BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BIDANG STUDI TRANSPORTASI DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Perjalanan merupakan suatu kegiatan rutin yang selalu dilakukan setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perencanaan merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

11 Analisis sebaran pergerakan (metode analogi)

REKAYASA TRANSPORTASI LANJUT UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proses mengangkut dan mengalihkan dengan menggunakan alat pendukung untuk

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS KEBUTUHAN ANGKUTAN KOTA MANADO (STUDI KASUS: TRAYEK PUSAT KOTA MALALAYANG DAN TRAYEK PUSAT KOTA KAROMBASAN)

Kuliah Pertemuan Ke-6 MODEL SINTETIS DISTRIBUSI PERJALANAN. Sub Topik : Model Gravitasi (Kalibrasi Model) Model Sintetik Lainnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ. Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan

TRANSPORTASI SEBAGAI SUATU SISTEM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERENCANAAN TRANSPORTASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REKAYASA TRANSPORTASI LANJUT UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukannya. Pergerakan dikatakan juga sebagai kebutuhan turunan, sebab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PREDIKSI SEBARAN PERJALANAN PENUMPANG KAPAL LAUT MELALUI PELABUHAN LAUT PENGUMPAN DI KEPULAUAN HALMAHERA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL GRAVITY

Nindyo Cahyo Kresnanto FT Universitas Janabadra YK

ANALISA MODEL SEBARAN PERJALANAN INTERNAL MASYARAKAT KOTA BATU DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAVITASI

MODEL TRIP DISTRIBUTION PENUMPANG DOMESTIK DAN INTERNASIONAL DI BANDARA INTERNASIONAL JUANDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Tamin, 1997). Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah jumlah perjalanan

BAB III METODE PENELITIAN

ESTIMASI KEBUTUHAN ANGKUTAN UMUM KOTA BANDA ACEH

1.1 Latar Belakang Masalah

STUDI PEMODELAN TRANSPORTASI DI RUAS JALAN NGINDEN AKIBAT JALAN MERR II-C ( SEGMEN KEDUNG BARUK SEMOLOWARU ) SURABAYA TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitasnya, dan semua manusia

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Konsep Pemodelan. Model adalah alat bantu atau media yang dapat digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sampai saat ini - yang paling populer adalah Model Perencanaan Transportasi Empat. 1. Bangkitan dan tarikan perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, umumnya seragam, yaitu kota-kota mengalami tahap pertumbuhan

Jurnal Sabua Vol.3, No.3: 9-19, November 2011 ISSN HASIL PENELITIAN TARIKAN PENGUNJUNG KAWASAN MATAHARI JALAN SAMRATULANGI MANADO

II. LANDASAN TEORI. A. Gambaran Prasarana dan Sarana Transportasi Provinsi Lampung

I. PENDAHULUAN. Perkotaan yang mengalami perkembangan selalu menghadapi permasalahan

BAB III LANDASAN TEORI

JUDUL MAKALAH SEMINAR STUDI DEMAND PENUMPANG TRANSPORTASI UDARA MENUJU DAN KELUAR KABUPATEN FAKFAK

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

ESTIMASI MATRIK ASAL TUJUAN DARI DATA LALU LINTAS DENGAN METODE ESTIMASI INFERENSI BAYESIAN MENGGUNAKAN PIRANTI LUNAK EMME/3

OUTLINES PERKULIAHAN

BAB II STUDI PUSTAKA. masing-masing harus dilakukan secara terpisah dan berurutan. Sub-sub model. Bangkitan dan tarikan pergerakan

PERBANDINGAN BEBERAPA METODE TRIP ASSIGMENT (PEMBEBANAN PERJALANAN) DALAM PEMODELAN TRANSPORTASI FOUR STEP MODEL

Bangkitan Perjalanan Pada Perumahan Baturaja Permai Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Transportasi merupakan proses pergerakan atau perpindahan orang atau

ANALISIS GARIS KEINGINAN PERGERAKAN MASYARAKAT PENGGUNA TRANSPORTASI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR PROVINSI SULAWESI UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERMODELAN BANGKITAN PERGERAKAN UNTUK BEBERAPA TIPE PERUMAHAN DI PEKANBARU

STUDI DEMAND PADA RENCANA PEMBANGUNAN JALAN SORONG-KEBAR-MANOKWARI DENGAN MODEL GRAVITY

KALIBRASI MODEL SEBARAN PERGERAKAN (GRAVITY MODEL) MENGGUNAKAN ADD-IN MICROSOFT EXCEL (SOLVER) Rudy Setiawan 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi yang bersangkut paut dengan pemenuhan kebutuhan manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan mengidentifikasi beberapa pertanyaan yang terdiri dari segi keamanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Sistem transportasi dapat diartikan sebagai bentuk keterkaitan dan keterikatan

KAJIAN TARIKAN PERGERAKAN TOSERBA DI KOTA JOMBANG

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Indonesia, telah banyak mengalami perkembangan yang pesat dalam

Kota dianggap sebagai tempat tersedianya berbagai kebutuhan dan lapangan kerja

II. TINJAUAN PUSTAKA. penumpang dari suatu tempat ke tempat lain, dalam Salim factor, dalam Dirgantoro Setiawan, 2003 :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. (Tamin, 2000). Dalam penelitian Analisis Model Bangkitan Pergerakan

Penentuan Koefisien Hambatan β Asal Tujuan Transportasi di Provinsi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta

STUDI PERMODELAN BANGKITAN PERJALANAN DI PERKOTAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

ANALISA DAMPAK PEMBANGUNAN HOTEL IBIS MANADO TERHADAP LALU LINTAS DI JALAN PIERE TENDEAN MANADO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Penelitian Suriani (2015), Pusat kegiatan Pendidikan sebagai salah

PRIORITAS PENANGANAN PERMASALAHAN TRANSPORTASI PADA JALAN ARTERI PRIMER DI KOTA PEKALONGAN TUGAS AKHIR. Oleh : TRI AJI PEFRIDIYONO L2D

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1.Konsep dan Ruang Lingkup Perencanaan Transportasi

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis faktor..., Agus Imam Rifusua, FE UI, 2010.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang.

