Simulasi Dan Analisis Kebijakan

dokumen-dokumen yang mirip
Bab V Pengembangan Model

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

ANALISIS PENGARUH BESARAN PAJAK AIRTANAH TERHADAP UPAYA PEMULIHAN AIRTANAH DENGAN PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS (STUDI KASUS : CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG)

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUMBERDAYA PERTANIAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP.

4.1. PENGUMPULAN DATA

7 MODEL PENYEDIAAN AIR BERSIH PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

Gambar II.1. Illustrasi Batas-batas hidrogeologi (Anderson & Woesner, 1992, dari Distamben, 2007).

BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Bab IV Hasil Perhitungan, Analisis, dan Diskusi

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

KONSERVASI AIR TANAH MENGGUNAKAN METODA SISTEM DINAMIK (Studi Kasus: Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan)

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

Perkspektif ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertemuan ke 4

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KESEIMBANGAN SUMBERDAYA AIR

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 Tanggal : 3 November 2000

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya.

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EFISIENSI EKONOMI dan PASAR

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

CHECKLIST DOKUMEN PRASTUDI KELAYAKAN KPBU SEKTOR AIR MINUM

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 7 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENENTUAN NILAI PEROLEHAN AIR DARI PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DALAM PENGHITUNGAN PAJAK PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

commit to user BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

tokoh masyarakat. Estetika dan peningkatan pendapatan rumah tangga menjadi faktor pendorong RT lain untuk mereplikasi model.

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

BAB I PENDAHULUAN. Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu penting

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang esensial bagi kebutuhan rumah tangga, pertanian,

BAB 4 LOGICAL VALIDATION MELALUI PEMBANDINGAN DAN ANALISA HASIL SIMULASI

Transkripsi:

Bab VI. Simulasi Dan Analisis Kebijakan Dalam bab ini akan dipaparkan skenario-skenario serta analisis terhadap perilaku model dalam skenario-skenario. Model yang disimulasi dengan skenario-skenario terpilih selain ditujukan untuk memahami permasalahan yang terjadi, juga digunakan untuk melakukan prediksi ketersediaan airtanah di masa datang akibat adanya intervensi kebijakan. VI.1 Perilaku Model Pada Skenario Dasar Model dinamis yang dibangun dan telah memenuhi uji validitas dapat menggambarkan keadaan sebenarnya (real) di wilayah studi. Model itu kemudian dianggap sebagai skenario dasar, yaitu model yang belum diberi perubahan perlakuan apapun. Analisis terhadap perilaku model pada skenario dasar tanpa adanya kebijakan atau intervensi adalah upaya untuk melihat kecenderungan perkembangan perilaku variabel-variabel di masa datang. Dengan memahami kecenderungan perilaku tersebut, dapat dipahami variabel-variabel mana yang berpengaruh terhadap isu yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu keberlanjutan ketersediaan airtanah. Analisis terhadap perilaku pada skenario dasar difokuskan terhadap variabel-variabel yang merupakan indikator yang dapat menunjang dan menjadi petunjuk mengenai berhasil tidaknya suatu upaya pemulihan airtanah. Waktu awal simulasi adalah tahun 2000, ketika kebijakan pajak airtanah terhadap industri belum diterapkan. Simulasi dilanjutkan hingga tahun 2050 dengan pertimbangan bahwa proses pemulihan airtanah membutuhkan waktu yang sangat panjang sehingga rumusan kebijakan yang akan diterapkankan pun harus dapat bersifat mengatur untuk jangka waktu yang cukup panjang. Selain itu, waktu simulasi dari saat sebelum kebijakan pajak airtanah diterapkan dipilih karena peneliti ingin melihat perilaku konsumsi airtanah khususnya industri pada saat sebelum kebijakan pajak airtanah diterapkan dibandingkan dengan kondisi 76

