BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian terdiri dari 17 pasien DM tipe 2 dengan HbA1C < 7% (rerata usia 63,12 ± 9,38 tahun; 22,7% laki-laki) dan 24 pasien DM tipe 2 dengan HbA1c 7% (rerata usia 58,33 ± 9,41 tahun; 11,4% laki-laki). Dari tabel 4.1, karakteristik subjek dengan gula darah terkontrol baik (HbA1c < 7%) dan gula darah tidak terkontrol (HbA1c 7%) tidak berbeda secara bermakna (p>0,050). Pasien DM tipe 2 dengan HbA1c 7% memiliki kadar hscrp yang lebih tinggi dibandingkan pasien DM tipe 2 dengan HbA1c < 7% namun tidak bermakna secara statistik (0,44 ± 0,30 versus 0,32 ± 0,22; p = 0,183). Tabel 4.1. Karakteristik data klinis dan laboratorium pada subjek DM tipe 2 HbA1c <7% HbA1c 7% p (n = 17) (n = 24) Usia, tahun Jenis kelamin, laki-laki (%) IMT (kg/m2) Merokok (%) Tekanan darah (mmhg) <140/90 140/90 Denyut nadi (denyut/menit) Durasi penyakit (%) < 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun Penyakit jantung koroner (%) Penyakit jantung katup (%) hscrp (mg/l) 63,12 ± 9,38 22,7 24,56 ± 4,30 6,8 18,2 20,5 82,00 ± 8,00 18,2 15,9 4,5 4,5 9,1 0,32 ± 0,22 58,33 ± 9,41 11,4 25,73 ± 3,91 18,2 15,9 38,6 79,29 ± 11,83 11,4 27,3 15,9 11,4 6,8 0,44 ± 0,30 0,117 0,200 0,378 0,157 0,059 0,387 0,317 0,414 0,655 0,183 HbA1c, glycated haemoglobin; IMT, indeks massa tubuh; TDS, tekanan darah sistolik; TDD, tekanan darah diastolik; hscrp, high sensitivity C-reactive protein.
Dari tabel 4.2, karakteristik ekokardiografi subjek dengan gula darah terkontrol baik (HbA1c < 7%) dan gula darah tidak terkontrol (HbA1c 7%) tidak berbeda secara bermakna (p>0,050). Waktu konduksi atrium total pada pasien DM tipe 2 dengan HbA1c 7% lebih panjang dibandingkan dengan pasien DM tipe 2 dengan HbA1c < 7%, namun tidak bermakna secara statistik (100,29 ± 28,53 versus 94,88 ± 16,50; p = 0,449). Tabel 4.2. Karakteristik ekokardiografi pada subjek DM tipe 2 HbA1c <7% HbA1c 7% p (n = 17) (n = 24) Fraksi ejeksi ventrikel kiri (%) Diameter atrium kiri (mm) Rasio E/A Rasio Em/Am Rasio E/Em Waktu konduksi interatrium total (md) 65,71 ± 10,13 31,65 ± 5,88 0,78 ± 0,21 0,85 ± 0,31 7,08 ± 2,97 94,88 ± 16,50 59.33 ± 15.87 31.29 ± 5.66 0.92 ± 0.49 0.83 ± 0.32 8.46 ± 3.96 100,29 ± 28,53 0.125 0,848 0.272 0.827 0.210 0,449 E, mitral annular early diastolic velocity; A, mitral annular late diastolic velocity; Em, tissue doppler mitral annular early diastolic velocity; Am, tissue doppler mitral annular late diastolic velocity; mm, millimeter; md, milidetik. 2. Uji Regresi Linier Berganda Uji regresi linier berganda dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kadar hscrp dan kontrol glikemik dengan waktu konduksi interatrium total pada pasien dalam penelitian ini. Tabel 4.3. Hasil analisis regresi linier berganda tentang hubungan antara kadar hscrp dan kontrol glikemik (HbA1c) dengan waktu konduksi interatrium total pada pasien DM tipe 2 Variabel Koefisien 95% CI p Konstanta hscrp (mg/dl) HbA1c 7% Regresi (β) 77,54 38,78 14,04 N observasi: 41 subjek Koefisien korelasi (R): 0,51 Koefisien determinasi (R 2 ): 21,6% p = 0,004 Batas bawah Batas atas 64,19 90,89 14,01 63,54 0,09 27,98 <0,001 0,003 0,048
Adapun untuk nilai koefisien korelasi (R) 0,51 dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) 21,6%. Berdasarkan hasil ini, terlihat bahwa terdapat hubungan korelasi sedang antara kadar hscrp dan kontrol glikemik dengan waktu konduksi interatrium total. Nilai koefisien determinasi menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh hsccrp dan kontrol glikemik terhadap waktu konduksi interatrium sebesar 21,6%. Sedangkan sisanya sebesar 78,4% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Berdasarkan persamaan didapatkan bahwa setiap kenaikan satu satuan dari hscrp maka waktu konduksi interatrium total akan mengalami peningkatan sebesar 38,78 milidetik. Sedangkan pada HbA1c, setiap HbA1c 7% maka waktu konduksi interatrium total akan mengalami peningkatan sebesar 14,04 milidetik. Nilai p secara keseluruhan adalah 0,004. Hal ini menunjukkan bahwa didapatkan hasil yang bermakna secara statistik. B. Pembahasan Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar hscrp dan kontrol glikemik (HbA1c) berkorelasi (positif) sedang dengan waktu konduksi interatrium total pasien DM tipe 2. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kejadian fibrilasi atrium lebih tinggi pada pasien DM tipe 2 dibandingkan dengan subjek normal (Johansen et al, 2008). Fibrilasi atrium adalah aritmia jantung tersering yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, termasuk stroke, gagal jantung, serta penurunan kualitas hidup (Voigt and Dobrev, 2012; Yuniadi et al, 2014). Pasien dengan fibrilasi atrium memiliki risiko stroke lima kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung tiga kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa fibrilasi atrium (Yuniadi et al, 2014). Sayangnya, terapi sering terlambat, misalnya: saat stroke menjadi manifestasi pertama dari fibrilasi atrium (Sun and Hu, 2009). Oleh karena itu, prediksi dan pencegahan fibrilasi atrium beserta komplikasinya sangat penting. Saat ini, jumlah pasien rawat inap akibat fibrilasi atrium terus meningkat, sehingga pencegahan primer fibrilasi atrium onset baru penting untuk dilakukan. Strategi pencegahan primer dapat
dilakukan jika klinisi mampu mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya fibrilasi atrium (Vos et al, 2009) Patofisiologi yang mungkin menyebabkan diabetes menjadi predisposisi fibrilasi atrium meliputi hipertrofi ventrikel, iskemik/fibrosis miokardium, remodeling atrium kiri, gangguan tonus otonom, dan inflamasi (Liu et al, 2008; Crandall et al, 2009). Hayden et al (2006) menunjukkan bahwa kadar gula darah yang tinggi dapat menginduksi fibrosis miokardium pada tikus. Selain itu, pasien diabetes memiliki kadar C-reacive protein yang lebih tinggi, penanda inflamasi sistemik, yang dapat memicu fibrosis miokardium dan disfungsi diastolik (Yuan et al, 2006). Risiko penyakit jantung koroner dan gagal jantung lebih tinggi pada pasien diabetes, sehingga dapat menyebabkan peningkatan kejadian fibrilasi atrium (Dublin et al, 2010). Penelitian ini menunjukkan hubungan linear positif antara kadar HbA1c dengan waktu konduksi interatrium total, dimana setiap HbA1c 7% maka waktu konduksi interatrium total akan mengalami peningkatan sebesar 14,04 milidetik. Risiko fibrilasi atrium pada diabetes dihubungkan dengan kontrol glikemik (Fatemi et al, 2014). Huxley et al (2012) menunjukkan adanya hubungan linear positif antara HbA1c dengan risiko fibrilasi atrium pada pasien diabetes dengan rasio odds 1,13 per kenaikan 1% kadar HbA1c. Oleh karena itu, diabetes dan kontrol glikemik buruk, yang diukur berdasarkan kadar HbA1c, berkaitan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium. Pengukuran waktu konduksi interatrium total dengan ekokardiografi dopler jaringan (interval PA-TDI) ini mencerminkan aktivasi elektrik atrium sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan elektromekanik atrium (Hatam et al, 2014). Oleh karena itu, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai remodeling atrium. Remodeling atrium dapat dideteksi dari adanya gangguan konduksi atrium dan dispersi periode refrakter atrium, yang dapat memicu proses reentri dan onset fibrilasi atrium (Bakirci et al, 2015). Waktu konduksi interatrium total adalah waktu mulai dari inisiasi sampai akhir depolarisasi atrium dari tempat aktivasi yang sama. Pemanjangan waktu
konduksi interatrium total mencerminkan penurunan kecepatan konduksi dan dilatasi atrium yang dapat menjadi substrat untuk terjadinya fibrilasi atrium (Heijman et al, 2014). Penurunan kecepatan konduksi menyebabkan pemendekan sirkuit atau jalur depolarisasi dan terjadi potensial aksi berulang sehingga menimbulkan reentri mikro (multiple wavelet reentry). Reentri mikro merupakan gelombang aktivasi yang banyak dan tidak beraturan sehingga membentuk jalur reentri pada berbagai lokasi yang berbeda. Mekanisme reentri merupakan salah satu mekanisme dasar terjadinya fibrilasi atrium (Wakili et al, 2011). Oleh karena itu, pengukuran waktu konduksi