BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB I. 1.1 Latar Belakang. Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

BAB III METODE PENELITIAN. mengaitkan aspek paparan (sebab) dengan efek. Pendekatan yang digunakan

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang ilmu Kardiovaskuler.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. seluruh pembuluh dimana akan membawa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit jantung adalah penyebab nomor satu kematian di dunia. Hasil penelitian

BAB I PENDAHULUAN. homeostassis dari hormon ini sangat penting bagi pengoptimalan dari fungsi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit. yang tergolong dalam non-communicable disease atau

sebanyak 23 subyek (50%). Tampak pada tabel 5 dibawah ini rerata usia subyek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stenosis mitral merupakan salah satu penyakit katup jantung. Pada kondisi

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang Ilmu Kardiologi dan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. dikembangkan kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut: indikator Penyakit

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB V PEMBAHASAN. mencapai lebih dari 50% (Tesfaye dan Selvarajah, 2012). Pada penelitian ini,

ABSTRAK GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA PASIEN GAGAL JANTUNG DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4. HASIL 4.1 Karakteristik pasien gagal jantung akut Universitas Indonesia

BAB 5 PEMBAHASAN. IMT arteri karotis interna adalah 0,86 +0,27 mm. IMT abnormal terdapat pada 25

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan adanya penyempitan pada katup mitral (Rilantono, 2012). Kelainan

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 65 orang responden pasca stroke iskemik

BAB I PENDAHULUAN. adanya peningkatan tekanan pengisian (backward failure), atau kombinasi

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013).

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian observasional analitik dan dengan pendekatan cross sectional. Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Kota Surakarta.

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. 2009). Prevalensi penyakit diabetes mellitus terus meningkat tiap tahunnya.

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokardium akut didefinisikan sebagai kematian jaringan miokardium

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB I PENDAHULUAN. dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi. Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2016 Juli 2016

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB III METODE PENELITIAN. yang digunakan adalah observational analitik dengan pendekatan cross sectional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

BAB 4 HASIL PENELITIAN. Pada penelitian ini risk estimate dinyatakan dalam rasio prevalensi (RP).

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Neuropati diabetika merupakan komplikasi yang paling sering muncul

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional)

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian berasal dari PTM dengan perbandingan satu dari dua orang. dewasa mempunyai satu jenis PTM, sedangkan di Indonesia PTM

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. RINGKASAN... viii. SUMMARY...

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan global, penyebab utama dari kecacatan, dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB V PEMBAHASAN. infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari Penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang memproduksi 2 hormon yaitu tiroksin (T 4 ) dan triiodotironin (T 3

BAB 1 PENDAHULUAN. membangun sumber daya manusia berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab stenosis mitral paling sering adalah demam rematik, kemudian dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak

4.10 Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Manajemen Data Analiasis Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB 1 : PEMBAHASAN. 1.1 Hubungan Hiperurisemia Dengan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Pauh Kecamatan Pauh Kota Padang tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

LAMPIRAN 1. Universita Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

BAB I PENDAHULUAN. dari orang per tahun. 1 dari setiap 18 kematian disebabkan oleh stroke. Rata-rata, setiap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

BAB 5 PEMBAHASAN. Penelitian telah dilakukan pada 40 pasien epilepsi yang menjalani monoterapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Analisis regresi merupakan salah satu metode statistik yang sering

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian terdiri dari 17 pasien DM tipe 2 dengan HbA1C < 7% (rerata usia 63,12 ± 9,38 tahun; 22,7% laki-laki) dan 24 pasien DM tipe 2 dengan HbA1c 7% (rerata usia 58,33 ± 9,41 tahun; 11,4% laki-laki). Dari tabel 4.1, karakteristik subjek dengan gula darah terkontrol baik (HbA1c < 7%) dan gula darah tidak terkontrol (HbA1c 7%) tidak berbeda secara bermakna (p>0,050). Pasien DM tipe 2 dengan HbA1c 7% memiliki kadar hscrp yang lebih tinggi dibandingkan pasien DM tipe 2 dengan HbA1c < 7% namun tidak bermakna secara statistik (0,44 ± 0,30 versus 0,32 ± 0,22; p = 0,183). Tabel 4.1. Karakteristik data klinis dan laboratorium pada subjek DM tipe 2 HbA1c <7% HbA1c 7% p (n = 17) (n = 24) Usia, tahun Jenis kelamin, laki-laki (%) IMT (kg/m2) Merokok (%) Tekanan darah (mmhg) <140/90 140/90 Denyut nadi (denyut/menit) Durasi penyakit (%) < 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun Penyakit jantung koroner (%) Penyakit jantung katup (%) hscrp (mg/l) 63,12 ± 9,38 22,7 24,56 ± 4,30 6,8 18,2 20,5 82,00 ± 8,00 18,2 15,9 4,5 4,5 9,1 0,32 ± 0,22 58,33 ± 9,41 11,4 25,73 ± 3,91 18,2 15,9 38,6 79,29 ± 11,83 11,4 27,3 15,9 11,4 6,8 0,44 ± 0,30 0,117 0,200 0,378 0,157 0,059 0,387 0,317 0,414 0,655 0,183 HbA1c, glycated haemoglobin; IMT, indeks massa tubuh; TDS, tekanan darah sistolik; TDD, tekanan darah diastolik; hscrp, high sensitivity C-reactive protein.

