BAB I PENDAHULUAN. bidang aspek ketatanegaraan. Amademen terhadap UUD 1945 menjadi momok

dokumen-dokumen yang mirip
Pasal 18 UUD 49 dan Pasal 18, 18A dan B (Amandemen) Harsanto Nursadi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. bentuk negara kesatuan ini maka penyelenggaraan pemerintahan pada prinsipnya

BAB I PENDAHULUAN. suatu kota, terutama kota besar yang memiliki banyak aktivitas dan banyak

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. kecamatan (Widjaya, HAW 2008: 164). Secara administratif desa berada di

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

SKRIPSI. Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

I. PENDAHULUAN. hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan yang berbentuk Republik. Penyelenggaraan pemerintahan daerah. pemerintahan terendah di bawah pemerintah Kabupaten/ Kota.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah yang dilaksanakan dalam Negara kesatuan Republik

Program Kekhususan HUKUM TATA NEGARA

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

DESA. Dari Modul Kuliah SPL Aan Eko Widiarto, SH. MHum.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PENGATURAN KEWENANGAN DESA DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, maupun kemasyarakatan maupun tugas-tugas pembantuan yang

-2- Dengan Persetujuan Bersama

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 16/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG KERJASAMA DESA

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

Lex Administratum, Vol. III/No.2/April/2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 25 TAHUN 2006 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR,

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BAB I PENDAHULUAN. yang diyakini mampu memberikan nafas segar dari keterpurukan politik

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia. kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

KEDUDUKAN DAN PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN SUKOHARJO T E S I S

TESIS. FUNGSI DAN PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PEMERINTAHAN DESA (Studi Di Kabupaten Kupang) OLEH : OTNIEL BOBSUNI NIM :

BAB I. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh. lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2006 /02/2005 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 23 TAHUN 2006 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR,

PEMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pandangan Umum Terhadap Konsep Otonomi Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia

KERJA SAMA DESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Daerah memegang peranan yang sangat penting dalam

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

HUBUNGAN DAN PERAN SERTA BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DAN PEMERINTAH DESA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG KERJASAMA ANTAR DESA DAN KERJASAMA DESA DENGAN PIHAK KETIGA

BUPATI BULELENG PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI BULELENG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BUOL

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BAB I PENDAHULUAN. territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende

CATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA.

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KERJASAMA ANTAR DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum tentang Desa dan Kedudukannya. kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN DESA ELFANUN KECAMATAN PULAU GEBE KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I

I. PENDAHULUAN. Kedudukan desa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diakui sebagai

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 44 TAHUN 2017 T E N T A N G

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah atau wilayah provinsi dan setiap daerah atau wilayah provinsi terdiri atas

I. PENDAHULUAN. Otonomi daerah di Indonesia saat ini di dasarkan pada Undang-Undang

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN KERJASAMA ANTAR DESA DAN KERJASAMA DESA DENGAN PIHAK KETIGA

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN,

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG MONOGRAFI DESA DAN KELURAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB III JENIS PENGHASILAN DAN TUNJANGAN KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA Bagian Kesatu Rincian Jenis Penghasilan. Pasal 3

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARO NOMOR 06 TAHUN 2008 T E N T A N G PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

MEMUTUSKAN: BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam hukum yang hidup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN BERSAMA KEPALA DESA DESA BUNGUR DAN DESA NGUMBUL NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG KERJASAMA PEMANFAATAN SUMBER AIR BERSIH DUSUN BANDARANGIN

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH : Sistem Pemerintahan Desa

