BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di bawah pengawasan guru. Ada dua jenis sekolah, yaitu sekolah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 1991 TENTANG PENDIDIKAN LUAR BIASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilandasi oleh tujuan untuk penciptaan keadilan dan kemampuan bagi

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

2014 IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL PADA KETERAMPILAN MEMBUAT SPAKBOR KAWASAKI KLX 150 MENGGUNAKAN FIBERGLASS DI SMALB-B

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan disegala bidang demi tercapainya tujuan bangsa, oleh karena itu

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang

PEMBINAAN DISIPLIN ANAK TUNA GRAHITA DI SEKOLAH. (Studi Kasus di SLB Pelita Bangsa Kesamben Jombang) SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan di Negara Indonesia merupakan suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

1.7 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN

PUSAT PERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ARSITEKTUR PERILAKU TUGAS AKHIR TKA 490 BAB I PENDAHULUAN

REDESAIN YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT (YPAC) SEMARANG. disusun oleh : KHOERUL UMAM L2B

BAB III METODE PERANCANGAN. sebuah proses perancangan, metode ini dibutuhkan untuk memudahkan perancang

SEKOLAH LUAR BIASA YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT (SLB YPAC) DI SEMARANG. (Penekanan Desain Arsitektur Post Modern) IDA ASTRID PUSPITASARI L2B

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. tiap tahunnya, hal ini ditandai dengan prestasi anak bangsa yang sudah mampu

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap

BAB I PENDAHULUAN. mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka. Pendidikan

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA. Imam Gunawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah amanat dari Allah SWT dan sudah seharusnya orang tua. mendampingi dan mengawali perkembangan anak, sehingga anak dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul

Landasan Pendidikan Inklusif

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak-anak penyandang tuna daksa (memiliki kecacatan fisik), seringkali

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah mengungkapkan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

3/8/2017. Dita Rachmayani, S.Psi., M.A dita.lecture.ub.ac.id / PENGGUNAAN ISTILAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Keterbatasan, tidak menjadi halangan bagi siapapun terutama keterbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan sebagian besar rakyatnya berkecimpung di dunia pendidikan. Maka dari. menurut Undang-undang Sisdiknas tahun 2003:

BAB I PENDAHULUAN. tinggi serta mau bersaing dalam tantangan hidup. Akan tetapi sistem

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan selalu berhubungan dengan tema-tema kemanusiaan.artinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. negara yang diinginkan serta tujuan pembentukan pemerintahan. Negara

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam menentukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bab I ketentuan umum pada pasal 1 dalam UU ini dinyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

(Dengan Penekanan Desain Arsitektur Neo Vernakular)

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. itu bisa didapatkan dan dilakukan dimana saja, bisa di lingkungan sekolah, Dengan pendidikan kehidupan manusia menjadi terarah.

BAB I PENDAHULUAN I.1

Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sejak dilahirkan mempunyai fitrah sebagai makhluk yang. berguna bagi agama, berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dunia baik itu pendidikan formal maupun non formal. Begitu

BAB I PENDAHULUAN. atau tidaknya suatu negara di pengaruhi oleh faktor pendidikan. Begitu. sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan.

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masalah pendidikan menjadi hal yang utama bahkan mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya pendidikan adalah salah satu proses yang berlandaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia yang berada di masing masing Provinsi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas pendidikan. daya manusia dan merupakan tanggung-jawab semua pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya.

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

PENGARUH KOMUNIKASI GURU-SISWA DAN BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI KELAS X DAN XI SMA MUHAMMADIYAH 2 SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. proses pembelajaran. Keberadaan pendidikan yang sangat penting tersebut telah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

FAKTOR-FAKTOR STRATEGIK PEMEROLEHAN BAHASA ANAK TUNARUNGU ( Studi kasus di SLB B Karnnamanohara Yogyakarta ) T E S I S

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dihargai dan

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan nasional betujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian,

BAB I PENDAHULUAN. satu pun dari semua ini ada karena hak manusia memutuskan untuk. kebesaran dan kekuasaan Allah di alam semesta ciptaan-nya.

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamika perubahan sosial budaya masyarakat. mengembangkan dan menitikberatkan kepada kemampuan pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. dari pendidikan nasional tersirat dalam undang-undang sistem pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan, termasuk polio, dan lumpuh ( Anak_

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan cara untuk mencerdaskan bangsa yang di atur dalam

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

BAB I PENDAHULUAN. belajarnya. Segala bentuk kebiasaan yang terjadi pada proses belajar harus. terhadap kemajuan dalam bidang pendidikan mendatang.