Dari tabel 4.2, karakteristik ekokardiografi subjek dengan gula darah terkontrol baik (HbA1c < 7%) dan gula darah tidak terkontrol (HbA1c 7%) tidak berbeda secara bermakna (p>0,050). Waktu konduksi atrium total pada pasien DM tipe 2 dengan HbA1c 7% lebih panjang dibandingkan dengan pasien DM tipe 2 dengan HbA1c < 7%, namun tidak bermakna secara statistik (100,29 ± 28,53 versus 94,88 ± 16,50; p = 0,449). Tabel 4.2. Karakteristik ekokardiografi pada subjek DM tipe 2 HbA1c <7% HbA1c 7% p (n = 17) (n = 24) Fraksi ejeksi ventrikel kiri (%) Diameter atrium kiri (mm) Rasio E/A Rasio Em/Am Rasio E/Em Waktu konduksi interatrium total (md) 65,71 ± 10,13 31,65 ± 5,88 0,78 ± 0,21 0,85 ± 0,31 7,08 ± 2,97 94,88 ± 16,50 59.33 ± 15.87 31.29 ± 5.66 0.92 ± 0.49 0.83 ± 0.32 8.46 ± 3.96 100,29 ± 28,53 0.125 0,848 0.272 0.827 0.210 0,449 E, mitral annular early diastolic velocity; A, mitral annular late diastolic velocity; Em, tissue doppler mitral annular early diastolic velocity; Am, tissue doppler mitral annular late diastolic velocity; mm, millimeter; md, milidetik. 2. Uji Regresi Linier Berganda Uji regresi linier berganda dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kadar hscrp dan kontrol glikemik dengan waktu konduksi interatrium total pada pasien dalam penelitian ini. Tabel 4.3. Hasil analisis regresi linier berganda tentang hubungan antara kadar hscrp dan kontrol glikemik (HbA1c) dengan waktu konduksi interatrium total pada pasien DM tipe 2 Variabel Koefisien 95% CI p Konstanta hscrp (mg/dl) HbA1c 7% Regresi (β) 77,54 38,78 14,04 N observasi: 41 subjek Koefisien korelasi (R): 0,51 Koefisien determinasi (R 2 ): 21,6% p = 0,004 Batas bawah Batas atas 64,19 90,89 14,01 63,54 0,09 27,98 <0,001 0,003 0,048

Adapun untuk nilai koefisien korelasi (R) 0,51 dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) 21,6%. Berdasarkan hasil ini, terlihat bahwa terdapat hubungan korelasi sedang antara kadar hscrp dan kontrol glikemik dengan waktu konduksi interatrium total. Nilai koefisien determinasi menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh hsccrp dan kontrol glikemik terhadap waktu konduksi interatrium sebesar 21,6%. Sedangkan sisanya sebesar 78,4% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Berdasarkan persamaan didapatkan bahwa setiap kenaikan satu satuan dari hscrp maka waktu konduksi interatrium total akan mengalami peningkatan sebesar 38,78 milidetik. Sedangkan pada HbA1c, setiap HbA1c 7% maka waktu konduksi interatrium total akan mengalami peningkatan sebesar 14,04 milidetik. Nilai p secara keseluruhan adalah 0,004. Hal ini menunjukkan bahwa didapatkan hasil yang bermakna secara statistik. B. Pembahasan Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar hscrp dan kontrol glikemik (HbA1c) berkorelasi (positif) sedang dengan waktu konduksi interatrium total pasien DM tipe 2. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kejadian fibrilasi atrium lebih tinggi pada pasien DM tipe 2 dibandingkan dengan subjek normal (Johansen et al, 2008). Fibrilasi atrium adalah aritmia jantung tersering yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, termasuk stroke, gagal jantung, serta penurunan kualitas hidup (Voigt and Dobrev, 2012; Yuniadi et al, 2014). Pasien dengan fibrilasi atrium memiliki risiko stroke lima kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung tiga kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa fibrilasi atrium (Yuniadi et al, 2014). Sayangnya, terapi sering terlambat, misalnya: saat stroke menjadi manifestasi pertama dari fibrilasi atrium (Sun and Hu, 2009). Oleh karena itu, prediksi dan pencegahan fibrilasi atrium beserta komplikasinya sangat penting. Saat ini, jumlah pasien rawat inap akibat fibrilasi atrium terus meningkat, sehingga pencegahan primer fibrilasi atrium onset baru penting untuk dilakukan. Strategi pencegahan primer dapat

