BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN ANALISIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II DASAR TEORI Gambar 2.1. Simbol Dioda.

BAB III LANGKAH PERCOBAAN

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN ANALISIS

DIODA KHUSUS. Pertemuan V Program Studi S1 Informatika ST3 Telkom

Solusi Ujian 1 EL2005 Elektronika. Sabtu, 15 Maret 2014

Pengkonversi DC-DC (Pemotong) Mengubah masukan DC tidak teratur ke keluaran DC terkendali dengan level tegangan yang diinginkan.

Gambar 2.1. Rangkaian Komutasi Alami.

MODUL 04 TRANSISTOR PRAKTIKUM ELEKTRONIKA TA 2017/2018

semiconductor devices

controlled rectifier), TRIAC dan DIAC. Pembaca dapat menyimak lebih jelas

BAB I SEMIKONDUKTOR DAYA

PENGERTIAN THYRISTOR

1. Perpotongan antara garis beban dan karakteristik dioda menggambarkan: A. Titik operasi dari sistem B. Karakteristik dioda dibias forward

THYRISTOR. SCR, TRIAC dan DIAC. by aswan hamonangan

NAMA : WAHYU MULDAYANI NIM : INSTRUMENTASI DAN OTOMASI. Struktur Thyristor THYRISTOR

MODUL 06 PENGUAT DAYA PRAKTIKUM ELEKTRONIKA TA 2017/2018

BAB VII ANALISA DC PADA TRANSISTOR

MODUL 04 PENGENALAN TRANSISTOR SEBAGAI SWITCH

Transistor Bipolar BJT Bipolar Junction Transistor

Prinsip kerja transistor adalah arus bias basis-emiter yang kecil mengatur besar arus kolektor-emiter.

TRANSISTOR SEBAGAI SAKLAR DAN SUMBER ARUS

Transistor Bipolar. III.1 Arus bias

BAB II LANDASAN TEORI

PERTEMUAN 9 RANGKAIAN BIAS TRANSISTOR (LANJUTAN)

Penyusunan Pedoman Praktikum Dasar untuk Matakuliah. Elektronika Daya

Transistor Bipolar. oleh aswan hamonangan

PERCOBAAN IV TRANSISTOR SEBAGAI SWITCH

JFET. Transistor Efek Medan Persambungan

PERCOBAAN 4 RANGKAIAN PENGUAT KLAS A COMMON EMITTER

Elektronika Daya ALMTDRS 2014

LAB SHEET ILMU BAHAN DAN PIRANTI

MODUL 05 TRANSISTOR SEBAGAI PENGUAT

MODUL PRAKTIKUM RANGKAIAN ELEKTRONIKA DASAR

I. Tujuan Praktikum. Mampu menganalisa rangkaian sederhana transistor bipolar.

Modul Elektronika 2017

Bias dalam Transistor BJT

TRANSISTOR Oleh : Agus Sudarmanto, M.Si Tadris Fisika Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

Pengenalan Komponen dan Teori Semikonduktor

Karakteristik Transistor. Rudi Susanto

BAB II LANDASAN SISTEM

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1.(a). Blok Diagram Kelas D dengan Dua Aras Keluaran. (b). Blok Diagram Kelas D dengan Tiga Aras Keluaran.

TRANSISTOR 1. TK2092 Elektronika Dasar Semester Ganjil 2012/2013. Hanya dipergunakan untuk kepentingan pengajaran di lingkungan Politeknik Telkom

BAB VI PEMANGKAS (CHOPPER)

BAB III METODE PENELITIAN

Mekatronika Modul 8 Praktikum Komponen Elektronika

BAB III PERANCANGAN ALAT. Dalam perancangan dan realisasi alat pengontrol lampu ini diharapkan

BAB II LANDASAN TEORI

Mekatronika Modul 1 Transistor sebagai saklar (Saklar Elektronik)

Mekatronika Modul 3 Unijunction Transistor (UJT)

BAB II Transistor Bipolar

SATUAN ACARA PERKULIAHAN UNIVERSITAS GUNADARMA

Praktikum Rangkaian Elektronika MODUL PRAKTIKUM RANGKAIAN ELEKRONIKA

BAB VF, Penguat Daya BAB VF PENGUAT DAYA

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

yaitu, rangkaian pemancar ultrasonik, rangkaian detektor, dan rangkaian kendali

NAMA :M. FAISAL FARUQI NIM : TUGAS:ELEKTRONIKA DAYA -BUCK CONVERTER

PNPN DEVICES. Pertemuan Ke-15. OLEH : ALFITH, S.Pd, M.Pd

Mekatronika Modul 2 Silicon Controlled Rectifier (SCR)

1 DC SWITCH 1.1 TUJUAN

BAB II LANDASAN TEORI

THYRISTOR & SILICON CONTROL RECTIFIER (SCR)

BAB III PERANCANGAN ALAT

BAB II LANDASAN TEORI

PERCOBAAN 5 REGULATOR TEGANGAN MODE SWITCHING. 1. Tujuan. 2. Pengetahuan Pendukung dan Bacaan Lanjut. Konverter Buck

Laboratorium Dasar Teknik Elektro - Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB

Penguat Kelas B Komplementer Tanpa Trafo Keluaran

BAB 3 DISAIN RANGKAIAN SNUBBER DAN SIMULASI MENGGUNAKAN MULTISIM

BAB III PERANCANGAN DAN PEMBUATAN ALAT Flow Chart Perancangan dan Pembuatan Alat. Mulai. Tinjauan pustaka

Mata kuliah Elektronika Analog L/O/G/O

BAB III ANALISA DAN PERANCANGAN RANGKAIAN

SOAL UJIAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DAN PRAKARYA REKAYASA TEKNOLOGI (ELEKTRONIKA)

Dioda-dioda jenis lain

BAB II LANDASAN TEORI

A. KOMPETENSI YANG DIHARAPKAN

BAB II LANDASAN TEORI

MODUL ELEKTRONIKA DASAR

PENGUAT EMITOR BERSAMA (COMMON EMITTER AMPLIFIER) ( Oleh : Sumarna, Lab-Elins Jurdik Fisika FMIPA UNY )

MODUL PRAKTIKUM ELEKTRONIKA LABORATORIUM TEKNIK ELEKTRO JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM KADIRI KEDIRI

hubungan frekuensi sumber tegangan persegi dengan konstanta waktu ( RC )?

Mekatronika Modul 5 Triode AC (TRIAC)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I 1. BAB I PENDAHULUAN

TRANSISTOR. Pengantar Teknik Elektronika Program Studi S1 Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Telematika Telkom Purwokerto

PERCOBAAN 6 RANGKAIAN PENGUAT KLAS B PUSH-PULL

TUGAS DAN EVALUASI. 2. Tuliska macam macam thyristor dan jelaskan dengan gambar cara kerjanya!

[LAPORAN PENGUAT DAYA KELAS A] BAB I PENDAHULUAN

BAB III PERANCANGAN DAN REALISASI. Philips Master LED. Sistem ini dapat mengatur intensitas cahaya lampu baik secara

VOLTAGE PROTECTOR. SUTONO, MOCHAMAD FAJAR WICAKSONO Program Studi Teknik Komputer, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Komputer Indonesia

TUGAS AKHIR. Secara garis besar dari tugas-tugas yang telah dikerjakan dapat dibuat rangkuman sebagai berikut :

PENGUAT-PENGUAT EMITER SEKUTU

BAB IX. FET (Transistor Efek Medan) dan UJT (Uni Junction Transistor)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

TRANSISTOR EFEK-MEDAN (FIELD-EFFECT TRANSISTOR)

Penguat Emiter Sekutu

INSTRUMENTASI INDUSTRI (NEKA421) JOBSHEET 12 (OSILATOR COLPITTS)

PRAKTIKAN : NIM.. PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Dioda Semikonduktor dan Rangkaiannya

TEORI DASAR. 2.1 Pengertian

BAB III PERANCANGAN ALAT. Gambar 3.1 Diagram Blok Pengukur Kecepatan

MAKALAH DASAR TEKNIK ELEKTRO SCR, DIAC, TRIAC DAN DIODA VARAKTOR NAMA : NIM : JURUSAN : PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN PRODI : TEKNIK ELEKTRO

Transkripsi:

48 BAB I HASIL PERCOBAAN DAN ANALISIS 4.1. HASIL PERCOBAAN 4.1.1. KARAKTERISTIK DIODA Karakteristik Dioda dengan Masukan DC Tabel 4.1. Karakteristik Dioda 1N4007 Bias Maju. S () L () I D (A) S () L () I D (A) 0 0 0 2,6 1,9 0,019 0,1 0 0 2,7 2 0,02 0,2 0 0 2,8 2,1 0,021 0,3 0 0 2,9 2,2 0,022 0,4 0,013 0,00013 3 2,3 0,023 0,5 0,019 0,00019 3,1 2,4 0,024 0,6 0,059 0,00059 3,2 2,5 0,025 0,7 0,128 0,00128 3,3 2,6 0,026 0,8 0,201 0,00201 3,4 2,7 0,027 0,9 0,274 0,00274 3,5 2,8 0,028 1 0,362 0,00362 3,6 2,9 0,029 1,1 0,448 0,00448 3,7 3 0,03 1,2 0,557 0,00557 3,8 3,1 0,031 1,3 0,655 0,00655 3,9 3,2 0,032 1,4 0,735 0,00735 4 3,3 0,033 1,5 0,838 0,00838 4,1 3,4 0,034 1,6 0,934 0,00934 4,2 3,5 0,035 1,7 1,02 0,0102 4,3 3,6 0,036 1,8 1,12 0,0112 4,4 3,7 0,037 1,9 1,2 0,012 4,5 3,8 0,038 2 1,3 0,013 4,6 3,9 0,039 2,1 1,4 0,014 4,7 4 0,04 2,2 1,5 0,015 4,8 4,1 0,041 2,3 1,6 0,016 4,9 4,2 0,042 2,4 1,7 0,017 5 4,3 0,043 2,5 1,8 0,018

49 Tabel 4.2. Karakteristik Dioda 1N4148 Bias Maju. S () L () I D (A) S () L () I D (A) 0 0 0 2,6 1,83 0,0183 0,1 0 0 2,7 2 0,02 0,2 0 0 2,8 2,1 0,021 0,3 0 0 2,9 2,14 0,0214 0,4 0,001 0,00001 3 2,24 0,0224 0,5 0,011 0,00011 3,1 2,34 0,0234 0,6 0,045 0,00045 3,2 2,43 0,0243 0,7 0,099 0,00099 3,3 2,53 0,0253 0,8 0,171 0,00171 3,4 2,63 0,0263 0,9 0,247 0,00247 3,5 2,73 0,0273 1 0,338 0,00338 3,6 2,82 0,0282 1,1 0,424 0,00424 3,7 2,92 0,0292 1,2 0,521 0,00521 3,8 3 0,03 1,3 0,604 0,00604 3,9 3,1 0,031 1,4 0,693 0,00693 4 3,2 0,032 1,5 0,8 0,008 4,1 3,3 0,033 1,6 0,89 0,0089 4,2 3,4 0,034 1,7 0,99 0,0099 4,3 3,5 0,035 1,8 1,084 0,01084 4,4 3,6 0,036 1,9 1,185 0,01185 4,5 3,7 0,037 2 1,264 0,01264 4,6 3,8 0,038 2,1 1,35 0,0135 4,7 3,9 0,039 2,2 1,47 0,0147 4,8 4 0,04 2,3 1,55 0,0155 4,9 4,1 0,041 2,4 1,65 0,0165 5 4,2 0,042 2,5 1,73 0,0173 Tabel 4.3. Karakteristik Dioda 1N4007 Bias Balik. S () L (m) I D (na) 0 0 0 10 5 5,36 20 6 6,43 30 7 7,5 Tabel 4.4. Karakteristik Dioda 1N4148 Bias Balik. S () L () I D (na) 0 0 0 10 6 6,43 20 8 8,57 30 10 10,71

50 Menghitung Reverse Recovery Time Dioda Gambar 4.1. Grafik Keluaran Dioda 1N4007 dengan Masukan Gelombang Kotak Frekuensi 1 KHz. Gambar 4.2. Grafik Keluaran Dioda 1N4007 dengan Masukan Gelombang Kotak Frekuensi 10 KHz.

51 Gambar 4.3. Grafik Keluaran Dioda 1N4148 dengan Masukan Gelombang Kotak Frekuensi 5 KHz. Gambar 4.4. Grafik Keluaran Dioda 1N4148 dengan Masukan Gelombang Kotak Frekuensi 50 KHz.

52 4.1.2. KARAKTERISTIK TRANSISTOR Karakteristik I C I B Tabel 4.5. Karakteristik I C I B Transistor untuk cc 10. CC = 10 olt; R B = R C = 100Ohm/20Watt BB () BE () I B (ma) I C (ma) CE () CB () 0 0 0 0 10 10 0,3 0,3 0 0 10 9,7 0,4 0,4 0 0,6 10 9,6 0,5 0,45 0,5 2,1 10 9,55 0,6 0,5 1 10,5 9 8,5 0,7 0,55 1,5 38,8 6 5,45 0,8 0,57 2,3 45,5 5,3 4,73 0,9 0,62 2,8 61,3 3,6 2,98 1 0,65 3,5 84,6 0,8 0,15 1,1 0,65 4,5 90,5 0,225-0,425 1,2 0,65 5,5 90,8 0,225-0,425 1,3 0,65 6,5 90,8 0,21-0,44 1,4 0,65 7,5 90,9 0,21-0,44 1,5 0,65 8,5 91,1 0,2-0,45 1,6 0,65 9,5 91,2 0,19-0,46 2 0,65 13,5 91,3 0,16-0,49 2,1 0,65 14,5 91,5 0,15-0,5 2,2 0,65 15,5 91,5 0,15-0,5 2,5 0,65 18,5 91,6 0,135-0,515 3 0,65 23,5 91,7 0,125-0,525 3,5 0,65 28,5 91,7 0,12-0,53 4 0,65 33,5 91,7 0,115-0,535

53 Tabel 4.6. Karakteristik I C I B Transistor untuk cc 15. CC = 15 olt; R B = R C = 100Ohm/20Watt BB () BE () I B (ma) I C (ma) CE () CB () 0 0 0 0 15 15 0,1 0,1 0 0 15 14,9 0,2 0,2 0 0 15 14,8 0,3 0,28 0,2 0,2 15 14,72 0,4 0,37 0,3 0,4 15 14,63 0,5 0,44 0,6 0,8 15 14,56 0,6 0,515 0,85 25,5 15 14,485 0,7 0,535 1,65 36,2 11,4 10,865 0,8 0,575 2,25 73,9 7,25 6,675 0,9 0,6 3 113,4 2,9 2,3 1 0,6 4 122,4 2 1,4 1,1 0,6 5 131,8 1 0,4 1,2 0,62 5,8 137,8 0,275-0,345 1,3 0,64 6,6 138,4 0,23-0,41 1,4 0,65 7,5 138,5 0,21-0,44 1,5 0,65 8,5 138,6 0,205-0,445 2 0,65 13,5 138,8 0,17-0,48 2,5 0,65 18,5 138,8 0,17-0,48 2,7 0,65 20,5 138,8 0,17-0,48 3 0,65 23,5 139 0,15-0,5 3,5 0,67 28,3 139 0,15-0,52 4 0,67 33,3 139 0,15-0,52 Tabel 4.7. Karakteristik I C I B Transistor untuk cc 20. CC = 20 olt; R B = R C = 100Ohm/20Watt BB () BE () I B (ma) I C (ma) CE () CB () 0 0 0 0 20 20 0,3 0,28 0,2 0 20 19,72 0,4 0,37 0,3 0,1 20 19,63 0,5 0,44 0,6 1,3 20 19,56 0,6 0,5 1 15,9 18,2 17,7 0,7 0,55 1,5 52,5 14,1 13,55 0,8 0,55 2,5 67,4 12,6 12,05 0,9 0,58 3,2 106,8 8,5 7,92 1 0,6 4 115,4 7,5 6,9 1,1 0,625 4,75 141,3 4,5 3,875 1,5 0,65 8,5 179,6 0,25-0,4 1,8 0,66 11,4 180,1 0,24-0,42 2 0,66 13,4 180,2 0,24-0,42 2,2 0,665 15,35 180,4 0,225-0,44 2,5 0,67 18,3 180,4 0,21-0,46 3 0,68 23,2 180,4 0,205-0,475 3,5 0,68 28,2 180,5 0,2-0,48 4 0,685 33,15 180,5 0,19-0,495 4,5 0,69 38,1 180,6 0,18-0,51 5 0,7 43 180,7 0,175-0,525

54 Karakteristik BE I B Tabel 4.8. Karakteristik BE I B Transistor untuk CE 7. CE = 7 ; R B = 10 Ω / 10 W; R C = 100 Ω / 20 W B () BE (m) I B (ma) 0 0 0 0,1 96 0,4 0,2 192 0,8 0,3 277 2,3 0,4 362 3,8 0,5 460 4 0,6 558 4,2 0,7 655 4,5 0,8 674 12,6 0,9 694 20,6 1 704 29,6 1,1 717 38,3 1,2 723 47,7 1,3 733 56,7 1,4 738 66,2 1,5 742 75,8 1,6 744 85,6 1,7 751 94,9 1,8 753 104,7 1,9 756 114,4 2 759 124,1

