Penciptaan Interaksi dalam Meningkatkan Kemampuan Sosial Anak Usia Dini. Ernawulan Syaodih

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK PRASEKOLAH

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH

Perkembangan Anak Usia Dini Ernawulan Syaodih

PENILAIAN PERKEMBANGAN ANAK Ernawulan Syaodih

Perkembangan dan Pembelajaran Kanak-kanak Prasekolah. Ernawulan Syaodih

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Masa akhir

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia dini adalah anak yang unik, dan memiliki karakteristik khusus,

PENGEMBANGAN PRILAKU SOSIAL-EMOSIONAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KONSELING PERKEMBANGAN

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING

BAB I PENDAHULUAN. dimana kedua aspek tersebut terjadi secara bersama-sama. Sebagai makhluk

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. masa ini sering kali disebut dengan masa keemasan the Golden Age, masa-masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan manusia, sekaligus dasar

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

HUBUNGAN ANTARA TIPE POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KEMANDIRIAN PERILAKU REMAJA AKHIR. Dr. Poeti Joefiani, M.Si

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diri dan lingkungan sekitarnya. Cara pandang individu dalam memandang dirinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING PERKEMBANGAN YANG BERORIENTASI INTERAKSI TEMAN SEBAYA

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

HUBUNGAN PERANAN ORANG TUA TERHADAP MINAT BELAJAR ANAK USIA DINI. Cut Venny Luciana TK ANNISA MEDAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

PROBLEM PSIKOSOSIAL PADA REMAJA YANG ORANG TUA NYA MERANTAU NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

KONSEP, FUNGSI DAN PRINSIP BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan. meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar

SILABUS MATA KULIAH. 1. Identitas Mata Kuliah Nama Mata Kuliah : Psikologi Diferensial dalam Pembelajaran Kode Mata Kuliah :

I. PENDAHULUAN. Remaja adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan

Mengenali Perkembangan Balita

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

PERKEMBANGAN ANAK USIA PRASEKOLAH

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masa estetik. Pada masa vital anak menggunakan fungsi-fungsi biologisnya untuk

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

Membangun Sosial Emosi Anak. di Usia 2-4 tahun SERI BACAAN ORANG TUA

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK MELALUI PENDIDIKAN JASMANI

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. Periode emas atau yang lebih dikenal dengan golden age adalah masa

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Shafique Dunia Pendidikan. Jakarta: PT. Pustaka Binaan.

BAB 1 PENDAHULUAN. datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

PENGGUNAAN METODE BERCERITA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA LISAN PADA ANAK DIDIK KELOMPOK B DI TK AISYIYAH 1 DIBAL NGEMPLAK BOYOLALI

Sosialisasi Bahasa dalam Pembentukkan Kepribadian Anak. Sosialisasi bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di

BAB 1V KONSEP DIRI REMAJA DELINQUEN DI DESA LOBANG KECAMATAN LIMPUNG KABUPATEN BATANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SILABI PSIKOLOGI PENDIDIKAN

PENDIDIKAN SEKSUALITAS PADA REMAJA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN

METODE PENGENALAN BAHASA UNTUK ANAK USIA DINI*

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Memilih Sikap Positif

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. potensi intelektual dan sikap yang dimilikinya, sehingga tujuan utama

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

PERKEMBANGAN SOSIAL PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL 3/22/2012

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan

Transkripsi:

Penciptaan Interaksi dalam Meningkatkan Kemampuan Sosial Anak Usia Dini Pendahuluan Ernawulan Syaodih Interaksi yang menyenangkan untuk anak usia dini memberikan kontribusi yang positif terhadap tumbuh kembang kemampuan sosial anak. Kemampuan sosial perlu dimiliki anak karena kemampuan ini sangat diperlukan untuk beradaptasi, berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Lemahnya kemampuan anak dalam bersosial dapat menghambat perkembangan anak pada kemudian hari dan juga berpengaruh pada tumbuh kembang anak lainnya. Penciptaan interaksi dalam keluarga antara anak dengan orang tua, interaksi anak dengan guru di tempat anak belajar maupun interaksi anak dengan teman sebaya lainnya perlu dirasakan anak sebagai suatu penciptaan interaksi lingkungan yang kondusif dan menyenangkan, karena dengan interaksi yang menyenangkan dapat membantu perkembangan sosial anak. Untuk membahas pentingnya penciptaan interaksi dalam meningkatkan kemampuan sosial anak usia dini maka dalam artikel ini dibicarakan tentang kemampuan sosial anak, permasalahan sosial anak, interaksi anak dengan orang tua, interaksi anak dengan guru, dan interaksi anak dengan teman sebaya. Kemampuan Sosial Anak Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain, baik dengan orang tua, guru, maupun dengan teman sebaya. Dalam hubungan dengan orang lain, terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat bermakna dalam kehidupan seorang anak yang membentuk keperibadiannya, yang membantu perkembangannya menjadi manusia sebagaimana adanya. Sejak kecil anak telah belajar cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang yang paling dekat dengan anak, iaitu: ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, dan anggota keluarga yang lain. Apa-apa yang telah dipelajari anak daripada lingkungan keluarganya sangat mempengaruhi perilaku sosialnya. Pada awal masa bayi, anak sudah mulai menunjukkan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain dengan senyum sosial yang ditunjukkannya apabila ada orang yang mendekatinya. Pada saat itu, sifat hubungannya dengan orang lain masih sangat terbatas, karena kemampuan reaksi dan komunikasinya masih amat terbatas. Kemudian pada akhir masa bayi (sekitar usia dua tahun) anak sudah mulai dapat berbicara dan memiliki beberapa puluh kosa kata, keinginan untuk menjalin hubungan antara manusia sudah lebih nyata, hal ini ditampakkan melalui sikap dan perilakunya terhadap orang-orang yang ditemuinya, terutama dengan anak-anak sebaya (Kartono, 1988: 113). Masuknya anak ke dalam dunia yang lebih luas (masuk taman kanak-kanak/prasekolah atau pendidikan anak usia dini (early childhood education) memberikan kesempatan bergaul dengan anak lain yang sebaya semakin besar. Hal ini memberikan peluang kepada anak untuk lebih melancarkan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Pada usia taman kanak-kanak atau prasekolah, anak diharapkan telah dapat menyatakan perasaan-perasaannya melalui kata-kata, apabila marah pada temannya ia akan mengatakan ih kamu nakal, kalau takut sesuatu ia akan mengatakan takut main di sana atau kalau ia senang ia juga akan mengatakan saya senang main itu. 10

Pada usia 4-6 tahun anak sudah mulai mampu membaca situasi yang dihadapi. Apabila anak merebut mainan temannya, kemudian temannya cemberut dan guru atau orang tua memelototinya (marah), ia tahu bahwa perilakunya itu tidak disukai oleh teman dan guru atau orang tuanya. Anak juga mulai dapat memilih teman yang dianggap sesuai dengan keinginannya, mulai mempunyai teman yang dianggap sesuai dengan keinginannya, mulai mempunyai teman dekat, dan menghindari teman-teman yang tidak disukainya. Pada usia ini anak juga sudah mulai dapat bermain dalam kelompok kecil yang menuntut kebersamaan dan kerjasama, mulai belajar pelbagai hal dengan orang lain, belajar menunggu giliran dan lain-lain. Pengalaman berhubungan (bersosialisasi) dengan orang lain memberikan pelajaran kepada anak bahwa ada perilaku-perilaku yang disukai oleh teman-teman atau gurunya yang menyebabkan ia diterima di lingkungan mereka, dan ia tahu pula bahwa ada perilaku-perilaku yang tidak disukai temannya. Dengan pengetahuannya itu anak mulai mengubah perilaku yang negatif dan mengembangkan perilaku-perilaku yang positif agar hubungan dengan orang lain tetap dapat berlangsung dengan baik. Anak semakin mampu mengendalikan perasaan-perasaannya dan mengikuti aturan-aturan yang ditentukan oleh lingkungannya dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Apabila pengalaman awal seorang anak dalam bersosialisasi lebih banyak memberikan kesenangan dan kepuasan, maka dapat diperkirakan proses sosialisasinya berkembang ke arah yang positif, tetapi sebaliknya bila tidak, hambatan dan kesulitan dalam bersosialisasi akan banyak ditemui anak (Havighurst, 1978). Permasalahan Sosial Anak Sebagian daripada bentuk perilaku sosial yang berkembang pada masa usia dini awal merupakan perilaku yang terbentuk atas dasar landasan yang diletakkan pada masa bayi. Sebagian lainnya merupakan bentuk perilaku sosial baru yang mempunyai landasan baru. Banyak antara landasan baru ini dibina oleh hubungan sosial dengan teman sebaya di luar rumah dan hal-hal yang diamati anak daripada tontonan televisi atau buku-buku komik. Hurlock (1978: 239) mengungkapkan bahwa kemampuan sosial pada setiap anak tidak selalu ditunjukkan dengan perilaku yang menyenangkan, kadangkala ditemukan pelbagai permasalahan sosial pada anak, antaranya: i. Tidak mahu bekerjasama Perilaku yang ditunjukkan anak dengan bermain sendiri, tidak menghiraukan kehadiran teman di dekatnya ketika mengerjakan tugas atau ketika kegiatan bersama. ii. Pertengkaran - Perselisihan pendapat yang mengandungi kemarahan yang umumnya dimulai apabila anak lain melakukan penyerangan yang tidak beralasan, perilaku diekspresikan dengan tindakan fisik seperti memukul atau teriakan. iii. Ingin menang sendiri - Sifat anak yang masih egosentris mendorong anak untuk menguasai sesuatu atau aktivitas tertentu, anak cenderung belum dapat memahami bahwa orang lain juga memiliki keinginan yang sama dengan dirinya. iv. Negativisme - Perlawanan terhadap tekanan daripada orang atau anak lain untuk berperilaku tertentu. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, tetapi secara setahap demi setahap diganti dengan penolakan lisan untuk menuruti perintah. 11

v. Agresi - Tindakan permusuhan yang nyata yang ditunjukkan dengan bentuk penyerangan secara fisik atau lisan terhadap anak lain, dan biasanya terhadap anak yang lebih kecil. vi. Perilaku ingin menguasai - Perilaku ini ialah kecenderungan untuk mendominasi orang lain atau menjadi majikan. Anak menguasai permainan dan memerintah orang atau teman lain untuk mengikuti keinginannya. Interaksi Anak dengan Orang Tua Hubungan antara anak dengan orang tua merupakan sebagian daripada interaksi sosial yang dilakukan anak dengan lingkungan keluarganya. Anak pertama kali berinteraksi dengan ibunya, bapanya dan saudara-saudaranya yang lain. Pengalaman interaksi awal ini akan membentuk kemampuan sosial anak. Bonner (Gerungan, 1986: 57) merumuskan interaksi sosial sebagai hubungan antara dua atau lebih individu dan kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaik kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Singgih D. Gunarsa (1989: 144) mengungkapkan bahawa pada dasarnya hubungan antara anak dengan orang tua merupakan hubungan yang timbal balik, sehingga dalam usaha untuk menciptakan hubungan yang memuaskan kedua belah pihak, maka peranan orang tua mahupun anak sangatlah besar. Selain itu, pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Bishop sebagaimana dikemukakan Hurlock (1978: 352) bahwa kualitas interaksi antara anak dengan orang tua, dalam arti mereka sama-sama berperanan, merupakan faktor penting yang mengekalkan sifat-sifat keperibadian dan motivasi yang diperlukan anak. Apabila interaksi tersebut berlangsung dengan baik, maka iklim kehidupan keluarga akan berkembang dengan baik. Supriadi (1985: 84) mengemukakan bahawa interaksi antara anak dengan orang tua dapat dilihat melalui tiga aspek yang masing-masing mencakup sejumlah indikator. Apabila indikator-indikator tersebut ada, dan dirasakan oleh anak, maka interaksi yang terjadi dianggap berkualitas. Aspek-aspek tersebut ialah: (i) adanya partisipasi dan keterlibatan, (ii) adanya keterbukaan sikap orang tua, dan (iii) kebebasan untuk mengadakan eksplorasi terhadap lingkungan. Kartadinata (1983: 63) mengungkapkan bahawa iklim kehidupan keluarga yang menyenangkan akan dapat mengembangkan sikap toleran terhadap masalah, kerjasama, dan saling menghargai sehingga anggota keluarga mampu menempatkan dirinya dalam kehidupan psikologis anggota keluarga yang lain. Sikap seperti ini akan berkembang jika dalam keluarga terjadi komunikasi yang terbuka antara para anggotanya. Menurut Hurlock (1978 : 356), komunikasi yang terbuka atau respect terhadap pendapat orang lain seringkali melahirkan reasonable expectation dalam kalangan anggota keluarga. Pentingnya komunikasi dalam keluarga juga diungkap oleh Duvall (dalam Hurlock, 1978: 356). Menurut Duvall, komunikasi dapat membuka perasaan, memelihara kesihatan mental, mendorong interaksi yang aktif antara anggota keluarga, dan mengembangkan kesedaran individu tentang perlunya sikap mendengar dan menerima. Anak yang terlatih dalam suasana kehidupan seperti ini akan lebih memahami keterbatasan orang tua dalam memenuhi keperluannya. Mengembangkan kemampuan bersosial pada diri anak dapat mengalami hambatan apabila orang tua menunjukkan sikap-sikap seperti yang berikut: 12

