MUTU MINYAK GORENG PADA PEDAGANG MAKANAN GORENGAN DI PERUMNAS TODDOPULI KOTA MAKASSAR Salmiah 1, Manjilala 1, Wa Salmia 2 1 Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes, Makassar 1 Alumni Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes, Makassar Abstract Background: Cooking oil was one of the staple foods consumed by all levels of Indonesian society. But people, especially traders fried using cooking oil many times until it broke so it could pose health hazards. Cooking oil could be used up to 3-4 times a frying pan. If used repeatedly, the oil would change color. Peroxide was the most important value in determining the degree of damage to oil. This study aimed to determine the quality of cooking oil on fried food traders in Housing Toddopuli Makassar. Methods: This study was a descriptive study. Samples were first cooking oil used to fry at the time of the day by traders fried foods in Housing Toddopuli Makassar totaling 7 respondents were selected by purposive sampling. Physical changed frying oil obtained direct observation than the color of the new cooking oil. Peroxide value obtained using peroxide test was processed manually using The calculator. Data presented in tables and narrative. Results: The obtained color dirty cooking oil, dark brown and peroxide were quite high and had crossed the line SNI is 31.76 meq / kg to 62.90 meq / kg. Suggestions: fried foods was recommended to traders Toddopuli Housing Makassar to reduce damage to the oil during the frying oil should be used which could be estimated for a single use or a maximum of 4 times the usage with the addition of fresh oil. Further research was recommended to investigate the effect of the consumption of residual oil (cooking) on health. Key words peroxide. : Cooking oil, fried food vendors, cooking oil discoloration and PENDAHULUAN Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai bahan dasar yang penting dalam proses penggorengan dengan fungsi utama sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi, dan kalor bahan pangan (Ketaren, 2005). Minyak dan lemak merupakan zat penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu, lemak dari minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein dimana dalam satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 kkal sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal setiap satu gram (Winarno, 1999). Menurut pedoman umum gizi seimbang, konsumsi lemak dan minyak paling sedikit 10% dari kebutuhan energi, tetapi dianjurkan konsumsi lemak dalam makanan sehari-hari tidak lebih dari 22% total kebutuhan energi. Mengkonsumsi lemak hewani yang berlebihan akan dapat menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit jantung koroner (Depkes RI, 1996). Masyarakat di Indonesia memiliki tingkat ekonomi yang berbeda-beda, ada masyarakat yang menggunakan minyak goreng hanya untuk sekali pakai, namun ada juga masyarakat yang menggunakan minyak goreng yang berkali-kali. Banyaknya permintaan akan bahan yang nyata mengenai betapa besarnya jumlah bahan pangan digoreng yang dikonsumsi oleh lapisan masyarakat dari segala tingkat usia. Minyak goreng juga membuat makanan menjadi renyah, kering, dan berwarna keemasan atau kecoklatan, akan tetapi jika minyak goreng digunakan secara berulang kali akan membahayakan kesehatan (Chalid, 2010). 5
Minyak akan mengalami kerusakan apabila mengalami pemanasan berulang kali, kontak dengan air, udara, dan logam. Kerusakan minyak yang terjadi selama proses penggorengan meliputi oksidasi, polimerase, dan hidrolisis. Minyak goreng bekas yang telah rusak akan membentuk senyawa-senyawa yang tidak diinginkan seperti senyawa polimer, asam lemak bebas (ALB), peroksida dan kotoran lain yang tersuspensi dalam minyak (Wulyoadi dan Kaseno, 2004). Minyak bebas merupakan minyak yang sudah tidak layak konsumsi. Warnanya biasanya gelap, menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Mutu minyak bekas sudah sangat rendah karena adanya kandungan senyawa peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi. Standar nasional indonesia (SNI)-3741-1995 memberikan batasan terhadap angka peroksida yang berbahaya untuk konsumsi yaitu standar maksimal untuk angka peroksida adalah 2 meq/kg (Aisyah dkk, 2010). Minyak yang telah rusak mempunyai angka peroksida serta asam lemak bebas yang tinggi. Apabila dicampurkan dengan minyak baru maka dapat meningkatkan angka peroksida dan asam lemak dari minyak tersebut. Angka peroksida yang meningkat dapat menurunkan mutu minyak goreng, sehingga kualitas makanan jajanan yang digoreng menggunakan minyak tersebut juga rendah bahkan dapat membahayakan kesehatan (Tarigan dkk, 2007). Tingginya konsumsi minyak goreng ini membuat pergeseran pola penyakit di masyarakat yang semula didominasi penyakit menular dan infeksi, saat ini telah beralih ke penyakit degeneratif antara lain: Penyakit Jantung Koroner (PJK), kardiovaskuler, hipertensi, arteriosklerosis, kanker, diabetes melitus. Asam lemak bebas didalam minyak goreng merupakan asam lemak berantai panjang yang tidak teresterifikasi (Moehammad, 2011). Makanan gorengan misalnya tahu isi, tempe, pisang goreng, bakwan, dan sejenisnya yang dijual dipinggir jalan (pedagang kaki lima) umumnya dimasak minyak goreng hasil pengulangan dalam suhu tinggi dan waktu yang lama. Pemakaian minyak goreng yang berulangulang menyebabkan perubahan pada minyak karena teroksidasi, minyak menjadi kotor dan berwarna coklat. Semakin sering minyak goreng digunakan, tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi. Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi 170-180 0 C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi yang menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid, dan polimer yang merugikan kesehatan manusia. Kerusakan utama yang terjadi adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan asam lemak bebas, perubahan indeks refrasi, angka peroksida, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa, adanya kotoran dari bumbu dan dari bahan pangan yang digoreng (Mariati K, 2006). Menurut Heru dalam Moehammad (2011), pedagang kaki lima belum menaruh perhatian dan mengutamakan kualitas minyak goreng yang digunakan, sehingga produk makanan yang mereka jual terkadang kurang higienis. Penggunaan minyak berkali-kali mengakibatkan minyak cepat berasap, berbusa, dan meningkatkan warna coklat serta dihasilkan rasa dan bau yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama penggorengan juga akan menurunkan nilai gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan nilai bahan pangan yang digoreng. Minyak yang telah rusak akan mempunyai struktur dan penampilan yang kurang menarik serta menghasilkan cita rasa dan bau yang kurang enak (Trubusagrisarana, 2005). METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat observasional, dengan desain nonrandom subjek. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan terhadap perubahan fisik minyak dan hasil uji bilangan peroksida. Pengumpulan data dimulai dengan cara pengambilan sampel. Sampel minyak goreng pada penjual gorengan diambil, kemudian diamati perubahan fisik yang terjadi yaitu perubahan warna minyak goreng tersebut pada waktu pengambilan sampel karena perubahan fisik warna minyak goreng dapat diamati langsung dengan indra penglihatan kemudian dibandingkan dengan warna minyak yang baru dan di uji di laboratorium untuk bilangan peroksida. 1. Bahan a. Bahan yang menjadi sampel penelitian ini adalah minyak goreng yang pertama kali dipakai untuk menggoreng pada hari itu oleh pedagang makanan gorengan di Perumnas Toddopuli Kota Makassar. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini ditetapkan secara purposive sampling dengan kriteria sampel: 1) Bersedia menjadi sampel. 2) Penjual makanan gorengan di lokasi tersebut. 6
b. Bahan kimia yang digunakan meliputi : 1) Pelarut 60% asam asetat glasial digunakan untuk menghidrolisis asam lemak dari minyak. Asam lemak ini yang kemudian diukur jumlah peroksida yang terkandung didalamnya. 2) Pelarut ditambah 40% kloroform digunakan untuk melarutkan minyak sehingga larut dengan sempurna dan bisa diproses selanjutnya. 3) KI jenuh 40%, kristal KI harus ada digunakan sebagai pereaksi perantara karena titrasi yang dilakukan yaitu titrasi tidak langsung. 4) larutan Natrium Tiosulfat (Na 2 S 2 O 3 ) 0,01 N (normalitas) digunakan untuk mentitrasi I 2 sehingga bisa ditentukan jumlah bilangan peroksida pada sampel minyak. 5) Amylum 1% digunakan sebagai indikator. 6) Aquadest 2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Erlemenyer tertutup basah 250 ml b. Pipet ukur 10 ml c. Pipet volumetrik 10 ml d. Pipet tetes e. Buret dan statik f. Gelas arloji g. Spatula h. Corong pemisah i. Timbangan analitik 3. Prosedur kerja uji bilangan peroksida a. 5 gr sampel di dalam labu erlemeyer, kemudian masukkan 30 ml campuran pelarut yang terdiri dari 60% asam asetat glasial dan 40% kloroform. b. Setelah minyak larut, ditambahkan 0,5 ml larutan kalium iodida jenuh sambil dikocok. c. Setelah 2 menit sejak penambahan kalium iodida ditambahkan 30 ml air (H 2 O) atau aquadest matang. Kemudian ditambahkan 1 ml indikator amylum 1%. d. Dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0,01 N. Apabila titrasi < 0,5 ml, penentuan dengan menggunakan larutan Na 2 S 2 O 3 dilakukan pengulangan, dan aquadest yang digunakan adalah aquadest matang e. Dengan cara yang sama dibuat juga blanko tanpa sampel. Data perubahan fisik minyak goreng diperoleh dengan cara pengamatan langsung terhadap penampakan warna pada waktu pengambilan sampel dan dibandingkan dengan warna minyak yang baru. Sedangkan data bilangan peroksida diperoleh dengan menggunakan uji kandungan bilangan peroksida dengan menggunakan rumus bilangan peroksida = ml Na2S2O3 x N Na2S2O3 x 1000 Berat Minyak gr Data bilangan peroksida yang diperoleh diolah secara manual dengan menggunakan kakulator. HASIL a. Karakteristik responden Responden berjualan buka mulai pukul 14.00 WITA dan tutup pukul 23.00 WITA. Jenis bahan makanan yang digoreng oleh pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar antara lain pisang goreng, jelang kote, tahu isi, tempe goreng, bakwan, dan pisang mole. Jumlah responden yang ada di Perumnas Toddopuli Kota Makassar sebanyak 14 Responden dan yang bersedia menjadi sampel sebanyak 7 orang. Minyak goreng yang dibeli tidak habis pakai satu hari melainkan masih tersisa. Minyak goreng yang tersisa tersebut akan digunakan kembali hari esoknya, begitu pula seterusnya b. Perubahan fisik minyak goreng Tabel 01. Perubahan fisik warna minyak goreng pada pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar Sampel Warna Minyak Perubahan Fisik Warna Minyak Kriteria Goreng Curah Goreng I Kuning Coklat gelap Rusak II Kuning Coklat agak gelap Rusak III Kuning Coklat gelap Rusak IV Kuning Coklat gelap Rusak V Kuning Coklat agak gelap Rusak VI Kuning Coklat gelap Rusak VII Kuning Coklat gelap dan kotor Rusak 7
Tabel 02 menunjukkan bahwa perubahan fisik warna minyak goreng pada pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar mengalami kerusakan dibandingkan dengan warna minyak goreng curah, yang digunakan sebagai pembanding. c. Bilangan peroksida minyak goreng Tabel 02. Bilangan peroksida minyak goreng pada pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar Sampel Bilangan peroksida Kriteria I 47,72 Rusak II 56,65 Rusak III 61,45 Rusak IV 39,81 Rusak V 55,68 Rusak VI 31,76 Rusak VII 62,90 Rusak Total 355,97 Tabel 02 menunjukkan bilangan peroksida yang tertinggi adalah 62,90 meq/kg sedangkan bilangan peroksida yang terendah 31,76 meq/kg. Minyak goreng pada pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar mengalami kerusakan, disebabkan oleh kandungan bilangan peroksida minyak goreng melebihi batas normal SNI dari 2 meq/kg. PEMBAHASAN 1. Perubahan Fisik Warna Minyak Goreng Secara fisik minyak goreng berwarna kuning, selama terjadi proses pemanasan warna minyak goreng yang akan berubah dari warna aslinya akibat suhu tinggi 170-180 0 C dalam waktu yang cukup lama (Mariati K, 2006). Hasil penelitian yang telah dilakukan minyak goreng yang pertama kali dipakai untuk menggoreng pada saat itu oleh pedagang makanan gorengan di Perumnas Toddopuli Kota Makassar berwarna coklat gelap dan tampak kotor. Hal ini mengindikasikan bahwa minyak yang dipakai untuk menggoreng pada hari penelitian merupakan sisa minyak yang telah dipakai lebih dari 3 kali menggoreng, sehingga minyak goreng sudah berubah warna menjadi coklat gelap dan tampak kotor. Sebenarnya minyak goreng tersebut tidak dapat dipakai lagi. Warna coklat yang timbul pada minyak goreng disebabkan oleh reaksi pencoklatan (browning) yang merupakan hasil reaksi dari senyawa karbonil (berasal dari pemecahan peroksida) dari asam amino protein terjadi terutama pada suhu tinggi serta dalam waktu yang cukup lama (Muchtadi TR Sugiyono, 1992). Perubahan warna minyak goreng pada pedagang gorengan Perumnas Toddopulli Kota Makassar menyebabkan penurunan mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak, kotor dan berwarna gelap akibat dari proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang kurang enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. 2. Bilangan peroksida minyak goreng Bilangan peroksida adalah hasil pengukuran sejumlah iod yang dibebaskan dari kalium iodida melalui reaksi oksidasi oleh peroksida dalam minyak pada suhu ruang didalam medium asetat/kloroform. Peroksida itu juga merupakan dekomposisi minyak akibat pemanasan dan oksidasi yang dapat mempercepat timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dari bahan pangan. Jika jumlah peroksida pada bahan pangan 100 mg 0 2 per 100 gr berat minyak maka akan bersifat beracun dan tidak dapat dimakan serta bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Sudarmadji dkk, 1996 dalam Haeriaty 2002). Hasil penelitian yang dilakukan jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Maryam dkk, 2014 yang mengatakan bahwa jumlah kandungan peroksida dapat diketahui berkisar antara 6,880-9,000 meq/kg. Hal tersebut disebabkan peneliti tidak bertujuan untuk melihat mutu minyak goreng pada pedagang gorengan sebelum menggoreng tetapi melihat kualitas minyak goreng khusus pada pedagang ayam goreng berdasarkan frekuensi penggorengan. 8
Hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kandungan peroksida yang cukup tinggi dan sudah melewati batas SNI. Kandungan peroksida minyak jelantah yang diperoleh antara 31,76 meq/kg sampai 62,90 meq/kg. Hal ini mengindikasikan bahwa minyak goreng yang digunakan pertama kali oleh pedagang makanan gorengan di Perumnas Toddopuli Kota Makassar telah rusak sehingga menurunkan mutu minyak goreng. Berdasarkan standar nasional indonesia (SNI) tahun 1995, kandungan peroksida tidak lebih dari 2 meq/kg. Berdasarkan SNI, kandungan bilangan peroksida minyak jelantah yang digunakan oleh responden tidak boleh digunakan lagi karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Jika jumlah peroksida melebihi batas normal akan membentuk persenyawaan lipoperoksida secara non enzimatik dalam usus halus dan mitokondria. Lipoperoksida dalam darah akan mengakibatkan denaturasi lipoprotein. Lipoprotein dalam keadaan normal mempunyai fungsi sebagai alat transport trigliserida dan jika lipoprotein mengalami denaturasi akan mengakibatkan penimbunan lemak dalam pembuluh darah (aorta). Disamping itu, peroksida bersifat karsinogenik yaitu pemicu kanker. Tingginya kandungan peroksida pada minyak jelantah yang digunakan oleh pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar disebabkan oleh penggunaan minyak secara berulang-ulang dan dalam waktu yang cukup lama sehingga panas yang diterima oleh minyak akan membebaskan senyawa-senyawa polimer yang dapat menimbulkan kanker. KESIMPULAN 1. Perubahan mutu fisik minyak goreng pada pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar telah rusak yang ditandai dengan perubahan warna minyak goreng. 2. Minyak goreng pada pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar telah rusak ditandai dengan bilangan peroksida melebihi standar SNI dari 2 meq/kg. SARAN Disarankan kepada pedagang makanan gorengan Perumnas Toddopuli Kota Makassar Untuk mengurangi kerusakan minyak selama penggorengan sebaiknya digunakan minyak yang dapat diperkirakan untuk sekali pemakaian atau maksimal 4 kali pemakaian dengan penambahan minyak segar. Penelitian lanjut disarankan untuk meneliti pengaruh konsumsi minyak sisa (jelantah) terhadap kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Aisyah, Y. & Fasya. 2010. Penurunan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas (FFA) pada Proses Bleaching Minyak Goreng Bekas oleh Karbon Aktif Polong Buah Kelor (Moringa Oliefera. Lamk) dengan Aktivasi NaCl. Jurnal Alchemy, 1(2): 53-103. As ad S. 2003. Keamanan Makanan dan Tekonologi. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UNHAS. Bandung; ITB. Chalid, S, Anna M, & Ida J. 2010. Minyak Goreng Pedagang Gorengan. Terdapat pada http://www.google.com. Diakses pada tanggal 9 desember 2014. Depkes RI. 1996. 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta : Depkes RI. Harsiwi AM. 2008. Dampak krisis pedagang kaki lima. http://www.wikipedia.org.wiki/amharsiwi. html diakses 6 februari 2015. Ketaren.S 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta; Universitas Indonesia. Mariati K. 2006. Pengaruh Frekuensi Penggorengan dan Perendaman Kulit Pisang Kepok terhadap Penurunan Bilangan Peroksida Miyak Kelapa Sawit Sisa Pakai. Skripsi. S1 PKK Konsentrasi Tata Boga. Jurusan Teknologi Jasa Produksi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. Maryam dkk. 2014. Analisis Kulaitas Minyak Goreng yang digunakan Pedagang Ayam Goreng Kaki Lima di Singaraja. Jurnal kimia visitalis, 2(1). Moehammad R. 2011. Perbedaan Minyak Curah dengan Minyak Kemasan.Terdapat pada http://www.blogspot.com. Diakses pada tanggal 9 desember 2014. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk laboratorium ilmu teknologi pangan. Bogor; IPB. Rohman A, Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Sudarmadji dkk. 1996. dalam Haeriaty 2002. Cara Benar Gunakan Minyak Goreng. Terdapat pada http://www.google.com. Diakses pada tanggal 27 Juli 2015. Tarigan, Nurhayati, & Oppusunggu. 2007. Pengaruh Penyuluhan Kepada Pedagang Gorengan dengan Angaka Peroksida dan Asam pada Minyak Goreng. Jurnal Ilmiah Pannmed, 2 (1): 20-28. 9
Trubusagrisarana. 2005. Mengolah Minyak Goreng Bekas. Surabaya: Perpustakaan Nasional RI. Winarno F.G. 2004. Kimia pangan dan gizi. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Wulyoadi & Kaseno. 2004. Pemurnian Minyak Goreng Bekas dengan Menggunakan Filter Membran. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2004. 10