55 Tabel 4.9. Karakteristik BE I B Transistor untuk CE 8. CE = 8 ; R B = 10 Ω / 10 W; R C = 100 Ω / 20 W B () BE (m) I B (ma) 0 0 0 0,1 85 1,5 0,2 172 2,8 0,3 270 3 0,4 368 3,2 0,5 466 3,4 0,6 564 3,6 0,7 635 6,5 0,8 675 12,5 0,9 692 20,8 1 709 29,1 1,1 714 38,6 1,2 725 47,5 1,3 733 56,7 1,4 736 66,4 1,5 743 75,7 1,6 745 85,5 1,7 751 94,9 1,8 753 104,7 1,9 758 114,2 2 761 123,9 Tabel 4.10. Karakteristik BE I B Transistor untuk CE 9. CE = 9 ; R B = 10 Ω / 10 W; R C = 100 Ω / 20 W B () BE (m) I B (ma) 0 0 0 0,1 96 0,4 0,2 192 0,8 0,3 288 1,2 0,4 388 1,2 0,5 487 1,3 0,6 579 2,1 0,7 643 5,3 0,8 673 12,7 0,9 691 20,9 1 699 30,1 1,1 714 38,6 1,2 720 48 1,3 729 57,1 1,4 735 66,5 1,5 739 76,1 1,6 742 85,8 1,7 748 95,2 1,8 752 104,8 1,9 754 114,6 2 757 124,3

56 Karakteristik CE I C Tabel 4.11. Karakteristik CE I C Transistor untuk I B 0,3 ma. I B = 0,3 ma; R C = 100 Ω / 20 W C () CE (m) I C (ma) 0 0 0 1 0,038 9,4 2 0,058 17,8 3 0,078 28,6 4 0,094 37,2 5 0,112 47 6 0,125 56,3 7 0,14 64,4 8 0,152 72,7 9 0,3 79,8 10 1,075 83 11 1,85 84,1 12 3,05 85,6 13 4 86,8 14 4,8 87,7 15 5,6 88,8 16 6,4 90,2 17 7,25 91,4 18 8 92,2 19 9 93,3 20 10 94,5 21 10,8 95,6 22 11,4 96,9 23 12 98,8 24 13 100 25 14 101,4 26 15 102,9 27 16 104,3 28 17 105,6 29 18 107

Tabel 4.12. Karakteristik CE I C Transistor untuk I B 0,4 ma. I B = 0,4 ma; R C = 100 Ω / 20 W C () CE (m) I C (ma) 0 0 0 1 0,034 10,3 2 0,05 18,6 3 0,066 28,4 4 0,08 37,9 5 0,095 47,6 6 0,109 56,9 7 0,125 63,8 8 0,14 73,7 9 0,15 82,9 10 0,175 90,9 11 0,25 98,7 12 0,7 105,7 13 1,85 107,9 14 2,65 109,2 15 3,5 110,5 16 4,3 111,9 17 5 113,2 18 5,7 114,4 19 6,6 116 20 7,6 117,7 21 8,3 119 22 9,2 120,8 23 10 122,5 24 10,8 123,9 25 11,8 125,6 26 12,5 127,3 27 13,3 129,2 28 14 131,6 29 15 133 57

Tabel 4.13. Karakteristik CE I C Transistor untuk I B 0,5 ma. I B = 0,5 ma; R C = 100 Ω / 20 W C () CE (m) I C (ma) 0 0 0 1 0,027 9,2 2 0,052 24 3 0,064 33,2 4 0,076 41,9 5 0,087 49,9 6 0,099 60,2 7 0,11 69,1 8 0,125 78,4 9 0,135 87 10 0,15 95,5 11 0,165 106,2 12 0,2 115,3 13 0,35 123,9 14 0,91 126,3 15 1,85 128,8 16 2,5 130,3 17 3,2 132,3 18 3,6 135,2 19 4 136 20 5,4 139,2 21 6 141,1 22 7 143,2 23 7,6 145 24 8 148 25 9,4 149 26 10,5 150 27 11 152,8 28 12 155,6 58

59 4.1.3. KARAKTERISTIK SCR Tabel 4.14. Karakteristik SCR untuk I G 10 ma. GG = 1 ; R G = 100 Ω / 0,5 W; I G = 10 ma AA () AK () I A (ma) 0 0 0 1 0,6 0,1425 2 0,68 0,8 3 0,7 1,3 4 0,74 1,825 5 0,75 2,5 6 0,75 4,3 7 0,76 4,5 8 0,76 5,4 9 0,76 6 10 0,76 6,6 12 0,76 8 14 0,76 9,5 16 0,76 11 18 0,76 12,25 20 0,76 13,5 22 0,76 15 24 0,76 16,1 26 0,76 17,5 28 0,76 19 30 0,76 24,3 I H = 15mA BO > 90 I L = 16,4mA

60 Tabel 4.15. Karakteristik SCR untuk I G 15 ma. GG = 1,5; R G = 100 Ω / 0,5 W; I G = 15 ma AA () AK () I A (ma) 0 0 0 1 0,65 0,21 2 0,65 0,7 3 0,66 1,05 4 0,68 1,5 5 0,7 1,975 6 0,7 2,35 7 0,7 2,8 8 0,7 4 9 0,7 4,4 10 0,7 4,75 12 0,725 5,6 14 0,725 6,7 16 0,725 7,55 18 0,74 8,6 20 0,74 9,6 22 0,74 10,5 24 0,74 11,5 26 0,74 12,5 28 0,74 18,75 30 0,74 20,25 I H = 13,5mA BO > 90 I L = 15,8 ma

61 Tabel 4.16. Karakteristik SCR untuk I G 20 ma. GG = 2; R G = 100 Ω / 0,5 W; I G = 20 ma AA () AK () I A (ma) 0 0 0 1 0,65 0,12 2 0,66 1 3 0,665 1,25 4 0,67 1,75 5 0,675 2,4 6 0,7 2,9 7 0,7 4 8 0,7 4,1 9 0,7 4,6 10 0,7 5,25 12 0,71 6,5 14 0,715 7,5 16 0,72 8,55 18 0,725 9,6 20 0,725 10,75 22 0,73 11,8 24 0,735 12,9 26 0,74 14,1 28 0,745 15,1 30 0,75 16,3 I H = 12mA BO > 90 I L = 14,5 ma

62 4.1.4. KARAKTERISTIK TRIAC Mode 1 Tabel 4.17. Karakteristik TRIAC Mode 1. Mode 1 R G = 100 Ω / 0,5 W; R L = 2,2 kω /0,5 W; G = 1,5 M () MT2MT1 () I M (ma) 0 0 0 1 0,56 0,22 2 0,6 0,64 3 0,6 1,055 4 0,645 1,5 5 0,65 1,8 6 0,65 2,46 7 0,65 2,89 8 0,65 4,1 9 0,66 4,5 10 0,67 4,95 12 0,675 5,9 14 0,69 7,05 16 0,695 8 18 0,7 9 20 0,7 10 22 0,71 11 24 0,71 11,8 26 0,72 12,9 28 0,72 13,6 30 0,725 14,7 I H = 1,2mA BO > 90 I L = 1,8mA

63 Mode 2 Tabel 4.18. Karakteristik TRIAC Mode 2. Mode 2 R G = 100 Ω / 0,5 W; R L = 2,2 kω / 0,5 W; G = 1,5 M () MT2MT1 () I M (ma) 0-0,47 0,2 1-0,34 0,59 2-0,23 1 3-0,13 1,395 4-0,07 1,81 5-0,03 2,5 6 0,03 2,9 7 0,09 3,4 8 0,15 3,8 9 0,21 4,25 10 0,27 4,7 12 0,4 5,6 14 0,5 6,5 16 0,6 7,4 18 0,62 8,25 20 0,63 9,3 22 0,65 10,4 24 0,66 11,5 26 0,675 12,25 28 0,68 13,25 30 0,69 14,5 I H = 2,5mA BO > 90 I L = 4,25mA

64 Mode 3 Tabel 4.19. Karakteristik TRIAC Mode 3. Mode 3 R G = 30 Ω /0,5 W; R L = 2,2 kω / 0,5 W; G = 1 M () MT2MT1 () I M (ma) 0 0,49 0 1 0,6 0,2 2 0,625 0,6 3 0,64 1,1 4 0,645 1,5 5 0,65 2 6 0,655 2,4 7 0,66 2,9 8 0,665 3,3 9 0,67 3,8 10 0,675 4,2 12 0,695 5,3 14 0,7 6,2 16 0,7 7,1 18 0,7 8 20 0,705 8,9 22 0,715 9,8 24 0,72 10,8 26 0,725 11,5 28 0,73 12,4 30 0,735 13,6 I H = 1mA BO > 90 I L = 1,2mA

65 Mode 4 Tabel 4.20. Karakteristik TRIAC Mode 4. Mode 4 R G = 100Ω / 0,5 W; R L = 2,2 kω / 0,5 W; G = 1,5 M () MT2MT1 () I M (ma) 0 0,6 0 1 0,625 0,1 2 0,65 0,5 3 0,65 1 4 0,655 1,4 5 0,66 1,9 6 0,66 2,4 7 0,665 2,8 8 0,67 3,3 9 0,675 3,7 10 0,68 4,2 12 0,69 5,2 14 0,7 6,2 16 0,7 7,2 18 0,705 8,2 20 0,71 9,2 22 0,715 10,2 24 0,72 11,3 26 0,72 12,3 28 0,725 13,2 30 0,73 14 I H = 1,1mA BO > 90 I L = 1,15mA