i. Memanjakan anak berlebihan, setiap keinginan anak selalu dipenuhi. Kondisi seperti ini seringkali terjadi karena orang tua terlalu sayang kepada anak, pada hal sikap seperti ini cenderung membuat anak tidak perlu berjuang untuk mendapatkan sesuatu, tidak toleran kepada orang lain, dan menjadi anak yang egois. ii. Khawatir yang berlebihan terhadap segala yang dialami dan dilakukan oleh anak. Sikap seperti ini membuat anak tidak percaya diri dan menjadi tidak mandiri. iii. Otoriter, keras dan cenderung mengatur, memberi nasihat atau memarahi anak jika anak berbuat salah. Sikap seperti ini membuat anak jadi takut, tidak percaya pada diri sendiri, tidak mandiri dan bombing untuk melakukan sesuatu karena takut dianggap salah. iv. Acuh tak acuh karena orang tua yang selalu sibuk dengan urusan sendiri membuat anak berasa tidak diperlukan, tidak diperhatikan, cenderung mencari perhatian, mudah menunjukkan sikap agresi kepada anak lain. Sikap menerima daripada orang tua berarti memperlakukan anak sebagai peribadi, menerima dan menghargai haknya dan tidak dijadikan sebagai alat pemenuhan kepentingan keluarga. Sikap menolak daripada orang tua terhadap anak cenderung menjadikan anak mengalami kesukaran dalam penyesuaian diri. Penelitian yang dilakukan oleh Richard dan Killman (Kartadinata, 1983: 56) menunjukkan bahwa 13% dari 34 orang kasus yang ditangani, mengalami penolakan daripada ibunya dan sebanyak 63 % mengalami perasaan ditolak sebagai akibat perlakuan ibu yang terlalu melindungi mereka. Penciptaan interaksi yang tidak kondusif bagi anak akan berdampak pada pembentukan kemampuan sosial anak, anak cenderung pasif dan kurang ghairah untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya. Mereka juga cenderung memiliki sikap yang negatif terhadap orang lain hingga tidak tertarik untuk beraktivitas bersama-sama anak yang lain. Penolakan orang tua terhadap upaya anak memperoleh kebebasan, dapat menimbulkan kesalahfahaman, kemarahan, dan pertentangan antara orang tua dengan anak yang kadangkala diwujudkan dengan sikap orang tua yang mengekang perilaku anak. Anak yang senantiasa berada dalam konflik antara tuntutan dengan batasan orang tua akan sukar untuk memperoleh kemampuan sosial yang baik. Interaksi Anak dengan Guru Ketika anak berada di taman kanak-kanak atau prasekolah, anak juga berinteraksi dengan gurunya. Hurlock (1978: 336) mengemukakan bahawa hubungan antara anak dengan guru ditentukan oleh sikap guru terhadap anak dan sikap anak terhadap gurunya. Sikap ini bergantung pada cara guru dan anak mempersepsi satu sama lain. Hurlock selanjutnya menjelaskan bahawa agar anak mempunyai persepsi yang positif, guru harus bersikap terbuka, jujur, dan menghargai anak. Sikap guru seperti ini akan menumbuhkan rasa aman dan percaya diri pada anak. Pembentukan perilaku sosial anak dapat dilakukan melalui suatu proses pembiasaan yang dilakukan oleh guru terhadap anak, selain itu juga dapat dilakukan melalui proses pembelajaran, antaranya melalui bercerita, bernyanyi, bermain peranan, atau melalui kaedah projek. Guru dapat merencanakan suatu proses pembelajaran yang dapat menumbuhkan kemampuan-kemampuan sosial yang baik pada diri anak. 13

Dalam penciptaan pembelajaran yang dilakukan guru, situasi belajar harus merupakan situasi yang demokratis, gagasan anak dihargai, dan timbulnya keragaman pendapat adalah sesuatu yang dapat diterima dalam mengembangkan dinamika pembelajaran. Guru harus sedar bahawa setiap anak itu berbeda keperluannya, kemampuannya dan keperibadiannya. Sikap guru yang menerima anak seadanya, menghargai anak, tidak memaksa anak untuk mengerjakan sesuatu atau menyelesaikan pekerjaan, dan membantu anak mengembangkan potensi yang dimilikinya akan menumbuhkan perasaan dihargai pada diri anak. Anak tidak berasa dikekang atau dipaksa karena harus memenuhi segala yang diperintahkan oleh guru. Beberapa aspek yang mempengaruhi interaksi antara anak dengan guru di taman kanak-kanak atau prasekolah (Supriadi, 1985: 154), antaranya adalah: i. Keperibadian guru - Sikap guru yang menyenangkan, menenangkan dan anak berasa aman dekat dengan guru akan menumbuhkan kepercayaan pada anak bahawa gurunya bukan seseorang yang mengancam diri anak. ii. Penghargaan yang diterima anak - Anak memerlukan penghargaan atas apa-apa yang dilakukannya, dan penghargaan tidak selalu dalam bentuk pemberian hadiah. Senyuman, tepukan di pundak anak, acungan jempol atau ungkapan kata pintar anak ibu, atau hebat ananda hari ini akan menumbuhkan rasa dihargai, dan bangga terhadap diri sendiri. iii. Tidak memaksa anak melalui pendisiplinan yang ketat - Anak pada usia taman kanakkanak atau prasekolah belum dapat memahami hal-hal yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan dengan jelas. Memaksa anak tanpa menumbuhkan pemahaman pada diri anak malah membuat anak menjadi takut atau terpaksa melakukan apa-apa yang diperintahkan guru. iv. Pilihan kaedah pembelajaran - Guru perlu memilih kaedah pembelajaran yang tepat, sesuai dengan karakteristik perkembangan anak. Pilihan kegiatan yang perlu dilakukan anak disesuaikan dengan kemampuan anak. Interaksi Anak dengan Teman Sebaya Hubungan antara anak dengan teman sebaya merupakan sebagian daripada interaksi sosial yang dilakukan anak dengan lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakatnya. Teman sebaya menurut Havighurst (1978: 45) merupakan suatu kumpulan orang yang kurang lebih berusia sama yang berfikir dan bertindak bersama-sama. Pada usia prasekolah, anak-anak mulai keluar daripada lingkungan keluarga dan memasuki dunia teman sebaya. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi daripada suasana emosional yang aman yang dalam hal ini hubungan yang erat dengan ibu dan anggota keluarga lainnya kepada kehidupan dunia baru. Dalam dunia baru yang dimasuki anak, anak harus pandai menempatkan diri antara teman sebaya yang sedikit sebanyak akan berlumba-lumba untuk menarik perhatian guru atau teman lainnya. Ketika anak berinteraksi dengan teman sebayanya, anak akan menemukan anak lain yang sikapnya menyenangkan atau tidak menyenangkan. Pada usia taman kanak-kanak atau prasekolah anak perlu belajar tentang sikap anak lain. Ada anak yang ingin menang sendiri, tidak mahu berkongsi mainan dengan teman lainnya, selalu mendominasi satu permainan tertentu atau mudah marah kalau keinginannya tidak dipenuhi. 14

