Ada 34,96 juta orang Indonesia hidup melarat. Situasi ini harus diubah, menghadapi krisis ekonomi global diperlukan sist im ekonomi baru Di dalam masyarakat kita, Lebaran telah menjadi saat yang bernilai untuk merajut solidaritas sosial. Antara lain melalui tindakan etis saling memaafkan dan menyatu kembali dengan basis komunitas seperti saudara, handai tolan dan kerabat. Dalam istilah budayawan Umar Kayam, saat Lebaran orang melakukan kegiatan solidaritas untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai budaya dan sosial tanpa membedakan latar agama, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Untuk itu, mudik atau kembali ke akar sosial dan budaya merupakan salah satu aktualisasi yang dipilih masyarakat kita baik di kota maupun di desa. Umat Muslim Indonesia kerap kali menyambut bulan suci Ramadhan ataupun L Lebaran dengan salah persepsi. Ada yang menyambut dengan petasan mercon, konvoi di jalanan, ajang konsolidasi organisasi dan kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak mempunyai nilai keagamaan. Tidak hanya itu saja, bulan suci Ramadhan/Lebaran selalu ditandai dengan kenaikan harga sembako yang meroket tinggi. I ni terlihat ketika beberapa waktu lalu di awal bulan Ramadhan pemerintah menaikkan harga sembako di beberapa pasar tradisional yang ada di Jakarta. Di sisi lain, bulan Ramadhan/Lebaran selalu identik dengan budaya konsumerisme. Konsumsi 1 / 5
produk makanan seperti kue, makanan, pakaian dan kebutuhan primer meroket tajam padahal kebutuhan-kebutuhan tersebut bukan merupakan substansi dari bulan suci Ramadhan/Lebaran. Kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat mempengaruhi pola keagamaan dalam bulan suci Ramadhan sehingga hubungan antara manusia dengan sang khalik bukan menjadi prioritas utama dalam bulan yang penuh berkah tersebut. Apalagi kalau kita melihat di media massa dan elektronik iklan atau acara selalu menjejali umat Muslim kita dalam membeli kebutuhan-kebutuhan yang notabenenya itu bukan merupakan dari substansi dari bulan suci Ramadhan. Padahal, definisi dari puasa adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, baik yang bersifat lahir maupun batin. Umat Muslim di seluruh dunia dalam berpuasa diwajibkan untuk menahan makan, minum, dan nafsu seksual sejak terbit fajar hingga Maghrib. Juga mencegah nafsu untuk menggunjing, mencaci maki, memperolok-olok, mendengarkan suara kejelekan, dan perbuatan negatif lainnya dan sebenarnya inilah substansi dari puasa Ramadhan. Jika kita hanya mampu menahan yang bersifat lahir, sebetulnya baru masuk tahap permukaan puasa. Menurut Imam Al-Ghazali puasa di klasifikasikan menjadi tiga, puasa orang awam, puasa khusus, dan puasa amat khusus. Budaya konsumerisme Seyogiyanya puasa salah satu momentum yang paling tepat dalam mengurangi budaya konsumerisme di masyarakat kita. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan kita lebih peka dan peduli dengan sesama umat Muslim. Menurut David Fagg dalam Consumerism, Faith, and Young People (Revolve, April 2006), konsumerisme tidak hanya terkait pengonsumsian sesuatu. Namun, dalam konsumerisme, ada tiga hal yang menjadi identitas, bersifat signifikan, dan 2 / 5
berdampak serius. Pertama, konsumerisme sudah menjadi pandangan hidup. Dalam pola hidup konsumeris, jalan hidup seseorang ditentukan, terpusat, dan langsung berkaitan dengan mengonsumsi. Mereka menggunakan mayoritas energi untuk mencari dan membeli semua produk, perumahan, makanan, pakaian, pelayanan, dan liburan. Umrah di bulan Ramadhan, buka puasa dan tarawih di hotel, sudah menjadi tren. Kedua, konsumerisme menjadi identitas yang membentuk pandangan keduniaan. Identitas diri konsumeris ditentukan pada pakaian, makanan, perumahan, liburan, dan penampilan. Dengan memakai