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 12 TAHUN 2002 BANTUAN PEMERINTAH DAERAH KEPADA DESA BUPATI BANGKA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah era reformasi berbagai perubahan telah dilakukan di dalam berbagai bidang aspek ketatanegaraan. Amademen terhadap UUD 1945 menjadi momok terhadap perubahan yang mendasar dalam proses menuju negara demokratis yang di cita-citakan. Sebagai dasar hukum atas hukum hukum yang berlaku di Indonesia, dengan terjadinya amandemen terhadap UUD 1945 mengakibatkan perubahan terjadi di segala aspek ketatanegaraan. Berbagai pasal dalam UUD 1945 yang dirasakan tidak sesuai dengan cita cita reformasi diamandemen, baik direvisi, di tambah atau bahkan dicabut. Salah satu pasal yang terkena amandemen adalah Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 18 ditetapkan antara lain: Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenshappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena didaerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar

2 permusyawaratan. Negara Indonesia merupakan suatu eenheidsstaat (negara kesatuan), maka Indonesia tidak akan mempunyai Daerah dalam lingkungan yang bersifat staat (negara) juga. Pasal ini menjadi payung hukum bagi pelaksanaan sistem desentralisasi yang lebih dikenal masyarakat sebagai otonomi daerah. Dasar di terapkannya otonomi disebabkan campur tangan pemerintah pusat yang terlalu jauh dalam kewenangan rumah tangga pemerintah daerah selama masa orde baru berlangsung. Hal ini mengakibatkan terjadinya berbagai kekurangpuasan daerah akibat dari ketidakmerataan pembangunan, keterlambatan dalam segala bidang kehidupan di daerah karena harus menunggu keputusan dari pusat terhadap segala permasalahan yang muncul. Pada masa orde barupun, pemerintah menerapkan berbagai penyeragaman dalam berbagai hal seperti nama pedesaan dimana semua pedesaan di seluruh Nusantara dinamakan dengan desa seperti di Pulau Jawa (padahal di tempat lain dikenal dengan Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, dan lain-lain). Mengutip tulisan Dian Sudiono (Beratha, 1928:28) menyebutkan bahwa: Istilah desa tidak dipakai di seluruh daerah di Indonesia, masing-masing daerah menggunakan istilah sendiri-sendiri sesuai bahasa daerahnya sebagai contoh di Aceh memakai nama Gampong atau Meunasah, di Batak menyebutnya Huta atau Kuta, di Minangkabau menyebutnya Nagari, di Sumatera bagian Timur menyebutnya Mendopo atau Marga, di lampung menyebutnya Dusun atau Tiuh, di Minahasa menyebutnya Wanua, di Ujung Pandang menyebutnya Gaukang, dan banyak lagi istilah lainnya. Penerapan otonomi daerah dengan payung hukum Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengatur kewenangan daerah dari mulai pemerintah tingkat I (Provinsi) dan Pemerintanh Tingkat II (Kabupaten / Kota)

3 termasuk desa sebagai lembaga pemerintahan terkecil di bawahnya. Akan tetapi untuk pemerintahan desa, kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa diharapkan pemerintah Desa dalam menjalankan pemerintahannya bisa lebih baik lagi dari sebelumnya. Akan tetapi kurangnya sosialisasi di awal diberlakukannya, menurut perangkat Desa Neglasari bahwa mereka belum dapat sepenuhnya melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa termasuk didalamnya tentang peran BPD dalam salah satu fungsinya bersamasama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Hal ini dikarenakan mereka belum sepenuhnya memahami maksud dari Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa ini. Istilah lembaga yang dikenal dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di tiap tiap Desa atau sebutan lain bagi desa memiliki istilah yang berbeda.. BPD memiliki fungsi legislasi atas fungsi eksekutif yang di miliki oleh Pemerintah Desa. Hal ini di karenakan BPD lebih berfungsi dalam menetapkan Peraturan Desa (Perdes) bersama sama dengan Pemerintah Desa. Undang Undang mengamanatkan BPD untuk dapat berperan besar menurut fungsinya sekaligus sebagai mitra bagi pemerintah desa sehingga di harapkan mampu mendorong dan mengawasi jalannya pemerintahan Desa serta bersama sama dalam memajukan Desa.