MODEL BANGKITAN PERGERAKAN ZONA KECAMATAN PALU BARAT KOTA PALU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. negara sedang berkembang, maka perencanaan transportasi sangat erat

ANALISA KINERJA LALU LINTAS AKIBAT DAMPAK DARI PROYEK PEMBANGUNAN PERUMAHAN STUDI KASUS PADA PROYEK PERUMAHAN BANANA PARK RESIDENCE SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan transportasi di daerah Yogyakarta terjadi sebagai salah satu

PEMODELAN TARIKAN PERJALANAN PADA UNIVERSITAS AL MUSLIM BIREUEN

PERKIRAAN DISTRIBUSI PERGERAKAN PENUMPANG DI PROVINSI JAWA BARAT BERDASARKAN ASAL TUJUAN TRANSPORTASI NASIONAL

ESTIMASI MATRIK INFORMASI LALU LINTAS MODEL GRAVITY ASAL TUJUAN ANGKUTAN PRIBADI-UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Transportasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERENCANAAN DAN PEMODELAN TRANSPORTSI

BAB I PENDAHULUAN. kinerja (performance) dalam memfasilitasi mobilitas orang dan barang. Hal ini

BAB III METODOLOGI 3.1 UMUM 3.2 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan yang terjadi antara dua tempat yaitu tempat di mana

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan tranportasi atau perangkutan adalah bagian kegiatan ekonomi yang. dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain.

PENGARUH TARIKAN MANADO TOWN SQUARE TERHADAP LALU LINTAS DI RUAS JALAN BOULEVARD MANADO

PEMILIHAN RUTE PERJALANAN

PERENCANAAN ANGKUTAN BUS KORIDOR TERMINAL TAMBAK OSOWILANGUN PERAK KENJERAN SURABAYA

Arahan Transport Demand Management dalam Pergerakan Transportasi Regional Kabupaten Gresik

5 BAB V PERKIRAAN KONDISI MENDATANG

BAB II STUDI PUSTAKA

Dr. Sri Atmaja P. Rosyidi Laboratorium Teknik dan Infrastruktur Transportasi Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PERBANDINGAN BEBERAPA ALTERNATIF MANAJEMEN LALULINTAS PADA SEKOLAH SWASTA DI PERUMAHAN PAKUWON CITY SURABAYA

ANALISIS DEMAND BUS RAPID TRANSIT PADA MERR SURABAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Umum Perjalanan merupakan suatu kegiatan rutin yang dilakukan manusia setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perjalanan ini menyebabkan perpindahan seseorang dari suatu tempat ke tempat lainnya yang disebut sebagai kegiatan transportasi. Transportasi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan kita. Perpindahan atau pergerakan manusia merupakan hal yang penting dipikirkan khususnya daerah perkotaan, sedangkan angkutan barang sangat penting untuk menunjang kehidupan perekonomian. Dari pengertian diatas telah menggambarkan fungsi utama dari transportasi yaitu untuk menghubungkan manusia dengan tata guna lahan. Dengan kata lain transportasi menjadi fasilitas pendukung seluruh kegiatan, tanpa harus melihat lokasi, perkembangan transportasi harus setara dengan perkembangan kegiatan kehidupan. Untuk memenuhi hal tersebut, pengadaan transportasi sebagai pendukung kegiatan kehidupan harus diperhitungkan secara tepat dan secermat mungkin. Pengadaan ataupun perencanaan transportasi tersebut bukanlah hal yang mudah dan instan, karena memerlukan tahapan dan prosedur yang harus dilalui untuk memperoleh hasil yang baik agar tidak tersendatnya perkembangan dan kegiatan hidup manusia.

II.2. Perencanaan Transportasi Perkembangan yang terjadi pada masa kini dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk yang begitu signifikan, sehingga memberikan dampak secara langsung pada perencanaan transportasi. Karena dari waktu ke waktu objek yang diangkut selalu bertambah. Adanya pertambahan jumlah penduduk tersebut dengan sendirinya akan membutuhkan pertambahan alat pendukung untuk kegiatan setiap penduduk tesebut. Jika hal ini tidak diantisipasi sejak dini, maka dimasa yang akan datang akan menimbulkan suatu masalah ketidakseimbangan antara kebutuhan transportasi dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang ada. Ketidakseimbangan tersebut berdampak pada permasalahan transportasi yang akan kita hadapi, seperti: Kemacetan, kesemrawutan lalu-lintas, kecelakaan Lambannya perkembangan suatu daerah Dan tingginya biaya ekonomi Akhirnya suatu daerah baik itu kawasan industry, kota, pusat bisnis dan lain sebagainya akan menjadi kawasan mati yang tidak bisa ditempati. Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka dilakukanlah perencanaan transportasi untuk mencapai suatu keseimbangan. Menurut Bruton (1970), proses perencanaan transportasi perkotaan didasarkan pada seperangkat prinsip dan asumsi yang paling dasar yaitu bahwa pola perjalanan yang nyata, stabil dan dapat diprediksi. Berikut prinsip-prinsip dalam perencanaan transportasi menurut Bruton (1970): 1. Adanya hubungan yang menentukan antara semua moda transportasi.

