OP-003 PENERAPAN KONSEP PERMUKIMAN HIJAU PADA PERMUKIMAN DI WILAYAH DAS KRUENG MEUREUDU UNTUK MITIGASI BANJIR

dokumen-dokumen yang mirip
PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS. 4.1 ANALISIS FUNGSIONAL a) Organisasi Ruang

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

BAB IV KONSEP DAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS PERMUKIMAN KUMUH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

BAB I KONDISI PINGGIRAN SUNGAI DELI

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

TINJAUAN BENCANA SITU GINTUNG DARI SUDUT PANDANG PENATAAN RUANG

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA. Keserasian Kawasan. Perumahan. Pemukiman. Pedoman.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yaitu rumah sebagai unit hunian tunggal

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1991 TENTANG SUNGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

BANJIR (PENGERTIAN PENYEBAB, DAMPAK DAN USAHA PENANGGULANGANNYA)

4/12/2009. Water Related Problems?

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I KONDISI KAWASAN DALAM BEBERAPA ASPEK. kepada permukiman dengan kepadatan bangunan tinggi, dan permukiman ini

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

PP 35/1991, SUNGAI... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 35 TAHUN 1991 (35/1991)

PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

SISTEM SANITASI DAN DRAINASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Pengelolaan sumber daya air adalah

ARAHAN PENATAAN KAWASAN TEPIAN SUNGAI KANDILO KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASIR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik

ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH

Kata Pengantar. Yogyakarta, Desember Tim Penyusun. Buku Materi Teknis Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi BWP Sedayui

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan.

PEDOMAN PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (Permen PU 06/2007)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN I - 1

DINAS PENGAIRAN Kabupaten Malang Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB VI RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Tabel 2.1 : Visi Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Jaya. Visi Sanitasi Kabupaten

Transkripsi:

OP-003 PENERAPAN KONSEP PERMUKIMAN HIJAU PADA PERMUKIMAN DI WILAYAH DAS KRUENG MEUREUDU UNTUK MITIGASI BANJIR Mirza Irwansyah, Cut Nursaniah, Laila Qadri Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala ABSTRAK Kota Meureudu Kabupaten pidie Jaya, merupakan salah satu Kota Kabupaten yang rawan banjir di Provinsi Aceh. Terdapat dua Kecamatan di Kota Meureudu yang menjadi langganan banjir, yaitu Kecamatan Meureudu dan Kecamatan Meunasah Balek. Banjir menyebabkan terhambatnya pembangunan di Kota itu bahkan menimbulkan kerusakan yang tidak sedikit kerugiannya. Hal ini disebabkan karena permukiman di kedua kecamatan tersebut terletak di area bantaran sungai Krueng Meureudu dengan topografi yang sangat rendah (dataran/landai). Kelayakan permukiman di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Meureudu perlu dievaluasi kembali berdasarkan prinsip permukiman hijau, karena banjir telah terjadi berulangkali. Kondisi topografi DAS Krueng Meureudu yang berisi permukiman merupakan titik-titik cekungan sehingga air sungi yang meluap melewati tanggul sukar kembali ke sungai. Dengan demikian, banjir akan terjadi beberapa hari di Kota Meureudu, terutama di kawasan permukiman. Untuk mengantisipasi kondisi banjir yang akan datang, maka kajian ini bertujuan untuk mempertimbangkan desain hunian dan lingkungan yang adaptif dengan banjir untuk mengurangi dampak kerusakan hunian. Masyarakat yang bermukim di dataran DAS ini tidak semena-mena harus direlokasi karena mereka telah menempati kawasan tersebut sejak awal. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Wilayah yang menjadi objek kajian adalah permukiman di Kecamatan Meunasah Balek yang merupakan permukiman nelayan. Hasil kajian menunjukkan bahwa lahan perumahan cenderung berada di atas lahan yang lembab dan berair, sangat minim Ruang Terbuka Hijau (RTH) karena tidak memperhatikan sempadan bangunan. Sebaiknya dikembangkan rumah dengan model bentuk panggung, harus memperhatikan sempadan bangunan dan jarak antar bangunan, dan perbaikan RTH8 Kata Kunci: Permukiman hijau, DAS Krueng Meureudu, Mitigasi Banjir, Ruang Terbuka Hijau 1. PENDAHULUAN Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk kawasan rawan bencana. Salah satu jenis bencana yang akhir-akhir ini rutin melanda Aceh adalah banjir bandang (berdasarkan RTRWA 2012-2032). Beberapa tahun terakhir banyak daerah di Aceh yang mengalami banjir bandang dan tanah longsor pada saat terjadi intensitas curah hujan yang tinggi. Banjir berulang terjadi di Kota Meureudu (Ibukota Kabupaten Pidie Jaya) pada tanggal 20 Desember Tahun 2009, disusul banjir luapan yang terjadi pada 28 Desember 2013, dan 21 November 2014. Bencana ini menimbulkan kerusakan lingkungan, infrastruktur dan korban jiwa yang melumpuhkan kehidupan masyarakat yang bertempat tinggal dan hidup di kawasan ini. Kondisi ini menyebabkan terhambatnya berbagai aktifitas perekonomian dan transportasi yang berdampak pada kerugian yang nilainya sangat besar. Penyebabnya di mulai dari rusaknya lingkungan di wilayah hulu, pembangunan permukiman yang sembarangan, berkurangnya daerah resapan air, buruknya sistem drainase, dan perilaku masyarakat terhadap sungai dan sempadan sungai yang dapat mengakibatkan penyempitan, sedimentasi, dan penurunan kualitas air. Pembangunan yang tidak terpadu selama ini telah mengakibatkan perubahan drastis negatif terhadap kondisi lingkungan sumber daya alam Sungai Krueng Meureudu. Kawasan permukiman di wilayah DAS Krueng Meureudu tumbuh secara sporadic, sehingga berakibat tidak terbentuknya pola permukiman yang tertib yang berakibat pada tidak idealnya jalur sirkulasi di dalam lingkungan permukiman dan di sepanjang tanggul DAS yang berakibat kurang terawatnya sungai, tidak idealnya infrastruktur di lingkungan permukiman (riol) untuk aliran drainase, tidak tersedianya ruang terbuka hijau yang memadai di sepanjang DAS, dan tidak adaptifnya keberadaan hunian (baik konstruksi, jarak) sebagai bentuk mitigasi banjir, dan belum adanya sistem peringatan terhadap banjir dan sistem evakuasinya. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan tepian Sungai Krueng Meureudu, maka harus mengupayakan mewujudkan permukiman hijau dengan lebih memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalam menertibkan perumahan di kawasan tersebut. Menurut Kiran Curtis (dalam principle dari KCA Architect) pada kompetisi flood proof houses yang diadakan oleh Norwich dan RIBA, menjelaskan bahwa strategi pendekatan untuk desain pada area dengan resiko banjir dapat menggunakan salah satu dari empat metode yaitu: 1. Rumah dengan rekayasa elevasi. Prinsip ini serupa dengan rumah panggung 2. Rumah apung atau amphibious. Rumah ini merupakan adopsi dari sifat apung dari teknologi nautika kapal dan perahu/rakit sederhana. 3. Rumah dengan dry flood proofing atau dengan pertahanan terhadap intervensi banjir (resilient). Pada dasarnya bagian luar rumah berfungsi sebagai penahan aliran air agar tidak masuk ke 15

