TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Cagar Alam (CA) Dolok Sibual Buali secara administrasi
|
|
- Hendra Tanudjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian a. Letak dan Luas Ekosistem Cagar Alam (CA) Dolok Sibual Buali secara administrasi pemerintahan terletak di 3 (tiga) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sipirok, Kecamatan Padang Sidempuan Timur, dan Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah pengelolaan hutan termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II yang berkedudukan di Rantau Prapat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II (BBKSDASUMUT, 2011). Cagar Alam Dolok Sibual Buali secara geografis terletak pada koordinat Lintang Utara dan Bujur Timur. Cagar Alam Dolok Sibual Buali terletak pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Barumun. Berdasarkan letak pada ketinggian di atas permukaan laut (dpl) maka Cagar Alam Dolok Sibual Buali terletak pada ketinggian 750 s/d m dpl. Setelah beralih fungsi menjadi Cagar Alam, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.215/Kpts/Um/14/1982 tanggal 8 April 1982, maka Cagar Alam Dolok Sibual Buali Register 3 memiliki luas hektar (BBKSDASUMUT, 2011). b. Penataan Batas Menurut BBKSDASUMUT (2011), Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali sebagian besar berbatasan dengan hutan rakyat dan kebun. Bagian Utara berbatasan dengan wilayah Desa Bulumario dan Desa Huraba. Bagian Selatan berbatasan dengan wilayah Desa Sialaman, Sibio-bio, Aek Sabaon Julu, Sukarame, Sugitonga, dan Sugijulu.
2 Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Desa Sumuran, Hutaraja, Mandurana, Aek Horsik, Paringgonan, Hasahatan, Pinang Sori, dan Gunungtua Baringin. Bagian Barat berbatasan dengan wilayah Desa Sugijae, Pasar Marancar, Simaretung/Haunatas, Bonan Dolok, Tanjung Rompa, Janjimanaon, dan Aek Nabara. c. Topografi, Geologi dan Iklim Cagar Alam Dolok Sibual Buali sebagian besar memiliki topografi bergelombang dan berbukit. Terdapat 4 buah gunung utama/tertinggi dan 6 buah anak gunung. Kemiringan lahan sebagian besar adalah curam (21-55%) (BBKSDASUMUT, 2011). Iklim di Cagar Alam Dolok Sibual Buali ditandai dengan hujan yang paling sering turun pada bagian utara dan barat kawasan, sehingga pada beberapa lokasi banyak terdapat longsor. Sebagian besar kawasan sudah tertutup embun mulai jam WIB, sedangkan di beberapa bagian puncak mulai turun embun jam WIB. Angin bertiup dari arah barat menuju utara dan timur. Suhu maksimum 29 C dan minimum 18 C (BBKSDASUMUT, 2011). d. Flora Berdasarkan hasil survey identifikasi tanaman obat-obatan tahun 2002 oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II, terdapat lebih dari 107 jenis tanaman obat-obatan yang terdapat di dalam Cagar Alam Dolok Sibual Buali dan daerah sekitarnya. Pohon didominasi oleh famili Euphorbiaceae, Myrtaceae, Anarcadiaceae dan Moraceae, Dipterocarpaceae, Raflesia sp., Pinus Merkusii, Kecing tanduk (Castanopsis aeaecuminatissima), Hapas-hapas
3 (Exbucklandia populnea), Sengon (Albizia procera), Beringin (Ficus sp.). Keadaan vegetasi di lapangan masih relatif baik, di dalam hutan masih banyak ditemui pohon-pohon berdiameter 1 m (BBKSDASUMUT, 2011). e. Fauna Berbagai jenis satwa terdapat di Cagar Alam Dolok Sibual Buali, beberapa jenis diantaranya dilindungi seperti Mawas (Pongo abelli), Siamang (Hylobates sindactylus), Kambing Hutan (Capricornis sumatrensis), Harimau Sumatera (Panthera tiggris sumatrae), Kuau (Argosianus argus), Rusa (Cervus sp), dan lain-lain (BBKSDASUMUT, 2011). Inventarisasi Satwaliar Inventarisasi dimaksudkan sebagai kegitan pengumpulan data mengenai tumbuhan dan satwa liar (BPPKP, 1998). Husch (2003) menyatakan bahwa inventarisasi satwaliar dapat didefinisikan sebagai suatu prosedur untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kuantitas, kualitas, dan kondisi dari suatu populasi satwaliar beserta karakteristik habitatnya. Ukuran populasi suatu spesies sangat penting diketahui; selain untuk mengetahui kekayaan/kelimpahannya di suatu kawasan (alam), ukuran populasi merupakan data dasar untuk menilai kemungkinan kelangsungan atau keterancaman keberadaannya di alam, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan manajemen satwaliar. Ukuran populasi dapat juga digunakan sebagai dasar dalam pendugaan kualitas lingkungan (habitat); walaupun secara umum tidak akan lebih baik bila didasarkan pada keanekaragaman. Perubahan ukuran populasi dalam suatu kawasan tertentu dapat merupakan indikasi terjadinya perubahan kualitas lingkungan. Peningkatan ukuran populasi dapat terjadi bila kondisi lingkungan
4 membaik, paling tidak daya dukung lingkungan masih memungkinkan berkembangnya populasi; sebaliknya, penurunan ukuran populasi akan terjadi bila kondisi lingkungan memburuk (Tobing, 2008). Estimasi ukuran populasi secara akurat sangat susah dilakukan, dan memerlukan teknik/metode tersendiri. Metode-metode yang digunakan secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu : penghitungan seluruh anggota populasi secara langsung, pendugaan ukuran populasi berdasarkan densitas, dan pendugaan berdasarkan tanda-tanda khas (dari suatu spesies) yang ditinggalkan. Inventarisasi orangutan secara langsung merupakan pekerjaan yang sangat sulit (Mathewson et al. 2008). Hal ini berhubungan dengan kecepatan berpindah orangutan pada saat berada di pohon. Orangutan secara alami akan menghindari manusia yang mendekat. Gerakan orangutan akan sangat sulit untuk diamati oleh pengamat karena lebatnya tajuk pohon dan keterbatasan gerak pengamat pada kondisi lokasi tertentu (Meijaard et al. 2001). Untuk mengatasi kesulitan tersebut, salah satu metode yang paling sering digunakan adalah metode penghitungan sarang orangutan (Buij et al. 2002; Schaik et al. 2005; Mathewson et al. 2008). Sarang adalah bukti keberadaan orangutan yang paling mudah diamati (Meijaard et al. 2001).). Klasifikasi Orangutan Menurut Groves (2001), orangutan termasuk ordo Primata dan famili Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut : Kingdom Phylum : Animalia : Chordata
5 Kelas : Mamalia Ordo Family Genus Species : Primata : Homonidae : Pongo : Pongo abelii (Orangutan Sumatera) Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan/Borneo) Morfologi Orangutan Orangutan atau mawas, merupakan kera besar yang hanya ada di Pulau Sumatera bagian Utara dan Kalimantan, termasuk Sabah Malaysia. Orangutan Sumatera, memiliki warna tubuh merah kekuningan dan lebih terang dibandingkan orangutan Kalimantan (Wahyono, 2005). Selanjutnya Galdikas (1986) menjelaskan bahwa orangutan Sumatera (Pongo abelii), biasanya berwarna lebih pucat, khasnya ginger (jahe), rambutnya lebih lembut dan lemas. Habitat Orangutan Orangutan hidup pada hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa dan terkadang dapat ditemukan pada hutan perbukitan yang dapat mencapai ketinggian m dpl. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki persebaran yang terbatas, hanya dapat dijumpai di Sumatera bagian utara sampai ke Aceh (Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan hidup di dataran rendah dengan ketinggian m dpl dan di daerah Sumatera orangutan terkadang dapat ditemukan di ketinggian lebih dari m dpl. Habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang saling berdekatan (Meijaard et al., 2001).