interatrium total dapat digunakan sebagai prediktor kejadian fibrilasi atrium (Ozlu et al, 2013; Vos et al, 2009). Vos et al (2009) menunjukkan bahwa waktu konduksi interatrium total yang pendek (<130 milidetik) dapat mencegah pasien dari kejadian fibrilasi atrium. Sehingga klinisi dapat menganggap pasien ini bukan kandidat untuk dilakukan pencegahan primer terhadap kejadian fibrilasi atrium. Pasien dengan waktu konduksi interatrium total >165 milidetik berisiko untuk terjadi fibrilasi atrium dan dapat menjadi kandidat untuk pencegahan primer terhadap kejadian fibrilasi atrium dengan menggunakan obat-obat kardiovaskular. Pasien dengan waktu konduksi interatrium total >190 milidetik sangat berisiko untuk terjadi fibrilasi atrium. Pasien ini dapat diterapi dengan antikoagulan profilaksis, terutama jika pasien tersebut memiliki skor CHADS2 (congestive heart failure, hypertension, age =75 tahun, diabetes mellitus, stroke) yang tinggi (Vos et al, 2009). Skor CHADS2 ini digunakan untuk memprediksi risiko stroke pada pasien fibrilasi atrium non katup (Lane and Lip, 2012). Liu et al (2012) menunjukkan bahwa gangguan fungsi elektromekanik atrium berkaitan dengan peningkatan waktu konduksi interatrium total. Kato et al (2006) menunjukkan keterlambatan waktu konduksi interatrium dan peningkatan deposisi fibrotik pada atrium berperan penting dalam kejadian aritmogenik atrium. Hal ini mengindikasikan bahwa remodeling struktur atrium yang ditandai dengan fibrosis interstisial mungkin salah satu mekanisme utama terjadinya fibrilasi atrium pada DM (Kato et al, 2006). Fu et al (2013) mendeteksi waktu konduksi interatrium total memanjang pada kelinci diabetes dibanding kelompok kontrol. Namun patofisiologi
pasti pemanjangan waktu konduksi interatrium pada pasien diabetes masih belum diketahui. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kadar hscrp dengan waktu konduksi interatrium total dimana setiap kenaikan satu satuan dari hscrp maka waktu konduksi interatrium total akan mengalami peningkatan sebesar 38,78 milidetik. Secara umum, hubungan antara fibrilasi atrium dengan inflamasi tidak diragukan lagi (Friedrichs et al, 2011). Pemeriksaan histologi menunjukkan adanya infiltrat inflamasi dan kerusakan oksidatif pada jaringan atrium pada pasien fibrilasi atrium dibanding kelompok kontrol (Boos et al, 2006). Liu et al (2008) menunjukkan bahwa inflamasi merupakan salah satu mekanisme terjadinya fibrilasi atrium pada pasien diabetes. Stimulus inflamasi memicu proliferasi fibroblas, migrasi dan transformasi menjadi miofibroblas sehingga menyebabkan remodeling atrium yang ditandai dengan pemendekan periode refrakter atrium (Friedrichs et al, 2011). Berbagai penelitian mengobservasi hubungan inflamasi dengan fibrilasi atrium dengan penanda inflamasi berupa CRP, hscrp, dan interleukin (IL)-6 (Boos et al, 2006). Bakirci et al (2015) menunjukkan waktu konduksi interatrium total berkorelasi positif dengan kadar CRP pada pasien DM tipe 2. Stres oksidatif dan inflamasi juga merupakan komponen kunci dan berhubungan dengan kontrol glikemik yang buruk, patogenesis diabetes dan komplikasinya (Gohel and Chacko, 2013). Sarinnapakorn et al (2013) menunjukkan kadar hscrp berkorelasi positif dengan kadar HbA1c dimana rerata kadar HbA1c lebih tinggi secara bermakna pada pasien yang memiliki kadar hscrp 1 mg/l. Faktor lain seperti usia, tekanan darah, indeks massa tubuh, kolesterol LDL, kreatinin serum tidak berkorelasi dengan kadar hscrp (Sarinnapakorn et al, 2013). Bahceci et al (2005) menunjukkan kadar hscrp tidak berbeda bermakna pada pasien DM tipe 2 tanpa penyakit jantung koroner dengan pasien non DM tipe 2 yang memiliki penyakit jantung koroner. Namun pasien DM tipe 2 yang memiliki penyakit jantung koroner memiliki kadar hscrp yang lebih tinggi dibanding pasien non DM tipe 2 dengan penyakit jantung koroner (Bahceci et al, 2006). Oleh karena itu, stress oksidatif dan penanda inflamasi dapat digunakan sebagai tambahan pemeriksaan selain kadar
HbA1c untuk menilai peningkatan risiko kardiovaskular pada pasien diabetes dengan kontrol glikemik buruk (Dilshad and Shazia, 2009). Selain kontrol glikemik, faktor risiko kardiovaskular seperti dislipidemia, hipertensi, merokok, dan obesitas dapat mempengaruhi status inflamasi individu (Montori, 2008). Kadar hscrp pada penelitian ini memiliki standar deviasi yang cukup besar baik pada subjek dengan gula darah terkontrol baik dan terkontrol buruk (0,32±0,22 versus 0,44±0,30). Hal ini menunjukkan kontrol gula darah saja tidak dapat digunakan untuk menentukan status inflamasi. Berdasarkan analisis multivariat, kadar hscrp dan kontrol glikemik berkorelasi (positif) sedang (r 0,51; p 0,004) dengan waktu konduksi interatrium total. Peneliti hanya mengobservasi hubungan inflamasi dan kontrol glikemik dengan waktu konduksi interatrium total. Namun, berbagai penyebab lain, seperti remodeling sistem otonom jantung, aktivasi sistem renin angiotensin aldosterone, overaktivitas simpatis, perubahan fibrosis akibat hiperglikemia, semua yang mungkin menyebabkan peningkatan frekuensi fibrilasi atrium dan perburukan fungsi atrium kiri, dapat menyebabkan pemanjangan waktu konduksi interatrium total. Hipertensi, riwayat fibrilasi atrium paroksismal, kelainan katup jantung, usia yang semakin tua dan indeks massa tubuh yang semakin tinggi juga dapat memperpanjang waktu konduksi interatrium total (Weijs et al, 2011). Karakteristik subjek dengan gula darah terkontrol buruk memiliki indeks massa tubuh yang lebih tinggi, hipertensi yang lebih banyak, dan durasi DM yang lebih lama dibandingkan subjek dengan gula darah terkontrol baik. Penelitian ini menunjukkan persentase sumbangan pengaruh hscrp dan kontrol glikemik terhadap waktu konduksi interatrium sebesar 21,6%. Sedangkan sisanya sebesar 78,4% mungkin dipengaruhi oleh variabel lain seperti indeks massa tubuh, hipertensi, durasi DM, dan riwayat fibrilasi atrium paroksismal. Berbagai parameter ekokardiografi dapat berkorelasi dengan waktu konduksi interatrium total. Peningkatan dimensi atrium kiri, peningkatan diameter aorta, mitral dan aorta regurgitasi dan disfungsi diastolik berkaitan dengan pemanjangan waktu konduksi interatrium total. Disfungsi diastolik ringan mungkin merupakan tanda gangguan relaksasi ventrikel. Peningkatan dimensi atrium kiri mungkin dapat
mencerminkan peningkatan tekanan atrium kiri yang dapat terjadi pada disfungsi diastolik ventrikel kiri (Weijs et al, 2011). Namun, peneliti belum menghubungkan parameter ekokardiografi lain dengan waktu konduksi interatrium total. C. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian yang paling penting adalah desain penelitian ini adalah potong lintang analitik (cross sectional analytic) dimana pasien tidak diikuti dalam jangka waktu tertentu untuk mengetahui ada tidaknya episode aritmia. Sehingga, peneliti tidak dapat memastikan apakah pemanjangan waktu konduksi interatrium total, inflamasi, dan kontrol glikemik memprediksi kejadian fibrilasi atrium pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini juga tidak mengukur waktu konduksi interatrium total dengan pemeriksaan elektrofisiologi jantung dimana merupakan pemeriksaan standar emas. Pengukuran waktu konduksi interatrium total dengan ekokardiografi dopler jaringan overestimasi dalam menghitung waktu aktivasi atrium total karena meliputi waktu yang diperlukan untuk propagasi impuls dari area nodus sinus sampai atrium kiri dan waktu yang diperlukan untuk melakukan elektromekanik pada atrium kiri. Namun pada penelitian validasi menunjukkan proses elektromekanik ini bersifat konstan. Selain itu, penundaan sedikit waktu pada saat pemrosesan EKG terjadi pada semua mesin ekokardiografi. Namun, penundaan ini konsisten sehingga seharusnya tidak mengganggu hasil penelitian ini. Peneliti juga tidak dapat mendeteksi adanya episode fibrilasi atrium paroksismal yang mungkin sudah terjadi pada subjek penelitian, karena peneliti hanya melakukan pemeriksaan EKG satu kali saat penelitian berlangsung. Selain itu, neuropati diabetik yang tidak terlihat dapat menutupi gejala jantung terkait fibrilasi atrium.