66 4.1.5. KARAKTERISTIK MOSFET A. Karakteristik DS - I D Tabel 4.21. Karakteristik DS - I D untuk GS 3. GS = 3 ; R G = 100 Ω / 20 W; R L = 1 MΩ DS () I D (ma) 0 0 0,01 0,15 0,02 0,25 0,03 0,32 0,04 0,36 0,08 0,5 0,1 0,52 1 0,55 2 0,57 3 0,58 4 0,59 5 0,6 Tabel 4.22. Karakteristik DS - I D untuk GS 3,1. GS = 3,1 ; R G = 100 Ω / 20 W; R L = 1 MΩ DS () I D (ma) 0 0 0,008 0,3 0,01 0,35 0,02 0,6 0,03 0,75 0,04 0,9 0,06 1,1 0,08 1,25 0,1 1,35 1 1,45 2 1,45 3 1,45 4 1,45 5 1,45

67 Tabel 4.23. Karakteristik DS - I D untuk GS 3,2. GS = 3,2 ; R G = 100 Ω / 20 W; R L = 1 MΩ DS () I D (ma) 0 0 0,01 0,87 0,02 1,36 0,03 1,85 0,04 2,16 0,1 4,2 1 4,2 2 4,2 3 4,2 4 4,2 5 4,2 Tabel 4.24. Karakteristik DS - I D untuk GS 3,3. GS = 3,3 ; R G = 100 Ω / 20 W; R L = 1 MΩ DS () I D (ma) 0 0 0,01 1,15 0,02 2,05 0,03 3 0,04 3,6 0,06 4,2 0,1 6 1 7 2 7 3 7 4 7 5 7 Tabel 4.25. Karakteristik DS - I D untuk GS 3,4. GS = 3,4 ; R G = 100 Ω / 20 W; R L = 1 MΩ DS () I D (ma) 0 0 0,01 2,3 0,02 3,2 0,05 5,4 0,1 7,6 0,2 8 0,5 9 1 10,1 2 10,1 3 10,1 4 10,1 5 10,1

68 B. Karakteristik GS - I D Tabel 4.26. Karakteristik GS - I D untuk DS 0,6. DS = 0,6; R D = 10 Ω / 20 W; R G = 1MΩ GS () I D (ma) 0 0 2,4 0 2,45 0,0015 2,5 0,0025 2,55 0,005 2,6 0,0075 2,65 0,015 2,7 0,0225 2,75 0,04 2,8 0,065 2,85 0,085 2,9 0,135 2,95 0,215 3 0,3 3,05 0,6 3,1 0,9 3,15 1,2 3,2 1,9 3,25 3,1 3,3 5 3,35 6,5 3,4 8 3,45 10,5 3,5 14,5 3,55 18 3,6 22 3,65 23,5 3,7 25 3,75 32 3,8 35

69 Tabel 4.27. Karakteristik GS - I D untuk DS 1. DS = 1; R D = 10 Ω / 20 W; R G = 1MΩ GS () I D (ma) 0 0 2,3 0 2,4 0,001 2,45 0,0015 2,5 0,0026 2,55 0,008 2,6 0,0125 2,65 0,021 2,7 0,035 2,75 0,055 2,8 0,105 2,85 0,14 2,9 0,235 2,95 0,36 3 0,6 3,05 0,9 3,1 1,3 3,15 2 3,2 3,2 3,25 5 3,3 6,5 3,35 9,2 3,4 11,5 3,45 17 3,5 21,5 3,55 28 3,6 32,5 3,65 35 3,7 40 3,75 48 3,8 50

70 Tabel 4.28. Karakteristik GS - I D untuk DS 2. DS = 2; R D = 10 Ω / 20 W; R G = 1MΩ GS () I D (ma) 0 0 2,3 0 2,35 0,0004 2,4 0,0008 2,45 0,0015 2,5 0,003 2,55 0,0052 2,6 0,0095 2,65 0,015 2,7 0,0206 2,75 0,035 2,8 0,06 2,85 0,11 2,9 0,15 2,95 0,25 3 0,37 3,05 0,6 3,1 0,95 3,15 1,3 3,2 2,1 3,25 3,3 3,3 4,5 3,35 6 3,4 10 3,45 11,8 3,5 17,5 3,55 25,5 3,6 30 3,65 35 3,7 42 3,75 50 3,8 65

71 4.1.6. KARAKTERISTIK IGBT A. Karakteristik CE I C Tabel 4.29. Karakteristik CE I C untuk GE 4,5. GE = 4,5; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 0,25 1 1,1 1,5 1,2 2 1,25 2,5 1,25 5 1,3 10 1,32 Tabel 4.30. Karakteristik CE I C untuk GE 4,6. GE = 4,6 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 0,3 1 2,1 1,5 2,2 2 2,25 2,5 2,3 5 2,35 10 2,4 Tabel 4.31. Karakteristik CE I C untuk GE 4,7. GE = 4,7 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 0,35 1 3,5 1,5 3,5 2 3,5 2,5 3,5 5 3,5 10 3,6

72 Tabel 4.32. Karakteristik CE I C untuk GE 4,8. GE = 4,8 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 0,4 1 5,8 1,5 5,8 2 5,8 2,5 6 5 6 10 6,25 Tabel 4.33. Karakteristik CE I C untuk GE 4,9. GE = 4,9 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 0,95 1 13 1,5 13,8 2 14 2,5 14,5 5 15,5 10 16 Tabel 4.34. Karakteristik CE I C untuk GE 5. GE = 5 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 1,4 1 23,3 1,5 23,5 2 23,7 2,5 23,9 5 24,5 10 24,8

73 Tabel 4.35. Karakteristik CE I C untuk GE 5,1. GE = 5,1 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 2,75 1 28,4 1,5 28,7 2 28,9 2,5 29,2 5 32 10 33,7 Tabel 4.36. Karakteristik CE I C untuk GE 5,2. GE = 5,2 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 4,8 1 38,6 1,5 38,9 2 39,1 2,5 39,5 5 40,8 10 41 Tabel 4.37. Karakteristik CE I C untuk GE 5,3. GE = 5,3 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W CE () I C (ma) 0 0 0,5 8,7 1 58,8 1,5 61 2 61,7 2,5 62 5 63 10 63,8

74 B. Karakteristik GE I C Tabel 4.38. Karakteristik GE I C untuk CE 0,7. CE = 0,7 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W GE () I C (ma) 0,8 0,0005 1 0,0015 2 0,0125 2,5 0,0234 3 0,045 3,6 0,086 4 0,15 4,5 0,85 4,55 1,06 4,6 1,33 4,65 1,81 4,7 2,06 4,75 2,4 4,8 2,9 4,85 3,7 4,9 4,5 4,95 5 5 5,5 Tabel 4.39. Karakteristik GE I C untuk CE 0,8. CE = 0,8 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W GE () I C (ma) 0,8 0,0005 1 0,0015 2 0,013 2,5 0,0255 3 0,05 3,6 0,1 4 0,2 4,5 0,9 4,55 1,2 4,6 1,55 4,65 2 4,7 2,45 4,75 3,2 4,8 4,4 4,85 5,4 4,9 6,2 4,95 6,6 5 7,1

75 Tabel 4.40. Karakteristik GE I C untuk CE 0,9. CE = 0,9 ; R G = 1 MΩ; R L = 10 Ω / 10 W GE () I C (ma) 0,8 0,001 1 0,0017 2 0,0134 2,5 0,0283 3 0,05 3,6 0,11 4 0,205 4,5 0,96 4,55 1,25 4,6 1,45 4,65 2 4,7 2,7 4,75 3,5 4,8 4,5 4,85 5,5 4,9 8 4,95 9,6 5 12 4.2. ANALISIS 4.2.1. KARAKTERISTIK DIODA Dioda merupakan komponen yang dapat digunakan untuk melewatkan arus atau menahan arus dalam rangkaian. Idealnya sebuah dioda hanya dapat menghantarkan arus searah saja dan tidak dapat menghantarkan arus bolak-balik. Untuk dapat menghantarkan arus, tegangan dioda harus melebihi suatu nilai tertentu yang disebut tegangan buka. Tegangan buka adalah tegangan minimal yang dibutuhkan oleh dioda agar dapat mulai menghantarkan arus (dalam orde ma) dalam rangkaian.

76 Berdasarkan Tabel 4.1 dan Tabel 4.2, grafik karakteristik I dioda 1N4007 dan 1N4148 dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6 berikut. Gambar 4.5. Grafik Karakteristik I Dioda 1N4007.