6 Menurut Kuswanda (2011) yang mengacu dari Van Schaik et al., (1994) dan Meijaard et al., (2001), kriteria habitat yang sesuai dengan reintroduksi orangutan, yaitu: 1. Prioritas kawasan merupakan hutan negara. 2. Lokasi habitat merupakan habitat baru bagi orangutan. 3. Penutupan lahan masih berupa hutan primer. Kualitas hutan sangat berpengaruh terhadap daya reproduksi orangutan (Population and Habitat Viability Assessment, 2004), selain itu juga akan mempercepat adaptasi dan meningkatkan daya reproduksi. 4. Luasan habitat yang cukup ideal. Satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luasan 100 Ha atau 1 km 2. Pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5 6 individu dalam luasan 1 km 2, seperti di Ketambe, TNGL yang mencapai kepadatan 5,5 ekor/km 2 (Meijaard et al., 2001). 5. Kerapatan Vegetasi Tinggi Kerapatan vegetasi pada habitat untuk reintroduksi diharapkan mencapai pohon/ha. Indeks keanekaragaman jenis pada setiap tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) berada pada selang 2,5 < H maks < sehingga masih tergolong stabil. 6. Persentase pohon sumber pakan orangutan Habitat yang akan dipilih sebaiknya habitat yang paling sedikitnya 60-80% jenis pohonnya teridentifikasi sebagai sumber pakan orangutan. 7. Sebaran pohon sarang yang cukup
7 Lokasi pelepasliaran orangutan sebaiknya telah teridentifikasi paling sedikit 30-40% dari seluruh jumlah pohon dalam kawasan. 8. Menyediakan tumbuhan obat bagi orangutan 9. Habitat sebaiknya teridentifikasi paling sedikit 30-40% dari jumlah tumbuhan sumber pakan yang berfungsi sebagai tanaman obat bagi orangutan. Kepadatan Orangutan Faust et al., (1994), disitasi oleh Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan dan tingkat gangguan yang ada. Kepadatan orangutan diketahui terus menurun dengan meningkatnya suatu tempat di atas permukaan laut (dpl). Mulai kepadatan 5 individu/km 2 pada hutan rawa (± 30 m dpl), sekitar 2,5 individu/km 2 pada ketinggian < 500 m dpl, kurang lebih 1,8 individu/km 2 pada ketinggian m dpl, hingga akhirnya tidak didapatkan sama sekali pada ketinggian >1800 m dpl. Kepadatan populasi orangutan Sumatera tergolong rendah (0-7 individu/km 2 ) pada berbagai tipe habitat. Paling banyak ditemui di daerah flood plain/rawa gambut sebesar 6,1 ind/km 2, dataran rendah alluvial (<500 m) sebesar 3,9 ind/km 2, dataran tinggi ( m) sebesar 1,4 ind/km 2, dan (sub) pegunungan (>1000 m) sebesar 0,8 ind/km 2 (Utami, 2006). Estimasi populasi dengan metode penghitungan sarang dipengaruhi oleh umur sarang, potensi pohon pakan, perilaku pergerakan, termasuk migrasi serta kondisi habitat. Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan
8 terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati (Meijaard, 2001). Perilaku Bersarang Orangutan Perilaku bersarang pada orangutan merupakan perilaku yang hanya dilakukan oleh kera besar lainnya seperti simpanse, bonobo dan gorilla yang melakukan aktivitas tersebut secara reguler (Ergenter, 1990 dalam Kuncoro, 2004). Perilaku bersarang orangutan bukanlah perilaku berdasarkan naluri tetapi lebih kepada perilaku yang muncul setelah dipelajari, bayi orangutan akan mengikuti dan berlatih cara membuat sarang kepada induknya (Prasetyo et al., 2009). Berdasarkan penelitian Pujiyani (2009), ada beberapa posisi sarang orangutan (Gambar 1), posisi I adalah apabila sarang orangutan terletak di dekat batang utama, posisi II adalah apabila sarang orangutan berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan pohon lainnya, posisi III adalah apabila sarang orangutan terletak di bagian puncak pohon dan posisi IV adalah apabila sarang orangutan terletak di antara dua cabang atau lebih, dari tepi pohon yang berlainan. Prasetyo (2006) menjelaskan bahwa sarang orangutan dapat dibuat pada posisi yang berbeda di pohon, terdapat empat posisi yang umum digunakan oleh orangutan yaitu posisi 1, 2, 3, dan 4 serta posisi yang tidak lazim yaitu posisi 0. Beberapa alasan dalam pemilihan posisi sarang seperti fungsi sarang yang berhubungan dengan kekuatan konstruksi sarang untuk menahan berat tubuh orangutan dan perlindungan terhadap predator.
9 Menurut Sugardjito (1983), posisi sarang di atas puncak pohon (posisi 3) dan dahan pohon (posisi 1 dan 2), baik pada satu batang maupun pada dua batang mempunyai keuntungan bagi orangutan yaitu tidak terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan dalam melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang. Dari segi keamanan, posisi ini menghindarkan orangutan dari ancaman predator.. Gambar 1. Ilustrasi Posisi Sarang Orangutan Setelah Orangutan menemukan dahan yang cocok untuk bersarang maka terdapat 4 (empat langkah) dalam teknik bersarang yang menggunakan dahandahan tersebut yaitu : 1. Melingkari, dahan dilengkungkan mendatar untuk membentuk sarang melingkar dan pegangan pada tempat bengkokan lain pada cabang pohon 2. Menggantung, dimana sebuah cabang dibengkokkan kebawah mengarah ke sarang untuk membentuk bagian tutup sarang 3. Bertiang, dimana cabang-cabang dilingkarkan ke atas dari bawah mengarah pada sarang untuk menahan cabang-cabang untuk dukungan ekstra 4. Melepaskan, sebuah cabang dihentakkan dari pohon lain dan di taruh dibawah sarang atau diletakkan di tempat sebagai bagian dari atap penutup sarang.
10 (Margianto, 1998). Orangutan dalam melakukan aktifitas hidupnya, termasuk membuat sarang lebih menyukai daerah yang memiliki kondisi vegetasi pohon yang lebih baik, dan terdapat pohon pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta aman dari berbagai gangguan. Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan. Walaupun ada sekitar 200 jenis buah yang dimakan, beberapa jenis buah tertentu ternyata jauh lebih tinggi dalam komposisi makanan orangutan. Buah-buahan ini berdaging lembek, berbiji, termasuk buah berbiji tungal dan buah beri. Orangutan juga lebih menyukai pohon-pohon yang berbuah lebat (Meijaard, 2001). Leighton (1993) menambahkan bahwa orangutan lebih suka memakan buah-buahan, khususnya buah yang berdaging dan manis. Peluruhan Sarang Orangutan Tingkat peluruhan sarang bervariasi sesuai dengan spesies kera besar, spesies pohon tempat bersarang, tipe hutan, dan parameter abiotik seperti curah hujan, ketinggian, suhu, serta tipe dan ph tanah (van Schaik et al., 1995; Buij et al., 2003; Ancrenaz et al. 2004; Walsh dan White 2005; Marshall et al., 2006; Mathewson et al., 2008). Namun, sejauh mana faktor-faktor lingkungan ini dapat berkorelasi dengan durasi sarang dengan cara yang dapat diandalkan tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, hubungan yang dibentuk di satu kawasan telah gagal untuk memprediksi secara tepat peluruhan sarang di kawasan lain. Sebagai contoh, walaupun nilai ph mungkin dapat dikaitkan dengan tingkat peluruhan sarang di hutan lahan kering di Sumatera (Buij et al., 2003), terbukti ini tidak
11 dapat diandalkan di dua kawasan di Borneo (Johnson et al., 2005; Marshall et al., 2006). Keawetan sarang tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran orangutan, suasana hati saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon, cuaca serta keberadaan satwa lain yang mungkin akan merusak sarang orangutan tersebut, dalam waktu 2,5 bulan sarang orangutan akan tetap terlihat sebelum pada akhirnya akan hancur dan tinggal ranting-rantingnya saja (Rijksen, 1978). Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut Rijksen (1978) menjelaskan bahwa orangutan sering kali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sarang yang lama dan ini biasanya setelah periode 2-8 bulan karena adanya pohon berbuah yang disukai. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun. Menurut Van Schaik et al., (1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan, habitat, begitu juga faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya seperti temperatur, kelembaban dan curah hujan. Kelas Sarang Orangutan UNESCO-PanEco dalam YEL (2009), menjelaskan bahwa kelas sarang dan kelas kerusakan/kehancuran sarang dapat ditentukan atas empat kelas untuk memprediksi kondisi tersebut dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Kelas A : daun masih segar, sarang baru, semua daun masih hijau
12 2. Kelas B : daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah 3. Kelas C : sarang tua, semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah hilang sudah terlihat adanya lubang dari bawah 4. Kelas D : semua daun sudah hilang, sebagian besar hanya tinggal ranting Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya: 1. Sarang Kelas A : merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umurnya baru seminggu 2. Sarang Kelas B : daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan 3. Sarang Kelas C : semua daunnya sudah coklat 4. Sarang Kelas D : alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh 5. Sarang Kelas E : biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk sarangnya. Karakteristik Sarang Orangutan Menurut Mackinnon (1974), orangutan cenderung memilih sisi bukit sebelah barat untuk menghindari panas matahari dan angin malam. Berdasarkan pertimbangan kenyaman tersebut, orangutan juga merancang sarang sesuai dengan bentuk dan ukuran tubuhnya. Sarang diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat untuk menghangatkan diri dan menghindari angin malam. Hal ini dilakukan dengan menyesuaikan tinggi dinding dan panjang diameter sarang menurut dengan ukuran tubuhnya. Selanjutnya Rijksen (1978) menyatakan bahwa diameter
13 rata-rata sarang jantan pra-dewasa dan betina dewasa umumnya sama karena kedua kelompok ini memiliki ukuran tubuh yang hampir sama. Dimensi sarang yang dapat menjadi penciri yang baik untuk menentukan kelas umur orangutan pembuat sarang adalah tinggi tempat bersarang, tinggi dinding sarang, dan diameter rata-rata sarang. Semakin tua kelas umur satwa, maka semakin tinggi dinding sarang dan semakin panjang diameter rata-rata sarang serta semakin rendah tempat bersarang yang dipilih. Jantan dewasa umunya memilih bersarang lebih rendah, tetapi betina dewasa (terutama yang memiliki bayi atau anak) menempatkan sarang lebih tinggi pada puncak tajuk pohon sesuai dengan struktur hutan yang ada untuk menghindari bahaya predator. (Kudus, 2000). Karakteristik pohon sarang yang berpengaruh terhadap perilaku orangutan dalam pemilihan tempat bersarang adalah diameter batang, luas penutupan tajuk, tinggi tajuk, dan bagian pohon sarang. Sedangkan tinggi bebas cabang dan tinggi total, jarak tajuk pohon sarang ke tajuk pohon lainnya, dan tinggi sarang tidak mempengaruhi perilaku orangutan untuk memilih tempat bersarang. Bagian pohon yang sering digunakan untuk membuat sarang adalah puncak pohon dan ujung cabang. Ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik vegetasi yang menjamin keamanan dan kenyamanan lokasi bersarang adalah faktor utama yang menjadi pertimbangan untuk pemilihan lokasi bersarang pada orangutan (Kuswanda dan Sukmana, 2005). Survei Orangutan Estimasi kepadatan Orangutan dengan metode survei sarang yang dilakukan oleh Rahman (2008) di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting,
14 provinsi Kalimantan Tengah (studi kasus di Camp Leakey) di delapan transek yang mewakili areal 5,25 km 2 dengan 21 km jalur pengamatan yang tersebar pada tiga tipe habitat yang berbeda diketahui bahwa kepadatan populasi orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii Groves, 2001) di habitat berupa hutan kerangas 1,07 ind/km 2 dengan jumlah populasi orangutan sekitar 2 individu, di habitat berupa dipterocarp dataran rendah 2,98 ind/km 2 dengan jumlah populasi orangutan sekitar 93 individu dan di habitat berupa hutan hutan rawa gambut 1,35 ind/km 2 dengan jumlah populasi orangutan sekitar 18 individu. Untuk estimasi jumlah total populasi orangutan di study area Camp Leakey adalah 113 individu orangutan. Hutan dipterocarp dataran rendah memiki nilai kepadatan yang tertinggi dibandingkan dengan hutan rawa gambut dan kerangas. Hal ini terjadi karena hutan dipterocarp dataran rendah merupakan tipe hutan yang memilki kondisi yang lebih baik sebagai habitat orangutan terutama berkaitan dengan tingginya ketersediaan pakan serta keanekaragaman jenis pohon pakan orangutan, sehingga daya dukung lingkungan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan orangutan pada habitat ini cuikup besar dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan populasi orangutan untuk waktu selanjutnya. Estimasi kepadatan yang paling rendah adalah hutan kerangas. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya ketersediaan pakan di tipe hutan ini walaupun pada dasarnya pada hutan ini terdapat banyak jenis pohon pakan namun pada saat penelitian tidak ditemukan sama sekali jenis pohon pakan yang sedang berbuah (Rahman, 2008). Dalimunthe (2009) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang di Kawasan Bukit Lawang adalah 0,0349 individu/km 2
15 atau 3,484 individu/ha dengan jumlah keseluruhan sarang sebanyak 225 sarang. Kelas sarang orangutan yang paling banyak ditemukan adalah kelas sarang yang berumur 4 bulan (kelas 3) dengan persentase 50,67% dan posisi sarang orangutan yang paling banyak ditemukan adalah posisi sarang yang berada pada percabangan utama (posisi 1) dengan persentase 39,11%. Ketinggian sarang orang-utan paling banyak ditemukan adalah pada ketinggian m dengan persentase 26,98%. Pemilihan pohon sarang orangutan yang mendominasi adalah pada Famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae dengan persentase 29,17%. Sementara kawasan hutan Batang Toru dengan luas 748,86 km 2 masih dapat mendukung kelangsungan hidup populasi orangutan yang diperkirakan sebanyak individu. Kepadatan populasi tertinggi diperkirakan berada di hutan dataran tinggi berlumut (0,71 ind/km 2 ) dan terendah di hutan dataran rendah (0,30 ind/km 2 ) dengan rerata kepadatan populasi sebesar 0,52 ind/km 2. Rendahnya kepadatan populasi orangutan sumatera di hutan dataran rendah dan campuran dibandingkan dengan kedua tipe hutan dataran tinggi diperkirakan karena tingginya aktivitas konversi lahan oleh masyarakat di dalam habitat orangutan. Di Batang Toru sarang paling banyak ditemukan pada ketinggian meter. (Simorangkir, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Umri (2012) di Marike dan Sikundur Kecil kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara menyatakan bahwa nilai kepadatan Orangutan di Marike jauh lebih banyak dibandingkan dengan lokasi di Sikundur Kecil, baik dilihat dari jumlah sarang maupun jumlah estimasi kepadatan populasinya. Dimana jumlah sarang di Marike sebanyak 100,83 sarang, dengan estimasi kepadatan orangutan sebanyak 2,32 individu/km 2, sedangkan
16 jumlah sarang di Sikundur Kecil sebanyak 24,33 sarang, dengan estimasi kepadatan orangutan sebanyak 0,56 individu/km 2. Terlihat bahwa jumlah sarang dan kepadatan Orangutan jauh berbeda, ini disebabkan adanya perbedaan antara lokasi Hutan Marike dan Hutan Sikundur Kecil. Hutan Marike masih tergolong hutan primer, sedangkan Hutan Sikundur Kecil tergolong hutan sekunder dikarenakan hutan ini merupakan bekas area Hak Pemilikan Hutan PT. Raja Garuda Mas (HPH PT. RGM) yang sudah lama di tinggalkan. Sehingga jumlah populasi orangutan liar pada masing-masing lokasi berbeda. Rendahnya jumlah kepadatan orangutan yang didapatkan di Sikundur Kecil disebabkan oleh berbagai faktor pendukung bagi kelangsungan hidup orangutan maupun kehadiran orangutan, seperti sumber pakan, kondisi lingkungan hingga kenyamanan dari ancaman. Keadaan ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asfi Z pada tahun 2000, di Agusan yang hanya mendapatkan 0,0086 individu/ km 2, populasi orangutan di Sikundur Kecil ini masih tergolong cukup banyak (0,56 individu/km 2 ). Sementara penelitian yang dilakukan oleh Kuswanda (2013) di di CA Sipirok yang secara administratif termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, pendugaan rata-rata kepadatan orangutan di CA Sipirok sebesar 0,47 individu/ km 2 dengan kepadatan tertinggi ditemukan pada hutan primer ketinggian m dpl sebesar 1.02 individu/km 2 atau dengan dugaan populasi antara individu pada area seluas 69,7 km 2. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Perbatakusuma et al. (2006) yang menyatakan bahwa kepadatan orangutan pada setiap kawasan hutan di bagian barat Batang Toru berkisar antara 0,3-1,2 individu/km 2.
17 Indeks Nilai Penting (INP) Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuhtumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Berdasarkan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig, 1983). Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran jenis-jenis dalam areal tertentu. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas, makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Dominansi suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan peguasaan jenis terhadap komunitas (Soerianegara, 1996). Dominansi suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan suatu jenis terhadap jenis lain pada suatu komunitas. Makin besar nilai dominansi
18 suatu jenis, semakin besar pengaruh penguasaan jenis tersebut terhadap jenis lain. INP suatu jenis merupakan nilai yang menggambarkan peranan keberadaan suatu jenis dalam komunitas. Semakin besar INP suatu jenis semakin besar pula peranan jenis tersebut dalam komunitas. INP dengan nilai yang tersebar merata pada banyak jenis lebih baik dari pada bertumpuk atau menonjol pada sedikit jenis karena menunjukkan terciptanya relung (niche) yang lebih banyak dan tersebar merata, spesifik dan bervariasi. (Kainde et al., 2011). Nilai penting didefinisikan sebagai gabungan dari densitas/ kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR). Kondisi ini menyebabkan nilai penting suatu jenis maksimum adalah 300% (KR=100%, FR=100%, DR=100%), bila dalam suatu tegakan hanya terdiri dari satu jenis saja (Curtis dan Mc.Intosh, 1951). Whittaker (1975) menyebutkan bahwa nilai penting dapat ditentukan berdasarkan salah satu atau dua nilai, tetapi lebih banyak nilai dijadikan dasar akan menjadi lebih baik dan mendekati kebenaran dalam menentukan dominansi atau penguasaan jenis di dalam suatu komunitas (Rusmendro, 2003).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Secara morofologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya (Napier dan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang
Lebih terperinciEKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA
EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA Jito Sugardjito Fauna & Flora International-IP Empat species Great Apes di dunia 1. Gorilla 2. Chimpanzee 3. Bonobo 4. Orangutan Species no.1 sampai
Lebih terperinciBUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU
BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:
Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PERBANDINGAN PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN JANTAN DENGAN ORANGUTAN BETINA DEWASA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN SUAQ BALIMBING Fauziah
Lebih terperinciKampus USU Medan 20155
Analisis Karakteristik Pohon dan Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Bukit Lawang Kabupaten Langkat Analysis of the Trees and Nest Characteristics of Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Bukit
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi
Lebih terperinciIV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota
IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan
Lebih terperinciBAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orangutan dan Klasifikasi Istilah orangutan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Dalam pemberian nama ini para ahli anthropologi fisik mengalami kesulitan
Lebih terperinciGambar 2 Peta lokasi penelitian.
0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Subfilum Kelas Bangsa Keluarga
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Orangutan yang sedang beraktivitas di hutan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Orangutan Orangutan termasuk ke dalam Ordo Primata dan merupakan salah satu jenis dari anggota keluarga kera besar (Pongidae) yang berada di benua Asia yang masih hidup
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Orangutan 2.1.1 Klasifikasi Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di benua Asia dan satu-satunya kera besar yang rambutnya berwarna coklat kemerahan.
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan
Lebih terperinciINVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO
1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji
Lebih terperinciBAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Area Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi, yaitu Propinsi Nanggroe Aceh
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman
TINJAUAN PUSTAKA A. Cagar Alam Cagar Alam adalah Kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya
Lebih terperinciEstimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur
Estimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur M. Bismark Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor ABSTRACT Orang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Orangutan Sumatera Orangutan berasal dari bahasa melayu yaitu orang hutan. Orangutan Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan satu-satunya kera
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis
Lebih terperinciII. METODOLOGI. A. Metode survei
II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi
Lebih terperinciBAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional
Lebih terperinciInformasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman
Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera Orangutan Tapanuli Pongo tapanuliensis Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Baru-baru ini Orangutan Tapanuli dinyatakan sebagai spesies
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:
Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.
BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,
Lebih terperinciBAB III. METODE PENELITIAN
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi
12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat
Lebih terperinciBRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons)
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Klasifikasi Ilmiah Daun Sang (Johannestijsmania altifrons) Daun Sang yang merupakan genus tanaman unik, pertama kali ditemukan di pedalaman Sumatera, Indonesia pada awal
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa
19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan satwa endemik di Kalimantan Tengah. Distribusi owa (H. albibarbis) ini terletak di bagian barat daya
Lebih terperinciMETODOLOGI. Lokasi dan Waktu
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus
Lebih terperinciWANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC
CURRICULUM VITAE WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC 1 Jabatan Peneliti Peneliti Madya 2 Kepakaran Konservasi Sumberdaya Hutan 3 E-mail wkuswan@yahoo.com 4 Riwayat Pendidikan S1 : Jurusan Konservasi Sumberdaya
Lebih terperinciKarakteristik Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus morio) Pada Beberapa Tipe Hutan Di Kalimantan Timur
Karakteristik Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus morio) Pada Beberapa Tipe Hutan Di Kalimantan Timur Teguh Muslim 1,2 dan Amir Ma ruf 1 1 Balai Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan
14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lichenes yang lazim dikenal dengan nama lumut kerak merupakan jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui oleh sebagian orang. Dan sesungguhnya berbeda dari
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :
Lebih terperincikeadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar
Lebih terperinciKONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Orangutan Sumatera Indonesia memiliki dua jenis orangutan, salah satunya adalah orangutan sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths
Lebih terperinciPOTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)
POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI PENDAHULUAN Ekowisata berkembang seiringin meningkatnya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan
23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah
Lebih terperinciLokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian
Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.
Lebih terperinciProfil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE
BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,
16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan dan mempunyai luas daratan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan mempunyai luas daratan kurang lebih 200 juta hektar atau kira-kira 1,5% luas daratan di bumi. Dengan luas daratan tersebut,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lumut kerak merupakan salah satu anggota dari tumbuhan tingkat rendah yang mana belum mendapatkan perhatian yang maksimal seperti anggota yang lainnya. Organisme
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,
Lebih terperinciPENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI
PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya
Lebih terperinciKONSERVASI Habitat dan Kalawet
113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988).
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Dibuktikan dengan terdapat berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan endemik yang hanya dapat
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.
IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas
Lebih terperinciANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU
ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di
6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal
Lebih terperinci