sesudah kebijakan tersebut diterapkan. Pada dasarnya pajak airtanah diterapkan untuk membatasi konsumsi airtanah industri sehingga ketersediaan airtanah dapat terjaga. Dengan mengetahui perilaku konsumsi airtanah industri sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan airtanah dapat diketahui apakah tujuan dari kebijakan pajak airtanah tercapai atau tidak. Perilaku Pertumbuhan Populasi Dari hasil simulasi tampak bahwa penduduk mengalami peningkatan sepanjang waktu simulasi dengan jenis pertumbuhan eksponensial. Terkait dengan variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, peningkatan populasi ini disebabkan karena laju peningkatan populasi masih lebih besar dari laju depopulasi. Laju peningkatan populasi ini disebabkan antara lain karena masih tingginya daya tarik wilayah tersebut dalam menarik migrasi penduduk ke dalam wilayah studi. Daya tarik tersebut antara lain ketersediaan air masih dapat memenuhi kebutuhan air domestik dan pertumbuhan industri yang masih meningkat. Peningkatan jumlah industri ini akan membuka lapangan kerja yang akan membutuhkan tenaga kerja penduduk sebagai faktor produksi. Selain itu, ketersediaan lahan yang masih besar menjadi salah satu faktor daya tarik lahan yang turut memberikan kontribusi positif terhadap laju pertumbuhan penduduk. Gambar VI.1 Perilaku jangka panjang pertumbuhan penduduk pada skenario dasar Perilaku Pertumbuhan Industri Perilaku pertumbuhan industri menunjukkan peningkatan sepanjang waktu simulasi secara eksponensial. Peningkatan industri ini salah satunya disebabkan 77

karena suplai airtanah sebagai faktor produksi utama masih dapat memenuhi kebutuhan air industri. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pajak airtanah terhadap industri yang diterapkan sejak tahun 2003 tidak dapat memenuhi tujuannya, karena tidak berhasil membatasi konsumsi airtanah industri. Penyebab dari ketidakberhasilan kebijakan ini adalah harga air baku airtanah yang diterapkan dalam perhitungan NPA masih terlalu rendah sehingga jumlah pajak yang dibayarkan pihak industri masih terlalu murah. Suplai airtanah yang "dianggap" masih terus tersedia bagi industri, disebabkan karena pihak industri lebih memilih menambah kedalaman sumur produksinya untuk memperoleh airtanah, jika pada kedalaman airtanah sebelumnya sudah tidak diperoleh air, dengan perhitungan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk membuat sumur bor baru termasuk biaya operasional dan pemeliharaan termasuk pajak masih lebih murah dibandingkan dengan menggunakan sumber air alternatif lainnya. Padahal, secara kuantitatif jumlah cadangan airtanah terus menurun dan bukan tidak mungkin pada akhirnya kondisi cadangan airtanah tersebut tidak dapat lagi menunjang segala aktivitas manusia. Di sini tampak bahwa pemahaman dan kesadaran pihak industri terhadap permasalahan kondisi airtanah ini masih sangat kurang. Gambar VI.2 Perilaku jangka panjang industri pada skenario dasar Perilaku Ketersediaan Airtanah Kondisi ketersediaan airtanah sepanjang waktu simulasi menunjukkan kecenderungan penurunan. Penurunan tajam terjadi pada tahun awal simulasi, yaitu sekitar tahun 2000-2003 atau pada waktu sebelum diberlakukannya pajak airtanah terhadap industri. Pada tahun-tahun berikutnya kondisi ketersediaan 78

airtanah tetap menurun walapun tidak sedrastis di tahun awal simulasi. Dari perilaku ini dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan pajak airtanah mampu mengurangi laju penurunan kondisi ketersediaan airtanah, namun belum mampu membatasi konsumsi airtanah dan memperbaiki kondisi ketersediaan airtanah. Perilaku jangka panjang ketersediaan airtanah ini ditunjukan oleh Gambar VI.3 di bawah ini. Gambar VI.3 Perilaku jangka panjang ketersediaan airtanah pada skenario dasar Perilaku konsumsi airtanah oleh industri ditunjukkan pada Gambar VI.4. pada tahun awal simulasi (2000-2020) ketersediaan airtanah masih dapat memenuhi sekitar 90% kebutuhan air industri. Namun seiring dengan penurunan kondisi cadangan airtanah, mulai pada tahun 2020 hingga akhir tahun simulasi suplai airtanah sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan air industri lagi. Keadaan ini menciptakan gap kebutuhan air industri. Dalam Gambar VI.4 tampak bahwa secara keseluruhan konsumsi air industri masih mengalami peningkatan namun sudah tidak sesuai dengan kebutuhannya, hal ini ditunjukkan dengan grafik konsumsi airtanah industri berada jauh di bawah grafik kebutuhan air industrinya. 79