4 Menurut pengamatan penulis pada tiga desa yang berbeda yaitu hasil pra observasi di satu desa dari tiga desa tersebut, menemukan fakta diantaranya bahwa Pemerintah Desa belum memperoleh sosialisasi yang maksimal tentang Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah, serta fakta yang sama tentang BPD, yaitu kurang maksimalnya fungsi dari BPD seperti apa yang seharusnya menurut Peraturan Pemerintah. Hal ini lebih dikarenakan oleh kesibukan para anggota BPD (termasuk ketua di dalamnya) yang nota bene masing masing telah memiliki pekerjaan (mata pencaharian) tetap sebelum diangkat menjadi anggota BPD. Kesibukan inilah yang menjadikan para anggota BPD sedikit banyak tersita waktu mereka untuk kesibukannya masing masing sementara kesempatan untuk menjalankan tugas sebagai anggota BPD begitu kurang. Hal ini tentu saja berbeda dengan pemerintah Desa yang lebih fokus terhadap tugasnya karena memang jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa adalah pekerjaan mereka sehingga dapat bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal. Sementara itu karena sosialisasi terhadap Peraturan Pemerintah yang baru masih terhambat maka berpengaruh pada berbagai hal program kerja seperti dalam pembentukan BPD. Sesuai amanat Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005: Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masalah ini menimbulkan dampak negatif bagi kemajuan desa, terutama terkait dengan tugas BPD dalam menetapkan Peraturan Desa bersama sama dengan

5 Pemerintah Desa. Betapa tidak, BPD dapat memberikan kontribusi yang berarti melalui pemikiran dan ide ide yang berakar dari aspirasi masyarakat Desa. Setiap Desa secara otomatis memerlukan Peraturan Desa sebagai payung hukum dalam melaksanakan setiap kebijakan Pemerintahan Desa. Peraturan Desa harus mendapatkan persetujuan dari BPD sebelum di tetapkan. Meskipun dalam kenyataan di temukan berbagai masalah yang saling berkaitan, namun Pemerintah Desa dan BPD harus tetap menjalankan aturan yang telah ditetapkan. Mekanisme penyusunan Peraturan desa harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa sebagai payung hukumnya, dimana Peraturan Daerah (Perda) yang akan menjadi penjabarannya. Melihat data data dan fakta fakta yang telah penulis uraikan, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti proses penyusunan Peraturan Desa di tengah tengah permasalahan yang telah diungkapkan tersebut untuk dicari jawabannya atas pertanyaan ; langkah seperti apa yang ditempuh oleh pemerintah desa bersama sama dengan BPD agar penyusunan Peraturan Desa (Perdes) dapat terlaksana dan memenuhi syarat syarat yang telah di tetapkan menurut payung hukumnya. Maka dari itu penulis akan melakukan penelitian sebagai bahan penyusunan skripsi dengan judul : Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa (Studi Deskriptif Analitis Di Desa Neglasari Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung).

6 B. Fokus Penelitian Peneletian ini memfokuskan pada masalah Bagaimanakah proses penyusunan Peraturan Desa di Desa Neglasari Kecamatan Banjaran menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa?. Berdasarkan latar belakang masalah diatas dan untuk membatasi studi agar tujuan dapat dicapai sesuai dengan sasaran dan untuk mempermudah penelitian penulis membatasi masalah yang akan dibahas, yaitu: 1. Apakah dalam penyusunan Peraturan Desa di Desa Neglasari Kecamatan Banjaran telah sesuai dengan peraturan perundangan sebagai payung hukumnya? 2. Bagaimanakah tata cara atau mekanisme penyusunan peraturan desa Neglasari Kecamatan Banjaran menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa? 3. Kendala-kendala apakah yang muncul dalam proses penyusunan peraturan desa di Desa Neglasari Kecamatan Banjaran? 4. Bagaimanakah upaya yang dilakukan Pemerintah Desa maupun BPD desa Neglasari Kecamatan Banjaran untuk menyelesaikan kendala-kendala yang muncul dalam proses penyusunan Peraturan Desa?