2. Sistem transportasi mempengaruhi perkembangan suatu daerah, serta melayani daerah itu. 3. Daerah urbanisasi terus menerus memerlukan pertimbangan wilayah dengan berbagai macam situasi transportasi. 4. Studi transportasi merupakan bagian penting dari proses perencanaan secara keseluruhan. 5. Proses perencanaan transportasi itu berlangsung secara kontinu, dan membutuhkan data terbaru untuk mengetahui perubahannya. Menurut (Ofyar Z Tamin, 1997) Transportasi diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut: i. Mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur. ii. Memadukan transportasi lainnya dalam suatu kesatuan system transportasi nasional. iii. Menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan untuk menunjang pemerataan pertumbuhan dan stabilitas serta sebagai pendorong, dan penunjang pembanguna nasional. Tujuan perencanaan transportasi diatas dapat digambarkan seperti Gambar II.1 berikut:

Gambar II.1 Tujuan Perencanaan Transportasi Sumber: Fidel Miro (2005) Sebagai sebuah proses, perencanaan transportasi memberikan solusi kepada para ahli dan orang-orang yang berkepentingan dalam perencanaan transportasi untuk memberikan pilihan alternatif-alternatif kebijakan transportasi untuk mencapai tujuan yang optimal. Berikut ini merupakan empat tahap dalam perencanaan: II.2.1 Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) Menurut Adib Kanafani (1983), bangkitan perjalanan adalah tahapan pemodelan yang meperkirakan jumlah perjalanan yang berhubungan dengan total jumlah perjalanan yang dilakukan oleh individu atau rumah tangga berasal dari suatu zona yang tertarik ke suatu tata guana lahan atau zona. Sedangkan menurut Morlok (1998), mengatakan bahwa banyaknya perjalanan pada tahun rencana

nanti, sangat ditentukan oleh karakteristik tata guna lahan/petak-petak lahan serta karakteristik tata guna lahan serta karakteristik sosioekonomi tiap-tiap kawasan tersebut yang terdapat dalam ruang lingkup wilayah kajian tertentu, seperti area kota, regional/propinsi atau nasional. Adib Kanafani (1983), mengatakan bahwa analisa bangkitan perjalanan secara konvensional dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1. Produksi perjalanan (Trip Production), yang mengacu pada jumlah perjalanan yang dilakukan oleh seorang individu atau rumah tangga, melalui kelompok rumah tangga seperti dengan zona tempat tinggal. 2. Tarikan Perjalanan (Trip Attraction), yang mengacu pada jumlah perjalanan yang tertarik menuju lokasi perkotaan tertentu atau kegiatan. Seperti objek wisata, perbelanjaan, perkantoran, sekolah dan lain sebagainya. i d Pergerakan dari zona asal (i) Pergerakan menuju zona tujuan (d) Gambar II.2 Bangkitan Dan Tarikan Pergerakan

II.2.2 Sebaran Perjalanan (Trip Distribution) John Black (1998), sebaran perjalanan merupakan jumlah atau banyaknya perjalanan yang bermula dari suatu zona asal yang menyebar ke banyak zona tujuan atau sebaliknya jumlah atau banyaknya perjalanan/yang datang mengumpul ke suatu zona tujuan yang tadinya berasal dari sejumlah zona asal. Sebaran perjalanan ini akan membentuk suatu pola sebaran arus lalulintas antara zona asal ke zona tujuan. Jadi sebaran perjalanan merupakan jumlah perjalanan yang berasal dari suatu tata guna lahan ( seperti zona: i) yang akan menuju suatu tata guna lahan (seperti zona: d). Zona i Zona d Gambar II.3 Sebaran Perjalanan Pola sebaran arus lalulintas antara zona asal ke zona tujuan adalah hasil yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan/atau barang. Lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas. Semakin tinggi tingkat aktivitas suatu tata guna lahan, makin tinggi pula tingkat kemampuannya dalam menarik lalulintas.

Pemisahan ruang. Jarak antara dua buah tata guna lahan merupakan batas pergerakan. Jarak yang jauh atau biaya yang besar akan membuat pergerakan antara tata guna lahan menjadi lebih sulit (aksesibilitas rendah). Pemisahan ruang dan intensitas tata guna lahan. Daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang dengan meningkatnya jarak. Interaksi antardaerah sebagai fungsi dari intensitas setiap daerah dan jarak kedua daerah tersebut dapat dilihat pada Table II.1. Tabel II.1 Interaksi antardaerah jarak jauh dekat Interaksi dapat diabaikan Interaksi rendah Interaksi rendah Interaksi menengah Interaksi menengah Interaksi sangat tinggi Intensitas tata guna lahan antara dua zona Kecil-Kecil Kecil-Besar Besar-Besar Sumber: John Black (1981)

Berikut salah satu contoh gambaran pola penyebaran perjalanan dari dan ke berbagai zona: Zona tujuan J1 (200trip) 200 trip Zona Asal i Menghasilkan 1000 perjalanan menyebar Zona tujuan J2 (100trip) 100 trip Zona tujuan J3 (500trip) 500 trip Zona tujuan J4 (200trip) 200 trip Gambar II.4 Pola Penyebaran Perjalanan dari dan ke Berbagai Zona II.2.3 Pemilihan Moda (Moda Split/Moda Choice) Pada proses perencanaan transportasi empat tahap, pemilihan moda merupakan tahap ketiga. Menurut beberapa para ahli perencanaan transportasi, tahap ini merupakan tahap terpenting dan juga merupakan tahap tersulit. Ini karena peran kunci dari angkutan umum dalam berbagai kebijakan transportasi. Dan hal ini menyangkut efisiensi pergerakan di suatu daerah, ruang yang harus disediakan suatu daerah untuk dijadikan prasarana transportasi, dan banyaknya pilihan moda transportasi yang dapat pilih oleh penduduk. Dalam tahapan ini merupakan tahapan dalam menentukan model dari perilaku orang banyak terutama para pengguna jasa transportasi dalam memilih layanan transportasi yang akan digunakan untuk melakukan perjalanan. Pemilihan moda ini sangat sulit dimodel, walaupun hanya ada dua pilihan moda yang

digunakan (angkutan umum atau pribadi). Pemilihan moda juga mepertimbangkan pergerakan yng menggunakan lebih dari satu moda dalam perjalanan. Sehingga menurut Fidel Miro (2005), tahap pemilihan moda ini merupakan suatu tahapan proses perencanaan angkutan yang bertugas untuk menentukan pembebanan perjalanan atau mengetahui jumlah orang dan barang yang akan menggunakan atau memilih berbagai moda transportasi yang tersedia untuk melayani suatu titik asal-tujuan tertentu, demi beberapa maksud perjalanan tertentu pula. II.2.4 Pembebanan jaringan (Traffic Assignment) Pembebanan jaringan atau pilihan rute ini merupakan tahap ke empat dalam perencanaan transportasi, yang proses pemilihannya bertujuan untuk memodelkan perilaku dari pelaku perjalanan dalam memilih rute yang menurutnya rute terbaik dimana rute tersebut memiliki waktu tempuh yang cepat, bernialai ekonomis dan terhindar dari kemacetan ataupun berbagai jenis hambatan lainnya. II.3. Jangka Waktu Perencanaan Perencanaan Transportasi membutuhkan proses dalam pelaksanaannya, dimana dalam menjalankan proses tersebut terdapat beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui dan adanya batasan waktu, sesuai dengan karakteristik rencana. Pada bagian ini dijelaskan berbagai batasan waktu perencanaan beserta apa yang direncanakan, termasuk factor pendukungnya (Fidel Miro, 2005).

