BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PEMBIAYAAN MURABAHAH DAN UANG MUKA A. PEMBIAYAAN MURABAHAH 1. Pengertian Murābahah Secara bahasa, murābahah berasal dari kata ar-ribhu ( الر بح ) yang bermakna tumbuh dan berkembang dalam perniagaan. 1 Pengertian murābahah dalam literatur didefinisikan oleh para fuqoha sebagai penjualan barang seharga biaya atau harga pokok (Cost) barang tersebut ditambah mark-up atau margin keuntungan yang disepakati. 2 Murābahah adalah perjanjian jual beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Dalam daftar istilah buku himpunan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasoional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murābahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. 3 Sedangkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) nomor 59 tentang Perbankan Syariah paragraf 52 dijelaskan bahwa murābahah adalah akad jual beli barang 1 Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2008 ) hal. 103 2 Wiriso, Jual Beli Murabahah ( Yogyakarta, UII Press, 2005 ) hal.13 3 Dewan syariah nasional (DSN)-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (Jakarta : Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi, 2006) hal. 456 22
23 dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. 4 Dari berbagai pendapat di atas tentang definisi murābahah, maka pendapat digeneralisasikan bahwa dalam pembiayaan murābahah bank syariah bertindak sebagai pembeli dan sekaligus penjual barang halal tertentu yang dibutuhkan nasabah. Mula-mula bank syariah membeli barang sebagaimana di maksud kepada pihak ketiga dengan harga tertentu secara langsung atau melalui waktu yang ditunjuk, untuk selanjutnya barang tersebut dijual kepada nasabah dengan harga tertentu setelah ditambah keuntungan (mark-up) yang disepakati bersama. Sementara itu, nasabah akan mengambil keuntungannya dikemudian hari secara tunai maupun cicil. Murābahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Namun demikian, bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh lembaga keuangan syariah dengan menambah beberapa konsep lain sehingga menjadi bentuk pembiayaan. 5 Dari keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa murābahah adalah jual beli barang antara pihak bank syariah dengan nasabah dengan menambahkan keuntungan dari harga perolehan barang tersebut. 4 Kerangka dasar penyusunan penyajian laporan keuangan bank syariah, PSAK 59 (jakarta : 141, Cet.ke-4, 2002)hal. 59 5 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari ah (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008) hal. 82-83
24 2. Landasan Hukum Murābahah Secara langsung Al-Qur an tidak pernah membicarakan tentang murābahah, hanyalah sejumlah acuan tentang jual beli, keuntungan, kerugian dan perdagangan. Begitu pula halnya dengan referensi hadits tidak ditemukannya ada hadits yang memiliki rujukan langsung kepada murābahah. Bahkan seorang ulama kontemporer Al-kahfi menyimpulkan bahwa murābahah adalah Salah satu penjualan yang tidak dikenal sepanjang Nabi SAW dan sahabatnya. Murābahah mulai dikomentari para ulama pada perempat pertama abad kedua hijriah atau lebih akhir lagi. Maka para ulama membenarkan murābahah berdasarkan landasan lain, Imam Malik mendukung validitasnya dengan acuan pada praktek orang-orang madinah. 6 Berikut di antara dalil-dalil yang digunakan untuk keabsahan jual beli murābahah : a. Al-Qur an 1) Firman Allah Qs. Al-Baqarah (2) : 275 Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba 7 2) Firman Allah Qs. Al-Maidah (5) : 1 Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu 8 6 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004) hal. 137-138 7 Departemen Agama RI, Al-Qur;an dan Terjemahan Al-Jumanatul Ali (Bandung : CV. Penerbit J-Art, 2005) hal. 47
25 3). Firman Allah Qs. An-Nisa (4) : 29 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. 9 b. Hadist Nabi Riwayat Ibnu Majah : Dari Suhaib Ar-Roini R.A bahwa Rosulullah SAW bersabda : ث الث ف ي ه ن ا ل ب ر ك ة : ا ل ب ي ع ا لي ا ج ل. و ال ق ا ر ض ة. و خ ل ط ا ل ب ر ب ل ع ي ل ل ب ي ت ال ل ل ب ي ع Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan : Jual beli secara tangguh, Muqāradah (Mudārabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual. 10 c. Fatwa DSN Pembiayaan murābahah juga diatur dalam fatwa DSN no.04/dsn- MUI/IV/2000 pada tanggal 1 April yang intinya menyatakan bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syariah perlu memiliki fasilitas murābahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli serta pembayarannya dengan harga yang lebih sebagai laba. 8 Ibid, hal. 83 9 Ibid, hal. 83 10 M. Nasirudin Al-Bani, Shalih Sunah Ibnu Majjah (Riyadh : Al-Maktabah, Al-Ma arif li An-Nasyr wa Al-Tausi, Cet. Ke-1,1999) hal. 720
26 Dilihat dari ketentuannya, ada beberapa ketentuan umum dalam jual beli murābahah, antara lain yaitu: 1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murābahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan dengan hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasbah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murābahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
27 3. Rukun dan Syarat Murābahah a. Rukun Murābahah Rukun dari akad murābahah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu : 11 1) Pelaku akad yaitu bāi (penjual) adalah pihak yang memiliki barang untuk dijual, dan musytarī (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan membeli barang. 2) Objek akad, yaitu mabi (barang dagangan) dan samān (harga). 3) Sigat, yaitu ijāb dan qabūl. d. Syarat Murābahah 12 1) Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah. 2) Kontrak pertama harus sah sesuai rukun yang ditetapkan. 3) Kontrak harus bebas dari riba 4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. 5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Sedangkan menurut al-kasani sebagaimana dikutip Dimyaudin Djuawani, murābahah akan di katakan sah jika memenuhi beberapa syarat berikut ini : 13 11 Arcarya, Op.Cit, hal. 82 12 M. Syafi i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) hal. 102-103 13 Dimyaudin Djuawani, Op.Cit, hal. 108-109
28 1. Mengetahui harga pokok (harga beli), disyaratkan bahwa harga beli harus diketahui oleh pembeli kedua. 2. Adanya kejelasan harga (keuntungan) yang diinginkan penjual kedua. 3. Modal yang digunakan untuk membeli objek transaksi harus merupakan barang mislī, dalam arti terdapat padanannya di pasaran, alangkah baiknya jika menggunakan uang. 4. Objek transaksi dan alat pembayaran yang digunakan tidak boleh berupa ribawī. 5. Akad jual beli pertama harus sah adanya. Intinya transaksi yang dilakukan penjual pertama dan pembeli harus sah, jika tidak maka transaksi yang dilakukan penjual kedua (pembeli pertama) dengan pembeli kedua hukumnya fasid atau rusak dan akadnya batal. 6. Informasi yang wajib dan tidak diberitahukan dalam akad murābahah. 4. Manfaat dan Risiko Murābahah Sesuai dengan sifat bisnis (istijārah) transaksi murābahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga risiko yang harus diantisipasi, murābahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah salah satunya yaitu adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. 14 Pembiayaan berdasarkan bagi-bagi risiko nampaknya bukan karakteristik dari operasi murābahah dalam bank-bank Islam. Menurut Abden dan shook, Bank mengambil risiko yang membenarkan keuntungan sampai klien memenuhi 14 M. Syafi i Antonio, Op. Cit, hal 108-109
29 janjinya semula untuk membeli komoditas. Risiko tersebut berkaitan dengan : (I) barang, (II) nasabah, (III) pembayaran. 15 a. Risiko yang Terkait dengan Barang Bank Islam membeli barang-barang yang diminta oleh nasabah murābahahnya dan secara teoritis menanggung risiko kehilangan akan kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Bank dengan kontrak murābahah diwajibkan untuk menyerahkan barang kepada nasabah dalam kondisi yang baik. Menurut fikih nasabah berhak menolak barang-barang yang rusak, yang kurang jumlahnya, atau tidak sesuai dengan spesifikasinya. Bank Islam dalam praktiknya menghindari risiko-risiko tersebut dengan asuransi dan klausul kontrak. b. Risiko yang Terkait dengan Nasabah Janji nasabah murābahah untuk membeli barang yang dipesan dalam suatu transaksi murābahah. Menurut mayoritas fuqaha madzab tidaklah mengikat. Oleh sebab itu, nasabah berhak menolak untuk membeli barang ketika bank islam menawari mereka untuk penjualan. Dalam mempertahankan murābahah, bank-bank Islam cenderung melakukan pembenaran terhadap laba yang diperoleh dari pelaksanaan murābahah mereka, terutama berdasarkan risiko bisnis yang ada dalam pelaksanaannya. 15 Muhammad, Teknik Perhitungan bagi Hasil dan Profit Margin pada bank Syari ah (Yogyakarta : 411 press, 2004) hal. 105-109
30 Risiko bank yang terhadap kemungkinan penolakan nasabah untuk membeli barang dapat dihindari dengan pembayaran uang muka, dengan jaminan, jaminan pihak ketiga dan dengan klausul kontrak. c. Risiko yang Terkait dengan Pembayaran Risiko tidak terbayar penuh atau sebagian dari uang muka seperti yang dijadwalkan dalam kontrak, ada dalam pembiayaan murābahah. Bank Islam menghindari ini dengan adanya janji tertulis, agunan, jaminan pihak ketiga, dan klausul kontrak yang menyatakan bahwa semua hasil dari barang-barang murābahah yang dijual kepada pihak ketiga dengan tunai maupun kredit harus disimpan di bank sampai apa yang menjadi hak bank dibayar kembali sepenuhnya. Tidak adanya pembayaran itu disebabkan oleh faktor-faktor di luar kemampuan nasabah untuk mengontrolnya, bank Islam secara moral berkewajiban menjadwal ulang utang. Di pihak lain, jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu tetapi ia tidak melakukannya, maka bank-bank Islam beserta Dewan Syariah Nasional telah mengadopsi konsep denda akan tergantung kepada suku laba yang wajar pada dana bank yang diinvestasikan, yang merupakan Opportrunity Cost (biaya untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal. Dalam sebagian kasus, jika pelunasan dari uang muka tidak mungkin, bank Islam akan menyita jaminan untuk menutupi uang muka.
31 B. UANG MUKA 1. Pengertian Uang Muka Uang muka dalam literatur fikih klasik sering disebut dengan urbūn yaitu salah satu alternatif transaksi dalam jual beli. Gambaran bentuk jual beli ini yaitu sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran, kalau tidak jadi, maka uang yang dibayarkan di muka akan dikembalikan jika kerugian yang ditanggung kurang dari uang yang dibayarkan di muka. Uang muka merupakan pos yang pertama kali dicatat sebagai aktiva tetapi diharapkan menjadi beban di kemudian hari. 16 Dalam kamus BI, pengertian uang muka adalah pembayaran uang kepada pihak lain yang belum memberikan prestasi atau memenuhi kewajiban, misalnya kepada kontraktor pada saat kontrak ditandatangani atau kepada penjual yang belum menyerahkan barangnya, pembayarannya sebagian dari harga yang telah disepakati oleh pembeli kepada penjual yang merupakan tanda bahwa perjanjian jual beli yang diadakan telah mengikat. 17 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa uang muka sebagai pembayaran sebagian dari harga barang, apabila pembeli ingin melanjutkan akadnya, jika tidak maka kerugian ditanggung kedua belah pihak. Selain itu uang muka juga berfungsi sebagai bentuk keseriusan pembeli. 16 Wareen,dkk, Pengantar Akuntansi Edisi 21, 2005. Hlm.148 17 http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/kamus_bi_aspx
32 2. Landasan Hukum Uang Muka a. Al- Qur an Hai orang-orang yang beriman, jika kamu melakukan transaksi hutang-piutang untuk jangka waktu yang ditentukan, tuliskanlah b. Hadits riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf الص ل ح ج ائ ز ب ي ن ال م س ل م ين إ ال ص ل ح ا ح ر م ح ال ال أ و أ ح ل ح ر ام ا و ال م س ل م ون ع ل ى ش ر وط ه م إ ال ش ر ط ا ح ر م ح ال ال أ و أ ح ل ح ر ام ا. Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 18 c. Kaidah Fiqih 1. Pada dasarnya segala bentuk mu ammalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. 2. Bahaya (Beban berat) harus dihilangkan. Para ulama sepakat bahwa meminta uang muka dalam akad jual beli adalah boleh (jaiz). 19 18 http://www.mui.or.id/ diakses pada tanggal 15 September 2011 pada pukul 13.00WIB. 19 Wiroso, Op.Cit, hal 102-103
33 3. Tujuan Uang Muka Tujuan dari uang muka adalah : 20 a. Untuk proteksi hak kepemilikan. Dengan membayar uang muka ( urbūn) diharapkan si penjual tidak akan menjual komoditinya tersebut kepada orang lain. b. Untuk memberikan keleluasaan atau tenggang waktu yang dijanjikan si pembeli untuk melunasi pembayaran kepada si penjual. c. Sebagai media untuk mengurangi risiko kerugian karena fluktuasi harga pasar. d. Untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan saham. Penerapan pembayaran uang muka di bank syari ah telah mendapat persetujuan atau keabsahan hukum oleh Dewan Syari ah Nasional. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya fatwa Dewan Syari ah Nasional no.13/dsn- MUI/IX/2000. Dalam fatwa itu dinyatakan bahwa : 1. Dalam akad pembiayaan murābahah, Lembaga Keuangan Syari ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat. 2. Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan. 3. Jika nasabah membatalkan akad murābahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut. 20 www.mui.or.id
34 4. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah. 5. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebahannya kepada nasabah. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantar kedua belah pihak, maka penyelesainnya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 21 21 http://www.mui.or.id/ diakses pada tanggal 15 September 2011 pada pukul 13.00WIB.