Gambar VI.4 Perilaku kebutuhan dan konsumsi air industri pada skenario dasar Keadaan ini dipengaruhi juga oleh adanya variabel efek ketersediaan airtanah terhadap industri, di mana ketika kondisi ketersediaan airtanah mencukupi akan dapat memenuhi kebutuhan air industri, dan sebaliknya ketika kondisi ketersediaan airtanah sudah tidak mencukupi, maka ia akan membatasi pengambilan airtanah. Kontribusi pajak airtanah terhadap upaya pemulihan airtanah ditunjukkan dengan kontribusi penambahan input airtanah dari pembangunan SRD terhadap input total airtanah. Gambar VI.5 menunjukkan perbandingan antara konsumsi airtanah industri, pengambilan airtanah dalam yang terdiri dari pengambilan airtanah oleh industri, pengambilan airtanah oleh PDAM, dan pengambilan airtanah ilegal oleh industri, serta kontribusi penambahan airtanah terhadap input airtanah melalui pembangunan SRD. Dengan nilai harga air baku (HAB) pada pajak airtanah sebesar Rp. 500,-/m 3 dan tanpa intervensi kebijakan lainnya sampai dengan akhir tahun simulasi, hasil simulasi jangka panjang menunjukkan bahwa kontribusi pertambahan airtanah dari SRD berkisar antara 0,06%-0,24%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan pajak airtanah dengan HAB Rp. 500,-/m 3 belum dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap upaya pemulihan airtanah. 80

Gambar VI.5 Perbandingan antara konsumsi airtanah industri, pengambilan airtanah dalam, dan pertambahan dari sumur resapan dalam (SRD) Perilaku Tata Guna Lahan Perilaku jangka panjang tata guna lahan menunjukkan adanya pergeseran fungsi lahan di sepanjang waktu simulasi. Pada awal tahun simulasi yaitu di sekitar tahun 2000 hingga 2010, tampak terjadi peningkatan luasan lahan kering, hal ini diakibatkan oleh adanya konversi lahan hutan dan lahan sawah menjadi lahan kering, untuk itu, tampak pula bahwa luasan lahan hutan dan lahan sawah mengalami penurunan. Setelah tahun 2010, lahan kering mengalami sedikit peningkatan kemudian menurun hingga akhir tahun simulasi. Hal ini disebabkan karena lahan kering sudah mulai terkonversi menjadi lahan terbangun seiring pula dengan peningkatan jumlah penduduk dan industri. Berbanding terbalik dengan lahan kering, lahan sawah mengalami penurunan luasan yang cukup tajam pada awal tahun simulasi, kemudian penurunan melandai sampai dengan akhir tahun simulasi. Keadaan ini cukup dipengaruhi oleh adanya variabel efek potensi lahan sawah. Efek ini muncul sebagai akibat dari semakin berkurangnya ketersediaan lahan sawah, nilai lahan sawah yang ada menjadi semakin mahal sehingga sasaran alih fungsi lahan untuk kawasan terbangun bergeser ke lahan kering Lahan hutan mengalami penurunan yang cukup landai, karena adanya kebijakan pemerintah yang memberlakukan etate tebangan untuk membatasi jumlah tebangan per tahun. 81