II.3.1. Jangka Pendek (Short Term Planning) Batasan waktunya antara 0 sampai 4 tahun. Yang direncanakan adalah segala sesuatu yang segera terwujud. Sumber-sumber pendukungnya, entah berupa dana, keahlian, materi, maupun data yang diperlukan dan kebijakan, tidak diperlukan dalam jumlah banyak. Dalam transportasi, biasanya berupa program-program penambahan armada angkutan, pengaturan jadwal, pengaturan ruas, proyek-proyek pengadaan dan pemeliharaan fasilitas dan prasarana. Secara prosedur berupa kegiatan pelaksanaan di lapangan. Secara hirarki berupa program pemakaian anggaran II.3.2. Jangka Menengah (Medium Term Planning) Batasan waktunya antara 5 sampai 20 tahun. Rencana ini berbentuk kajian atau studi terhadap kebijakan yang sudah digariskan. Kegiatan ini secara batasan waktu dapat berupa penyiapan dokumen-dokumen teknis,fisik dan finansial. Dalam formatnya, rencana ini merupakan kegiatan penyiapan rencana umum,detail teknis,studi kelayakan, rencana umum transportasi, studi kelayakan proyek, dokumen rancangan induk jaringan transportasi. Secara prosedur berupa kegiatan-kegiatan seperti: pengumpulan data dan informasi, analisis data, peramalan dan penaksiran kondisi

masa depan, perumusan beberapa rencana, dan pengevaluasian kelayakan rencana. Secara hirarki, dapat berupa pembiayaan dan dapat pula berupa kegiatan yang dilakukan oleh perencana (planner) yang tergabung dalam lembaga-lembaga riset dan pengembangan. Tahapan ini bersifat semi-fleksibel terhadap situasi yang terjadi selama jangka waktu rencana. II.3.3. Jangka Panjang (Long Term Planning) Batasan waktunya diatas 20 tahun. Disebut sebagai: o Strategi o Perspektif o Cakrawala o Horizon Plan Dalam formatnya, rencana ini berupa kebijakan-kebijakan jangka panjang yang telah menetapkan sasaran 25 tahun ke depan dan ditentukan oleh badan legislative. Secara prosedur, rencana ini berupa ide-ide, dengan sasaran yang dituju berada pada masa diatas 25 tahun. Secara hirarki, rencana ini adalah tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat dan mutlak flexible dengan perubahan situasi yang terjadi selama jangka waktu rencana.

II.4. Dasar-Dasar Prinsip Analisis Sebaran Perjalanan Banyak pertanyaan tentang distribusi perjalanan muncul karena pelaku perjalanan di daerah perkotaan biasanya memiliki sejumlah tujuan untuk perjalanan dari asal yang berbeda. Karena itu jelas bahwa setiap pelaku perjalanan akan memilih jalan alternatif terdekat untuk mencapai tujuan tersebut, dan melakukan itu secara konsisten, maka proses distribusi perjalanan akan benarbenar dipahami, dan skema perhitungan sederhana dari model distribusi perjalanan yang rumit akan cukup untuk memperkirakan arus lalu lintas. Namun menurut Adib Kanafani (1983), tidak semua pelaku perjalanan memilih tujuan terdekat, dan ciri utama dari pelaku perjalanan adalah tidak selalu memilih tujuan yang sama, kecuali untuk perjalanan untuk bekerja. Tujuan dari analisis distribusi perjalanan adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu proses ini dan untuk mengadopsi permintaan dan penawaran variabel yang secara konsisten dapat memprediksi cara perjalanan didistribusikan dari asal ke tujuan. Menurut Adib Kanafani (1983), Ada dua jenis proses distribusi perjalanan di daerah perkotaan. Satu dapat disebut sebuah proses jangka panjang, seperti distribusi perjalanan dari rumah-ke-kantor, dan yang lainnya, proses jangka pendek, seperti distribusi perjalanan berbelanja. Pertama adalah sebuah proses yang stabil dan berubah hanya dalam jangka panjang, baik dengan perubahan lokasi perumahan atau pekerjaan. Tapi dari hari ke hari, pembuat perjalanan akan selalu memilih tujuan yang sama, yaitu dari tempat kerja. Proses kedua lebih acak di alami, untuk itu ada kemungkinan bahwa pembuat perjalanan dapat mengubah tujuan perjalanan belanja biasanya dari hari ke hari.