Pada masa ini, anak-anak hendaknya belajar memperoleh kepuasan yang lebih banyak daripada kehidupan sosial bersama teman sebayanya. Melalui kehidupan sosial kelompok sebaya anak belajar memberi dan menerima, belajar berteman dan bekerja yang semuanya itu dapat mengembangkan keperibadian sosial anak. Vygotsky (1978) menekankan pentingnya konteks sosial dalam proses belajar anak. Pengalaman interaksi sosial ini sangat berperanan dalam mengembangkan kemampuan berfikir anak. Lebih lanjut, bahkan ia menjelaskan bahawa bentuk-bentuk aktivitas mental yang tinggi diperoleh daripada konteks sosial dan budaya tempat anak berinteraksi dengan teman-temannya atau orang lain. Mengingat betapa pentingnya peranan konteks sosial ini, Vygotsky menyarankan untuk memahami perkembangan anak, kita dituntut untuk memahami relasi-relasi sosial yang terjadi pada lingkungan tempat anak itu bergaul. Proses pembelajaran dalam kelompok sebaya merupakan proses pembelajaran keperibadian sosial yang sesungguhnya. Anak-anak belajar cara-cara mendekati orang asing, malu-malu atau berani, menjauhkan diri atau bersahabat. Ia belajar cara memperlakukan temantemannya, ia belajar apa-apa yang disebut dengan bermain jujur. Seseorang yang telah mempelajari kebiasaan-kebiasaan sosial tersebut, cenderung akan melanjuannya dalam seluruh kehidupannya. Pengalaman anak berinteraksi sosial dengan anak lain dan bahkan dengan orang dewasa tidak saja memfasilitasi keterampilan anak dalam berkomunikasi dan sosialnya, tetapi juga turut mengembangkan aspek-aspek perkembangan lainnya, seperti perkembangan kognisi, emosi dan moralnya. Pergaulan sosial ini merupakan pengalaman hidup yang kaya dan alami bagi anak sehingga dapat mendorong segenap aspek perkembangan anak secara lebih terintegrasi dan menyeluruh. Melalui interaksi sosial, anak dapat berlatih mengekspresikan emosinya dan menguji perilaku-perilaku moralnya secara tepat. Begitu pula pengenalan anak terhadap pola pikir orang lain dapat memperkaya pengalaman kognisinya (Solehuddin, 1997: 46). Menurut Maccoby (1980), Styczynski and Langlois, 1977 (Helms and Turner, 1983: 223-224), dalam berinteraksi dengan teman sebaya, anak akan memilih anak lain yang usianya hampir sama, dan dalam berinteraksi dengan teman sebaya lainnya, anak dituntut untuk dapat menerima teman sebayanya. Dalam penerimaan teman sebayanya anak harus mampu menerima persamaan usia, menunjukkan minat terhadap permainan, dapat menerima teman lain daripada kelompok yang lain, dapat menerima jenis kelamin lain, dapat menerima keadaan fizikal anak yang lain, mandiri atau dapat lepas daripada orang tua atau orang dewasa lain, dan dapat menerima kelas sosial yang berbeda. Kesimpulan Perilaku sosial yang baik merupakan suatu kemampuan yang perlu dimiliki anak sejak anak masih kecil karena perilaku ini akan sangat mempengaruhi dan menentukan kemampuan anak kemudian hari. Rapuhnya kemampuan anak dalam berperilaku sosial dalam lingkungannya akan menghambat perkembangan anak untuk mencapai keberhasilan hidup anak kemudian hari karena suatu keberhasilan dalam kehidupan tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan kognitif saja tetapi lebih dipengaruhi oleh cara anak berinteraksi dengan orang lain secara baik dalam runang lingkup yang lebih luas. Keberhasilan anak dalam kehidupannya juga diwarnai oleh keberhasilan anak dalam berinteraksi dengan orang lain. 15

Kemampuan sosial yang telah dikembangkan sejak anak masih kecil akan memberikan kontribusi positif pada proses perkembangan atau interaksi anak dengan orang lain kemudian hari. Oleh sebab itu interaksi yang kondusif antara anak dengan orang tua, guru dan teman sebaya memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan anak berinteraksi dalam lingkungan yang lebih luas. Rujukan Gerungan, W.A. (1986). Psikologi Sosial. Jakarta: Eresco. Gunarsa, Singgih. D. (1989). Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Agung. Havighurst, Robert J. (1978). Human Development and Education. New York : Longmans Green and Co. Helms, D. B & Turner, J.S. (1983). Exploring Child Behavior. New York: Holt Rinehartand Winston. Hurlock, Elizabeth, B. (1978). Child Development, Sixth Edition. New York: Mc. Graw Hill, Inc. Kartadinata, Sunaryo. (1983). Kontribusi Iklim Kehidupan Keluarga dan Sekolah terhadap Adekuasi Penyesuaian Diri. Tesis. Bandung: FPS IKIP. Kartono, K. (1986). Psikologi Anak. Bandung: Alumni. Papalia, D.E, & Olds. S.W. (1989). Human Development. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Book Company. Roopnaire, J. L & Johnson, J.E. (1993). Approaches to Early Childhood Education. 2nd Edition. New York: Merril. Shaffer, D, R., (1989), Developmental Psychology, Childhood and Adolescence, Second Edition. Pacific Grove California: Brooks/Cole Publishing Company. Solehuddin, M. (1997). Konsep Dasar. Bandung : FIP UPI. Supriadi, Dedi. (1985). Kontribusi Kualitas Interaksi Anak-Orang Tua dalam Keluarga dan Siswa-guru di Sekolah terhadap Kepribadian Kreatif. Tesis. Bandung: FPS IKIP. Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society, The Development of Higher Psychological Processes. London: Harvard University. 16