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. dengan membaca maka pengetahuan bertambah. Sudah pasti, orang yang rajin membaca adalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi yang dimiliki demi kemajuan suatu bangsa. Salah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan sebuah wadah seseorang mendapatkan suatu pendidikan di bawah pengawasan guru. Ada dua jenis sekolah, yaitu sekolah formal dan sekolah non formal. Sekolah formal yaitu sekolah yang memiliki tahapan pendidikan mulai sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Sedangkan sekolah non formal adalah sekolah yang memiliki tujuan khusus seperti sekolah kursus keahlian dan sekolah keagamaan. Di dalam sekolah terdapat banyak orang yang memiliki kegiatan dan kebutuhan yang berbeda-beda temasuk anak cacat. Cacat fisik adalah keterbatasan yang dimiliki manusia sejak lahir maupun tidak, seperti cacat kaki (lumpu h) dan tangan, cacat mata, bisu, dan tuli. Keterbatasan ini mempunyai dampak yang besar bagi pribadi yang memiliki keterbatasan ini maupun bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Dalam melakukan aktifitas, anak yang cacat fisik akan selalu membutuhkan bantuan orang lain karena keterbatasan yang dimilikinya, sehingga akan menimbulkan ketergantungan pada orang-orang yang ada disekitarnya. Ketergantungan ini akan menjadi beban dan gangguan bagi orang-orang yang menjadi sandaran anak cacat tersebut. Karena ketergantungan tersebut orang yang cacat fisik di dalam al Qur`an termasuk dalam golongan kaum dhuafa. 1

Dalam al Qur`an surat An Nuur ayat 61, telah dijelaskan tentang bagaimana tidak adanya perbedaan antara anak cacat fisik dengan anak normal. Pada ayat tersebut disebutkan bahwa orang yang cacat memiliki hak yang sama untuk makan bersama dengan orang lain, tidak ada perlakuan yang berbeda terhadap mereka. Keterbatasan fisik yang dimiliki tidak boleh menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap orang cacat. Saat ini orang yang cacat fisik justru mendapatkan perlakuan yang tidak seharusnya, terdapat batasan-batasan yang memisahkan antara orang normal dan orang cacat. Batasan-batasan inilah yang dapat menciptakan suasana yang tidak harmonis. Hal ini sangat bertentangan dengan kandungan surat An Nuur ayat 61 yang telah disebutkan di atas. Jika dijabarkan lebih luas makna kata-kata hak yang sama seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya, tidak hanya berupa hak untuk makan bersama tetapi juga hak untuk mendapatkan pendidikan seperti halnya orang normal. Di Indonesia usaha untuk rehabilitasi terhadap penyandang cacat termasuk memberikan pendidikan dilandasi oleh landasaan idiil, konstitusionil, dan operasionil. Sebagai landasan idiil yaitu Pancasila sila ke-2 yang berbunyi: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. dan sila ke-5 yang berbunyi: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Landasan konstitusionil-nya berupa Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 yang berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, sedangkan landasan operasionil berupa Garis-Garis Besar Haluan Negara 2004-2009 yang menyebutkan mengenai terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sehat, 2

mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, serta berdisiplin. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 jiwa atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 24,45% atau 361.860 jiwa diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan 21,42% atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610 anak usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini terdaftar di sekolah luar biasa. Ini berarti masih ada 295.250 anak penyandang cacat (85,6%) ada di masyarakat dibawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga yang pada umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Pada tahun 2009, jumlah anak penyandang cacat yang ada di sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak (Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa, 2010: 10). Dari data di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk anak cacat usia sekolah yang belum mendapatkan pendidikan di bangku sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan anak cacat yang telah mendapat pendidikan. Umumnya, sekolah untuk anak cacat hanya berada di sebuah kota besar atau ibu kota kabupaten. Padahal anak cacat tersebar di semua wilayah. Hal ini akan menjadi masalah bagi anak cacat yang berasal dari keluarga yang tidak mampu, jarak yang harus ditempuh menuju sekolah pastinya akan membutuhkan banyak 3

biaya. Biasanya bagi orang tua yang tidak dapat menyekolahkan anak di suatu sekolah luar biasa akan mencoba untuk menyekolahkan anak tersebut di sekolah yang bisa mereka jangkau baik dari segi biaya maupun lokasi. Padahal, tidak semua sekolah biasa mau menampung anak cacat yang memiliki kebutuhan khusus tersebut karena tidak adanya kesanggupan dari pihak sekolah, akibatnya anak cacat tersebut tidak akan bisa sekolah dan akan berdampak pada kegagalan program wajib belajar. Kota Malang terkenal dengan Kota Pendidikan, dimana banyak berdiri gedung-gedung sekolah dan universitas universitas, tetapi untuk sekolah yang menampung anak cacat masih jarang ditemukan, hanya sekitar 21 sekolah luar biasa yang ada di Malang. Hal ini seperti tercantum pada tabel berikut : Tabel 1.1 Sekolah Luar Biasa di Malang No Tipe Sekolah Jumlah Keterangan 1 Tuna rungu 1-2 Tuna grahita 1-3 Campuran (tuna rungu wicara, tuna daksa, tuna mental, tuna netra) Total 21 (Sumber: Daftar Penyelenggara Pendidikan Luar Biasa Provinsi Jawa Timur) 19 Terdapat lebih dari satu tipe dalam satu sekolah Adapun suatu lembaga yang menampung anak cacat, rata-rata hanya sekedar menampung anak cacat fisik bukan untuk memberikan mereka pendidikan. Umumnya, sekolah untuk anak cacat dikelola oleh suatu lembaga atau yayasan Katolik sedangkan tidak semua anak cacat beragama Katolik. Masyarakat Indonesia sendiri mayoritas beragama Islam, sedangkan sekolah untuk anak cacat yang berbasis Islam masih jarang ditemukan bahkan belum ada. Seiring dengan berjalannya zaman dimana manusia terus berkembang dan teknologi semakin canggih diharapkan pula program pendidikan terhadap anak yang cacat fisik juga 4