Berikut adalah pendekatan untuk perjalanan pemodelan distribusi (Adib Kanafani, 1983): Model distribusi perjalanan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan pendekatan pemodelan dasar, kategorinya sebagai berikut: 1.Model asal-tujuan 2. Model pilihan 3. Model fisik interaksi spasial Agar dapat digunakan untuk perencanaan lalulintas, setiap model distribusi perjalanan harus memenuhi sifat sebagai berikut: Adib Kanafani (1983), memberikan sifat dasar dari model distribusi perjalanan sebagai berikut: 1. Konservasi Dalam hal ini dikatakan bahwa dalam kebanyakan studi transportasi perkotaan, banyak upaya telah dilakukan untuk mendapatkan solusi model distribusi perjalanan untuk memastikan kesetaraan yang tepat antara baris dan kolom jumlah dan perkiraan sebelumnya produksi perjalanan dan daya tarik. 2. Non-negatif Memberikan batasan, ini mungkin terlihat seperti aturan berlebihan. Namun, yang sering terjadi di kalibrasi model distribusi jika tidak dibatasi, beberapa skema perhitungan akan menghasilkan perkiraan negatif. 3. Divisibility dan Kompresibilitas. Aturan ini berlaku untuk model di mana lokasi asal dan lokasi tujuan yang terdiri dari zona. Divisibility mensyaratkan bahwa jika zona didefinisikan ulang dengan membaginya ke dalam dua zona, maka perkiraan model untuk dua zona baru

harus ditambahkan hingga perkiraan untuk keaslian zona. Compressibility adalah sebaliknya dan membutuhkan bahwa jika dua zona yang dikompresi bersamasama menjadi satu, lalu lintas model estimasi arus untuk zona baru harus jumlah dari nilai-nilai untuk asli dua zona. II.5. Model Sebaran Perjalanan Model merupakan alat bantu yang dapat digunakan untuk mencerminkan atau menggambarkan dan menyederhanakan suatu realita secara terukur (Tamin,1997). Sedangkan pemodelan merupakan suatu aktivitas meringkas dan menyederhanakan kondisi nyata (Fidel Miro, 2005). Pemodelan sebaran pergerakan merupakan bagian informasi yang sangat berharga dalam memperkirakan besarnya pergerakan antar zona selain informasi bangkitan dan tarikan perjalanan. Pemodelan pola sebaran perjalanan antarzona ini sudah pasti sangat dipengaruhi oleh tingkat aksesibilitas sistem jaringan antarzona dan tingkat bangkitan dan tarikan setiap zona. Menurut John Black (1983), tujuan pemodelan sebaran perjalanan adalah untuk menemukan persamaan yang direproduksi pola intra-zona dan inter-zona lalu lintas. Distribusi perjalanan sangat membantu kita untuk melihat dengan mudah apa yang disebut dengan pola perjalanan antar zona. Oleh karena itu, untuk maksud melihat pola perjalanan antar zona berupa arus pergerakan (kendaraan, penumpang, barang) dalam suatu zona selama periode waktu tertentu digunakan alat berupa matriks berdimensi dua (baris x kolom) yang disebut dengan Matriks Asal Tujuan yang sering diringkas dengan M.A.T seperti table berikut:

Tabel II.2 Tabel Matriks Asal Tujuan From To 1 2 3 n Oi 1 2 3..................... N Dd Sumber: Tamin (2000) Dimana: Oi = jumlah pergerakan yang berasal dari zona i. Dd = jumlah pergerakan yang menuju zona tujuan d. Matriks asal tujuan (MAT) adalah matriks berdimensi dua yang berisi informasi mengenai besarnya pergerakan antarlokasi (zona) di dalam daerah tertentu. Jika suatu MAT dibebankan ke suatu system jaringan transportasi, maka sebuah pola pergerakan akan dapat diperoleh. Dengan mempelajari pola pergerakan yang terjadi, seseorang dapat mengidentifikasi permasalahan yang timbul sehingga beberapa solusi segera dapat dihasilkan. MAT dapat memberikan indikasi rinci mengenai kebutuhan akan pergerakan, sehiingga MAT memegang peran yang sangat penting dalam berbagai kajian perencanaan dan manajemen transportasi.

Menurut Wayongkere (2012) Matriks Asal Tujuan (MAT) sering digunakan untuk: Pemodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah pedalaman atau antarkota, Pemodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah perkotaan, Pemodelan dan perencangan manajemen lalulintas baik di daerah perkotaan maupun antarkota, Pemodelan kebutuhan akan transportasi didaerah yang ketersediaan datanya tidak begitu mendukung baik dari sisi kuantitas maupun kualitas (misalnya di Negara sedang berkembang), Perbaikan data MAT pada masa lalu dan pemeriksaan MAT yang dihasilkan oleh metode lainnya, Pemodelan kebutuhan akan transportasi antarkota untuk angkutan barang multi moda. Berdasarkan data yang terdapat dalam Matriks Asal Tujuan (MAT) nantinya dapat diolah dengan berbagai metode untuk mengetahui nilai kuantitas dari sebaran perjalanan. Menurut Bruton (1970) terdapat beberapa metode (model matematisstatistik) untuk memperkirakan jumlah perjalanan antar zona pada periode tahun rencana yang sering digunakan para peneliti sebagai berikut: Metode Analogi (Faktor Pertumbuhan). Metode Sintetis (Formulasi Perjalanan antar area/analitis). Metode Analisi Regresi Linear. Program Linear

Oleh Tamin, (1997). Metode untuk mendapatkan MAT dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama, yaitu metode konvensional dan metode tidak konvensional Untuk lebih jelasnya, pengelompokkan digambarkan berupa diagram seperti Gambar II.5. Gambar II.5 Metode Untuk Mendapatkan MAT Sumber: Tamin, O.Z (1997) II.6. Metode Konvensional Metode konvensional dikelompokkan menjadi dua bagian utama, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. II.6.1. Metode Langsung Yang dimaksud dengan metode langsung adalah pendekatan yang dilakukann dengan cara pengumpulan data dan survey lapangan. Pemilihan dalam penggunaan metode ini sangat tergantung dari ketersediaan surveyor dan kondisi situasi lapangan. Dengan demikian banyak kesalahan yang terjadi dalam

penggunaan metode ini, seperti kesalahan teknis dan kesalahan manusia yang sering terjadi. Berikut adalah beberapa teknik yang tersedia dalam metode langsung untuk mendapatkan nilai MAT. Wawancara di tepi jalan Wawancara di rumah Metode dengan menggunakan bendera Metode foto udara Metode mengikuti mobil. Dapat dikatakan bahwa pendekatan dengan metode langsuung pada umumnya mahal, terutama dalam hal kebutuhan akan sumber daya manusia, waktu proses yang lama, serta hasil akhirnya hanya berlaku untuk selang waktu pendek saja. II.6.2. Metode Tidak Langsung Metode factor pertumbuhan dan metode sintetis oleh Bruton, dikelompokkan oleh Tamin sebagai metode tidak langsung. Dalam metode ini dilakukan pemodelan, yang mana pemodelan tersebut merupakan kegiatan penyederhanaan dengan menggunakan suatu system dalam bentuk unsur atau factor yang dapat dipertimbangkan mempunyai kaitan dengan situasi yang hendak digambarkan. III.7. Metode Analogi (Faktor Pertumbuhan) Pada metode ini pola perjalanan antar zona pada masa sekarang dapat di proyeksikan ke masa yang akan datang dengan menggunakan faktor pertumbuhan zona yang berbeda-beda. Semua model yang ada pada metode analogi tersebut mempunyai persamaan umum seperti berikut:

(Pers.2.1) Dimana: = jumlah perjalanan masa sekarang dari zona asal ke zona i ke zona tujuan d. E = tingkat pertumbuhan Tergantung dari metode yang digunakan, tingkat pertumbuhan ( E ) dapat berupa satu faktor saja atau merupakan kombinasi dari berbagai faktor, yang bisa didapat dari proyeksi tata guna lahan atau bangkitan lalulintas. Adapun pengembangan kelima metode analogi itu secara kronologis adalah: Model seragam (Uniform) Model rata-rata (average) Model fratar Model Detroit Model furnes. II.7.1 Model Seragam (Uniform) Model seragam adalah model tertua dan paling sederhana untuk keseluruhan daerah kajian hanya ada satu nilai tingkat pertumbuhan yang digunakan untuk mengalikan semua pergerakan pada saat sekarang untuk mendapatkan pergerakan pada masa mendatang. Secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut:.(pers.2.2) (Pers.2.3)

Dimana: = jumlah perjalanan masa mendatang dari zona asal i ke zona tujuan d. = jumlah perjalanan masa sekarang dari zona asal ke zona i ke zona tujuan d. E = tingkat pertumbuhan T = total pergerakan pada masa mendatang di dalam daerah kajian t = total pergerakan pada masa sekarang di dalam daerah kajian II.7.2. Model Rata-Rata (Average) Model average digunakan pada kondisi dimana masing-masing zona di dalam sebuah lingkup wilayah memiliki karakteristik pertumbuhan yang berbedabeda satu sama lain. Tingkat pertumbuhan yang berbeda ini dirata-ratakan dengan jalan menjumlahkan pertumbuhan dizona asal i dan di zona tujuan d kemudian dibagi dua, seperti berikut:..... (Pers.2.4) Dimana: = jumlah perjalanan masa mendatang dari zona asal i ke zona tujuan d. = jumlah perjalanan masa sekarang dari zona asal ke zona i ke zona tujuan d. E = tingkat pertumbuhan zona i dan zona d. II.7.3. Model Fratar Model ini dikembangkan oleh pakar transportasi yang dalam penggunaannya model ini menggunakan proses pengulangan. Secara matematis model fratar dapat dinyatakan sebagai berikut:.(pers.2.5)

Dimana: = perkiraan jumlah perjalanan dari zona asal i ke zona tujuan d. = jumlah perjalanan masa mendatang yang diharapkan berdasarkan hasil bangkitan perjalanan dari zona asal i. = jumlah perjalanan masa sekarang dari zona asal i ke seluruh zona-zona tujuan d.n yang lainnya. = factor pertuumbuhan masing-masing zona dalam wilayah studi II.7.4. Model Detroit Model ini merupakan penyempurnaan dari dua model yaitu model rata-rata dan model fratar. Secara matematis, model ini dinyatakan sebagai berikut:.....(pers.2.6) Dimana: = jumlah perjalanan masa mendatang dari zona asal i ke zona tujuan d. = jumlah perjalanan masa sekarang dari zona asal ke zona i ke zona tujuan d. E = tingkat pertumbuhan zona i dan zona d. II.7.5. Model Furness Pada saat sekarang model ini sering digunakan dalam perencanaan transportasi berhubung penggunaannya yang sederhana dan mudah. Bentuk matematisnya adalah: Iterasi ke-1

Iterasi ke-2 Iterasi ke-3 Dan seterusnya secara selang seling (Pers.2.7) Dimana: = jumlah perjalanan pada masa mendatang dari zona asal i ke zona tujuan d. = jumlah perjalanan masa sekarang dari zona asal i ke zona tujuan d. = faktor pertumbuhan di zona asal i. = faktor pertumbuhan di zona tujuan d. II.8. Metode Sintetis Metode ini merupakan alternative dari metode faktor pertumbuhan yang didasari oleh dua asumsi: a. Sebelum pergerakan pada masa mendatang diramalkan, terlebih dahulu harus dipahami alasan terjadinya pergerakan pada masa sekarang. b. Alasan tersebut kemudian dimodelkan dengan menggunakan analogi hukum alam yang terjadi. Prinsip pada metode ini adalah perjalanan dari zona asal ke zona tujuan berbanding lurus dengan jumlah bangkitan di zona asal serta tarikan dizona tujuan. Dan berbanding terbalik dengan kemudahan (aksesibilitas) lalulintas antara kedua zona tersebut. Pada metode sintetis ini, perlunya mengetahui pola terjadinya distribusi perjalanan saat ini sebelum dapat menentukan jumlah distribusi perjalanan untuk tahun rencana.

Sama halnya seperti metode analogi, metode sintetis juga memiliki modelmodel yang dapat dipakai untuk memprediksi arus perjalanan masa yang akan datang. Adapun model-model yang terdapat dalam metode sintetis ini antara lain adalah: Model Gravity Model Opportunity Model Gravity-Opportunity. II.8.1 Model Gravity (GR) Dalam metode sintetis, model gravity merupakan model yang paling sering digunakan dan paling terkenal karena sangat sederhana dan mudah dimengerti dalam penggunaannya. Dalam penggunaannya pada perencanaan transportasi, model gravity ini menggunakan konsep gravity yang diperkenalkan oleh Isaac Newton seorang ahli fisika tahun 1686. Adapun formula gravity model dalam transportasi adalah:. (Pers.2.8) Di mana : = jumlah perjalanan dari zona asal i ke zona tujuan d. = banyak perjalanan yang dihasilkan (berasal) dari zona asal i dan yang tertarik (menuju) ke zona tujuan d. = kuadrat jarak atau ukuran tingkat aksesibilitas berupa jarak antara i-d, waktu tempuh i-d dan ongkos i-d disebut dengan hambatan i-d. K = konstanta gravitasi.

