BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orangutan dan Klasifikasi Istilah orangutan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Dalam pemberian nama ini para ahli anthropologi fisik mengalami kesulitan dalam memberikan defenisi yang tepat mengenai bagaimana caranya kita dapat mengenal kera besar, namun dalam daftar biasanya disebutkan bahwa kera besar memiliki anggota badan yang dapat bergerak agak leluasa ke semua arah, tidak mempunyai ekor, mempunyai kebiasaan membuat sarang di atas pohon (Van Schaik, 2006). Menurut Groves (2001) orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Animalia
Phylum Subphylum Kelas Ordo Family Subfamily Genus Spesies : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Primata : Homonidae : Pongoninae : Pongo : Pongo abelii dan Pongo pygmaeus Van Schaik (2006) menyatakan bahwa pada saat ini orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang masih terdapat di Asia, yaitu hanya dapat ditemukan di pedalaman hutan-hutan di pulau Kalimantan dan pulau Sumatera. Menurut beberapa ahli taksonomi, orangutan yang ada saat ini hanya terdiri dari satu spesies dengan dua subspesies. Markham (1980) menyatakan bahwa kedua subspesies ini terisolasi secara geografis paling sedikit sejak 10.000 tahun yang lalu ketika permukaan laut antara Sumatera dan Kalimantan naik. Akibatnya, kedua pulau yang semula merupakan satu bagian dari Daratan Sunda ini terpisah menjadi dua pulau besar. Isolasi tersebut menyebabkan munculnya beberapa genetis dan morfologis, tetapi ketika ditemukan kedua spesimen tersebut berada dalam kondisi yang sama misalnya dalam tangkapan, keduanya dengan mudah berkembang biak dan menghasilkan keturunan. Pola-pola perilaku kedua subspesies tersebut hampir seluruhnya identik, walaupun ada perbedaan kemampuan sosialnya. Jones et al., (2004) dalam Siregar (2009) menjelaskan bahwa orangutan yang hidup di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan tidak satu spesies melainkan satu genera yang masing-masing terdiri dari dua spesies yaitu Pongo abelii yang hidup di pulau Sumatera dan spesies Pongo pygmaeus yang hidup di pulau Kalimantan. 2.2 Ciri-ciri Umum
Supriatna & Edy (2000) menyatakan bahwa ukuran tubuh orangutan jantan 2 kali lebih besar dari pada betina. Orangutan jantan dewasa yang hidup di alam memiliki berat badan antara 50-90 kg, dan yang peliharaan dapat mencapai 150 kg dengan pola warna biasanya coklat kekuningan dan umumnya rambut agak tebal atau panjang. Sedangkan orangutan betina dewasa yang hidup di alam memiliki berat badan antara 30-50 kg dan yang peliharaan dapat mencapai 70 kg, bayi yang baru lahir memiliki berat badan antara 1-2 kg (rata-rata 1,8 kg) dengan kulit muka dan tubuh biasanya berwarna pucat, warna rambutnya coklat sangat muda (Meijaard et al, 2001). Selanjutnya Payne (2000) menjelaskan bahwa orangutan Sumatera (Pongo abelii) jantan terbesar tingginya mencapai 1,4 m dengan rentangan antara kedua tangan mencapai 2,4 m, sedangkan betina dewasa jauh lebih kecil.
2.3 Biologi/Reproduksi orangutan Musfarayani (2008) menyatakan bahwa orangutan betina sudah matang secara seksual pada umur 7 tahun dan siap bereproduksi pada usia 14 tahun, namun demikian berdasarkan informasi di Bukit Lawang ditemukan orangutan betina telah bereproduksi pada umur 11 tahun, dengan lama kehamilan rata-rata 254 hari (8 bulan, 20 hari). Selanjutnya Meijaard et al., (2001) menjelaskan bahwa setiap kelahiran hanya menghasilkan satu bayi dengan jarak kelahiran 6-9 tahun. Dalam suatu kasus orangutan betina dewasa dapat mengambil anak angkat dari anak orangutan lain dan tidak membedakan cara mengasuhnya baik pada anak kandung atau anak angkatnya (Supriatna & Edy, 2000). Menurut Van Schaik (2006) orangutan dalam kehidupannya melewati tahapan bayi, anak-anak, remaja, pradewasa, dewasa dan tua. Meskipun tahapannya bisa dilihat dengan nyata, transisi itu sendiri berlangsung secara berangsur-angsur dan sangat lama yang dapat mencapai 50 sampai 60 tahun. Orangutan jantan sudah matang secara seksual pada umur 11 tahun dan tumbuh ke arah sempurna pada umur 15 tahun yang ditandai dengan mulai tumbuhnya bantalan pipi yang lebar pada bagian muka (Waliyati, 2004). Galdikas (1978) menyatakan bahwa orangutan jantan dewasa sering mengeluarkan seruan panjang, yaitu suara yang dikeluarkan berulang-ulang dan dapat terdengar dari jarak jauh yang memiliki peranan penting dalam reproduksi yaitu berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina atau melarang jantan lain untuk masuk ke dalam wilayahnya. Seruan panjang orangutan Kalimantan dapat terdengar hingga sejauh lebih dari 2 km, serta terdengar memukau dan menakutkan (Djarubito, 1994) menjelaskan bahwa reproduksi orangutan dilakukan dengan fertilisasi internal yaitu adanya organ intromitten (penis pada jantan dan vagina pada betina).
2.4 Habitat Orangutan Untuk mendukung kehidupan satwa liar diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik dalam makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak maupun tempat untuk mengasuh anakanaknya. Kawasan tersebut terdiri dari komponen abiotik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup yang disebut habitat (Alikodra, 2002). Primata ini sangat peka terhadap perubahan kondisi hutan tropik yang menjadi habitatnya. Dimana hutan tropik yang menjadi habitatnya harus menyediakan beragam tumbuhan buah yang menjadi sumber pakan utamanya sehingga primata ini dapat bertahan hidup. Selain buah orangutan juga memakan bagian lain dari tumbuhan seperti bunga, daun muda, kulit kayu, beberapa tumbuhan yang dihisap getahnya dan berbagai jenis serangga. Dengan demikian pembukaan hutan tropik sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasinya. Di Kalimantan, orangutan kehilangan lebih dari separuh habitatnya, dimana dari areal hutan seluas ± 415.000 km 2 saat ini tersisa seluas ± 165.000 km 2 (± 39,76%), sedangkan di Sumatera, dari areal hutan seluas ± 89.000 km 2 saat ini yang tersisa seluas ± 23.000 km 2 (± 25,84%) (Supriatna & Edy, 2000) 2.5 Distribusi Orangutan Walker (1983) memperkirakan bahwa pada zaman Pleistosen orangutan terdapat di sebagian besar hutan dataran rendah Asia Tenggara. Selanjutnya Van Schaik (2006) menyatakan bahwa hasil penemuan fosil tulang dan gigi menampakkan pongo berahang masif, yang jelas memakan benda-benda keras. Yang memperlihatkan wilayah ekspansinya membentang di Indochina dan Sunda (Daratan Laut Cina Selatan). Luas total penyebaran selama pertengahan Pleistosen ini mungkin mencapai 1,5 juta km 2. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran orangutan sangat luas pada zaman purbakala karena pola ekspansi orangutan ditentukan oleh faktor bentuk daratan dan aliran sungai, distribusi hutan dan invasi manusia ke habitatnya.
Orangutan hidup di dataran rendah sampai hutan pegunungan dataran tinggi. Umumnya hidup di hutan primer dan hutan sekunder, dari hutan rawa sampai hutan perbukitan. Namun saat ini karena kerusakan habitat aslinya, mereka dapat ditemukan di pinggiran ladang, perkebunan atau dekat perkampungan masyarakat (Payne, 2000; Supriatna & Edy, 2000). Di Sumatera orangutan masih ditemukan pada lereng gunung dengan ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut (dpl) khususnya jantan dewasa, sedangkan di Kalimantan orangutan tidak ditemukan pada ketinggian 500 m dpl (Groves, 2001; Rijksen & Meijaard dalam Wich et al., 2009). Populasi terbesar orangutan terdapat pada ketinggian 200-400 m di atas permukaan laut yang biasa didominasi pohon dari famili Dipterocarpaceae. Kepadatan tertinggi dapat mencapai 2 individu/km 2, sedangkan kepadatan di hutan perbukitan hanya 1 ekor per km 2 (Payne,1988; Van Scaik & Azwar, 1991). Meijaard et al., (2001) menjelaskan bahwa orangutan tidak tersebar merata menurut waktu dan lokasi di suatu kawasan. Keadaan ini disebabkan karena kera besar tersebut menghabiskan waktunya untuk menjelajah dan mencari makanan, sehingga terkadang menetap di lokasi yang sama sekali belum pernah didatangi. Antara mencari makan dan membuat wilayah baru selalu dilakukan setiap harinya sampai ke jenis hutan yang berbeda. Penyebaran Orangutan Sumatera terbatas hanya di bagian Utara Sumatera sampai ke Aceh (Wich et al., 2009). Selanjutnya Van Schaik et al., (1994) menjelaskan bahwa batas sebaran Orangutan Sumatera hanya diketahui pada beberapa kelompok populasi yang berbeda yaitu : 1) Populasi Singkil, merupakan populasi orangutan yang hidup pada kawasan terlindungi di Singkil Barat yang merupakan hutan rawa. Gangguan yang sedang terjadi di kawasan ini adalah perusakan habitat. 2) Populasi Sembala-Dolok Sembelin, merupakan suatu populasi orangutan di kawasan hutan produksi. Gangguan yang mengancam populasi orangutan di daerah ini adalah rusaknya habitat.
3) Populasi Kawasan Ekowisata Leuser Barat. Daerah penyebaran orangutan ini merupakan kawasan hutan konservasi yang berbatasan dengan Gunung Leuser di bagain Utara dan Barat Laut. Kawasan ini merupakan habitat populasi orangutan terbesar. 4) Populasi Kawasan Ekosistem Leuser Timur, merupakan suatu populasi orangutan di kawasan konservasi yang sub-populasinya di bagian Utara dan Selatan dipisahkan oleh jalan raya Kutacane-Blangkejeren. Bagian Utara dari populasi ini terdiri dari Taman Nasional dan daerah yang tersisa dari Tamiang (yang merupakan hutan produksi). Menuju ke Timur terdapat sub-populasi kecil yang dipisahkan oleh Sungai Wampu. Batas Utara populasi ini tidak diketahui tetapi masih terdapat hutan yang tidak terganggu di sebelah Utara dan Timur Laut Blangkejeren. 5) Diduga masih terdapat satu populasi lagi di sebelah Barat dari Takengon, akan tetapi informasi yang diperoleh belum jelas. 2.6 Perilaku Sosial Orangutan Sebenarnya tidak ada pola hubungan sosial baku untuk kera ini, jika didasarkan pada kondisi lingkungan tempat hidupnya. Jika ada pola umum atau pola dasar dalam berbagai bentuk organisasi sosial Pongidae, maka pola ini lebih bersifat sebagai suatu masyarakat terbuka yang beranggotakan siapa saja yang ada di dalam kisaran distribusi jenis ini, dimana individu-individunya melakukan sosialisasi karena dalam kondisi yang ada inilah yang paling mudah dilakukan (Goodall, 1983). Sifat soliter yang merupakan dugaan selama ini tampaknya aneh bagi orangutan. Dugaan ini berlawanan dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa orangutan berbakat untuk mengembangkan pola hubungan yang kompleks, dimana individu dominan berperan mengontrol dan melindungi sesamanya (Rijksen, 1978). Kemampuan ini sangat berperan dalam organisasi sosial orangutan liar dan orangutan betina khususnya mempertahankan tingkat sosial relatif tinggi jika kondisinya memungkinkan (Meijaard & Rijksen, 2001).
Menurut Nellemann et al., (2007) dan Supriatna & Edy, (2000) orangutan pada umumnya bersifat menyendiri atau soliter, hanya pada saat tertentu hidup bersama dengan individu lain seperti saat reproduksi antara jantan dan betina, atau induk betina yang diikuti oleh satu atau dua anak yang belum dapat mandiri. Orangutan hidup arboreal yaitu menghabiskan waktunya di pohon dengan bergelantungan dari satu dahan ke dahan yang lain dengan menggerakkan keempat anggota tubuhnya. Orangutan adalah primata besar, kuat dan cerdas. Menggunakan alat mencari makan, menata sarang di atas pohon serta berinteraksi dengan sesama orangutan melalui suara. Orangutan mengeluarkan bunyi jeritan seperti sendawa panjang yang dikeluarkan oleh betina dewasa dan seruan (long call) yang dikeluarkan jantan dewasa pada siang dan malam hari (Payne & Francis, 2000). Menurut Galdikas (1978), ada satu kelompok di Kalimantan yang secara rutin menumbangkan pohon ke tanah sambil menaikinya sementara pohon itu jatuh. Kelompok lain di Sumatera menggunakan teknik serupa sebagai manufer defensif, yakni mendorong-dorong pohon ketika mereka merasa terancam. Dan hanya ada satu kelompok orangutan yang bisa menggunakan tongkat untuk mengusir serangga dari lubang pohon atau mengeluarkan biji dari buah-buahan. 2.6.1 Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan Hubungan sosial induk-anak orangutan sangat erat serta merupakan hubungan sosial yang konsisten dan paling sering terlihat selain hubungan dalam bentuk berpasangan (Mac Kinnon, 1974; Rijksen, 1978). Anak akan bergerak melalui hutan mengikuti induknya. Anak tidak selalu tampak "digendong", namun dipastikan anak selalu berada dalam jarak yang sangat dekat dengan induknya. Setiap anak bagi orangutan adalah investasi mahal yang sangat dihargai, sangat dikasihi dan sangat dimanja. Pada saat datangnya ancaman, induk primata lain akan panik dan melarikan diri meninggalkan anaknya (contoh pada Macaca sp.) sedangkan induk orangutan akan rela mati mempertahankan dan melindungi anaknya (Van Schaik, 2006).