bagian fungsional rumah. Aspek struktur dan kekuatan material sangat penting di sini. 4. Rumah dengan wet flood proofing yang tidak masalah walaupun diintervensi oleh banjir. Ini adalah skema yang fleksibel dengan menggunakan rumah lebih dari satu lantai. Sederhanannya, ketika banjir lantai dasar tidak dimanfaatkan/ mati. Untuk sementara kegiatan masih dapat berlangsung di lantai atasnya. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian berlokasi di bagian permukiman kota lama Meureudu, tepatnya di Gampong Meunasah Balek yang berakhir ke arah muara. Batas wilayah studi Gambar 1. Peta Kawasan studi Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu metode yang digunakan dalam mengumpulkan informasi tentang keadaan yang sedang berlangsung pada saat itu. Bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan yang ada pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab akibat melalui identifikasi dari gejala yang ada pada permasalahan. Pemilihan dan penataan komponen fungsional (sebagai kawasan segmental) pada segmen atau penggal Sungai Krueng Meureudu yang mendukung perilaku-kebiasaan (behavioral setting sebagai wadah sosio-kultural) masyarakat sekitarnya yang mendukung potensi kegiatan dan lingkungan sekitarnya (rekreasi, perdagangan, tranportasi air dan wisata budaya). Pengolahan site tapak yang tepat dengan memanfaatkan potensi, mengoptimalkan ruang terbuka dan kebebasan sirkulasi serta memperhatikan faktor-faktor yang datang dari dalam dan lingkungan sehingga mendukung tujuan perencanaan dan fungsi bangunan. Kegiatan tahap eksplorasi melakukan pengumpulan data: 1). dengan cara observasi dan survey ke lapangan (Observasi dan survey eksisting site, Survey mengenai tata bangunan, infrastruktur yang terkait dengan mitigasi banhjir, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). 2). Wawancara (mengenai historis kota dan sosial budaya masyarakat), dan studi literatur (literatur yang mendukung tinjauan mengenai konsep rancang bangun, literatur yang menunjang pembahasan secara arsitektural, hasil penelitian kebencanaan banjir terhadap kawasan, dan Peraturan daerah yang terangkum dalam RTRW Pidie Jaya dan RDTR Kota Meureudu. Data yang telah dikelompokkan tersebut dipaparkan melalui tinjauan mengenai mitigasi banjir, dan ekologis lingkungan. Tahap Konsepsi dilakukan pengolahan data dan menganalisa data dengan metode kualitatif. Selanjutnya dirumuskan konsep-konsep dasar perencanaan dan rekomendasi penanganan kawasan permukiman untuk perbaikan ruang dan mengantisipasi banjir. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kondisi DAS Krueng Meureudu Kawasan Perkotaan Meureudu di Kabupaten Pidie Jaya tergolong kota menengah yang sedang tumbuh, dengan fungsi yang akan dikembangkan sebagai pusat pemerintahan kabupaten, kegiatan pariwisata, pusat perdagangan/jasa dan kota perlintasan/penghubung. Topografi lokasi studi berupa dataran landai dengan ketinggian antara 2-5 m dpl, memiliki klasifikasi kelerengan < 8%. Diukur dari ketinggian sungai yakni sekitar -0,5-1 meter, berarti ada sebagian lokasi permukiman berada di bawah level permukaan air sungai dan hanya dibatasi oleh tanggul. Hal ini disebabkan beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan ketinggian permukaan sungai yang akibatnya jika intensitas air hujan cukup tinggi dan luapan air melampaui tanggul maka langsung terjadi banjir pada kawasan permukiman tersebut. Kondisi sungai sudah cukup baik dengan lebar 20-30 meter dengan tingkat kedalaman sungai berkisar 5-8 meter. Di sepanjang sisi sungai telah dibangun tanggul dengan tinggi 1 meter, bermaterial beton rabat dan batu gajah. Jarak sempadan sungai tidak memenuhi standar/sangat minim yakni 0-2 meter, dimana hampir sepanjang badan sungai langsung berbatasan dengan dinding bangunan hunian. Sebagian area sempadan menjadi tempat beternak, teras rumah, tempat parkir motor, kakus/mck, tempat buang sampah dan lain-lain. Hal ini menyebabkan area sempadan sebagai pengaman sungai dan pelindung kawasan permukiman tidak ada lagi. Berdasarkan RDTRK Kota Meureudu 2014-2034, Sungai Krueng Meureudu termasuk sungai bertanggul di dalam kawasan kota yang harus memiliki sempadan minimal 5 meter di sepanjang kaki tanggul sebelah luar. 16