dilakukan jika klinisi mampu mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya fibrilasi atrium (Vos et al, 2009) Patofisiologi yang mungkin menyebabkan diabetes menjadi predisposisi fibrilasi atrium meliputi hipertrofi ventrikel, iskemik/fibrosis miokardium, remodeling atrium kiri, gangguan tonus otonom, dan inflamasi (Liu et al, 2008; Crandall et al, 2009). Hayden et al (2006) menunjukkan bahwa kadar gula darah yang tinggi dapat menginduksi fibrosis miokardium pada tikus. Selain itu, pasien diabetes memiliki kadar C-reacive protein yang lebih tinggi, penanda inflamasi sistemik, yang dapat memicu fibrosis miokardium dan disfungsi diastolik (Yuan et al, 2006). Risiko penyakit jantung koroner dan gagal jantung lebih tinggi pada pasien diabetes, sehingga dapat menyebabkan peningkatan kejadian fibrilasi atrium (Dublin et al, 2010). Penelitian ini menunjukkan hubungan linear positif antara kadar HbA1c dengan waktu konduksi interatrium total, dimana setiap HbA1c 7% maka waktu konduksi interatrium total akan mengalami peningkatan sebesar 14,04 milidetik. Risiko fibrilasi atrium pada diabetes dihubungkan dengan kontrol glikemik (Fatemi et al, 2014). Huxley et al (2012) menunjukkan adanya hubungan linear positif antara HbA1c dengan risiko fibrilasi atrium pada pasien diabetes dengan rasio odds 1,13 per kenaikan 1% kadar HbA1c. Oleh karena itu, diabetes dan kontrol glikemik buruk, yang diukur berdasarkan kadar HbA1c, berkaitan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium. Pengukuran waktu konduksi interatrium total dengan ekokardiografi dopler jaringan (interval PA-TDI) ini mencerminkan aktivasi elektrik atrium sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan elektromekanik atrium (Hatam et al, 2014). Oleh karena itu, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai remodeling atrium. Remodeling atrium dapat dideteksi dari adanya gangguan konduksi atrium dan dispersi periode refrakter atrium, yang dapat memicu proses reentri dan onset fibrilasi atrium (Bakirci et al, 2015). Waktu konduksi interatrium total adalah waktu mulai dari inisiasi sampai akhir depolarisasi atrium dari tempat aktivasi yang sama. Pemanjangan waktu

konduksi interatrium total mencerminkan penurunan kecepatan konduksi dan dilatasi atrium yang dapat menjadi substrat untuk terjadinya fibrilasi atrium (Heijman et al, 2014). Penurunan kecepatan konduksi menyebabkan pemendekan sirkuit atau jalur depolarisasi dan terjadi potensial aksi berulang sehingga menimbulkan reentri mikro (multiple wavelet reentry). Reentri mikro merupakan gelombang aktivasi yang banyak dan tidak beraturan sehingga membentuk jalur reentri pada berbagai lokasi yang berbeda. Mekanisme reentri merupakan salah satu mekanisme dasar terjadinya fibrilasi atrium (Wakili et al, 2011). Oleh karena itu, pengukuran waktu konduksi interatrium total dapat digunakan sebagai prediktor kejadian fibrilasi atrium (Ozlu et al, 2013; Vos et al, 2009). Vos et al (2009) menunjukkan bahwa waktu konduksi interatrium total yang pendek (<130 milidetik) dapat mencegah pasien dari kejadian fibrilasi atrium. Sehingga klinisi dapat menganggap pasien ini bukan kandidat untuk dilakukan pencegahan primer terhadap kejadian fibrilasi atrium. Pasien dengan waktu konduksi interatrium total >165 milidetik berisiko untuk terjadi fibrilasi atrium dan dapat menjadi kandidat untuk pencegahan primer terhadap kejadian fibrilasi atrium dengan menggunakan obat-obat kardiovaskular. Pasien dengan waktu konduksi interatrium total >190 milidetik sangat berisiko untuk terjadi fibrilasi atrium. Pasien ini dapat diterapi dengan antikoagulan profilaksis, terutama jika pasien tersebut memiliki skor CHADS2 (congestive heart failure, hypertension, age =75 tahun, diabetes mellitus, stroke) yang tinggi (Vos et al, 2009). Skor CHADS2 ini digunakan untuk memprediksi risiko stroke pada pasien fibrilasi atrium non katup (Lane and Lip, 2012). Liu et al (2012) menunjukkan bahwa gangguan fungsi elektromekanik atrium berkaitan dengan peningkatan waktu konduksi interatrium total. Kato et al (2006) menunjukkan keterlambatan waktu konduksi interatrium dan peningkatan deposisi fibrotik pada atrium berperan penting dalam kejadian aritmogenik atrium. Hal ini mengindikasikan bahwa remodeling struktur atrium yang ditandai dengan fibrosis interstisial mungkin salah satu mekanisme utama terjadinya fibrilasi atrium pada DM (Kato et al, 2006). Fu et al (2013) mendeteksi waktu konduksi interatrium total memanjang pada kelinci diabetes dibanding kelompok kontrol. Namun patofisiologi

pasti pemanjangan waktu konduksi interatrium pada pasien diabetes masih belum diketahui. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kadar hscrp dengan waktu konduksi interatrium total dimana setiap kenaikan satu satuan dari hscrp maka waktu konduksi interatrium total akan mengalami peningkatan sebesar 38,78 milidetik. Secara umum, hubungan antara fibrilasi atrium dengan inflamasi tidak diragukan lagi (Friedrichs et al, 2011). Pemeriksaan histologi menunjukkan adanya infiltrat inflamasi dan kerusakan oksidatif pada jaringan atrium pada pasien fibrilasi atrium dibanding kelompok kontrol (Boos et al, 2006). Liu et al (2008) menunjukkan bahwa inflamasi merupakan salah satu mekanisme terjadinya fibrilasi atrium pada pasien diabetes. Stimulus inflamasi memicu proliferasi fibroblas, migrasi dan transformasi menjadi miofibroblas sehingga menyebabkan remodeling atrium yang ditandai dengan pemendekan periode refrakter atrium (Friedrichs et al, 2011). Berbagai penelitian mengobservasi hubungan inflamasi dengan fibrilasi atrium dengan penanda inflamasi berupa CRP, hscrp, dan interleukin (IL)-6 (Boos et al, 2006). Bakirci et al (2015) menunjukkan waktu konduksi interatrium total berkorelasi positif dengan kadar CRP pada pasien DM tipe 2. Stres oksidatif dan inflamasi juga merupakan komponen kunci dan berhubungan dengan kontrol glikemik yang buruk, patogenesis diabetes dan komplikasinya (Gohel and Chacko, 2013). Sarinnapakorn et al (2013) menunjukkan kadar hscrp berkorelasi positif dengan kadar HbA1c dimana rerata kadar HbA1c lebih tinggi secara bermakna pada pasien yang memiliki kadar hscrp 1 mg/l. Faktor lain seperti usia, tekanan darah, indeks massa tubuh, kolesterol LDL, kreatinin serum tidak berkorelasi dengan kadar hscrp (Sarinnapakorn et al, 2013). Bahceci et al (2005) menunjukkan kadar hscrp tidak berbeda bermakna pada pasien DM tipe 2 tanpa penyakit jantung koroner dengan pasien non DM tipe 2 yang memiliki penyakit jantung koroner. Namun pasien DM tipe 2 yang memiliki penyakit jantung koroner memiliki kadar hscrp yang lebih tinggi dibanding pasien non DM tipe 2 dengan penyakit jantung koroner (Bahceci et al, 2006). Oleh karena itu, stress oksidatif dan penanda inflamasi dapat digunakan sebagai tambahan pemeriksaan selain kadar