77 Gambar 4.6. Grafik Karakteristik I Dioda 1N4148. Dari Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 hasil percobaan dapat dilihat dari kedua jenis dioda yang digunakan, yaitu 1N4007 dan 1N4148, keduanya memiliki tegangan buka yang hampir sama. Dioda 1N4007 memiliki tegangan buka sebesar 0,7 karena pada saat tegangan dioda sebesar 0,7, dioda tersebut menghantarkan arus 1,28 ma. Sedangkan dioda 1N4148 memiliki tegangan buka antara 0,7 hingga 0,8 karena pada saat tegangan dioda sebesar antara 0,7 hingga 0,8, dioda tersebut menghantarkan arus sekitar 1 ma. Pada saat diberi bias balik, dioda bekerja menahan arus balik tersebut. Dioda ideal seharusnya tidak melewatkan arus balik sedikit pun. Namun pada kenyataannya pasti ada arus balik yang melewati dioda tersebut meskipun sangat kecil, dalam orde na saja. Berdasarkan Tabel 4.3 dan Tabel 4.4, gambar grafik

78 karakteristik I dioda 1N4007 dan 1N4148 saat dibias balik dapat dilihat pada Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 berikut. Gambar 4.7. Grafik Karakteristik I Dioda 1N4007 Bias Balik. Gambar 4.8. Grafik Karakteristik I Dioda 1N4148 Bias Balik.

79 Karakteristik lain yang diukur pada percobaan dioda adalah Reverse Recovery Time / waktu pemulihan balik ( t rr ). Waktu pemulihan balik adalah waktu yang dibutuhkan oleh dioda untuk dapat off ketika tegangan yang melewatinya berubah dari bias maju ke bias balik. Ada dua jenis reverse recovery time, yaitu soft dan abrupt. Dari Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa dioda 1N4007 termasuk jenis soft reverse recovery. Untuk frekuensi gelombang masukan sebesar 1 khz, nilai waktu pemulihan baliknya dapat dihitung sebagai berikut. 2.9 I RR 29mA 100 I RR 0.25I RR 7.25mA 4 t 0.1kotak 5s 0.5s t t a b rr 0.9kotak 5s 4.5s ta tb 0.5s 4.5s 5s Untuk frekuensi gelombang masukan sebesar 10 KHz, nilai waktu pemulihan baliknya dapat dihitung sebagai berikut. 2.9 I RR 29mA 100 I RR 0.25I RR 7.25mA 4 t 0.05kotak 10s 0.5s t t a b rr 0.45kotak10s 4.5s ta tb 0.5s 4.5s 5s Dari Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa dioda 1N4148 termasuk jenis abrupt reverse recovery. Untuk frekuensi gelombang masukan sebesar 5 KHz, nilai waktu pemulihan baliknya dapat dihitung sebagai berikut.

80 I t t t a b rr 1.5 15mA 100 0.2kotak 100ns 20ns RR 0.4kotak 100ns 40ns ta tb 0.5ns 4.5ns 60ns Untuk frekuensi gelombang masukan sebesar 50 KHz, nilai waktu pemulihan baliknya dapat dihitung sebagai berikut. I t t t a b rr 1.5 15mA 100 0.4kotak 50ns 20ns RR 0.8kotak 50ns 40ns ta tb 20ns 40ns 60ns Dari hasil penghitungan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dioda 1N4007 memiliki waktu pemulihan balik sebesar memiliki waktu pemulihan balik sebesar 60 ns. 5 s sedangkan dioda 1N4148 Dari datasheet dioda 1N4007 diketahui bahwa untuk pensaklaran dengan arus maju sebesar 20 ma dan arus balik sebesar 1 ma yang melalui resistor beban sebesar 100 Ohm didapat nilai waktu pemulihan balik sebesar 30 s. Sedangkan pada percobaan yang dilakukan, resistor beban 100 Ohm diberi masukan berupa gelombang kotak dengan amplitudo tegangan 0/5 (arus maju 50 ma, arus balik 0 ma) diperoleh nilai waktu pemulihan balik sebesar 5 s. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan amplitudo sinyal masukan. Dari datasheet dioda 1N4148 diketahui bahwa untuk pensaklaran dengan arus maju sebesar 10 ma dan arus balik sebesar 60 ma yang melalui resistor beban sebesar 100 Ohm didapat nilai waktu pemulihan balik sebesar 4 ns. Sedangkan pada percobaan yang dilakukan, resistor beban sebesar 100 Ohm

81 diberi masukan berupa gelombang kotak dengan amplitudo tegangan 0/5 (arus maju 50 ma, arus balik 0 ma) diperoleh nilai waktu pemulihan balik sebesar 60 ns. Perbedaan ini juga terjadi karena adanya perbedaan amplitudo sinyal masukan. 4.2.2. KARAKTERISTIK TRANSISTOR Pada Bipolar Junction Transistor / transistor persambungan bipolar (BJT), besar arus basis akan menentukan besarnya arus kolektor yang mengalir melalui transistor tersebut. Transistor memiliki tiga daerah kerja yaitu cut-off, aktif, dan saturasi. Dalam daerah cutoff, transistor dalam keadaan OFF karena arus basis tidak cukup besar untuk mengaktifkan transistor tersebut. Dalam daerah aktif, arus kolektor semakin besar dan tegangan kolektor-emitter menurun. Dalam daerah saturasi, arus basis sangat tinggi sehingga tegangan kolektor-emitter sangat rendah. Berdasarkan Tabel 4.5, Tabel 4.6, dan Tabel 4.7, grafik arus basis terhadap arus kolektor dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.9, Gambar 4.10, dan Gambar 4.11 berikut.

82 Gambar 4.9. Grafik I C I B untuk CC 10. Gambar 4.10. Grafik I C I B untuk CC 15.

83 Gambar 4.11. Grafik I C I B untuk CC 20. Dari Gambar 4.9, Gambar 4.10, dan Gambar 4.11 dapat dilihat bahwa transistor berada dalam keadaan cut-off saat arus basis yang mengalir kurang dari 5 ma. Dengan demikian arus basis tidak cukup besar untuk mengalirkan arus kolektor. Transistor berada di daerah active bila persambungan emiter-basis bias maju dan persambungan kolektor-basis bias balik. Dengan kata lain transistor berada di daerah active bila basis lebih positif daripada emiter dan kolektor lebih basis daripada basis. Transistor berada di daerah jenuh bila persambungan emiter-basis dan persambungan kolektor-basis bias maju. Dengan kata lain transistor berada di daerah jenuh bila persambungan basis-emiter dicatu maju sebesar 0,6-0,7 dan kolektor lebih negatif daripada basis. Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa untuk CC 10, transistor berada di daerah jenuh saat BB 1, 1 karena pada nilai

84 tegangan BB tersebut tegangan basis-emiter bernilai di atas 0,6 dan kolektor lebih negatif daripada basis. Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa untuk CC 15, transistor berada di daerah jenuh saat B 1, 2 karena pada nilai tegangan BB tersebut tegangan basis-emiter bernilai di atas 0,6 dan kolektor lebih negatif daripada basis. Dari Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa untuk CC 20, transistor berada di daerah jenuh saat B 1, 5 karena pada nilai tegangan BB tersebut tegangan basis-emiter bernilai di atas 0,6 dan kolektor lebih negatif daripada basis. Pada daerah aktif, transistor memiliki bati arus ( h FE ) yang besar dibandingkan saat saturasi sehingga dapat digunakan sebagai penguat (amplifier). Bati arus pada transistor ( h FE ) merupakan perbandingan antara arus kolektor dengan arus basis. Untuk menghitung h FE terlebih dahulu menghitung besarnya arus kolektor dan arus basis. Misalnya pada Tabel 4.7 saat tegangan basis 1,8 olt, besar arus basis ( I B ), arus kolektor ( I C ), dan arus emiter ( I E ) adalah: I B BE 1,8 0,66 1,14 11, ma, R 100 100 B 4 B I C 180, 1mA, dan I I I 11,4mA 180,1 ma 191, ma. E B C 5 Sedangkan penguatannya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: h FE I I C B 180,1mA 11,4mA 15,8 Jadi transistor yang digunakan memiliki penguatan arus sebesar 15,8 kali untuk nilai arus kolektor sebesar 191,5 ma dan arus basis sebesar 11,4 ma.

85 Nilai penguatan arus transistor (h FE ) akan berbeda untuk arus kolektor dan arus basis yang berbeda pula. Misalnya pada Tabel 4.7 saat tegangan basis sebesar 0,7, maka besar arus basis ( I B ), arus kolektor ( I C ), dan arus emiter ( I E ) adalah: I B BE 0,7 0,55 0,15 1, ma, R 100 100 B 5 B I C 52, 5mA, dan I E I B IC 1,5mA 52,5mA 54mA. Sedangkan penguatannya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: I C 52,5mA hfe 35. I 1,5mA B Jadi transistor yang digunakan memiliki penguatan sebesar 35 kali untuk nilai arus kolektor sebesar 54 ma dan arus basis sebesar 1,5 ma. Grafik terhadap untuk 10, 15, dan 20 dapat dilihat pada Gambar 4.12, Gambar 4.13, dan Gambar 4.14 berikut. Gambar 4.12. Grafik h FE terhadap I C dengan CC 10.

86 Gambar 4.13. Grafik h FE terhadap I C dengan CC 15. Gambar 4.14. Grafik h FE terhadap I C dengan CC 20. Pada transistor, daerah persambungan basis-emiter bertindak sebagai sebuah dioda. Karakteristik masukan transistor berguna untuk melihat karakteristik dioda persambungan tersebut. Karena bertindak sebagai sebuah

87 dioda, maka grafik karakteristiknya menyerupai grafik karakteristik I dioda. Dari Tabel 4.8, Tabel 4.9, dan Tabel 4.10, grafik karakteristik masukan transistor untuk tegangan kolektor-emiter ( CE ) sebesar 7, 8, dan 9 dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.15, Gambar 4.16, dan Gambar 4.17 berikut. Gambar 4.15. Grafik BE I B untuk CE 7 olt.

88 Gambar 4.16. Grafik BE terhadap I B untuk CE 8 olt. Gambar 4.17. Grafik BE terhadap I B untuk CE 9 olt.

89 Pada Gambar 4.15, Gambar 4.16, dan Gambar 4.17 dapat dilihat bahwa grafik karakteristik masukan transistor memiliki bentuk eksponensial. Ini sesuai dengan persamaan I B yang dituliskan dalam Persamaan 4.1 berikut. I B I S BE / T e (4.1) Persamaan 4.1 digunakan untuk menghitung arus basis. Pada Persamaan 4.1 terdapat suku eksponensial. Karena itu grafik eksponensial. I B fungsi BE berbentuk Selain karakteristik I C I B dan BE I B, transistor juga memiliki karakteristik keluaran CE I C. Karakteristik keluaran juga dapat digunakan untuk melihat daerah kerja transistor. Berdasarkan Tabel 4.11, Tabel 4.12, dan Tabel 4.13, grafik karakteristik keluaran transistor dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.18 berikut.

90 Gambar 4.18. Grafik CE I C dengan I B sebagai Parameter. Transistor digunakan sebagai saklar saat bekerja pada daerah cut-off dan jenuh. Syarat saklar yang baik adalah pada saat on, saklar tersebut memiliki tegangan yang kecil, sehingga daya yang terbuang pada saklar tersebut memiliki nilai minimal. Transistor yang bekerja pada daerah aktif digunakan sebagai penguat karena memiliki bati arus yang cukup besar. Namun transistor yang bekerja pada daerah aktif memiliki nilai tegangan besar sehingga banyak daya yang terbuang pada transistor itu sendiri. Misalnya, dari Tabel 4.7, untuk nilai tegangan basis sebesar 0,7 olt transistor memiliki tegangan ( CE ) sebesar 14,1 olt. Arus kolektor yang mengalir sebesar 52,5 ma. Daya yang dibuang menjadi kalor adalah sebesar: P I 14,1 52,5mA 0, W. CE C 74

91 Jika transistor dinyalakan dalam keadaan tersebut selama sekitar seratus detik saja (tidak ada dua menit), maka transistor akan menjadi hangat karena transistor tersebut menghasilkan kalor sebesar: W P t 0,74W 100s 74J. Dengan demikian, transistor yang bekerja pada daerah aktif tidak cocok digunakan sebagai saklar karena membuang kalor dalam jumlah yang cukup besar sehingga efisiensinya menurun. Agar dapat digunakan sebagai saklar, transistor harus bekerja pada daerah saturasi. Pada saat bekerja pada daerah saturasi, transistor memiliki nilai tegangan kolektor-emiter CE yang rendah. Dari Tabel 4.7, untuk nilai tegangan basis sebesar 5, transistor memiliki tegangan ( CE ) sebesar 0,175 olt. Arus kolektor yang mengalir sebesar 180,7 ma. Sehingga dapat dihitung hambatan kolektoremiter saat transistor on adalah sebesar: R CE ( ON) CE 0,175 0, 97 I 0,1807 C Daya pada transistor adalah: P CE I C 0,175 180,7mA 32mW Daya pada transistor yang bekerja pada daerah saturasi lebih kecil dibandingkan dengan daya pada transistor saat bekerja pada daerah aktif. Dengan demikian, transistor yang bekerja pada daerah saturasi cocok digunakan sebagai saklar.

92 4.2.3. KARAKTERISTIK SCR Ada tiga karakteristik yang diukur, yaitu tegangan breakover, arus latching, dan arus holding. Tegangan breakover adalah tegangan anoda katoda minimal yang dibutuhkan agar SCR dapat on tanpa adanya tegangan gerbang. SCR memiliki nilai tegangan breakover yang sangat besar sehingga peralatan yang ada di laboratorium tidak mampu untuk mengukur nilai tegangan ini. Tiga power supply di laboratorium dirangkai secara seri sehingga menghasilkan tegangan maksimum sebesar 90 olt, namun belum juga cukup untuk dapat membuat SCR on tanpa adanya tegangan gerbang. Oleh karena itu, bentuk grafik yang disajikan pada Gambar 4.19, Gambar 4.20, dan Gambar 4.21 tidak dapat menyerupai bentuk grafik pada Gambar 2.14. Arus latching adalah arus SCR minimum yang diperlukan agar SCR tetap dalam keadaan on saat gerbang dipicu sesaat (dinyalakan lalu langsung dimatikan). Arus holding adalah arus SCR minimum yang diperlukan untuk menjaga agar SCR tetap dalam keadaan on tanpa adanya tegangan gerbang. Dari Tabel 4.14, Tabel 4.15, dan Tabel 4.16 karakteristik SCR dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.19, Gambar 4.20, dan Gambar 4.21 berikut.

93 Gambar 4.19. Karakteristik I SCR untuk I g 10 ma. Dari Tabel 4.14 diketahui bahwa untuk arus gerbang sebesar 10 ma, diperoleh arus latching 16,4 ma dan arus holding 15 ma. Ini berarti dibutuhkan arus anoda sebesar 16,4 ma agar SCR dapat tetap on setelah dipicu sesaat dengan arus gerbang sebesar 10 ma dan dibutuhkan arus anoda minimal sebesar 15 ma untuk menjaga agar SCR tetap on.

94 Gambar 4.20. Karakteristik I SCR untuk I g 15 ma. Dari Tabel 4.15 diketahui bahwa untuk arus gerbang sebesar 15 ma, diperoleh arus latching 15,8 ma dan arus holding 13,5 ma. Ini berarti dibutuhkan arus anoda sebesar 15,8 ma agar SCR dapat tetap on setelah dipicu sesaat dengan arus gerbang sebesar 15 ma dan dibutuhkan arus anoda minimal sebesar 13,5 ma untuk menjaga agar SCR tetap on.

95 Gambar 4.21. Karakteristik I SCR untuk I g 20 ma. Dari Tabel 4.16 diketahui bahwa untuk arus gerbang sebesar 20 ma, diperoleh arus latching 14,5 ma dan arus holding 12 ma. Ini berarti dibutuhkan arus anoda sebesar 14,5 ma agar SCR dapat tetap on setelah dipicu sesaat dengan arus gerbang sebesar 15 ma dan dibutuhkan arus anoda minimal sebesar 12 ma untuk menjaga agar SCR tetap on. Semakin besar arus gerbang SCR, semakin kecil nilai arus latching dan arus holding untuk nilai gerbang yang bersangkutan. Dengan kata lain, makin tinggi arus gerbang, SCR makin mudah untuk dinyalakan.

96 4.2.4. KARAKTERISTIK TRIAC TRIAC hampir sama dengan SCR. Bedanya, TRIAC dapat menghantar arus bolak-balik. Karakteristik yang diukur pun sama dengan karakteristik yang diukur pada percobaan karakteristik SCR, yaitu tegangan breakover, arus latching, dan arus holding. Berdasarkan data pada Tabel 4.17, Tabel 4.18, Tabel 4.19, dan Tabel 4.20 karakteristik TRIAC dapat digambarkan pada Gambar 4.22, Gambar 4.23, Gambar 4.24, dan Gambar 4.25 berikut. Gambar 4.22. Karakteristik I TRIAC Mode 1. Dari Tabel 4.17 diketahui bahwa pada mode 1 untuk arus gerbang sebesar 15 ma, diperoleh arus latching 1,8 ma dan arus holding 1,2 ma. Ini berarti dibutuhkan arus anoda sebesar 1,8 ma agar TRIAC dapat tetap on setelah dipicu sesaat

97 dengan arus gerbang sebesar 15 ma dan dibutuhkan arus anoda minimal sebesar 1,2 ma untuk menjaga agar TRIAC tetap on. Gambar 4.23. Karakteristik I TRIAC Mode 2. Dari Tabel 4.18 diketahui bahwa pada mode 2 untuk arus gerbang sebesar 15 ma, diperoleh arus latching 4,25 ma dan arus holding 2,5 ma. Ini berarti dibutuhkan arus anoda sebesar 4,25 ma agar TRIAC dapat tetap on setelah dipicu sesaat dengan arus gerbang sebesar 15 ma dan dibutuhkan arus anoda minimal sebesar 2,5 ma untuk menjaga agar TRIAC tetap on.