Gambar 2. Kondisi DAS Sungai Krueng Meureudu 3.2 Kondisi permukiman DAS Permukiman yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Gampong Meunasah Balek merupakan permukiman yang sudah lama terbentuk meskipun berada di daerah yang tidak boleh dibangun. Permukiman ini sebagian berada di area sempadan sungai, area yang rawan mengalami musibah banjir luapan air sungai dan banjir bandang akibat rusaknnya kawasan DAS di daerah hulu. Kawasan ini tidak dapat lagi berfungsi maksimal sebagai penahan gerusan dan luapan air sungai, namun area pinggiran sungai ini telah dibangun tanggul batu oleh Pemerintah Aceh yang diharapkan dapat menahan gerusan pada badan sungai dan luapan air sungai. Area sempadan sungai harus tetap dipertahankan sesuai dengan RDTR ibukota Meureudu dan dilengkapi jalur hijau dan jalan inspeksi yang dapat meningkatkan kualitas ruang kawasan. Permukiman pada kawasan merupakan hunian dengan kepadatan sedang. Pertambahan penduduk dan perkembangan aktifitas masyarakat memicu pembangunan fisik kawasan, meningkatkan jumlah hunian yang dibangun untuk mengakomodasinya. Hunian merupakan bangunan tunggal dengan pola bangunan menyebar dan cenderung berorientasi mengikuti grid jalan. Sedangkan bangunan yang berada di tepian perairan, cenderung berorientasi membelakangi sungai. 3.3 Tata bangunan Bentuk hunian masyarakat di sepanjang tepian sungai krueng Meureudu terdiri dari sistem rumah urug dan sistem rumah panggung. Sistem rumah urug, merupakan sistem peninggian permukaan lantai dengan melakukan pengurugan material. Sistem ini yang banyak dilakukan oleh masyarakat setempat disaat merenovasi huniannya yang terkena imbas banjir, karena dirasakan lebih mudah dalam pengerjaannya. Sistem rumah panggung, mempunyai bidang lantai yang terangkat yang ketinggiannya dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan mudah dibungkar pasang. Sistem rumah urug dan sistem panggung banyak dijumpai di tepian sungai, mengingat kondisi kawasan yang sering terkena bahaya banjir dan limpasan air sungai. Gambar 3. Jenis Konstruksi Rumah Masyarakat Sarana perumahan di Gampong Meunasah Balek sebarannya mengelompok di depan dekat dengan jalur jalan (Ribbon Style). Kepadatan bangunan perumahan pada lokasi studi sedang, namun posisi dan orientasi bangunan tidak jelas karena berkembang secara organik dan bersifat informal. Gambar 4. Orientasi Bangunan tidak jelas Jarak antar bangunan perumahan cukup dekat, dengan jarak antar bangunan sekitar 0-1 meter. Kepadatan bangunan menyebabkan hilangnya area resapan air dan ruang-ruang terbuka hijau pada kawasan serta tidak adanya jalur-jalur evakuasi bencana banjir. Pemanfaatan lahan dengan memaksimalkan bangunan akan mengakibatkan semakin besarnya pengaruh bangunan terhadap lingkungannya. Zona permukiman cenderung berada di atas tanah yang lembab dan berair. Perumahan masyarakat sekitar cenderung membelakangi sungai dan belum memanfaatkan kawasan DAS sebagai area yang memiliki potensi view dan wisata yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan ekonomi setempat. Gambar 5. Jarak Antar Rumah Penduduk Terlalu Rapat, Tidak Memperhatikan Sempadan Bangunan Perkembangan daerah tepian sungai sebagai area permukiman membawa dampak pada penurunan fungsi dari tepian sungai sebagai penahan dan resapan air. Tidak memadainya sistem drainase serta berkurangnya area resapan akibat pertumbuhan permukiman yang tidak terkendali merupakan penyebab sering terjadinya banjir. Musibah banjir bandang dan limpasan air sungai pada kawasan permukiman menjadi ancaman kawasan yang hampir sering terjadi. 17

Hunian kumuh dengan sampah buangan Jalan inspeksi yg sempit dan belum menerus Area bahaya limpasan air sungai Gambar 6. Kondisi permukiman di tepian sungai Oleh karena itu, harus diupayakan kembali kawasan lapang dan penghijauan sehingga terciptanya kawasan permukiman yang berwawasan lingkungan. Kawasan permukiman masyarakat yang cenderung berkembang di sepanjang tepian sungai Krueng Meureudu harus ditata kembali dengan mempertimbangkan area bebas bangunan pada area sempadan sungai dan berpedoman pada RDTR Ibukota Meureudu serta kebijakan Pemda Pidie Jaya. Bentukan dan penyesuaian dari hunian di area yang sering mengalami banjir, biasanya terjadi sebagai tindakan yang terpaksa harus dilakukan. Keterpaksaan yang terjadi dapat menjadi inspirasi penanganan desain yang lebih baik. Ketersediaan ruang terbuka hijau di kawasan DAS yang sekarang dipenuhi oleh bangunan dan infrastruktur harus diupayakan kembali menjadi permukiman hijau sebagai langkah perbaikan lingkungan DAS ini. 3.4 Kondisi Infrastruktur Sistem hunian dg peninggian lantai (urug) Sebagai pengaman sungai telah dibangun tanggul di sepanjang DAS hingga ke muara dengan material beton rabat (non bronjong) dan batu gajah, ketinggian sekitar 1 meter. Kondisi tanggul yang dibangun dalam keadaan baik, namun jalan inspeksi yang seharusnya mengikuti tanggul tidak menerus karena terpenggal oleh keberadaan bangunan pada posisi tanggul. Jalan inspeksi memiliki lebar 1-3 meter sehingga hanya bisa diakses oleh kendaraan roda 2 dan satu mobil, itupun hanya separuh jalan. Akibat kondisi ini manfaat tanggul sebagai pengaman sempadan sungai menjadi kurang. Dapat diusulkan replotting lahan untuk bangunan yang sudah sangat tidak layak bangun di area sempadan sungai agar dapat dibangun ruang-ruang terbuka hijau sepanjang sisi sungai dengan konsep Riverfront/ Waterfront Settlement. Gambar 7. Jalan Inspeksi Tidak Menerus di Sepanjang Tepi Sungai Saluran drainase juga terdapat pada sejumlah titik lokasi dengan dimensi saluran yang bervariasi: tinggi 30-40 cm, lebar atas-bawah 20-30 cm, material beton dan kondisi sebagian tidak berfungsi karena sudah tertutup sedimen tanah, rumput, sampah, dialih fungsi menjadi tempat parkir, teras, dan lain-lain. Sistem sirkulasi tidak memadai. Jalan utama pada lokasi studi memiliki lebar 3-6 meter sehingga bisa diakses oleh 2 mobil pada sejumlah ruas jalan tertentu. Untuk jalan lingkungan/lorong, lebar sekitar 1-2 meter. Hal ini menyulitkan untuk sistem evakuasi warga ketika bencana banjir terjadi. Material jalan pada jalan utama permukiman dengan lebar 6 meter adalah aspal, sedangkan untuk jalan lingkungan/lorong adalah paving dan sebagian masih berupa tanah yang dipadatkan. Gambar 8. Kondisi jalan utama dan jalan lingkungan pada permukiman Sistem penanda atau rambu-rambu mitigasi bencana belum terdapat di lokasi studi. Sesuai standar untuk kawasan permukiman rawan bencana, seharusnya dibangun rambu-rambu penanda untuk orientasi lingkungan dan evakuasi bencana agar meminimalisir kerugian jiwa dan material. Rambu-rambu mitigasi bencana antara lain berupa papan informasi jalur evakuasi, tanda-tanda larangan bahaya, pos pemantau ketinggian air sungai dan lain-lain. Prosentase lahan terbangun dan tidak terbangun adalah 90:10. Artinya bahwa ketersediaan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau sangat minim. 10% yang tidak terbangun meliputi jalan, sempadan sungai dan tamantaman di halaman rumah. 18

3.5 Pengembangan Permukiman DAS Sektor penting yang berpengaruh dalam konsep permukiman hijau adalah pelestarian lingkungan agar permukiman berkelanjutan. Rumah berperan sebagai alat untuk mencapai kenyamanan fisik dan kesehatan penghuni. Pengembangan kualitas ruang kawasan dilakukan dengan meninjau kebijakan dan peraturan kawasan berupa RTRW kabupaten Pidie Jaya dan RDTR Ibukota Kecamatan Meureudu. Permasalahan yang terdapat pada kawasan antara lain: 1. Zona permukiman merupakan daerah aliran sungai (DAS) yang berfungsi sebagai zona sempadan sungai dan jalur penyanggah. 2. Kawasan Gampong Meunasah Balek ini merupakan kawasan yang rawan bencana luapan air sungai dan banjir bandang. Pada kawasan ini dapat dilakukan pengembangan terbatas dengan tetap mempertimbangkan ketentuan mitigasi bencana. Pengembangan kawasan harus disertai dengan upaya untuk mengurangi dampak akibat bencana. 3. Pengembangan kawasan terbangun dilakukan pada lahan daratan, sementara lahan perairan tetap pada pemanfaatan sebelumnya dengan peningkatan kualita ruang. 4. Pengembangan kawasan harus sesuai dengan budaya dan norma adat istiadat setempat. Beberapa pemanfaatan kawasan yang dapat dikembangkan sebagai berikut: 1. Pemanfaatan kembali area sempadan sungai sesuai RDTR ibukota Meureudu dengan penyediaan jalan inspeksi dan jalur hijau di sepanjang sungai Kreung Meureudu, untuk kemudahan perawatan dan perlindungan daerah aliran sungai. Disamping itu juga untuk memberikan kenyamanan, kemudahan menikmati view, dan kemudahan pencapaian ke area pemukimam dan pantai. 2. Kondisi lingkungan hunian yang cenderung lembab dan berair, berpotensi untuk dikembangkan sebagai lingkungan hunian dengan konsep bangunan panggung yang memanfaatkan area kolong untuk pengamanan dari genangan limpasan air sungai dan peresapan disaat banjir dan sebagai area taman dan publik disaat kering. dan 3. Penataan hunian di tepian sungai dengan memanfaatkan sungai sebagai orientasi bangunan. Pengendalian pengembangan kawasan dengan mempertimbangkan orientasi hunian ke perairan sebagai respon terhadap lingkungan agar dapat memperkuat kawasan DAS sebagai kawasan tepi air. Bentukan bangunan dengan sistem panggung atau urug diharapkan dapat mengantisipasi hunian dari musibah banjir/limpasan air sungai. Perkerasan permukaan tanah harus mempertimbangkan aspek penyerapan air hujan dan banjir dengan menggunakan material berpori, seperti conblock dan grassblock. Sementara itu Penyediaan jalan inspeksi di sepanjang sungai memberikan kemudahan perawatan sungai dan akses ke tepian perairan, sebagai mitigasi bencana dan peningkatan view kawasan. Pembinaan pada masyarakat juga harus dilakukan agar masyarakat dapat lebih menghargai sungai sebagai orientasi dan jalur sirkulasi nelayan, serta memanfaatkan kawasan DAS sungai sebagai ruang yang berkualitas. Disamping itu pemerintah setempat harus dapat menciptakan kerjasama yang baik dengan swasta dan masyarakat dalam pengelolaan kawasan. 4. KESIMPULAN Kesimpulannya antara lain: 1. Hunian berpotensi dikembangkan sebagai lingkungan perumahan dengan konsep bangunan panggung. Area kolong dapat dimanfaatkan sebagai pengamanan dari genangan limpasan air sungai disaat banjir dan sebagai area taman dan publik disaat kering. 2. Selain pengaturan sempadan, dapat pula dilakukan normalisasi sungai serta penerapan konsep riverfront/waterfront settlement. Hal ini dimaksudkan agar sungai dapat dijaga kebersihannya. Namun hal ini harus diawasi (sistem pengendalian pemanfaatan sempadan sungai harus tegas) agar tidak terjadi alih fungsi sempadan sungai. 3. Pengembalian peran Greenbelt pada Sungai Krueng Meureudu untuk memperbaiki kualitas ruang DAS agar memiliki fungsi untuk mitigasi banjir. Pembenahan wilayah pinggiran sungai dalam rangka menciptakan waterfront city, mengangkat sungai sebagai alternatif transportasi, mempertahankan sebagai kawasan lindung, meliputi greenbelt (retarding pond), rawa, irigasi teknis, dan kawasan lindung serta penguatan fungsi perkotaan ditingkatkan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti yang telah mendanai penelitian Hibah Bersaing ini. Terima kasih juga kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Syiah Kuala yang telah mengkoordinasikan penelitian di Unsyiah. DAFTAR PUSTAKA Laporan Akhir(Final Report) PenyusunanRencana Detail Tata Ruang (RDTR) Ibukota Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya Tahun 2014-2032 Mutfianti, Ririn Dina 2009, Konse Penataan Koridor Kalimas Surabaya Berdasar Potensi Roh Lokasi (spirit of Places).Jurnal IPTEKS ItatsVol 12 No.1 19

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2012-2017 Beserta Lampirannya Poedjioetami, Esti, 2008. Penataan Ulang Kawaan Bantaran sungai dengan menghadirkan sentra ekonomi dan rekreasi kota. Jurnal Rekayasa Perencanaan Vol. 4 No. 3. 20