Induk betina melakukan toleransi aktivitas terhadap anaknya (Mac Kinnon, 1974 dan Rijksen, 1978). Toleransi tersebut antara lain seperti pemberian makanan yang dilumatkan oleh mulut induk kepada anaknya atau membantu anak dalam pergerakan dari pohon ke pohon (Rijksen, 1978). Menurut Mac Kinnon (1974) dan Galdikas (1986) orangutan benar-benar terlihat memiliki sifat sosial sendiri, seperti sosial bermain, sosial mengutui/dikutui dan sosial makan barsama antara ibu dan anak baik di tanah maupun di pohon pada anak yang masih bayi atau sudah besar sekalipun. Induk orangutan melakukan aktivitas harian bersama anak yang digendongnya. Pemilihan pakan untuk anak dilakukan oleh induk sepenuhnya karena ketergantungan anak sangat besar terhadap induk (Amda, 2009). Apalagi umur anak yang masih muda sangat bergantung dari banyakya susu induk dibanding makanan yang dari alam. Saat masih menyusui anak, kebutuhan akan pakan orangutan bertambah banyak pula. Tidak jarang dalam kesehariannya orangutan mencari makan di tempat sampah di pemukiman penduduk yang merupakan perilaku yang menyimpang dari sifat alami orangutan (Siregar, 2009). 2.6.2 Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan Dengan Manusia Orangutan rehabilitan kebanyakan dibesarkan dalam kondisi yang berbeda secara sosial dan mental, sehingga hal ini mempengaruhi kemampuan belajar orangutan untuk melakukan adaptasi kembali saat dilepas (Russon, 2002 dalam Kuncoro, 2004). Orangutan ex-rehabilitan yang sudah dilepasliarkan masih melakukan interaksi dengan manusia terutama di daerah ekowisata. Hal ini disebabkan rata-rata orangutan rehabilitan pada awalnya terbiasa hidup dengan manusia dan saat setelah dilepasliarkan cenderung memperdulikan kehadiran manusia. Hubungan ini tetap terjadi karena kawasan ekowisata yang menjadi habitat orangutan tetap dimasuki oleh manusia. Hal ini tetap berkelanjutan karena memberikan pendapatan yang besar bagi negara dan masyarakat sekitar kawasan ekowisata (YOSL OIC, 2009).
Sampai sekarang wisatawan tetap mendatangi Kawasan Ekowisata Bukit Lawang walaupun setelah terjadinya banjir bandang tahun 2003. Sambil camping mereka sangat tertarik untuk melihat orangutan walaupun hanya sebentar. Pengunjung asing membayar mahal guide lokal untuk menunjukkan tempat dimana dapat bertemu dengan orangutan secara langsung. Beberapa wisatawan asing mengahabiskan waktu dengan tracking di dalam hutan agar bertemu dengan orangutan dan berharap dapat menghasikan foto kenangan yang bagus. Sehingga beberapa guide sering menirukan long call (seruan panjang) untuk memanggil orangutan, memancing dengan buah, sengaja membawa nasi bungkus dan kacang garing untuk diberikan kepada orangutan untuk melindungi diri dan wisatawan. Hal ini jelas mempengaruhi perilaku harian orangutan dimana terdapat penyimpangan perilaku harian yang ditandai lebih dominannya perilaku istirahat dari pada perilaku makan dan didapatkan perilaku memakan kembali hasil kunyahan (muntahan), istirahat dan bermain di tanah yang tidak ditemukan pada orangutan liar (Siregar, 2009). Saat ini diharapkan orangutan-orangutan sitaan yang telah direhabilitasi tersebut mampu beradaptasi kembali dengan lingkungannya dan berkembang menjadi populasi baru walaupun mereka berada di kawasan ekowisata, sehingga pada akhirnya dapat membantu pemulihan populasinya di alam. Selain itu orangutan sitaan tersebut memiliki potensi untuk dilepas-liarkan kembali (Meijaard et al., 2001). Oleh karena itu perlu ditegaskan dan dilakukan penegakan hukum perlindungan orangutan dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan keberadaan orangutan. Salah satunya adalah dengan jalan menangkap para pemburu, penyelundup dan pemelihara ilegal orangutan, serta menyita orangutan yang mereka miliki. Usaha ini berharga bagi pemulihan kondisi populasi orangutan, karena diharapkan mampu menciptakan efek jera bagi pelanggar hukum tersebut (Kuncoro, 2004)