7 C. Tujuan Penelitian Tujuan umum dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penyusunan Peraturan Desa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah penyusunan peraturan desa di Desa Banjaran telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Untuk mengetahui bagaimana tata cara atau mekanisme penyusunan peraturan desa. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang muncul dalam proses penyusunan peraturan desa. 4. Untuk mengetahui upaya penyelesaian terhadap kendala-kendala yang muncul. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan keilmuan pada umumnya dan khususnya bagi ilmu hukum tata negara dan ilmu pemerintahan daerah.

8 2. Secara praktis a. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai mekanisme penyusunan peraturan desa. b. Memberikan sumbangan pemikiran baik secara khusus maupun secara umum kepada Pemerintah Desa dan BPD dalam menjalankan kinerjanya. E. Batasan Istilah Untuk menghindari kesalah pahaman dalam penafsiran istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka akan dijelaskan beberapa istilah tersebut. Adapun istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Desa Menurut Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, yaitu : Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa berdasarkan Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, yaitu: Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

9 2. Peraturan Desa Peraturan Desa adalah semua peraturan desa yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dimusyawarahkan dan telah mendapatkan persetujuan Badan Perwakilan Desa. (HAW. Widjaja, 2003: 94). 3. Undang-Undang Undang-Undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. (Kansil, 1989: 46). Undang-Undang adalah suatu bentuk Peraturan perundangan yang diadakan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar atau Ketetapan MPR. (Kansil, 1989: 55). 4. Pemerintah Daerah Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, yaitu: Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Selanjutnya yang dimaksud dengan Pemerintahan daerah menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, yaitu: Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10 5. Badan Permusyawaratan Desa Badan Permusyawaratan Desa menurut Penjelasan Pasal 1 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005: Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah desa. F. Metodologi Penelitian. 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis, merupakan penelitian deskriftif analitis yaitu menggambarkan secara sistematis fakta-fakta yang menyangkut masalah mengenai mekanisme penyusunan peraturan desa di desa Banjaran. 2. Metode Pendekatan Menurut Dian S. (Ali, 1984:54) menuliskan bahwa metode penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh pengetahuan atau memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, karena dipergunakan untuk meneliti kejadian-kejadian yang sedang berlangsung dan berhubungan dengan kondisi saat ini. 3. Tahap Penelitian Penelitian ditekankan kepada data sekunder atau data kepustakaan sesuai dengan sifat yuridis-normatif yang akan ditunjang oleh wawancara. Dengan demikian maka penelitian dilakukan melalui tahap:

11 a. Orientasi dan memperoleh gambaran umum b. Eksploitasi fokus atau masalah dan analisis data c. Tahap pengecekan hasil penelitian (prosedur Member Check.1) 4. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik: a. Studi Dokumen adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrif, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti dan sebagainya. Dian S. (Arikunto, 1993:202). b. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. (Moleong, 1988:183) c. Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap objek penelitian. Dengan observasi kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial yang sulit diperoleh dengan metode lainnya. Dian S. (nasution, 1988:122). 5. Analisis data Data hasil temuan atau penelitian yang diperoleh penulis, dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu mengelompokkan masalah-masalah yang ada sehingga tidak menggunakan rumus matematis dan statistik.

12 Bodgan dan Taylor (1975 : 5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa: kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. G. Subjek dan Lokasi Penelitian Dalam tulisan Diah S.(Suharsimi: 96:114), Subjek penelitian adalah orang yang dapat merespon atau menjawab dan memberikan informasi tentang pertanyaanpertanyaan dari penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Desa, Sekertaris Desa, Aparat Perangkat Desa, BPD serta tokoh masyarakat yang terlibat dalam proses penyusunan peraturan desa di Desa Neglasari dengan jumlah sesuai dengan yang diwawancarai. Adapun lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Lingkungan Kantor Pemerintahan Desa Neglasari Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung.