Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

dokumen-dokumen yang mirip
Kedua, bila dicermati tindak kekerasan itu tidak diseluruh Papua, tapi berkosentrasi di tiga distrik yaitu Jayapura, Abepura, dan Puncak Jaya.

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

BABV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

Surat Terbuka Untuk Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia.kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara

Dua tahun Jokowi-JK dalam atasi kemiskinan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2011 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Cari Kuburan Massal untuk Pelurusan Sejarah

Negara Jangan Cuci Tangan

POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012

PEMERINTAH KUCURKAN TRILIUNAN RUPIAH BANGUN INFRASTRUKTUR PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. yang memenuhi atau melebihi harapan. Maka dapat dikatakan, bahwa hal-hal

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Telah terjadi penembakan terhadap delapan TNI dan empat warga oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bagaimana tanggapan Anda terkait hal ini?

BAB I PENDAHULUAN. yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia Tahun 1945 dalam Alinea

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan

Pemimpin baru dan tantangan krisis ikan era perubahan iklim

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL

RISALAH KEBIJAKAN. Mendorong Regulasi Penggusuran Sesuai dengan Standar Hak Asasi Manusia

Outlook Dana Desa 2018 Potensi Penyalahgunaan Anggaran Desa di Tahun Politik

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis keuangan global tak hanya berdampak pada sektor riil, tapi juga

Indonesia Komitmen Implementasikan Agenda 2030 Senin, 05 September 2016

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan proaktif melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

Pelanggaran Etika Bisnis dan Hukum PT Freeport di Papua

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

PIAGAM KERJASAMA PARTAI DEMOKRAT DAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA TAHUN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. sekaligus (Abdullah, 2006: 77). Globalisasi telah membawa Indonesia ke dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Marjinalisasi dan Afirmasi

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

H. Afif Nurhidayat, S.Ag.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan

BAB I. PENGANTAR. dampak etnisitas terhadap akses pelayanan publik dalam implementasi otonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari

GUBERNUR PAPUA. Sambutan Gubernur Papua Pada Seminar Efektivitas Pengunaan dan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Aset Desa Sebagai Basis Desa Membangun. M. Zainal Anwar

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemeri

BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA

Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia: Peta Persoalan dan refleksi peran CSO di Indonesia Yuniyanti Chuzaifah Ketua Komnas Perempuan ( )

MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN

Deklarasi Rio Branco. Membangun Kemitraan dan Mendapatkan Dukungan untuk Hutan, Iklim dan Mata Pencaharian

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak

RESUME 21 BUTIR PLATFORM KEBIJAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (1) PEMANTAPAN EKONOMI MAKRO

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Herlambang P. Wiratraman 2016

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB I PENDAHULUAN. Dari sudut pandang etimologi demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

CITA-CITA NEGARA PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mudah untuk dicapai. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

KERANGKA ACUAN KERJA SARASEHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN INDONESIA Jakarta, 4 Februari 2009

Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB V KESIMPULAN. Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

RINGKASAN RENSTRA SEKRETARIAT DAERAH KOTA TANGERANG PERIODE

Ini 9 Arahan Presiden Jokowi Terkait Desain Belanja 2018 Selasa, 04 April 2017

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Siaran Pers Kemendikbud: Penguatan Pendidikan Karakter, Pintu Masuk Pembenahan Pendidikan Nasional Senin, 17 Juli 2017

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

MELINDUNGI SECARA UTUH : Layanan Sinergitas. Gama Triono

1 LATAR 3 TEMUAN 7 KETIDAKMAMPUAN

SILABUS MATA PELAJARAN: PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Satuan Pendidikan : SMK NEGERI 21 JAKARTA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dinamika Multikulturalisme Kanada ( ). Kesimpulan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bung Karno, pohon sukun dan Pancasila

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMALB TUNARUNGU

BUPATI KEBUMEN. Senin, 19 Desember 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi

pembentukan komisi kepresidenan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah dan dengan memperhitungkan masyarakat Indonesia yang plural,

Tidak Ada Kata Tidak Berani Minggu, 10 Januari 2016

INDEKS KINERJA PENEGAKAN HAM 2011

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

B. Struktur Organisasi

Transkripsi:

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160906163356-21-156465/problem-papua-dan-rapuhnya-relasi-kebangsaan/ Arie Ruhyanto, CNN Indonesia Kamis, 15/09/2016 08:24 WIB Masyarakat di Wamena, Papua, saat menghadiri pendirian kantor Gerakan Pembebasan Papua, 15 Februari 2016. (Dok. Victor Mambor) Birmingham, CNN Indonesia -- Lima puluh tahun lebih upaya menjadikan Papua sebagai bagian seutuhnya dari bangsa ini terus memperoleh tantangan dari sebagian masyarakat Papua. Pemberian status otonomi khusus, transfer triliunan dana pembangunan, pembentukan puluhan daerah otonom baru di berbagai penjuru Papua, hingga perhatian khusus yang ditunjukkan Presiden Jokowi dalam berkali-kali kunjungannya ke provinsi itu, masih belum mampu mengambil hati seluruh masyarakat Papua. Sebaliknya, resistensi cenderung menguat, baik di dalam maupun luar negeri. Di samping persoalan pembangunan, problem mendasar yang dihadapi adalah semakin rapuhnya relasi kebangsaan yang menjadi landasan bagi legitimasi negara di mata masyarakat Papua. Legitimasi dalam hal ini dimaknai sebagai pengakuan dan penerimaan warga atas kekuasaan negara untuk mengatur warganya. Berbeda dengan kedaulatan yang bersifat statis, legitimasi adalah unsur yang dinamis naik turunnya sangat ditentukan oleh bagaimana relasi di antara institusi negara dengan masyarakat maupun di antara sesama warga masyarakat. 1

Rapuhnya Legitimasi Cara pandang paling dominan saat ini mengaitkan dinamika legitimasi dengan kinerja negara (state performance). Kuat atau lemahnya legitimasi masyarakat terhadap negara tergantung pada kinerja negara dalam memproduksi dan mendistribusikan political goodsseperti keamanan, infrastruktur, dan pelayanan publik dasar semacam pendidikan dan kesehatan (Rotberg, 2004). Dengan kata lain, keberhasilan negara menyediakan infrastruktur, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta menyediakan layanan publik yang lebih baik, diyakini akan berbanding lurus dengan peningkatan legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. Namun berbagai fakta lain menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik tidak serta-merta memengaruhi legitimasi negara di mata warganya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya fenomena gerakan separatisme yang tidak hanya terjadi di negara miskin dan berkembang, melainkan juga di negara-negara maju. Di beberapa negara maju seperti Inggris, Spanyol, Perancis, dan Kanada, hingga kini sebagian rakyatnya masih terus bermimpi membentuk negara sendiri. Pada referendum di Skotlandia tahun 2014 misalnya, 44,7 persen warganya tetap menginginkan hidup terpisah dari Inggris setelah lebih dari tiga abad bersama-sama menikmati kejayaan Inggris sebagai salah satu negara terkuat di dunia. Demikian pula dengan masyarakat Basque dan Catalonia di Spanyol, keduanya dari aspek ekonomi merupakan daerah yang relatif lebih maju dan sejahtera dibandingkan daerah lainnya. Namun sejak akhir abad 19 hingga saat ini, masyarakat di kedua daerah tersebut terus menyerukan keinginan untuk memisahkan diri dari Spanyol. Kasus-kasus tersebut menegaskan bahwa upaya membingkai imajinasi kolektif kebangsaan dalam satu kesatuan entitas politik sama sekali bukan hal yang mudah, terlebih dalam masyarakat yang multikultur. Rekatnya keutuhan negara tidak cukup terjalin hanya dengan menghadirkan dan memastikan bekerjanya perangkat-perangkat negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya. Lebih dari itu, keutuhan negara ditentukan oleh seberapa kuat sekelompok masyarakat merasa menjadi bagian dari proyek kolektif yang bernama negara bangsa. 2

Dalam hal ini, isu identitas, relasi, solidaritas, kesetaraan, dan kohesivitas sosial menjadi mantra utama yang boleh jadi lebih penting ketimbang pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Dalam konteks Papua, sulit membayangkan masyarakat Papua dapat merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia ketika anak-anak mereka tidak diterima kehadirannya oleh masyarakat di daerah lain. Kita juga sulit mengharapkan masyarakat Papua dapat meredam kecewa ketika kebutuhan sehari-hari tak terbeli sementara para pejabat sibuk memikirkan diri sendiri meski mereka adalah orang Papua asli. Upaya memulihkan kepercayaan masyarakat Papua juga ibarat menegakkan benang basah ketika hak-hak mereka tak terpenuhi dan janji penegakan hak asasi manusia tak kunjung ditepati. Menata Ulang Relasi Kebangsaan Peringatan Natal untuk mengenang empat korban tewas dalam Tragedi Paniai, Papua, di Komnas HAM, Jakarta, 24 Desember 2015. (CNN Indonesia/Yohannie Linggasari) Dengan menyadari pentingnya ikatan kebangsaan yang dibangun di atas fondasi solidaritas dan kesetaraan sebagai sesama warga bangsa, kita bisa mendudukkan persoalan Papua dalam bingkai yang lebih cair. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa penataan relasi kebangsaan merupakan faktor penting bagi penyelesaian masalah Papua secara lebih humanis. Upaya perbaikan relasi mutlak diperlukan, setidaknya pada empat ranah relasi, yakni relasi antara pemerintah pusat dengan daerah, relasi antarpemerintah daerah, relasi 3

antara pemerintah dengan masyarakat, serta relasi antaranggota masyarakat. Pertama, relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah se-papua. Pada ranah ini, relasi yang kuat ditandai dengan konsistensi antara kebijakan pusat dengan kebutuhan daerah yang disertai komitmen, kerja nyata, dan pernyataan-pernyataan konstruktif dari kedua belah pihak. Sayangnya, pada ranah ini, relasi yang ada sekarang tidak bisa dikatakan baik, terutama antara Jakarta-Jayapura. Beberapa kali Gubernur Papua mengekspresikan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah pusat, misalnya terkait penundaan pembahasan revisi UU Otonomi Khusus Papua. Sebaliknya, pejabat pemerintah pusat juga kerap melontarkan pernyataan yang kontroversial terkait Papua, misalnya pernyataan Menkopolhukam terkait upaya sekelompok masyarakat Papua menggalang dukungan dengan kelompok negara Pasifik (Kompas, 19/02/2016). Kedua, relasi antara pemerintah daerah lain dengan pemerintah daerah se-papua. Relasi pada ranah ini terwujud antara lain dari kerja sama antarpemerintah daerah. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Merauke dengan Pemerintah Kota Bandung baru-baru ini terkait pengembangan teknologi, pendidikan, pangan, serta kerja sama budaya. Namun, hingga saat ini persinggungan antara pemerintah daerah se-papua dengan pemerintah daerah lain di Indonesia masih sangat jarang. Hal ini menyebabkan ranah kerja sama antardaerah belum dapat menjadi perekat kebhinekaan. Ketiga, relasi antara pemerintah (baik pusat maupun daerah) dengan masyarakat. Relasi antara pemerintah dengan masyarakat di Papua tidak mudah diuraikan sebagaimana tampaknya. Hal ini karena masyarakat seringkali tidak dapat membedakan mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Presiden Joko Widodo saat melakukan kunjungan kerja di Raja Ampat. (Dok. Agus Suparto) 4

Meskipun dari sisi aturan terdapat pemilahan otoritas dan tanggung jawab, namun kenyataannya setiap kekurangan cenderung dialamatkan pada pemerintah pusat. Sebaliknya, persepsi yang baik terhadap pemerintah lokal belum tentu berdampak pada persepsi masyarakat terhadap pemerintah nasional karena kuatnya relasi patron-klien. Keempat, relasi antar masyarakat. Dinamika relasi pada ranah ini tercermin dalam hubungan keseharian antarwarga yang termanifestasi pada kerukunan, toleransi, solidaritas sosial, serta kepedulian sebagai sesama warga bangsa. Ranah keempat itu merupakan arena yang sangat fundamental dan menentukan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Sayangnya, justru pada ranah inilah kerusakan paling parah terjadi. Segregasi sosial di antara penduduk di Papua semakin tajam, baik antara masyarakat asli dengan pendatang, maupun di antara masyarakat Papua pegunungan dengan masyarakat Papua yang tinggal di pesisir. Stereotip dan stigma negatif terhadap warga Papua belakangan menguat. Jika terus dibiarkan, kondisi ini akan menghancurkan kohesivitas sosial yang bermuara pada perpecahan. Keseluruhan arena relasi di atas merupakan pilar-pilar utama penopang legitimasi negara di mata masyarakat Papua. Dengan kata lain, solusi terhadap krisis legitimasi negara bukan hanya ada di tangan pemerintah, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh warga negara. Upaya ini proses panjang yang memerlukan komitmen dan peran berbagai lapisan, karena di samping kehadiran nyata negara melalui pembangunan dan pelayanan, interaksi keseharian seluruh warga bangsa dengan masyarakat Papualah yang menentukan sejauh mana mereka merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Dalam proses tersebut, media massa dapat memainkan peran sangat krusial sebagai katalis bagi kohesivitas sosial, dan bukan sebaliknya. 5