Sebagai konsekuensi dari pembangunan dan yang mengakibatkan adanya konversi lahan hutan, sawah dan lahan kering adalah peningkatan luasan lahan terbangun. Sepanjang tahun simulasi, luasan lahan terbangun terus mengalami peningkatan. Secara langsung, keadaan ini pun memberikan pengaruh terhadap laju input cadangan airtanah, di mana semakin besar luas lahan tebangun akan semakin meningkatkan jumlah limpasan dan di sisi lain akan mengurangi jumlah air hujan yang dapat diresapkan ke dalam lapisan tanah. Keseluruhan dinamika pergeseran fungsi lahan ini ditunjukkan oleh Gambar VI.7. Gambar VI.6 Perilaku jangka panjang perubahan lahan VI.2 Penentuan Skenario Intervensi kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya pemulihan airtanah yang ditandai dengan terjaganya stabilitas ketersediaan airtanah di wilayah Cekungan Airtanah Bandung, dapat ditempuh melalui berbagai cara, antara lain : penetapan harga air baku (HAB) yang sesuai, baik secara ekonomis, teknis maupun kesanggupan dari pihak industri selaku pembayar pajak (willingness to pay), maupun intensifikasi dari kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah seperti penghematan penggunaan airtanah industri, penertiban pengambilan airtanah dari sumur-sumur tak berijin industri, dan lain-lain. 82

Dalam analisisnya ditentukan 4 (empat) skenario yang dicobakan/disimulasikan terhadap model skenario dasar, yaitu antara lain skenario penetapan HAB, skenario penghematan penggunaan airtanah industri, skenario penertiban pengambilan airtanah dari sumur-sumur tak berijin industri, serta gabungan dari beberapa skenario untuk memperoleh kondisi yang diharapkan. 1. Skenario penetapan Harga Air Baku (HAB) optimal dalam formula NPA sebagai besaran pajak yang perlu ditetapkan terhadap industri pengguna airtanah. Skenario ini menentukan HAB optimal untuk memperoleh kondisi ketersediaan airtanah yang diharapkan. Dalam skenario ini diasumsikan bahwa upaya pemulihan airtanah hanya berasal dari pembangunan sumur-sumur resapan dalam untuk menambah input cadangan airtanah yang dialokasikan dari pajak airtanah provinsi. Skenario ini juga mengabaikan batasan-batasan willingness to pay pihak industri, sehingga akan diperoleh nilai HAB optimal untuk memulihkan kondisi ketersediaan airtanah tanpa dipengaruhi oleh kondisi-kondisi di luar HAB. Selain itu, dalam skenario ini dicobakan juga penetapan HAB yang dipengaruhi oleh efek ketersediaan air, di mana jika kondisi ketersediaan airtanah baik, maka nilai HAB akan menurun, sebaliknya jika kondisi ketersediaan airtanah menurun akan meningkatkan nilai HAB. Efek ini diformulasikan sebagai berikut : (1-efek_ketersediaan airtanah)*100 Nilai ini sebagai faktor pengali terhadap nilai HAB awal sebagai efek HAB dan ditambahkan dengan nilai HAB awal. Terakhir dalam skenario penentuan HAB ini adalah dengan menetapkan nilai HAB sama dengan tarif tertinggi yang ditetapkan PDAM bagi industri, yaitu Rp. 7550,-/m 3 dan disimulasi dengan dan tanpa pengaruh efek ketersediaan airtanah. 83

2. Skenario penghematan penggunaan airtanah industri, adalah skenario untuk mengurangi konsumsi airtanah oleh industri. Selama ini industri menggunakan 75% kebutuhan airnya dari airtanah (Ashdak, 2007), dalam skenario ini penggunaan airtanah dikurangi sebesar 50% dari kebutuhan airnya, sedangkan sisanya sebesar 50% kebutuhan air industri harus dapat dipenuhi oleh pihak industri dari penggunaan sumber-sumber air alternatif lainnya seperti air permukaan, recycling, atau reuse air sisa produksi. Pada simulasi ke depan bahkan dapat dikembangkan untuk semakin mengurangi penggunaan airtanah untuk industri dan lebih mendayagunakan penggunaan sumber air lainnya seperti air permukaan dsb. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis terhadap willingness to pay (WTP) pihak industri, maka dalam skenario ini selain disimulasi dengan menggunakan HAB dengan kondisi awal, juga akan dicobakan dengan asumsi HAB airtanah yang mampu dibayarkan oleh pihak industri adalah sebesar Rp. 7550,-/m 3 atau sama dengan tarif tertinggi PDAM yang diberlakukan untuk industri. Penggunaan dua nilai HAB ini dalam simulasi skenario kebijakan ditujukan untuk melihat seberapa besar sensitivitas dua variabel yang diujikan tersebut (HAB dan penghematan) terhadap pencapaian tujuan akhir skenario yaitu kondisi ketersediaan airtanah. 3. Skenario penertiban pengambilan airtanah dari sumur-sumur tak berijin industri, dilakukan untuk mengurangi kehilangan air tanah akibat pengambilan airtanah ilegal. Skenario ini perlu dilakukan bersama-sama dengan skenario lainnya, sebagai salah satu upaya penegakan hukum bagi industri pengguna airtanah di samping sebagai upaya pemulihan airtanah. Sama halnya dengan skenario penghematan, dalam skenario penertiban ini akan disimulasi dengan 2 alternatif nilai HAB, yaitu nilai HAB awal dan nilai HAB dengan asumsi willingness to pay industri sebesar Rp. 7550,-/m 3. 84

4. Kombinasi dari beberapa skenario untuk memperoleh kondisi pemulihan airtanah terbaik. 85

Tabel VI.1 Nilai Parameter dalam Skenario Simulasi No Parameter 1 Nilai HAB (Rp,-/m 3 ) 2 Fraksi Konsumsi Airtanah Industri 3. P e n g a m b i l a n Airtanah ilegal 4. Efek ketersediaan airtanah thd HAB Skenario Dasar 1 2 3 4 500 112000 7550 7550 7550 500 7550 1 1 0,5 1 0,5 1 1 1 0.2 0.2 Tidak ada Tidak ada Ada Ada Ada Ada Ada VI.3 Perilaku Model Pada Skenario-Skenario VI.3.1 Perilaku Model Pada Skenario HAB Skenario penyesuaian HAB ini dibentuk dalam 3 alternatif atau sub skenario. Masing-masing alternatif akan dilihat pengaruhnya terhadap issue yang menjadi tujuan penelitian ini, yaitu upaya pemulihan airtanah. Alternatif -alternatif tersebut antara lain : Sub skenario 1.a: Penentuan HAB optimal Sub skenario 1.b: Penentuan HAB dengan pengaruh efek_ketersediaan_airtanah terhadap HAB Sub skenario 1.c: Penentuan HAB sesuai dengan tarif tertinggi PDAM yang diberlakukan terhadap industri Sub skenario pertama ditujukan untuk mengetahui nilai HAB optimal yang dibutuhkan dalam formula NPA agar diperoleh kondisi ketersediaan airtanah yang diharapkan, yaitu kondisi cadangan airtanah yang stabil sehingga mampu menunjang kegiatan pembangunan, yang dicirikan dengan aktivitas manusia dan industri, secara berkelanjutan. 86

Simulasi ini dilakukan secara trial and error hingga diperoleh output yang paling optimal. Dari hasil simulasi diketahui bahwa nilai HAB yang optimal diperoleh pada nilai HAB sebesar Rp. 112.000,-/m 3. Pada Gambar VI.7, kondisi ini ditunjukkan dengan grafik (1) yang berwarna merah. Pada kondisi ini, tampak bahwa ketika kondisi cadangan airtanah stabil, jumlah input dan output airtanah adalah sama. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan HAB optimal, kondisi ketersediaan airtanah mampu mendukung proses kegiatan pembangunan secara berkesinambungan, di mana ketika penggunaan airtanah (output) meningkat, maka input akan menstabilkan kondisi ketersediaan airtanah dengan meningkatkan jumlah input ke dalam airtanah melalui teknologi SRD, dan secara hukum alam, ketersediaan airtanah yang mencukupi akan mendorong penggunaan airtanah pula, sehingga perilaku input-output ini akan cenderung meningkat. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Iskandar, 2003, bahwa makna berkelanjutan adalah terjadinya peningkatan kapasitas pasok (capacity to supply) secara terus-menerus dan sedemikian rupa sehingga kebutuhan yang dinamis (dynamic demand) dapat selalu dipenuhi. Oleh karena itu, berkelanjutan mensyaratkan adanya suatu keseimbangan/keselarasan pertumbuhan (balanced growth) antara kapasitas pasok dan kebutuhan. Keadaan ini ditunjukkan pada Gambar VI.8. Simulasi pada sub skenario kedua menghasilkan grafik (2) berwarna hijau pada Gambar VI.8. Sub skenario kedua ini menskenariokan jika HAB dipengaruhi oleh efek_ketersediaan_airtanah. Efek ini bekerja sebagai faktor pengali terhadap HAB dan sesuai dengan kondisi ketersediaan airtanah pada saat simulasi berlangsung. Efek ini diformulasikan sebagai berikut : (1-efek_ketersediaan airtanah)*100, di mana efek_ketersediaan_airtanah ini mempunyai nilai antara 0-1. Ketika kondisi ketersediaan airtanah buruk, maka nilai efek ketersediaan airtanah ini akan kecil, sehingga akan berpengaruh meningkatkan nilai HAB, sebaliknya 87

