PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Desa, sebagai wilayah pemukiman penduduk yang mempunyai pemerintahan sendiri pertama kali ditemukan di daerah-daerah pesisir Pulau Jawa oleh bangsa Belanda. Padanan untuk desa di luar Pulau Jawa dikenal pula dengan istilah yang berbeda. Di Sumatera Barat misalnya disebut nagari, di Sumatera Selatan disebut mendopo atau marga, di Aceh disebut gampong dan meunasah untuk daerah hukum yang paling bawah, di Batak disebut kuta, uta atau huta, di Makasar disebut gaukang, di Bugis disebut matoa, di Minahasa disebut wanua, di Maluku disebut negorij, dan di daerah Lampung disebut dusun atau tiuh (Saparin, 1979; Beratha, 1982; Kartohadikoesoemo, 1984; Surianingrat, 1985; Sastramihardja, 1987). Penataan desa-desa dan padanan desa tersebut di atas secara legal formal oleh pemerintah kolonial Belanda dimulai dengan dikeluarkannya ketentuan yang dikenal dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO), dan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengeswesten (IGOB). IGO, staatsblad tahun 1906 No. 8, merupakan peraturan tentang pemerintahan dan rumah tangga desa untuk Pulau Jawa dan Madura, dan IGOB, staatsblad tahun 1938 No. 683 merupakan peraturan pemerintahan desa untuk luar Pulau Jawa dan Madura. Dengan keluarnya kedua ketentuan ini, maka dalam rangka perundang-undangan, pemerintahan desa sebagai pemerintahan yang paling bawah dianggap sah sebagai badan hukum dan disahkan sebagai penerus dari sistem pemerintahan pusat (pemerintahan kolonial Belanda). Setelah kemerdekaan, kedua ketentuan mengenai desa yang bersifat kolonial itu dinilai oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) mempunyai banyak kelemahan dan perlu segera direvisi atau diganti. Slamet (1965) misalnya, dalam tulisannya mengemukakan bahwa IGO dan IGOB tidak mempunyai manfaat apapun juga dengan persoalan pembangunan masyarakat desa, kurang memperhitungkan kekhususan daerah, dan cenderung menyuburkan pemerintahan yang kurang demokratis.

2 2 Untuk keperluan itu, kemudian lahir Undang-Undang No.22 Tahun 1948 yang mengatur pembagian daerah dan masing-masingnya berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pembagian daerah menurut undang-undang ini dibagi atas 3 (tiga) tingkat, yaitu; propinsi sebagai daerah tingkat teratas, kabupaten atau kota besar sebagai daerah tingkat tengah, dan desa, kota kecil, negeri, marga dan sebagainya sebagai daerah tingkat terbawah atau merupakan daerah tingkat tiga. Namun, dengan berbagai hambatan, upaya untuk mewujudkan daerah tingkat tiga tetap belum menjadi kenyataan hingga terbentuknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah, yang membedakan pemerintah daerah atas 3 (tiga) tingkat, yaitu; Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa bila belum dapat dibentuk tiga tingkat daerah maka untuk sementara dibentuk terlebih dahulu dua tingkat daerah saja (Sastramihardja, 1987). Hampir delapan tahun berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, ternyata Daerah Tingkat III tetap saja tidak dapat dibentuk hingga dikeluarkannya Undang- Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja pada tanggal 1 September Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tetap membagi daerah menjadi tiga tingkat, sedangkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 bermaksud menggantikan peraturanperaturan yang bersifat kolonial dan memberikan suatu bentuk bagi Desa di Indonesia agar dapat dibentuk Daerah Otonom Tingkat III. Sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menegaskan perlunya memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif, sementara masih tertunda berlakunya Undang-Undang No. 19 tahun 1965 tentang Desapraja, yang dengan sendirinya berarti IGO dan IGOB dan peraturanperaturan lainnya yang berhubungan dengan itu masih dipergunakan dalam

3 3 melaksanakan pemerintahan desa, maka pada tanggal 1 Desember 1979 diundangkanlah Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UUPD). UUPD ini merupakan sebagai pengganti Undang-Undang No. 19 tahun 1965 tentang Desapraja, dan segala ketentuan yang bertentangan dan atau tidak sesuai dengan UUPD (Kansil, 1988; Sastramihardja, 1987). Di Provinsi Sumatera Barat, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 itu, maka terjadilah peralihan kedudukan pemerintahan terendah, yaitu dari pemerintahan nagari ke pemerintahan desa dan/atau kelurahan. Peralihan ini berarti bahwa pemerintahan nagari bukan lagi merupakan lembaga pemerintahan terendah langsung di bawah Camat karena yang dijadikan setingkat desa ketika itu adalah jorong atau kampung, yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari. Pelaksanaan peralihan ini dilakukan dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 162/GSB/1983, yang berisikan tentang penghapusan pemerintahan nagari selaku unit pemerintahan terendah di bawah Camat dan diganti dengan pemerintahan desa. Dengan demikian, jumlah unit pemerintahan terendah di Provinsi Sumatera Barat menjadi membengkak, yakni dari 543 nagari berubah menjadi desa dan 406 kelurahan. (Biro Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Propinsi Sumatera Barat, 2000). Nagari kemudian bukan lagi sebagai unit pemerintahan terendah tetapi semata-mata merupakan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Fungsi nagari dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan Kerapatan Adat Nagari (KAN) berdasarkan azas musyawarah dan mufakat menurut alur dan patut sepanjang tidak bertentangan dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah untuk kepentingan ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat nagari yang bersangkutan (Sayuti, 1991). Sejalan dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, di era reformasi, pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (perubahannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) sebagai pengganti Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang No.5 tahun 1979

4 4 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 secara gamblang memberi peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk menyesuaikan bentuk dan susunan pemerintahan desa berdasarkan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Dalam pasal 93 ayat 1 Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tersebut (dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 terdapat pada pasal 200), dijelaskan bahwa desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat. Dalam penjelasan pasal 93 itu dirumuskan bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, seperti; nagari, kampung, huta, bori, dan marga. Sejak dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999 itu, isu mengenai pembentukan pemerintahan nagari yang dulunya sudah pernah ada dan telah mengakar di dalam masyarakat Minangkabau mulai mengemuka kembali, tidak hanya di dalam tetapi juga di luar Provinsi Sumatera Barat, terutama oleh masyarakat perantau. Untuk menemukan solusinya, dilakukanlah berbagai kegiatan, seperti; seminar, pengkajian lapangan, dan pertemuan-pertemuan tokoh masyarakat, baik di dalam maupun di luar Provinsi Sumatera Barat, yang diprakarsai dan difasilitasi sendiri oleh Pemda setempat. Hasil dari berbagai kegiatan ini kemudian Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat memutuskan dengan mencanangkan untuk kembali ke nagari. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Perda ini selanjutnya dijadikan sebagai pedoman pokok atau sebagai arahan (guidelines) bagi Pemerintah Kabupaten dalam rangka pengaturan tentang perubahan pemerintahan desa ke pemerintahan nagari. Dengan diberlakukannya Perda ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat dan peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi.

5 5 Diakui memang, bahwa keberadaan pemerintahan desa atau pemerintahan nagari sebagai pemerintahan paling depan adalah sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Ia tidak hanya berfungsi untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat, melainkan juga berkaitan dengan pencapaian pelbagai kebutuhan masyarakat desa yang bersangkutan (Rahardjo, 1999). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemerintahan desa atau pemerintahan nagari merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Senada dengan itu, Surianingrat (1985) mengemukakan bahwa pemerintah adalah sekelompok individu yang mempunyai dan melaksanakan wewenang yang sah dan melindungi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui perbuatan dan pelaksanaan berbagai keputusan. Keputusan yang dibuat dan dilaksanakan dapat berupa peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan membina seluruh kehidupan masyarakat. Kemudian, Syafiie (1991) menyebutkan bahwa pemerintahan (bestuur) merupakan sebagai keseluruhan badan pemerintah dan kegiatannya yang langsung berhubungan dengan usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat. Demikian pula Rasyid (2000:13), dalam tulisannya mengemukakan bahwa tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban, di mana masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pada bagian lain disebutkan bahwa pemerintah adalah untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Oleh karena itu, pemerintah semestinya mampu "membaca" kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi itu, sehingga kesejahteraan masyarakat lebih meningkat. Untuk masa mendatang, pemerintahan desa atau pemerintahan nagari sebagai ujung tombak dan motor penggerak pembangunan di pedesaan (rural development) tampaknya masih akan menjadi agenda penting. Hal ini paling tidak didasari oleh 3 (tiga) alasan, yaitu; 1) bagian terbesar penduduk berdomisili di daerah pedesaan dengan kondisi sosial-ekonomi yang masih memprihatinkan, 2) perkembangan pembangunan

6 6 daerah pedesaan masih tertinggal dibandingkan dengan daerah perkotaan, dan 3) dalam pembangunan, masyarakat pedesaan belum mampu menunjukkan prakarsa yang berarti (Ndraha, 1990; Usman, 1998). Dengan demikian, mengingat begitu pentingnya kedudukan dan fungsi pemerintahan desa dan/atau pemerintahan nagari sebagai pemerintahan terdepan yang banyak mengetahui perihal kehidupan warganya, maka pembangunan masyarakat pedesaan hendaklah sejalan dengan pembangunan pranata pemerintahannya. Menurut Saparin (1986), gerakan pembangunan masyarakat pedesaan yang perlu mendapat perhatian meliputi bidang supra struktur dan bidang infra struktur. Bidang supra struktur antara lain meliputi; pembangunan pemerintahan desa, mental spritual, dan sosial budaya. Sedangkan bidang infra struktur meliputi; pembangunan fisik atau prasarana perekonomian, perindustrian dan kesejahteraan. Demikian pula Perserikatan Bangsa- Bangsa (Sanders, 1958; Dahama and Bhatnagar, 1980), dalam sebuah laporannya menyatakan bahwa salah satu prinsip pembangunan masyarakat adalah merevitalisasi pemerintahan "lokal" bila pemerintahan itu belum berfungsi secara efektif dalam rangka meningkatkan dan memperbaiki partisipasi orang-orang dalam suatu komunitas. Dengan demikian, membangun masyarakat desa dan/atau masyarakat nagari dapat dilakukan dengan merevitalisasi pemerintahannya. Masalah Penelitian Pemerintahan nagari merupakan organisasi atau lembaga sosial-politik tertinggi yang sudah ada jauh sebelum masuknya sistem kolonial Belanda atau bangsa Eropa lainnya ke daerah Sumatera Barat. Lembaga pemerintahan ini seakan-akan merupakan republik-republik kecil yang lengkap dengan alat pemerintahannya. Republik-republik ini diperintah oleh sebuah badan yang dinamakan dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Anggota-anggota kerapatan adat ini terdiri dari penghulu-penghulu suku dan kepala-kepala kaum yang komposisi dan jumlahnya disesuaikan dengan tradisi adat masing-masing nagari. Pemeritahan nagari ini dulunya berjalan sangat baik, demokratis dan tidak dapat disalahgunakan. Kesempatan anggota untuk menyeleweng (sebut saja:

7 7 KKN) sangatlah sedikit sekali karena adanya kontrol langsung oleh rakyat melalui penghulu-penghulu mereka (Amran, 1981; Manan, 1984; Naim, 1984; Manan, 1995; Yakub, 1989; Sayuti, 1991; Noor, 2000). Namun, sejalan dengan perkembangan peta sosial politik serta perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan, baik di zaman pemerintahan kolonial Belanda maupun pasca kemerdekaan Negara Republik Indonesia, sistem pemerintahan nagari sebagai bentuk pemerintahan terendah di Sumatera Barat ikut pula berubah. Akibat dari perubahan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung, pemerintahan kurang dapat berjalan dengan baik dan kinerja pemerintahanpun cenderung mengalami penurunan, terutama sangat dirasakan sekali pada priode pasca pemerintahan desa. Pelayanan terhadap masyarakat misalnya cenderung makin terabaikan, inisiatif atau prakarsa aparatur pemerintahan desa untuk membangun masyarakatnya makin berkurang, dan semangat bernagari tampak makin luntur. Dari hasil penelitian Manan (1995) dan Zakaria (2000) misalnya, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pemerintahan desa tidak dapat berfungsi dengan efektif sebagai pengganti pemerintahan nagari. Persoalan lembaga pemerintahan memang menarik untuk dikaji ulang, terutama dalam kaitannya dengan perubahan dan meningkatnya harapan atau tuntutan masyarakat terhadap karya lembaga pemerintahan tersebut. Hidayat dan Sucherly (1986), dalam tulisannya mengemukakan bahwa pada umumnya organisasi pemerintah sering menghadapi tiga masalah, yakni; kurang efektif, inefisien, dan mutu pelayanan yang "kurang." Bila ketiga aspek ini menurut Hidayat dan Sucherly tidak cepat teratasi, maka lambat laun ia akan menjadi "penyakit organisasi" yang bersifat kronis. Dengan terbukanya peluang untuk menata kembali pemerintahan desa sebagaimana dituangkan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (perubahannya lihat UU No.32 Tahun 2004) dan dengan berbagai pertimbangan lainnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kemudian mencanangkan untuk kembali ke nagari, yang ditandai dengan dikeluarkannya Perda No. 9 Tahun 2000 tentang

8 8 Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Meskipun di saat itu di kalangan masyarakat masih ada pro dan kontra, namun proses peralihan dari pemerintahan desa ke pemerintahan nagari dapat berlangsung dengan alot. Sampai dengan bulan Agustus 2001 misalnya, sebanyak 198 buah nagari atau sekitar 40 persen dari 493 yang akan dibentuk di 9 (sembilan) kabupaten telah selesai dilantik oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk (Biro Pemerintahan Nagari/Kelurahan, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Barat, 2001). Dari gambaran perkembangan pemerintahan nagari tersebut di atas, ada sejumlah pertanyaan menarik, yang dirumuskan sebagai masalah dalam penelitian ini. Pertanyaan-pertanyaan dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perjalanan atau kronologis pemerintahan nagari sebelum dicanangkannya untuk kembali ke nagari yang ditandai dengan dikeluarkannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari? 2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan nagari tersebut pada waktu itu? 3. Sudah sejauh mana kinerja pelayanan pemerintahan nagari yang ada dewasa ini? 4. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi mutu kinerja pelayanan pemerintahan nagari dewasa ini? 5. Bagaimana model revitalisasi pemerintahan nagari agar kedepan mampu memberikan pelayanan guna peningkatkan kesejahteraan masyarakat nagari yang bersangkutan? 6. Strategi yang bagaimana yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu kinerja pelayanan pemerintahan nagari ke depan? Tujuan Penelitian

9 9 Berdasarkan permasalahan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan model revitalisasi pemerintahan nagari serta merumuskan strategi untuk peningkatkan mutu layanan pemerintahan nagari tersebut kepada masyarakat. Secara rinci, tujuan penelitian tersebut dirumuskan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kronologis pemerintahan nagari sebelum diberlakukannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pemerintahan nagari serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pemerintahan pada waktu itu. 2. Mengungkapkan mutu kinerja pelayanan pemerintahan nagari dewasa ini serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja pelayanan tersebut. 3. Menyusun model revitalisasi pemerintahan nagari serta merumuskan strategi peningkatkan mutu pelayanan pemerintahan nagari. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai nilai guna dalam rangka pembuatan kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan halhal sebagai berikut: 1. Dengan diketahuinya kronologis pemerintahan nagari sebelum dikeluarkannya Perda No.9 Tahun 2000 serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pemerintahan tersebut pada waktu itu, mutu kinerja pemerintahan nagari dewasa ini serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, model revitalisasi pemerintahan nagari, dan strategi peningkatan mutu layanan, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dalam rangka menyegarkan dan membangun kembali pemerintahan nagari yang efektif, yaitu pemerintahan nagari yang mampu memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. 2. Studi tentang lembaga pemerintahan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam rangka pemberdayaan (empowerment) lembaga pemerintahan nagari atau

10 10 pemerintahan yang setara dengan itu dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat desa (rural community development) pada umumnya.