HbA1c untuk menilai peningkatan risiko kardiovaskular pada pasien diabetes dengan kontrol glikemik buruk (Dilshad and Shazia, 2009). Selain kontrol glikemik, faktor risiko kardiovaskular seperti dislipidemia, hipertensi, merokok, dan obesitas dapat mempengaruhi status inflamasi individu (Montori, 2008). Kadar hscrp pada penelitian ini memiliki standar deviasi yang cukup besar baik pada subjek dengan gula darah terkontrol baik dan terkontrol buruk (0,32±0,22 versus 0,44±0,30). Hal ini menunjukkan kontrol gula darah saja tidak dapat digunakan untuk menentukan status inflamasi. Berdasarkan analisis multivariat, kadar hscrp dan kontrol glikemik berkorelasi (positif) sedang (r 0,51; p 0,004) dengan waktu konduksi interatrium total. Peneliti hanya mengobservasi hubungan inflamasi dan kontrol glikemik dengan waktu konduksi interatrium total. Namun, berbagai penyebab lain, seperti remodeling sistem otonom jantung, aktivasi sistem renin angiotensin aldosterone, overaktivitas simpatis, perubahan fibrosis akibat hiperglikemia, semua yang mungkin menyebabkan peningkatan frekuensi fibrilasi atrium dan perburukan fungsi atrium kiri, dapat menyebabkan pemanjangan waktu konduksi interatrium total. Hipertensi, riwayat fibrilasi atrium paroksismal, kelainan katup jantung, usia yang semakin tua dan indeks massa tubuh yang semakin tinggi juga dapat memperpanjang waktu konduksi interatrium total (Weijs et al, 2011). Karakteristik subjek dengan gula darah terkontrol buruk memiliki indeks massa tubuh yang lebih tinggi, hipertensi yang lebih banyak, dan durasi DM yang lebih lama dibandingkan subjek dengan gula darah terkontrol baik. Penelitian ini menunjukkan persentase sumbangan pengaruh hscrp dan kontrol glikemik terhadap waktu konduksi interatrium sebesar 21,6%. Sedangkan sisanya sebesar 78,4% mungkin dipengaruhi oleh variabel lain seperti indeks massa tubuh, hipertensi, durasi DM, dan riwayat fibrilasi atrium paroksismal. Berbagai parameter ekokardiografi dapat berkorelasi dengan waktu konduksi interatrium total. Peningkatan dimensi atrium kiri, peningkatan diameter aorta, mitral dan aorta regurgitasi dan disfungsi diastolik berkaitan dengan pemanjangan waktu konduksi interatrium total. Disfungsi diastolik ringan mungkin merupakan tanda gangguan relaksasi ventrikel. Peningkatan dimensi atrium kiri mungkin dapat

mencerminkan peningkatan tekanan atrium kiri yang dapat terjadi pada disfungsi diastolik ventrikel kiri (Weijs et al, 2011). Namun, peneliti belum menghubungkan parameter ekokardiografi lain dengan waktu konduksi interatrium total. C. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian yang paling penting adalah desain penelitian ini adalah potong lintang analitik (cross sectional analytic) dimana pasien tidak diikuti dalam jangka waktu tertentu untuk mengetahui ada tidaknya episode aritmia. Sehingga, peneliti tidak dapat memastikan apakah pemanjangan waktu konduksi interatrium total, inflamasi, dan kontrol glikemik memprediksi kejadian fibrilasi atrium pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini juga tidak mengukur waktu konduksi interatrium total dengan pemeriksaan elektrofisiologi jantung dimana merupakan pemeriksaan standar emas. Pengukuran waktu konduksi interatrium total dengan ekokardiografi dopler jaringan overestimasi dalam menghitung waktu aktivasi atrium total karena meliputi waktu yang diperlukan untuk propagasi impuls dari area nodus sinus sampai atrium kiri dan waktu yang diperlukan untuk melakukan elektromekanik pada atrium kiri. Namun pada penelitian validasi menunjukkan proses elektromekanik ini bersifat konstan. Selain itu, penundaan sedikit waktu pada saat pemrosesan EKG terjadi pada semua mesin ekokardiografi. Namun, penundaan ini konsisten sehingga seharusnya tidak mengganggu hasil penelitian ini. Peneliti juga tidak dapat mendeteksi adanya episode fibrilasi atrium paroksismal yang mungkin sudah terjadi pada subjek penelitian, karena peneliti hanya melakukan pemeriksaan EKG satu kali saat penelitian berlangsung. Selain itu, neuropati diabetik yang tidak terlihat dapat menutupi gejala jantung terkait fibrilasi atrium.