STRUKTUR POPULASI Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) PADA BEBERAPA TIPE LANSEKAP DI SUMATERA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
ARTIKEL PENELITIAN HIBAH BERSAING XIII TAHUN II/2006

KAJIAN PARASITOID: Eriborus Argenteopilosus Cameron (Hymenoptera : Ichneumonidae) PADA Spodoptera. Litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae)

Kelimpahan Populasi Parasitoid Sturmia Sp. (Diptera: Tachinidae) Pada Crocidolomia pavonana

Pengaruh Instar Larva Inang Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) terhadap Keberhasilan Hidup

SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

Nila Wardani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Abstrak

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

PENGARUH SUHU DAN KERAPATAN INANG TERHADAP SUPERPARASISTISME OLEH ERIBORUS ARGENTEOPILOSUS: IMPLIKASI BAGI PENGENDALIAN HAYATI

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PARASITOID UNTUK PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMAN KEHUTANAN

Pengaruh Pakan terhadap Lama Hidup dan Kebugaran Imago Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae)

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kumpulan Artikel Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

DAMAYANTI BUCHOR1, ERNA DWI HERAWATI, ADHA SARI. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

ANALISIS MUTU PARASITOID TELUR Trichogrammatidae (Quality assessment of Trichogrammatid) DAMAYANTI BUCHORI BANDUNG SAHARI ADHA SARI

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2012

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Pakan Pembiakan Serangga Uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae

Tanggap Fungsional Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) terhadap Crocidolomia pavonana (Fabricius) pada Suhu yang Berbeda

TINJAUAN PUSTAKA. Parasitoid

PARASITISASI DAN KAPASITAS REPRODUKSI COTESIA FLAVIPES CAMERON (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) PADA INANG DAN INSTAR YANG BERBEDA DI LABORATORIUM

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

EKSPLORASI PARASITOID TELUR Plutella xylostella PADA PERTANAMAN KUBIS Brassica oleracea DI DAERAH MALANG DAN KOTA BATU ABSTRACT

Struktur Komunitas Hama Pemakan Daun Kubis dan Investigasi Musuh Alaminya

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

EVALUASI TINGKAT PARASITISASI PARASITOID TELUR DAN LARVA TERHADAP PLUTELLA XYLOSTELLA L. (LEPIDOPTERA: YPONOMEUTIDAE) PADA TANAMAN KUBIS-KUBISAN

AUGMENTASI DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN PARASITOID : ANALISIS EKOLOGI AGROEKOSISTEM UNTUK. Damayanti Buchori, IPB Nurindah, BALITTAS

BAB I PENDAHULUAN. Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Jurusan Proteksi Tanaman

Endang Sulismini A

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Karangploso,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

PENGELOLAAN HAMA SECARA HAYATI Oleh : Awaluddin (Widyaiswara)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica

Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

SPESIES, PERBANDINGAN KELAMIN, DAN CIRI MORFOLOGI PENGGEREK POLONG KEDELAI Etiella sp., DI KEBUN PERCOBAAN NGALE

Hidrayani dan Yulmira Yanti 2

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

BAB VII SINTESIS Strategi Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

Pengaruh lama ketiadaan inang terhadap kapasitas reproduksi parasitoid Snellenius manilae Ashmead (Hymenoptera: Braconidae)

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Komponen Bioaktif, Jurusan

PREFERENSI OVIPOSISI Plutella xylostella (Linn.) (LEPIDOPTERA : PLUTELLIDAE) PADA TANAMAN BRASSICACEAE. Debi Diana Sari

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Yati Setiati, Neneng Hayatul Mutmainah, M. Subandi. Jurusan Agroteknologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

BAHAN DAN METODE. = pengamatan minggu kedua = Pengamatan minggu berikutnya

BAHAN DAN METODE. Gambar 2 Mikroskop video Nikon SMZ-10A (a), dan Alat perekam Sony BLV ED100 VHS (b)

TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID TELUR Trichogramma pretiosum Riley terhadap TELUR INANG Corcyra cephalonica Stainton pada PERTANAMAN KEDELAI

TEKNIK PENDUKUNG DITEMUKANNYA PURUN TIKUS (ELEOCHARIS DULCIS) SEBAGAI INANG ALTERNATIF BAGI HAMA PENGGEREK BATANG PADI PUTIH (SCIRPOPHAGA INNOTATA)

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

METODE PENELITIAN. Penelitian evaluasi ketahanan beberapa aksesi bunga matahari (Halianthus

BAHAN DAN METODE. Faktor II (lama penyinaran) : T 0 = 15 menit T 1 = 25 menit T 2 = 35 menit

Manfaat NPV Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)

Keanekaragaman dan Parasitasi Parasitoid Telur Walang Sangit pada Lanskap Pertanian Berbeda di Lombok Timur

BAHAN DAN METODE. Pestisida, Medan Sumut dan Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Medan

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

BAB III METODE PENELITIAN

RINGKASAN DAN SUMMARY

Markamah, G Pengaruh Pola Ketiadaan Inang Terhadap Ekologi Reproduksi Snellenius manilae ASHMEAD (Hymenoptera : Braconidae)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siti Herlinda Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Inderalaya

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan Metode Penyiapan suspensi Sl NPV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parasitoid E. argenteopilosus sebagai Agens Pengendali Hayati Hama H. armigera, S. litura, dan C. pavonana pada Tumpangsari Tomat dan Brokoli

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

KAJIAN TOKSISITAS EKSTRAK DAUN MINT (Mentha arvensis L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT KROP KUBIS (Crocidolomia pavonana F.)

Sari M. D. Panggabean, Maryani Cyccu Tobing*, Lahmuddin Lubis

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

H. armigera. Berdasarkan pengaruh ketiga faktor lingkungan tersebut, pada

LAPORAN AKHIR HIBAH FUNDAMENTAL. POTENSI PARASITOID Diadegma DAN PREDATOR Sycanus DALAM PENGENDALIAN HAMA PEMAKAN DAUN KUBIS DI DAERAH BALI

I. PENDAHULUAN. hama dapat berupa penurunan jumlah produksi dan penurunan mutu produksi.

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN INANG PADA SUHU RENDAH TERHADAP PREFERENSI SERTA KESESUAIAN INANG BAGI

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 di Laboratorium. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Penyiapan Tanaman Media Uji

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas buah-buahan Indonesia harus diperhatikan seiring dengan

Transkripsi:

STRUKTUR POPULASI Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) PADA BEBERAPA TIPE LANSEKAP DI SUMATERA BARAT Novri Nelly 1) dan Yaherwandi 2) 1) Staf pengajar Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. 2) Kampus Unand Limau Manis Padang, 25163 ABSTRAK Struktur populasi parasitoid Eriborus argenteopilosus pada beberapa tipe lanskap di daerah Sumatera Barat perlu dipelajari untuk mengetahui potensi dan dalam usaha peningkatan kinerjanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur populasi E. argenteopilosus dari daerah geografi dan struktur lanskap berbeda berdasarkan kebugaran dan karakter molekuler. Pengambilan sampel dilakukan pada lanskap yang berbeda di lahan petani daerah Alahan Panjang yaitu daerah sayuran dataran tinggi dengan pertanaman monokultur, dan Aia Angek daerah sayuran dataran tinggi dengan pertanaman polikultur. Untuk pengambilan sampel parasitoid digunakan jaring serangga (insect net) dan mengumpulkan larva inang. Studi tingkat kebugaran parasitoid dilakukan di laboratorium menggunakan S. litura sebagai serangga inang. Analisis keragaman genetik E. argeteopilosus dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Pengembangan Keragaman Genetik Pertanian dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPN6 (GAGACGCACA) dan OPN2 (GGTGCTCCGT). Hasil pengamatan tingkat kebugaran berupa lama hidup, parasitoid asal Alahan Panjang lebih lama dibandingkan asal Aia angek. Akan tetapi kemampuan memarasit, serta jumlah telur yang diletakkan lebih tinggi pada parasitoid asal populasi Aia Angek. Hasil analisis keragaman genetik E. argeteopilosus memperlihatkan perbedaan. Polimorphisme DNA populasi E. argenteopilosus menggunakan primer OPN6 lebih tinggi daripada OPN2. Struktur populasi parasitoid ini menunjukan perbedaan di antara kedua daerah yang berbeda, artinya struktur populasi E. argenteopilosus di Sumatera Barat terdiri dari populasi-populasi lokal. Untuk manfaatkan parasitoid ini perlu kajian lebih lanjut terutama untuk konservasi di lapangan. Kata kunci : E. argenteopilosus, lanskap berbeda, struktur populasi. PENDAHULUAN Eriborus argenteopilosus termasuk ordo Hymenoptera, famili Ichneumonidae, dulunya dikenal dengan nama Inareolata sp (Hadi, 1985). Nama Eriborus argenteopilosus Cameron, adalah berdasarkan hasil identifikasi oleh CAB International Cameron Institute of Entomology London pada tahun 1998 (Sahari, 1999). E. argenteopilosus bisa menyerang larva C. binotalis (Hadi, 1985), Helicoverva armigera dan Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) (Kalshoven, 1981). Disamping itu menurut Tewari dan Sardana (1987) parasitoid ini juga bisa menyerang Leuconodes orbonalis (Guen) (Lepidoptera: Pyralidae). Parasitoid E. argenteopilosus belum banyak digunakan sebagai agens pengendali hayati, meskipun parasitoid ini dapat menyerang beberapa jenis serangga hama sebagai inangnya. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain belum banyak informasi tentang keberadaannya di lapangan dan struktur populasinya. Keberadaan parasitoid ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, yaitu pola budidaya termasuk cara pengendalian hama. Penggunaan insektisida sebagai pengendali hama suatu yang sudah umum dilakukan oleh petani. Aplikasi pestisida secara umum diketahui mengakibatkan dampak negatif seperti pencemaran lingkungan dan hilangnya musuh alami. Modifikasi lansekap agroekeosistem dengan tujuan untuk meningkatkan produksi juga mempengaruhi keberadaan musuh alami seperti parasitoid. Modifikasi yang diarahkan pada sistem monokultur ternyata menurunkan keefektifan parasitoid, karena parasitoid kehilangan habitat (Flint & Van den Bosch 1981; Altieri & Nicholls 23), dan sumber kehidupannya (Kruess & Tscharnke 1994; Fabian et al. 1999; Marino & Landis 2) Pertanaman sayuran, seperti kubis merupakan lansekap agroekosistem yang telah banyak mengalami modifikasi dan aplikasi insektisida secara bergilir dan terus menerus selama bertahuntahun. Dalam rangka mengembalikan fungsi ekologis dari musuh alami dalam ekosistem, perlu dicari teknik pengendalian hama yang dapat mendukung konservasi ekosistem. Pengendalian hayati dengan memanfaatkan potensi parasitoid, layak dikembangkan untuk menggantikan peran insektisida di lapangan. Pengendalian hayati hama kubis C. pavonana dengan parasitoidnya seperti E. argenteopilosus dirasakan tidak begitu efektif, sehingga aplikasi insektisida kembali menjadi tumpuan utama. Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh adanya enkapsulasi (Hadi 1985), oleh karena itu sejak tahun 1985 penelitian dikonsentrasikan pada bagaimana meningkatkan kinerja Bogor, 1-2 Agustus 27 69

parasitoid agar dapat mengendalikan hama C. pavonana di lapangan (Ratna et al 1999; Dono 1998; Sudarmo 21, Kartosuwondo & Buchori 23). Namun demikian belum pernah ada penelitian yang melihat aspek struktur populasi, modifikasi lansekap, letak geografi, dan tipe agroekosistem yang justru sangat mempengaruhi keberhasilan dan keefektifan parasitoid di lapangan. Hal ini sangat disayangkan karena informasi tersebut mutlak diperlukan untuk menunjang upaya pengendalian hayati dalam rangka mengembalikan fungsi musuh alami. Berdasarkan hal tersebut telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mempelajari struktur populasi E. argenteopilosus pada tipe lansekap yang berbeda di Sumatera Barat. BAHAN DAN METODE Pemeliharaan Parasitoid E. argenteopilosus Parasitoid E. argenteopilosus yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari pertanaman kubis di daerah Aia angek dan Alahan Panjang. Imago parasitoid di lapang dikumpulkan dengan jaring serangga, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dipelihara dan atau diperlakukan. Parasitoid yang dikumpulkan dipelihara dalam kurungan yang berbentuk tabung (tinggi 23 cm dan diameter 12 cm) dan permukaan atas tabung ditutup dengan kain kasa. Imago parasitoid dari daerah berbeda dipelihara pada kurungan yang berbeda. Sebagai makanan imago diletakan segumpal kapas yang telah diresapi dengan larutan madu encer (madu:air = 1:9). Parasitoid ini langsung digunakan untuk uji kebugaran. Pemeliharaan Serangga Inang (S. litura) Larva S. litura sebagai serangga inang dikoleksi dari pertanaman kubis yang sama dengan asal parasitoid. Larva yang diperoleh dari lapangan dibawa ke laboratorium untuk dibiakkan. Larva tersebut dipelihara dalam kotak plastik berukuran 35 x 27 x 7 cm yang dialasi kertas stensil, kemudian larva diberi pakan daun kubis sesuai dengan kebutuhan dan makanan larva diganti setiap hari. Larva yang memasuki masa prapupa dikeluarkan dari kotak pemeliharaan larva, kemudian dipindahkan ke kotak plastik yang berukuran 3 x 2 x 1 cm dan dialas serbuk gergaji sebagai media untuk membentuk pupa. Imago jantan dan betina yang keluar dipelihara dalam kurungan yang terbuat dari kain kasa berbingkai kayu berukuran 5 x 5 x 5 cm sebagai tempat berkopulasi. Imago diberi makan dengan larutan madu encer yang diserapkan pada segumpal kapas, untuk tempat peletakan telur ke dalam kurungan dimasukkan daun kubis yang pangkalnya direndamkan ke dalam botol film yang berisi air untuk menjaga daun agar tetap segar. Setiap hari telur telur yang diletakkan imago diambil dan ditempatkan ke dalam petri sampai menetas. Setelah telur menetas, larva dipelihara dalam kotak pemeliharaan dan diberi pakan daun kubis sampai instar dua terbentuk dan siap diperlakukan. Tingkat Kebugaran Parasitoid E. argenteopilosus Asal Daerah Berbeda Pengamatan tingkat kebugaran dilakukan pada imago asal daerah yang berbeda. Sepasang imago parasitoid E. argenteopilosus yang berasal dari lapangan dimasukkan ke dalam wadah plastik yang berukuran 3 x 2 x 1 cm, kemudian dipaparkan 3 ekor larva S. litura instar II sebagai inang selama 24 jam. Penggantian larva inang dilakukan setiap 24 jam sampai parasitoid betina mati. Setelah selesai pemaparan, larva inang diambil kemudian dibedah di bawah mikroskop binokuler untuk mengamati: Tingkat parasitisasi, Superparasitisasi, dan Keperidian. Percobaan ini dilakukan sebanyak 1 kali ulangan. Imago parasitoid yang sudah mati, abdomennya dibedah di bawah mikroskop untuk mengetahui sisa telur dalam ovari parasitoid. Analisis Data Data dianalisis dengan ANOVA menggunakan program STATISTIX 8. dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 5 % (Analytical Software for Windows, 23). Kajian Keragaman Genetis dan Struktur Populasi Kajian genetis E. argenteopilosus dilakukan pada imago yang berasal dari populasi dua daerah yang berbeda, yaitu Alahan Panjang dan Aia Angek. Satu sampel lain yang dibandingkan, berasal dari populasi dari daerah dimana E. argenteopilosus ditemukan dengan populasi yang sangat rendah yaitu dari daerah Kayu Tanduak. Analisis genetik dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor. Keragaman genetik parasitoid diteliti dengan menggunakan sampel populasi dari masing masing daerah. 7 Makalah Oral

jumlah telur (butir) jumlah telur (butir) Persentase yang bertahan hidup (% HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tingkat Kebugaran E. argenteopilosus Asal Daerah Berbeda Hasil pengamatan terhadap karakter kebugaran, yaitu lama bertahan hidup betina yang berasal dari lapangan (populasi paternal) menunjukan bahwa, lama bertahan hidup maksimal adalah 9 hari (Gambar 1). 1 8 6 A angek A panjang 4 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 hari ke Gambar 1. Lama bertahan hidup imago betina E. argenteopilosus dari dua daerah yang berbeda di Laboratorium. Lama bertahan hidup di laboratorium betina E. argenteopilosus asal populasi daerah Alahan Panjang (9 hari) lebih lama jika dibandingkan dengan betina asal populasi daerah Aia Angek (6 hari). Pada awal pengamatan sampai hari ke-2 populasi yang bertahan hidup masih tinggi yaitu 7-9%. Karakter kebugaran lainnya yaitu jumlah telur yang dihasilkan betina asal daerah yang berbeda juga menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil pengamatan jumlah telur yang diletakkan seekor betina E. argenteopilosus setiap hari, lebih banyak pada parasitoid asal daerah Aia Angek dibandingkan asal Alahan panjang (Gambar 2). 4 3 aangek apjg 2 1 1 2 3 4 5 6 8 9 1 pengamatan hari ke Gambar 2. Jumlah telur yang diletakkan setiap hari oleh betina E. Argenteopilosus asal daerah berbeda. Secara total rata rata jumlah telur yang diletakkan oleh betina parasitoid asal daerah yang berbeda, berdasarkan analisis sidik ragam menunjukan hasil berbeda tidak nyata (P=,3524). Parasitoid betina asal daerah Aia Angek meletakan telur lebih banyak (69,6 butir) dibandingkan betina asal Alahan Panjang (5,5 butir). 2 197.4 15 146.9 1 5 69.6 5.5 111.4 181 A. angek A. panjang yg diletakan sisa diovari pengamatan jumlah telur total prod Gambar 3. Rata-rata jumlah telur yang diletakkan, sisa dalam ovari dan total produksi telur yang di hasilkan betina E. argenteopilosus asal daerah berbeda. Bogor, 1-2 Agustus 27 71

superpatasitisasi (%) tingkat parasitisasi (%) Hasil pengamatan sisa telur dalam ovari parasitoid dari ke dua daerah berbeda ini, berdasarkan analisis sidik ragam menunjukan berbeda tidak nyata (P=,6939). Sama halnya dengan sisa telur dalam ovari, total produksi telur parsitoid asal daerah Alahan Panjang lebih tinggi (197,4 butir) dibandingkan asal Aia Angek (181 butir), akan tetapi berbeda tidak nyata berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf nyata 5% (P=,66) (Gambar 3). Beberapa hal yang diduga mempengaruhi jumlah telur yang diletakkan parasitoid adalah lama hidup dan kemampuannya memarasit. Sedangkan total produksi telur yang dihasilkan juga ditentukan oleh jumlah telur yang diletakkan dan sisa telur dalam ovari. Semakin panjang lama hidup semakin banyak telur yang diletakkan. Hasil pengamatan terhadap kemampuan parasitisasi parasitoid asal daerah yang berbeda, diuji pada larva S. litura menunjukan perbedaan yang nyata (P=,68). Rata-rata tingkat parasitisasi parasitoid asal daerah Aia angek lebih tinggi (38,68%) dibandingkan parasitoid asal Alahan panjang (12,8 %). Tingkat parasitisasi setiap hari, mulai diawal pengamatan di laboratorium kemampuan parasitoid asal daerah Aia Angek lebih tinggi dibanding asal Alahan panjang. Akan tetapi lama hidup parasitoid ini lebih pendek (Gambar 4). 8 6 4 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 hari ke a pjg a angek Gambar 4. Tingkat parasitisasi E.argenteopilosus asal daerah berbeda. Hasil pengamatan terhadap kejadian superparasitisasi parasitoid asal daerah berbeda dengan analisis sidik ragam menunjukan secara nyata berbeda (P=,229). Rata rata kejadian superparasitisasi lebih tinggi dilakukan oleh parasitoid asal daerah Aia Angek (15,47%) dibandingkan daerah Alahan panjang (4,74%). Hal ini juga dapat dilihat bahwa tingkat superparasitisasi setiap hari parasitoid asal daerah Aia Angek selalu diatas rata rata Alahan Panjang (Gambar 5). 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 hari ke a pjg a angek Gambar 5. Tingkat superparasitisasi E. argenteopilosus asal daerah berbeda. Tingginya kejadian superparasitisasi yang dilakukan parasitoid asal Aia Angek juga berhubungan dengan jumlah telur yang diletakkan. Semakin banyak telur yang diletakkan semakin banyak jumlah inang yang dibutuhkan. Akan tetapi perilaku parasitoid tertentu, seperti E. argenteopilosus ini kadang kadang lebih menyukai larva inang yang sudah terparasit sebelumnya untuk meletakkan telur berikutnya. Perilaku ini diduga karena lebih mudah menemukan inang yang sudah terparasit dibandingkan inang yang belum terparasit. Kajian Keragaman Genetis dan Struktur Populasi Hasil analisis keragaman genetik dari E. argeteopilous dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPN6 (GAGACGCACA) dan OPN2 (GGTGCTCCGT) memperlihatkan perbedaan. Polimorphisme DNA populasi E. argenteopilosus menggunakan primer OPN6 lebih tinggi daripada OPN2 (Gambar 6). Hasil analisis kelompok terlihat bahwa populasi E. argeneopilosus Kayu Tanduk lebih dekat hubungannya dengan populasi Aia Angek dibandingkan populasi Alahan Panjang untuk kedua primer. 72 Makalah Oral

KT AA AP AP Aa KT AA AP AP Aa Gambar 6. Hasil analisis DNA E. argenteopilosus populasi Kayu Tanduk (KT), Aia Angek (AA), dan Alahan Panjang (AP) dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPN6 (GAGACGCACA) (kiri) dan OPN2 (GGTGCTCCGT) (kanan). PEMBAHASAN Rendahnya kemampuan bertahan hidup parasitoid di laboratorium diduga disebabkan karena kondisi dan keadaan lingkungan laboratorium yang tidak sesuai bagi kehidupan imago parasitoid seperti suhu dan makanan yang tidak sama dengan keadaan dilapangan. Dengan rendahnya kemampuan bertahan hidup parasitoid di laboratorium sehingga sisa telur dalam ovarinya masih banyak, sedangkan kemampuannya dalam memproduksi telur cukup tinggi. Parasitoid E. argenteopilosus sudah mati sebelum telur yang diproduksinya sempat diletakkan. Rata rata jumlah telur yang diletakkan oleh masing masing imago parasitoid E. argenteopilosus betina bervariasi, pada hari pertama dari lapangan jumlah telur yang diletakkan atau tingkat parasitisasinya lebih tinggi dibanding hari-hari berikutnya. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh parasitoid yang masih fit karena baru dari lapangan, kemudian setelah berada di laboratorium tingkat parasitisasinya menurun, diduga parasitoid belum beradaptasi dengan kondisi laboratorium baik suhu maupun makanan. Hal lain yang menyebabkan rendahnya jumlah telur yang diletakkan oleh imago betina adalah tingkat kebugaran parasitoid yang rendah. Menurut Quicke (1997) faktor kebugaran parasitoid adalah siklus hidup, sintasan, keperidian dan daya parasitisasinya. Kebugaran parasitoid selain ditentukan oleh jenis inang, juga ditentukan oleh asal atau tempat pemeliharaan pradewasa parasitoid tersebut (Nelly, 25). Setelah beberapa hari di laboratorium tingkat parasitisasinya kembali meningkat seperti pada hari keempat yaitu 41,67 % sesuai dengan pendapat Goodfray (1994) bahwa keefektifan parasitoid sangat tergantung pada keadaan lingkungan tertentu, seperti suhu, kelembaban, serta kualitas dan kerapatan inang. Kejadian superparasitisme parasitoid E. argenteopilosus pada S. litura selama berada di laboratorium berfluktuasi, pada hari pertama superparasitisme cukup tinggi kemudian mengalami penurunan pada hari-hari berikutnya. Pada hari keempat kembali meningkat, ini mungkin disebabkan karena kemampuan memarasitnya masih tinggi sedangkan jumlah inang yang diberikan tetap, sehingga untuk peletakan telur berikutnya dilakukan pada inang yang sama. Vinson (1984) melaporkan bahwa terjadinya superparasitisasi antara lain dipengaruhi oleh perilaku imago betina yang meletakkan telur kedua pada inang yang sama. Kemungkinan lain yang mempengaruhi terjadinya superparasitisme adalah ketidakmampuan imago betina parasitoid membedakan inang yang sudah diparasit. Kejadian superparasitisme dipengaruhi oleh suhu dan kerapatan inang. Tekanan muatan telur dalam ovari parasitoid menyebabkan telur yang ada akan diletakkan pada setiap inang yang ditemui disekitarnya (Nelly, 25). Superparasitisme pada keadaan tertentu merupakan suatu adaptasi oleh parasitoid. Godfray (1994) menyatakan bahwa superparasitisme pada parasitoid dapat terjadi akibat laju pemarasitan terhadap inang yang rendah. Pada parasitoid Trichogramma curdubensis (Hymenoptera; Trichogrammaatide) tingkat parasitisasi menurun dengan meningkatnya umur parasitoid tersebut, berarti jumlah telur yang dihasilkan akan menurun dengan peningkatan umur (Terkanian, 1993 cit Nelly 25). Umur imago betina juga berpengaruh terhadap jumlah telur yang diletakkan, semakin tua imago semakin sedikit kemampuannya meletakkan telur. Menurut Gracia (2) cit Nelly (25) jika parasitoid T. curdubensis mendapat inang mulai hari pertama maka akan terjadi peningkatan daya Bogor, 1-2 Agustus 27 73

parasitisasinya sampai umur 12 jam (5 hari). Setelah itu semakin meningkat umur parasitoid maka daya parasitisasinya akan menurun. Jumlah inang yang terparasit oleh parasitoid T. curdubensis akan menurun dengan meningkatnya umur parasitoid. Terlihat perbedaan tingkat kebugaran antara parasitoid asal daerah berbeda, hal ini diduga karena ada proses adaptasi oleh parasitoid pada masing masing daerah. Perbedaan lanskap pada daerah pertanaman sayuran di Sumatera Barat, ditandai dengan adanya pola pertanaman yang berbeda yaitu polikutur atau monokultur. Hal ini juga ditunjukan dengan adanya perbedaan berdasarkan analisis molekuler. Analisis struktur populasi secara molekuler menggunakan OPN6 dan OPN2 menunjukan hasil yang berbeda antara populasi Aia angek dan Alahan panjang. Populasi yang berbeda dengan tingkat kebugaran dan ukuran morfologi yang sama belum tentu sama DNAnya berdasarkan analisis molekuler. Dari tiga populasi yang diuji, menunjukkan bahwa populasi Aia angek tidak berbeda dengan Kayu tanduak. Dalam arti kata hubungan kekerabatan antara Kayu tanduak sangat dekat dengan populasi Aia angek.daerah Kayu tanduak merupakan daerah yang berdekatan dengan Aia Angek, tetapi sedikit mempunyai perbedaan pada tingkat ketinggian dari permukaan laut. Di mana letak daerah Kayu tanduak lebih kurang 1 meter dari permukaan laut dengan populasi E. Argenteopilosus sangat rendah, sementara Aia angek mencapai 12 mdpl. Dianalisis populasi Kayu tanduak sebagai pembanding dari DNA parasitoid tersebut. Sedangkan struktur populasi dari daerah Alahan panjang tidak sama dengan Aia Angek. Struktur populasi parasitoid E. argenteopilosus menunjuk perbedaan pada kedua daerah, yaitu tingkat kebugaran dan polimorphisme DNA. Implikasi ekologinya E. argenteopilosus sebagai agens pengendali hayati menunjukan bahwa populasi Sumatera Barat bukan merupakan suatu populasi besar (panmictick population), tetapi terdiri atas populasi populasi lokal. Pemanfaatan parasitoid yang terdiri dari sub sub populasi perlu suatu kajian teknik yang tepat. Teknik pengendalian dengan mengintroduksi berupa augmentasi ataupun inundasi dari dan ke sub populasi tidak akan efektif. Untuk itu perlu metoda konservasi parasitoid yang benar, sehingga usaha pengendalian hama pada sayuran umumnya dan kubis khususnya terutama C. pavonana akan efektif. KESIMPULAN Tingkat kebugaran E. argenteopilosus asal daerah dengan tipe lanskap berbeda menunjukan perbedaan, yaitu lama hidup imago betina dan jumlah telur yang dihasilkan parasitoid asal Alahan panjang lebih lama dan lebih banyak dibandingkan asal Aia Angek. Tingkat parasitisasi dan jumlah telur yang diletakan E. argenteopilosus asal daerah Aia Angek lebih besar dibandingkan dari daerah Alahan panjang. Hasil analisis genetis parasitoid yang berasal dari daerah berbeda juga menunjukan ketidaksamaan. Hal ini menjelaskan bahwa struktur populasi E. argenteopilosus di Sumatera Barat terdiri dari populasi populasi lokal. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar besarnya kepada Dirjen Dikti melalui Direktur DP2M yang telah memberi dana untuk pelaksanaan penelitian ini, dengan dana penelitian Hibah Bersaing XIII tahun 25-26. Dengan nomor kontrak : 5/SP3/PP/DP2M/II/26 dan 5/SP3/PP/DP2M/II/26 DAFTAR PUSTAKA Altieri, M. A. and C. I. Nicholls. 23. Ecologically pest management: akey pathway to achieving agroecosystem health in Managing for Healthy ecosystems. CRC Press. Dono, D. 1998. Pengaruh Ekstraks Biji Aglia harmsiana Perkins (Meliaseae) Terhadap Interaksi Antara Crocidolomia pavonana Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) dan Parasitoidnya Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichnemonidae). Tesis. Program Pascasarjana IPB Bogor. Fabian, D. M., P. C. Marino, S. H. Gage, and D. A. Landis. 1999. Does agricultural landscape structure affect parasitism and parasitoid diversity?. Ecol. Applic. 9(2):634-641. Hadi, S. 1985. Biologi dan Prilaku Inareolata sp (Hymenoptera: Ichneumonidae), Parasitoid Larva Pada Hama Kubis Crosidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera: Pyralidae). Tesis. Progrom Pascasarjana IPB Bogor. 74 Makalah Oral

Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest of Crop in Indonesia. Revised and Translated by P. A. van der Laan. PT. Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta. Kartosuwondo, K. dan D. Buchori. 23. Kompatibilitas parasitoid E. argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Inangnya: Faktor-faktor yang mempengaruhi effektifitas Eriborus argenteopilosus dalam mengendalikan Crocidolomia pavanana Zell (Lepidoptera: Pyralidae). Laporan Penelitian Hibah Bersaing X. Dirjen Dikti, Depdiknas. Kruess, A. and T. Tscharntke. 1994. Habitat fragmentation, species loss, and biological control. Sci. 264:1581-1584. Nelly, N., T. Habazar, R. Syahni, B. Sahari, dan D. Buchori. 25. Tanggap Fungsional parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) terhadap Crocidolomia pavonana Fab.(Lepidoptera: Pyralidae) pada suhu yang berbeda. Jurnal Hayati 12(1):17-22. Marino, P. C. and D. A. Landis. 2. Parasitoid community structure: implication for biological control, p. 183-193. In: B. Ekbom, M. Irwin, and Y. Robert (Eds.). Interchanges of Insects. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Quicke, D. L. J. 1997. Parasitic Wasp. Chapman and Hall. London. Ratna, E. S., D. Buchori, dan T. Santoso. 1999. Pemanfaatan Virus dari beberapa Spesies Parasitoid untuk Meningkatkan Kinerja Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dalam Mengendalikan Crocidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera: Pyralidae). Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Mentri Negara Riset dan Teknologi. Sahari, B. 1999. Studi Enkapsulasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Implikasinya Pada Inang Crosidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) dan Spodoptera litura (Fab.) (Lepidoptera: Noctuidae). Skripsi. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas pertanian IPB. Bogor. Tewari, G. C. and Sardana, H. R.. 1987. Eriborus argenteopilosus Cameron- A New Parasite of Leucinodes orbonalis (Guen.) Entomol. 12(3):227 228. Bogor, 1-2 Agustus 27 75