Metode ini berasumsi bahwa ciri bangkitan dan tarikan pergerakan berkaitan dengan beberapa parameter zona asal, misalnya populasi dan nilai sel MAT yang berkatian juga dengan aksesibilitas (kemudahan) sebagai fungsi jarak, waktu, atau pun biaya. Secara umum, model gravity dinyatakan dalam bentuk perssamaan sebagai berikut: (Pers 2.9) Dimana: adalah jumlah pergerakan yang berasal dari zona i dan yang berakhir di zona d. adalah konstanta yang terkait dengan setiap zona bangkitan dan tarikan, dimana konstanta ini disebut sebagai factor penyeimbang. adalah fungsi hambatan atau ukuran aksesibilitas (kemudahan) antara zona i dengan zona d. Dalam pemakaiannya, sebenarnya ada empat jenis model Gravity, yaitu antara lain: Model Tanpa Batasan (UnConstrained Gravity/UCGR) Model Dengan Satu Batasan (Single Constrain Gravity/SCGR), dengan batasan di zona asal (Production Constrain Gravity/PCGR). Model Dengan Satu Batasan (Single Constrain Gravity/SCGR), dengan batasan di zona tujuan (Atraction Constrain Gravity/ACGR). Model Dengan Dua Batasan (Double Constrain Gravity/DCGR) yaitu berupa batasan di kedua zona asal dan tujuan (Production-Atraction Constrain Gravity/PACGR) atau disebukan juga dengan model dengan batasan penuh (Full Constrain Gravity/FCGR).

II.8.1.A Model Tanpa Batasan (UnConstrained Gravity/UCGR) Model ini bersifat tanpa batasan, dimana model ini tidak diwajibkan menghasilkan total perjalanan yang sama dengan total pergerakan dari dan ke setiap zona hasil bangkitan perjalanan. Secara matematis model tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:.... (Pers 2.10) Dengan untuk seluruh i dan untuk seluruh d. Dimana: adalah jumlah pergerakan yang berasal dari zona i dan yang berakhir di zona d. adalah konstanta yang terkait dengan setiap zona bangkitan dan tarikan, dimana konstanta ini disebut sebagai faktor penyeimbang. adalah fungsi hambatan atau ukuran aksesibilitas (kemudahan) antara zona i dengan zona d. Dalam model UCGR ini, jumlah bangkitan dan tarikan yang dihasilkan tidak harus sama dengan perkiraan hasil bangkitan pergerakan. Namun, persyaratan yang perlu diperhatikan adalah total pergerakan yang dihasilkan model harus sama dengan total pergerakan yang di dapat dari hasil bangkitan pergerakan. II.8.1.B Model Dengan Batasan Di Zona Asal (Production Constrain Gravity/PCGR). Model PCGR ini menyatakan bahwa, total pergerakan orang yang pergi dari suatu zona harus sama dengan total pergerakan yang dihasilkan dengan pemodelan. Namun,tarikan pergerakan tidak harus sama. Untuk model ini

persamaan yang digunakan persis sama dengan persamaan (2.10), tetapi dengan syarat batas yang berbeda, yaitu: (Pers 2.11) Dimana: adalah jumlah pergerakan yang berasal dari zona i dan yang berakhir di zona d. adalah konstanta yang terkait dengan setiap zona bangkitan dan tarikan, dimana konstanta ini disebut sebagai faktor penyeimbang. adalah fungsi hambatan atau ukuran aksesibilitas (kemudahan) antara zona i dengan zona d. Pada model UCGR, nilai untuk seluruh i dan untuk seluruh d. Akan tetapi, dalam model PCGR nilai kontanta harus dihitung sesuai dengan persamaan (2.11) untuk setiap zona tujuan i. Konstanta ini memberikan batasan bahwa total baris dari matriks harus sama dengan total baris dari matriks hasil tahap bangkitan pergerakan. II.8.1.C Model Dengan Batasan Di Zona Tujuan (Atraction Constrain Gravity/ACGR). Model ini merupakan kebalikan dari model PCGR, yang menyatakan bahwa kita tahu jumlah arus perjalanan orang yang datang ke zona tujuan, namun tidak tahu secara pasti berapa jumlah perjalanan dari suatu zona asal. Dengan kata lain jumlah tarikan pergerakan yang didapat dengan pemodelan harus sama dengan hasil tarikan pergerakan yang diinginkan. Namun bangkitan pergerakan

yang didapat dengan pemodelan tidak harus sama. Untuk model ini persamaan yang digunakan persis sama dengan persamaan (2.10), tetapi dengan syarat batas yang berbeda, yaitu: (Pers 2.12) Dimana: adalah jumlah pergerakan yang berasal dari zona i dan yang berakhir di zona d. adalah konstanta yang terkait dengan setiap zona bangkitan dan tarikan, dimana konstanta ini disebut sebagai faktor penyeimbang. adalah fungsi hambatan atau ukuran aksesibilitas (kemudahan) antara zona i dengan zona d. Dimana dalam model ini, konstanta dihitung sesuai dengan persamaan (2.12) untuk setiap zona tujuan d. Konstanta ini memberikan batasan bahwa total kolom dari matriks harus sama dengan total kolom dari matriks hasil tahap bangkitan pergerakan. II.8.1.D Model Dengan Batasan di Zona Asal dan Tujuan (Production- Atraction Constrain Gravity/PACGR) Dalam model ini, bangkitan dan tarikan pergerakan harus selalu sama dengan yang dihasilkan oleh tahap bangkitan pergerakan. Untuk model ini persamaan yang digunakan persis sama dengan persamaan (2.10), tetapi dengan syarat batas sebagai berikut: (Pers 2.11)