tetap berjalan dan terus berkembang dalam masyarakat global. Dengan adanya teknologi yang terus berkembang, tidak ada hal yang tidak mungkin untuk dilakukan untuk membantu anak cacat fisik yang membutuhkan, termasuk dengan adanya Sekolah Dasar Islam Khusus anak cacat fisik. Sekolah Dasar Islam Khusus Anak Cacat Fisik merupakan bangunan yang ditujukan untuk anak cacat fisik, sehingga bangunan ini perlu mempertimbangkan kebiasaan dan kebutuhan anak cacat fisik. Untuk itu, perancangan Sekolah Dasar Islam Khusus Anak Cacat Fisik menggunakan tema Behaviour Architecture dengan fokus teritorialitas ( territoriality), teritorialitas merupakan daerah atau wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang atau sekelompok orang dan munculnya wilayah ini dikarenakan kebutuhan pengguna itu sendiri. Mengingat pengguna sekolah adalah anak cacat fisik yang memiliki kebutuhan yang berbedabeda berdasarkan jenis ketunaan yang dialami, maka dari itu, perlu adanya pengklasifikasian ruang berdasarkan kebutuhan anak tersebut. Pengklasifikasian ruang merupakan upaya untuk memberikan teritorialitas yang nyata bagi anak cacat fisik serta untuk mengetahui lebih terperinci kebutuhan lingkungan yang harus dipenuhi, yaitu dengan mengetahui bagaimana pribadi yang berbeda, bereaksi berbeda pula terhadap lingkungan yang beragam. Hal ini juga dapat memudahkan proses belajar-mengajar dalam Sekolah Dasar Islam khusus anak cacat fisik. 5

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana rancangan sekolah yang dapat menampung dan mengayomi kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan bagi anak penyandang cacat fisik? Bagaimana menerapkan tema Behaviour Architecture dengan fokus pada teritorialitas serta mengintegrasikan nilai-nilai Islam pada perancangan sekolah untuk cacat fisik? 1.3 Tujuan Menghasilkan rancangan sekolah yang dapat menampung dan mengayomi kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan bagi anak penyandang cacat fisik; Untuk menerapkan tema Behaviour Architecture pada hasil rancangan dengan fokus pada teritorialitas serta mengintegrasikan nilai-nilai Islam pada perancangan sekolah untuk cacat fisik. 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat bagi anak cacat fisik: Mengangkat derajat anak cacat fisik sebagai warga negara dan umat beragama yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam negara dan agama; Menumbuhkan rasa percaya diri anak cacat fisik agar optimis dalam menjalani kehidupan; 6

Mengembangkan kemampuan dan potensi diri anak cacat fisik. 1.4.2 Manfaat bagi program pendidikan nasional: Membantu terlaksananya program wajib belajar. 1.4.3 Manfaat bagi negara dan masyarakat: Mengentas kebodohan masyarakat Indonesia; Mengurangi masalah sosial dalam negara, seperti pengangguran dan kemiskinan. 1.5 Ruang Lingkup 1.5.1 Ruang Lingkup Objek Adanya bangunan sekolah ini khusus untuk memberikan pendidikan dan pelatihan pada anak-anak cacat fisik dengan tipe A (anak tunanetra), B (tunarungu wicara) dan D (tunadaksa). Usia sekolah yaitu antara 6 sampai 13 tahun atau setara dengan anak-anak di madrasah ibtida`iyah (MI), mengingat pendidikan di usia dini sangat dibutuhkan oleh anak untuk membina pertumbuhan anak menuju kedewasaan. Para siswa yang mengikuti program belajar diutamakan beragama Islam, demikian juga orang tua atau wali siswa diutamakan beragama Islam. Wadah ini diharapkan dapat menampung dan mengayomi seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya di sekitar lokasi, tetapi meliputi seluruh Kota Malang dan sekitarnya. 7

1.5.2 Ruang Lingkup Tema Rancangan sekolah ini akan diaplikasikan dengan tema Behaviour Architecture, dengan fokus teritorialitas ( territoriality) yang memperhatikan kebutuhan anak cacat fisik karena kebutuhan anak cacat fisik yang berbeda dari tiap individu. Untuk itu anak cacat perlu untuk diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan dan ditempatkan pada satu ruang, dengan teritorialitas berupa pembagian ruang-ruang dapat memudahkan anak cacat fisik untuk menerima pelajaran dan pelatihan yang diberikan oleh pihak sekolah. 8