ketika kondisi ketersediaan airtanah baik, maka HAB akan stabil sesuai nilai awal yang diberikan. Pada kondisi yang diberikan pada model saat simulasi, tampak HAB terus meningkat, dan ketika cadangan airtanah semakin menurun tajam maka, nilai HAB akan meningkat tajam pula. Keadaan ini berpengaruh terhadap peningkatan NPA, mengingat biaya untuk pemulihan yang dibutuhkan pun semakin besar. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar VI.10. Gambar VI.7 Perilaku model pada skenario penyesuaian HAB 1) Sub skenario HAB Optimal 2) Sub skenario HAB dengan pengaruh efek ketersediaan airtanah 3) Sub skenario HAB Rp. 7550,-/m 3 dan pengaruh efek ketersediaan airtanah 88

Gambar VI.8 Perbandingan Input-ouput airtanah pada sub skenario HAB optimal (Rp. 112.000,-/m 3 ) Pada simulasi sub skenario kedua ini, hasil pemulihan terhadap kondisi ketersediaan airtanah masih belum seoptimal kondisi yang diperoleh pada simulasi sub skenario pertama. Ketersediaan airtanah tampak membaik dibandingkan dengan kondisi pada skenario dasar, namun, masih tetap menunjukkan penurunan hingga akhir tahun simulasi. Hal ini membuktikan bahwa output airtanah masih lebih besar dibandingkan dengan inputnya. Namun demikian, pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB ini cukup baik untuk ditetapkan dalam menentukan perkembangan nilai HAB dalam NPA, karena bersifat kontrol terhadap harga yang disesuaikan dengan kondisi ketersediaan airtanah pada waktu yang diinginkan. Dalam hasil simulasi ini, untuk memperoleh kondisi ketersediaan airtanah yang diharapkan, penerapan HAB sebesar Rp. 112.000,-/m 3 secara logika tidak akan efektif, mengingat adanya batasan kemampuan pihak industri untuk membayar pajak airtanah. Peningkatan HAB dari Rp. 500,-/m 3 menjadi Rp. 112.000,-/m 3 tentunya akan memberikan dampak terhadap keberlangsungan sektor industri, 89

yang pada akhirnya akan menimbulkan multiplayer effect yang dapat bersifat merugikan terhadap sektor lain. Pada Tabel VI.2 ditunjukkan perbandingan nilai pajak airtanah yang harus dibayarkan oleh PT. X yang menggunakan airtanah dalam sebanyak 2.581 m 3, dengan HAB awal Rp. 500,-/m 3 dan dengan HAB optimal Rp. 112.000,-/m 3. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa PT. X harus membayar pajak airtanah sebesar Rp. 1.032.668,- dengan HAB Rp. 500.-/m 3 dan melonjak menjadi Rp. 231.317.632,- pada HAB Rp. 112.000,-/m 3. Keadaan ini akan sangat mempengaruhi cost produksi industri. Untuk itu perlu dipertimbangkan nilai HAB yang dapat membatasi perilaku konsumsi airtanah industri, namun masih mampu dibayarkan oleh pihak industri. Mengingat hal tersebut, pada sub skenario ketiga, model dicoba dengan memasukkan nilai HAB sebesar Rp. 7550,-/m 3. Nilai ini adalah tarif tertinggi yang ditetapkan oleh PDAM terhadap industri dan diasumsikan sebagai batas willingness to pay pihak industri. Pada skenario ini pun disertakan pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB. Hasil simulasi pada sub skenario ketiga ini menunjukkan grafik (3) memiliki bentuk yang sama dengan grafik (2) namun berada sedikit di atas grafik yang diperoleh pada simulasi sub skenario kedua tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai HAB tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemulihan ketersediaan airtanah. 90