98 Gambar 4.24. Karakteristik I TRIAC Mode 3. Dari Tabel 4.19 diketahui bahwa pada mode 3 untuk arus gerbang sebesar 33,3 ma, diperoleh arus latching 1,2 ma dan arus holding 1 ma. Ini berarti dibutuhkan arus anoda sebesar 1,2 ma agar TRIAC dapat tetap on setelah dipicu sesaat dengan arus gerbang sebesar 33,3 ma dan dibutuhkan arus anoda minimal sebesar 1 ma untuk menjaga agar TRIAC tetap on.

99 Gambar 4.25. Karakteristik I TRIAC Mode 4. Dari Tabel 4.20 diketahui bahwa pada mode 4 untuk arus gerbang sebesar 15 ma, diperoleh arus latching 1,15 ma dan arus holding 1,1 ma. Ini berarti dibutuhkan arus anoda sebesar 1,15 ma agar TRIAC dapat tetap on setelah dipicu sesaat dengan arus gerbang sebesar 15 ma dan dibutuhkan arus anoda minimal sebesar 1,1 ma untuk menjaga agar TRIAC tetap on. Sama seperti SCR, pada percobaan karakteristik TRIAC nilai tegangan breakover tidak dapat diperoleh karena nilainya sangat tinggi dan peralatan yang ada di laboratorium tidak mampu mengukur besarnya tegangan breakover tersebut. Oleh karena itu, bentuk grafik yang disajikan pada Gambar 4.22, Gambar 4.23, Gambar 4.24, dan Gambar 4.25 tidak dapat menyerupai bentuk grafik pada Gambar 2.16.

100 4.2.5. KARAKTERISTIK MOSFET MOSFET merupakan piranti terkendali tegangan. MOSFET yang digunakan dalam percobaan ini adalah MOSFET IRF740. MOSFET memiliki tiga daerah kerja, yaitu cut-off, trioda, dan pinch-off. Pada daerah kerja trioda, MOSFET berfungsi sebagai hambatan yang terkendali tegangan. Sedangkan pada daerah kerja pinch-off, MOSFET berfungsi sebagai penguat tegangan. Syarat MOSFET berada di daerah pinch-off dituliskan pada Persamaan 4.2 berikut: DS (4.2) GS TH dengan tegangan threshold ( TH ) bernilai 3. Ada dua karakteristik MOSFET yang dibahas dalam percobaan ini, yaitu karakteristik DS I D dengan GS sebagai parameter dan karakteristik GS I D. Karakteristik DS I D digunakan untuk melihat daerah kerja MOSFET. Berdasarkan Tabel 4.21, Tabel 4.22, Tabel 4.23, Tabel 4.24, dan Tabel 4.25, karakteristik DS I D dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.26 berikut.

101 Gambar 4.26. Karakteristik DS I D dengan GS sebagai Parameter. Berdasarkan Persamaan 4.2, saat GS 3,1, MOSFET bekerja pada daerah triode saat DS 0, 1, sedangkan pinch-off saat DS 0, 1. Saat GS 3,2, MOSFET bekerja pada daerah triode saat DS 0, 2, sedangkan pinch-off saat DS 0, 2. Saat GS 3,3, MOSFET bekerja pada daerah triode saat DS 0, 3, sedangkan pinch-off saat DS 0, 3. Saat GS 3,4, MOSFET bekerja pada daerah triode saat DS 0, 4, sedangkan pinch-off saat DS 0, 4. Saat bekerja pada daerah triode, MOSFET juga memiliki hambatan pengurassumber ( R DS(ON) ). Nilai dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 4.3 berikut.

102 R DS DS( ON) (4.3) I D Misalkan berdasarkan Tabel 4.22, saat DS bernilai 40 m besar arus I D adalah 0,9 ma. Dengan menggunakan Persamaan 4.3 nilai R DS(ON) adalah: R DS ( ON ) 40m 44, 4 0,9mA Selain karakteristik DS I D, ada juga karakteristik GS I D. Karakteristik GS I D disebut juga karakteristik transkonduktansi, digunakan untuk menentukan nilai transkonduktansi MOSFET. Nilai transkonduktansi dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 4.4 berikut. g m I D GS DS I g D m K 2 GS T 2 I D K GS T 2K( GS T ) (4.4) GS GS Dengan menggunakan data pada Tabel 4.22, nilai K dapat dihitung. I D K 2 GS T 3,1 3 2 1,5mA K K 1,5 10 10 10 3 3 0,15 Berdasarkan Tabel 4.26, Tabel 4.27, dan Tabel 4.28, karakteristik GS I D MOSFET IRF740 dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.27, Gambar 4.28, dan Gambar 4.29 berikut. Dalam menghitung nilai transkonduktansi MOSFET,

103 nilai yang diambil misalnya nilai arus penguras ( I D ) untuk tegangan gerbang - sumber ( GS ) sebesar 3,5 olt dan 3,55 olt. Gambar 4.27. Karakteristik GS I D untuk DS 0,6 olt. Dari Gambar 4.27, nilai transkonduktansi MOSFET untuk DS 0,6 olt adalah: g m I D GS DS 0,6 3,5mA 1 50m 0,07 Sedangkan berdasarkan Persamaan 4.4, nilai transkonduktansinya adalah: g m 2K( GS T ) 2.0,15. 1 3,55 3 0,165 Dapat dilihat bahwa nilai transkonduktansi yang diperoleh dari percobaan berbeda dengan nilai transkonduktansi yang diperoleh secara teoritis.

104 Gambar 4.28. Karakteristik GS I D untuk DS 1 olt. Dari Gambar 4.28, nilai transkonduktansi MOSFET untuk DS 1 olt adalah: g m I D GS DS 1 6,5mA 1 50m 0,13 Sedangkan berdasarkan Persamaan 4.4, nilai transkonduktansinya adalah: g m 2K( GS T ) 2.0,15. 1 3,55 3 0,165 Dapat dilihat bahwa nilai transkonduktansi yang diperoleh dari percobaan mendekati dengan nilai transkonduktansi yang diperoleh secara teoritis.

105 Gambar 4.29. Karakteristik GS I D untuk DS 2 olt. Dari Gambar 4.29, nilai transkonduktansi MOSFET untuk DS 2 olt adalah: g m I D GS DS 2 8 ma 1 50m 0,16 Sedangkan berdasarkan Persamaan 4.4, nilai transkonduktansinya adalah: g m 2K( GS T ) 2.0,15. 1 3,55 3 0,165 Dapat dilihat bahwa nilai transkonduktansi yang diperoleh dari percobaan mendekati nilai transkonduktansi yang diperoleh secara teoritis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi DS, maka nilai transkonduktansi hasil percobaan makin mendekati nilai transkonduktansi teoritis.

106 Berdasarkan hasil percobaan yang digambarkan pada Gambar 4.27, Gambar 4.28, dan Gambar 4.29 perubahan nilai arus penguras ( I D ) cukup linier untuk perubahan tegangan gerbang-sumber ( GS ) yang kecil. Sebagai contoh pada Gambar 4.27, pada GS sebesar 3,45, 3,5, dan 3,55 diperoleh I D sebesar 10,5 ma, 14,5 ma, dan 18 ma. Ini berarti untuk kenaikan GS sebesar 50 m, terjadi kenaikan I D antara 3,5 ma sampai 4 ma. Pada Gambar 4.28 untuk GS yang sama, yaitu 3,45, 3,5, dan 3,55 diperoleh I D sebesar 11,5 ma, 17 ma, dan 21,5 ma. Ini berarti untuk kenaikan GS sebesar 50 m, terjadi kenaikan I D antara 4,5 ma hingga 5,5 ma. Memang tidak linier sempurna, ini terjadi karena adanya kesalahan dalam membaca alat ukur pada saat melakukan pengukuran. Meskipun demikian hal ini mendekati teori yang mana perubahan nilai I D cukup linier untuk perubahan GS yang kecil. MOSFET pada daerah kerja pinch-off berfungsi sebagai penguat. Pada daerah kerja pinch-off, MOSFET memiliki tegangan yang besar. Arus yang dilewatkan juga besar. Dengan demikian, MOSFET pada daerah kerja pinch-off memiliki daya yang besar. Misalkan untuk GS 3,2, MOSFET bekerja pada daerah pinch-off apabila DS 0, 2. Penulis mengambil nilai DS 10. Pada saat DS bernilai 10, arus I D yang mengalir adalah sebesar 4,2 ma. Daya yang dimiliki oleh MOSFET tersebut adalah: P. I 10.4,2mA 0, 042W Jika MOSFET dioperasikan dalam waktu yang lama, misalnya 1 jam, maka besarnya kalor yang dihasilkan adalah:

107 Jika nilai W P. t 0,042W.3600s 151, 2J DS lebih besar lagi, maka semakin besar pula kalor yang dihasilkan oleh MOSFET tersebut. Oleh karena itu, MOSFET yang bekerja pada daerah pinch-off tidak cocok digunakan sebagai saklar. Saklar ideal seharusnya tidak memiliki tegangan pada saat menghantarkan arus. Sehingga tidak ada daya yang didisipasikan oleh saklar tersebut. MOSFET dapat berfungsi sebagai saklar saat bekerja di daerah triode. Misalkan untuk GS 3,2, MOSFET bekerja pada daerah triode apabila DS 0, 2. Penulis mengambil nilai DS 100 m. Pada saat DS bernilai 100 m, arus I D yang mengalir adalah sebesar 4,2 ma. Daya yang dimiliki oleh MOSFET tersebut adalah: P. I 100m.4,2mA 420W Bila dibandingkan dengan daya MOSFET pada daerah pinch-off, maka daya MOSFET pada daerah triode jauh lebih kecil. Dengan demikian, MOSFET yang bekerja pada daerah triode lebih cocok bila digunakan sebagai saklar. 4.2.6. KARAKTERISTIK IGBT IGBT menggabungkan kelebihan-kelebihan yang ada pada MOSFET dan BJT. IGBT merupakan piranti terkendali tegangan. IGBT memiliki hambatan masukan yang sangat besar. IGBT memiliki tiga daerah kerja seperti BJT, yaitu cut-off, aktif, dan saturasi. Ada dua karakteristik yang dibahas dalam percobaan ini, yaitu karakteristik CE I C dan karakteristik GE I C. Berdasarkan Tabel 4.29 hingga

108 Tabel 4.37, karakteristik CE I C IGBT IRG4BC20S dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.30 berikut. Gambar 4.30. Karakteristik CE I C dengan GE sebagai Parameter. IGBT yang digunakan memiliki tegangan ambang sebesar 4,5. IGBT bekerja pada daerah saturasi apabila memenuhi syarat CE GE T. IGBT bekerja pada daerah cut-off apabila memenuhi syarat CE. Dari Gambar 4.30, GE T misalnya untuk GE 5, dapat dilihat bahwa IGBT bekerja pada daerah saturasi saat 5 4,5 0,. Saat CE 0, 5, IGBT bekerja pada daerah CE CE 5 aktif. Sedangkan untuk GE 5,3, IGBT bekerja pada daerah saturasi saat CE 0, 8. Saat CE 0, 8, IGBT bekerja pada daerah aktif. Selain karakteristik CE I C, ada juga karakteristik GE I C. Karakteristik GE I C disebut juga karakteristik transkonduktansi. Karakteristik

109 transkonduktansi digunakan untuk melihat nilai transkonduktansi yang dimiliki oleh IGBT IRG4BC20S. Nilai transkonduktansi IGBT dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 4.5 berikut. g i I C (4.5) GE CE Berdasarkan Tabel 4.38, Tabel 4.39, dan Tabel 4.40, karakteristik GE I C dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.31, Gambar 4.32, dan Gambar 4.33 berikut. Untuk menghitung nilai transkonduktansi, nilai yang diambil adalah dua nilai arus kolektor ( I C 4,7 dan 4,75. ) untuk tegangan gerbang emiter ( GE ) tertentu, misalnya sebesar Gambar 4.31. Karakteristik GE I C untuk CE 0,7. Dari Gambar 4.31, nilai transkonduktansi IGBT untuk CE 0,7 adalah:

110 g i I C GE CE 0,7 0,34mA 1 50m 0,0068 Gambar 4.32. Karakteristik GE I C untuk CE 0,8. Dari Gambar 4.32, nilai transkonduktansi IGBT untuk CE awal 0,8 adalah: g i I C GE CE 0,8 0,75mA 1 50 0,015

111 Gambar 4.33. Karakteristik GE I C untuk CE 0,9. Dari Gambar 4.33, nilai transkonduktansi IGBT untuk CE awal 0,9 adalah: g i I C GE CE 3 0,8mA 1 50 0,016 Dari penghitungan-penghitungan di atas dapat dilihat bahwa nilai transkonduktansi IGBT IRG4BC20S bervariasi untuk nilai tegangan kolektor emiter yang berbeda pula. Makin tinggi tegangan kolektor emiter, maka makin besar pula nilai transkonduktansinya. 4.2.7. TUGAS RANCANG Step-up chopper adalah suatu rangkaian yang berguna untuk mengubah tegangan masukan DC menjadi tegangan keluaran DC yang nilainya lebih besar.

112 Rangkaian step-up chopper dapat direalisasikan dengan menggunakan sebuah MC34063. Gambar 4.34 memperlihatkan rangkaian step-up chopper menggunakan MC34063. Gambar 4.34. Rangkaian Step-Up Menggunakan MC34063. MC34063 memiliki tiga bagian penting, yaitu osilator, komparator, dan SRFF. Untuk menjelaskan cara kerja step-up, dimulai dengan kondisi awal kedua transistor off, arus induktor nol, dan tegangan keluaran sama dengan tegangan keluar yang seharusnya. Dalam keadaan demikian beban hanya memperoleh arus dari kapasitor keluaran ( C ) yang melakukan pengosongan muatan. Saat O kapasitor C O melakukan pengosongan, maka tegangan kapasitor tersebut juga

113 akan menurun. Penurunan ini dirasakan oleh rangkaian komparator yang ada dalam MC34063. Saat tegangan pada pin 5 MC34063 bernilai kurang dari tegangan acuan sebesar 1,5, maka komparator akan menghasilkan keluaran 1. Keluaran komparator ini diumpankan ke pin A gerbang AND. Pin B gerbang AND mendapat umpan dari osilator. Osilator akan menghasilkan keluaran logika 1 saat kapasitor C T melakukan pengisian. Saat pin A dan pin B gerbang AND mendapat masukan berupa logika 1, maka gerbang AND akan menghasilkan keluaran logika 1 pula. Dengan demikian SRFF juga akan menghasilkan keluaran pada pin Q berupa logika 1. Ini mengakibatkan transistor dan dalam keadaan saturasi. Saat saturasi, arus akan mengalir melalui tegangan masukan ( in ) menuju induktor ( L ) dan transistor ( Q 1 ). Saat siklus on selesai, transistor Q 1 akan off dan medan magnetik pada induktor mulai mengosongkan muatan melalui dioda 1N5822 dan memberi energi pada kapasitor C O dan siklus kembali berulang. Untuk merancang sebuah step-up yang dapat menghasilkan tegangan keluaran sebesar 40 dari tegangan masukan 20, harus menentukan nilai-nilai resistor ( R 1, R 2, dan R SC ), kapasitor ( C T dan C O ), dan induktor ( L ). Sebelum menentukan nilai-nilai komponen tersebut, terlebih dahulu menentukan lama waktu siklus on ( t on ) dan siklus off ( t off ) berlangsung dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut. t t on off out F in(min) in(min) sat (4.6)

114 t on 1 toff (4.7) f ton toff t off (4.8) ton 1 t off t on t on toff toff (4.9) Nilai-nilai komponen dapat dihitung dengan menggunakan persamaanpersamaan berikut. t on I pk 2 Iout(max) 1 (4.10) toff R sc 0,3 (4.11) I pk C 4 10 (4.12) 5 T t on C O I out on 9 (4.13) ripple t L in(min) sat min ton (4.14) I pk Nilai resistor R 1 dan R 2 ditentukan sendiri agar dapat menghasilkan tegangan keluaran yang sesuai dengan yang dikehendaki. Nilai tegangan keluaran dihitung dengan Persamaan (4.13) berikut. R 2 out 1,25 1 (4.15) R1 Dengan menggunakan Persamaan 4.6 hingga Persamaan 4.15 tersebut, diperoleh penghitungan dengan hasil sebagai berikut.

115 K K R R F s t I C H s t I L I R A ma ma t t I I nf F t C s s s t t t t s s t t t t t s khz f t t t t m ma I out ripple on out O on pk sat in pk sc off on out pk on T off off on on off on off on off off on sat in in F out off on ripple maz out out in 38,75 31 1,25 10 300 1 1,25 1 1,25 400 0,1 11,23 0,4 9 9 107,7 11,23 1,824 0,5 18 0,1645 1,824 0,3 0,3 1,824 2,28 400 2 1 1,28 400 2 1 2 0,45 10 4,492 10 11,23 10 4 10 4 11,23 8,77 20 8,77 1 1,28 20 1 20 50 1 1 1,28 17,5 22,4 0,5 18 18 0,4 40 100 400 40 22 18 10% 20 1 2 (min) min (max) 10 6 5 5 (min) (min) ) ( Karena nilai-nilai komponen yang diperoleh dari hasil penghitungan tidak tersedia di pasaran dengan nilai yang sama persis, maka nilainya disesuaikan dengan yang ada di pasaran. Nilai-nilai komponen yang digunakan: k R 10 1 k R 300 2 2 0, sc R

116 C T 0, 42nF C O 470 F Lmin 107 H Pada saat keluaran tidak diberi beban resistor, tegangan keluaran memiliki nilai 40,0. Namun saat diberi beban resistor 100 Ω, tegangan keluaran memiliki nilai lebih kecil dari yang seharusnya, yaitu 25,5 sehingga arus keluaran juga turun, menjadi 255 ma.