan konsep diri remaja tunarungu. Konsep diri pada remaja tunarungu tergantung pada pengalaman yang dihayati dalam kehidupannya, kompetensi dan aktualisasi diri dalam aspek harga diri, integritas diri, keyakinan diri, kritik diri, serta dalam dimensi internal dan eksternal.