Tabel VI.2 Perbandingan Jumlah Pajak Airtanah Yang Harus Dibayarkan dengan Variasi Nilai HAB pada Skenario 1 HAB Rp. 500,-/m 3 HAB Rp.112.000,-/m 3 91

HAB Rp. 7550,-/m 3 Gambar VI.9 Perbandingan Input-Output Airtanah pada skenario HAB dengan Pengaruh Efek Ketersediaan Airtanah 92

Gambar VI.10 Perkembangan nilai HAB dan NPA pada skenario HAB dengan pengaruh efek ketersediaan airtanah Gambar VI.9 di atas menunjukkan bahwa pada skenario HAB dengan pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB, jumlah output masih lebih besar dari pada inputnya, sehingga secara keseluruhan tetap akan mengurangi jumlah ketersediaan airtanah yang ada. Menurunnya kondisi ketersediaan airtanah ini juga, sesuai dengan perilaku efek ketersediaan airtanah yang bersifat menyeimbangkan, akan mengakibatkan HAB meningkat, sehingga NPA akan meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin buruk kondisi ketersediaan airtanah, maka biaya yang dibutuhkan untuk upaya pemulihan airtanah akan semakin mahal (Gambar VI.10). VI.3.2 Perilaku Model Pada Skenario Penghematan Pada skenario penghematan ini, ditentukan bahwa fraksi penghematan yang dapat memberikan hasil yang optimal adalah sebesar 50% dari kebutuhan airtanah industri. Penentuan fraksi penghematan ini diperoleh dari hasil uji sensitivitas fraksi penghematan terhadap kondisi ketersediaan airtanah. Skenario ini diterapkan terhadap dua kondisi seperti yang tertera dalam tabel berikut ini ; 93

Tabel VI.3 Nilai Parameter yang digunakan dalam Skenario Penghematan No Parameter Sub Skenario 2a 2b 1. Fraksi penghematan 50% 50% 2. HAB Rp. 500,-/m3 Rp. 7550,-/m3 3. Efek ketersediaan airtanah thd HAB Tidak Ya Perilaku model pada skenario ini dapat dilihat pada Grafik di bawah ini. Gambar VI.11 Perilaku ketersediaan airtanah pada skenario penghematan airtanah industri 1) Penghematan dengan HAB initial 2) Penghematan dengan HAB Rp. 7550,-/m3 dan pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB 94

Gambar VI.12 Perbandingan Input-output pada skenario penghematan dengan pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB Gambar VI.13 Perkembangan NPA pada skenario penghematan Hasil simulasi pada skenario ini menunjukkan kondisi ketersediaan airtanah yang sesuai dengan yang diharapkan, yaitu terjaganya kestabilan kondisi ketersediaan airtanah. Simulasi penghematan dengan HAB awal Rp. 500,-/m3 dan Rp. 7550,-/m3 tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan, namun demikian, grafik pada skenario dengan HAB Rp. 7550,-/m3 sedikit memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan HAB awal. 95

Dengan tercapainya kondisi ketersediaan airtanah yang stabil, yang dicirikan dengan seimbangnya jumlah input dan output airtanah, maka upaya pemulihan airtanah sudah tidak mendesak lagi. Hal ini ditunjukkan dengan grafik perkembangan NPA pada Gambar VI.13, di mana ketika kondisi kestabilan airtanah tercapai, maka nilai NPA akan menurun. VI.3.3 Perilaku Model Pada Skenario Penertiban Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi Prov. Jawa Barat, jumlah pengambilan airtanah industri tanpa ijin (ilegal) cukup besar, yaitu sekitar 30% dari jumlah kebutuhan airtanah industri. Keadaan ini jika tidak ditindaklanjuti dengan suatu kebijakan, akan terus memberikan kontribusi negatif, baik terhadap ketersediaan airtanah maupun terhadap pola perilaku industri. Atas pertimbangan tersebut, skenario penertiban ini dibangun. Di lingkup wilayah Provinsi Jawa Barat, kebijakan penertiban pengambilan airtanah ilegal ini sudah cukup lama dilaksanakan melalui program kegiatan penertiban, dengan sasaran perlehan per tahunnya mencapai 80% - 100%. Gambar VI.14 Perilaku ketersediaan airtanah pada skenario penertiban 96