(Pers 2.12) Dimana: adalah jumlah pergerakan yang berasal dari zona i dan yang berakhir di zona d. adalah konstanta yang terkait dengan setiap zona bangkitan dan tarikan, dimana konstanta ini disebut sebagai faktor penyeimbang. adalah fungsi hambatan atau ukuran aksesibilitas (kemudahan) antara zona i dengan zona d. Kedua konstanta ini menjamin bahwa total baris dan kolom dari matriks hasil pemodelan harus sama dengan total baris dan kolom dari matriks yang didapat dari hasil bangkitan pergerakan. II.8.1.E Fungsi Hambatan Dalam model gravity fungsi hambatan adalah hal yang terpenting untuk diketahui yang harus dianggap sebagai ukuran aksesibilitas (kemudahan) antar zona. Hyman (1969) menyarankan tiga jenis fungsi hambatan yang dapat digunakan dalam model gyravity, yaitu: (fungsi pangkat)... (Pers 2.13) (fungsi eksponensial-negatif)... (Pers 2.14) (fungsi tanner)..(pers 2.15) Nilai hambatan transportasi biasanya diasumsikan sebagai rute terpendek, tercepat, atau termurah (jarak, waktu, dan biaya) dari zona asal ke zona tujuan. Secara umum dengan semakin meningkatnya jarak, waktu, dan biaya maka jumlah perjalanan akan menurun. Secara umum ditemukan bahwa fungsi pangkat

lebih cocok untuk pergerakan jarak jauh, sedangkan fungsi eksponensial sering digunakan untuk pergerakan jarak pendek, dan fungsi tanner mengkombinasikan kedua faktor tersebut. Banyak peneliti berpendapat bahwa parameter fungsi hambatan dapat menggambarkan biaya rerata perjalanan di daerah kajian tersebut, semakin besar nilai, semakin kecil nilai biaya rerata perjalanan. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengkalibrasi parameter model gravity, yaitu: Metode Sederhana Metode Hyman Metode Analisis Regresi-Linear Metode Penaksiran Kuadart Terkecil Metode Penaksiran Kemiripan-Maksimum Metode Penaksiran Entropi-Maksimum II.8.1.F Metode Analisis Regresi-Linear Pada study ini, metode analisis regresi-linear digunakan untuk mengkalibrasi parameter model gravity yang merupakan suatu fungsi tidak-linear. Agar dapat menggunakan metode ini secara umum, proses transformasi linear dibutuhkan untuk mengubah fungsi tidak-linear menjadi fungsi linear. Adapun metode ini terdiri atas:

II.8.1.F.a Fungsi Hambatan Eksponensial-Negatif Dalam hal ini, model gravity berfungsi hambatan eksponensial-negatif dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:. (Pers 2.16) Persamaan (2.16) dapat disederhanakan dengan urutan penyederhanaan sebagai berikut:.(pers 2.17) [ ]... (Pers 2.18)....(Pers 2.19).....(Pers 2.20) Kemudian persamaan (2.20) ditransformasi linear. Dapat disederhanakan dan ditulis kembali sebagai persamaan linear dengan mengasumsikan dan. Dengan transformasi linear tersebut, maka dengan menggunakan analisis regresilinear, parameter A dan B dapat dihitung dan dihasilkan beberapa nilai sebagai berikut: dan dengan persamaan: ( ) ( )... (Pers 2.21).(Pers 2.22) adalah nilai rerata dari dan. Dengan nilai ditentukan sesuai dengan jenis batasan model gravity yang digunakan.

II.8.1.F.b Fungsi Hambatan Pangkat Dalam hal ini, model gravity yang mempunyai fungsi hambatan pangkat dapat dinyatakan sebagai persamaan berikut:.... (Pers 2.23) Sama dengan model gravity berfungsi hambatan eksponensial-negatif, persamaan (3.13) dapat disederhanakan dengan urutan penyederhanaan seperti berikut:...(pers 2.24) [ ].. (Pers 2.25)....(Pers 2.26)...(Pers 2.27) Dengan melakukan transformasi linear, persamaan (2.27) dapat disederhanakan dan ditulis kembali sebagai persamaan linear dengan mengasumsikan dan. Dengan transformasi linear tersebut, maka dengan menggunakan analisis regresilinear (persamaan 2.21 dan 2.22), parameter A dan B dapat dihitung dan dihasilkan beberapa nilai sebagai berikut: dan. Dengan nilai ditentukan sesuai dengan jenis batasan model gravity yang digunakan. II.8.1.F.c Fungsi Hambatan Tanner Dalam hal ini, model gravity berfungsi hambatan tanner dapat dinyatakan sebagai persamaan berikut:.. (Pers 2.28)

Persamaan tersebut dapat disederhanakan dengan urutan penyederhanaan seperti berikut:.....(pers 2.29) ( ) [ ]. (Pers 2.30)..(Pers 2.31)...(Pers 2.32) Dengan melakukan transformasi linear, persamaan (2.32) dapat disederhanakan dan ditulis kembali sebagai persamaan linear dengan mengasumsikan dan. Maka dengan menggunakan analisis regresi-linear (persamaan 2.21 dan 2.22), parameter A dan B dapat dihitung dan dihasilkan beberapa nilai sebagai berikut: dan. Dengan nilai ditentukan sesuai dengan jenis batasan model gravity yang digunakan. II.8.2 Model Opportunity (O) Model ini dapat dikembangkan untuk menampung lebih dari satu jenis pergerakan dan juga dapat digunakan untuk pemodelan pergerakan barang. Model opportunity ini walaupun jarang digunakan, namun model ini merupakan alternative model gravity.

II.8.3 Model Gravity-Opportunity (GO) Dalam model ini diasumsikan bahwa setiap pergerakan yang ada akan mempertimbangkan setiap kesempatan yang ada secara berurutan dan mempunyai peluang tertentu yang kebutuhannya terpenuhi.