Hasil simulasi pada skenario penertiban ini menunjukkan bahwa dengan adanya pengurangan jumlah pengambilan airtanah ilegal sebesar 80% per tahunnya dapat memberikan perbaikan, yaitu mengurangi jumlah pengambilan airtanah hingga 1,46 juta m 3 /tahun. Namun demikian peningkatan jumlah ketersediaan airtanah ini belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan, di mana jumlah output airtanah masih lebih besar daripada inputnya (Gambar VI.15). Gambar VI.15 Perbandingan input-output airtanah pada skenario penertiban Keadaan yang ditunjukkan dari simulasi pada skenario penertiban ini masih belum memenuhi kondisi yang diharapkan, oleh karena itu skenario ini perlu dijalankan bersama-sama dengan skenario yang lainnya untuk memperoleh suatu rumusan kebijakan yang optimal. VI.3.4 Perilaku Model Pada Skenario Kombinasi Setelah memperhatikan perilaku-perilaku model pada skenario-skenario yang diujikan, dapat dirumuskan suatu rangkaian kebijakan yang dapat diterapkan untuk memperoleh kondisi yang diharapkan. Dalam skenario ini, dicoba untuk menggabungkan beberapa skenario dalam kebijakan penetapan HAB, penghematan maupun penertiban. Parameter yang digunakan dalam skenario ini antara lain : 97

Tabel VI.3 Nilai Parameter yang digunakan dalam Skenario Kombinasi No Parameter Nilai 1. HAB Rp. 7550,-/m 3 2. Fraksi Penghematan 50% 3. Fraksi Penertiban 80% 4. Pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB Ya Nilai pemulihan airtanah yang diterapkan melalui HAB optimal sebesar Rp. 112.000,-/m 3 tidak digunakan dalam skenario ini, dengan pertimbangan adanya batasan willingness to pay pihak industri yang diasumsikan sebesar Rp. 7550,-/m 3 atau sama dengan tarif tertinggi yang diberlakukan PDAM terhadap industri. Hasil simulasi berupa grafik dari HAB Rp. 7550,-/m 3 dan adanya pengaruh efek ketersediaan airtanah, menunjukkan adanya peningkatan kondisi ketersediaan airtanah. Kebijakan pajak airtanah yang diterapkan terhadap industri dipandang perlu diberlakukan untuk membatasi perilaku industri dalam mengkonsumsi airtanah dan untuk memenuhi prinsip "barangsiapa yang melakukan kerusakan lingkungan dia yang harus membayar dampak dari kerusakan tersebut". Salah satu hasil simulasi terbaik adalah skenario penghematan, di mana pada skenario ini kondisi ketersediaan airtanah yang diharapkan sudah tercapai. Keadaan ini menunjukkan bahwa penghematan airtanah atau pembatasan jumlah konsumsi airtanah dari kebutuhan industri sebesar 50% mampu memberikan perbaikan yang signifikan terhadap kondisi ketersediaan airtanah. 98

Gambar VI.16 Perilaku ketersediaan airtanah pada skenario kombinasi Sesuai dengan yang telah disampaikan sebelumnya, sama halnya dengan penerapan pajak airtanah, penerapan kebijakan penertiban juga didasari oleh pertimbangan untuk mengubah perlaku industri. Hasil simulasi dari skenario gabungan ini menunjukan kondisi yang diharapkan, yaitu ketersediaan airtanah yang stabil. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan airtanah dengan menggabungkan beberapa skenario tersebut dapat memberikan hasil yang optimal. 99