baju, mobil, sepatu, dan barang yang digunakan para selebritis dunia, mereka merasa percaya diri, atletis, atraktif, lebih elegan, dan berbudaya. Pemakaian busana Muslim bergaya milenium menjadikan mereka lebih nyaman dan percaya diri dalam melakukan ibadah. Ketiga, konsumerisme adalah kebingungan membedakan pada yang dibutuhkan dan diinginkan. Keinginan memenuhi standar hidup layak adalah wajar. Namun, konsumeris tidak mengklasifikasi perbedaan antara kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Memiliki mobil lebih dari satu dan rumah mewah seakan menjadi kebutuhan. Padahal, banyak orang amat kerepotan memenuhi kebutuhan primernya. Seyogiyanya bulan suci Ramadhan salah satu momentum yang paling tepat untuk meningkat hubungan sosial diantara umat Muslim, melatih agar kita peka terhadap situasi sosial yang ada, membantu sesama Muslim yang sangat membutuhkan uluran tangan dari para dermawan. Dengan begitu berpuasa tidak hanya menahan lapar dan haus tetapi bisa meningkatkan solidaritas sosial sesama umat Muslim diantara kita dalam bulan Ramadhan, sehingga kita merupakan bagian dari entitas umat yang selalu membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. Kemiskinan 3 / 5
Di Indonesia, kemiskinan tahun 2009 sekitar 15,42 persen. Artinya, ada 34,96 juta orang Indonesia hidup melarat dan perlu pemberdayaa n. Situasi ini harus diubah dengan memerhatikan suara-suara yang nyaring mengingatkan, menghadapi krisis ekonomi global diperlukan sist im ekonomi baru. Kebaruannya terletak dalam tuntutan agar ekonomi tidak dijalankan hanya berdasar hukum ekonomis. Krisis ekonomi global menunjukkan, ekonomi memerlukan prinsip-prinsip etis karena ia sendiri tidak mampu menjawab aneka masalah etis yang dimunculkannya. Dialog keagamaan untuk mengentaskan orang miskin jelas sebuah agenda yang muncul dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan tantangan keagamaan dan etis. Tantangan untuk berpaling kepada kaum miskin pada hari Idul Fitri kiranya perlu membangkitkan kaum beragama, tekad membebaskan kaum miskin dari perbudakan atas kemanusiaannya. Sumbangan kaum beragama dalam mengatasi kemiskinan bersumber kekayaan nilai-nilai etis. Agama-agama diharapkan menjalin solidaritas global, misalnya dengan penerapan kode etik bersama yang norma-normanya menghormati martabat manusia yang terluka oleh kemiskinan. Kaum beragama dipanggil merintis jalan etis agar tercipta kondisi sosial-kultural dan politis yang memungkinkan kaum miskin bertanggung jawab kepada diri sendiri. Jalan itu masih panjang karena di negeri ini masih diperlukan hukum yang prokeadilan, politisi yang tidak mudah tergiur korupsi, dan masih dinantikan pejabat-negarawan yang tidak mengkhianati kaum miskin karena putusan-putusannya berlandaskan nilai-nilai etis prorakyat. Penutup 4 / 5
Dengan momentum puasa Ramadhan, kita memasuki bulan kemenangan (Syawal) diharapkan dapat me ngubah diri setiap Muslim tidak hanya bersih secara fisik te ta pi bersih secara rohani. Masyarakat Muslim perlu me ng ubah diri dari budaya konsumerisme yang identik dengan budaya kapitalisme ke budaya yang mengandung nilai-nilai substansi spiritual. Lebaran tidak hanya menyangkut persoalan logika kapitalisme atau uang yang cenderung hura-hura tetapi lebih pada spirit keagamaan yang memprioritaskan ikatan sosial sesama umat Muslim tanpa memprioritaskan ritus-ritus kegiatan yang berlebihan. Dengan demikian masyarakat bisa memproteksi diri masing-masing dari budaya konsumerisme yang cenderung menghilang nilai-nilai spiritual dan lebih meningkatkan nilai-niali sosial sesama Muslim. Semoga puasa tidak hanya menahan lapar dan haus tetapi lebih kepada meningkatkan solidaritas sosial sesama manusia dalam melakukan interaksis sosial (Hablum Minannas). Nilai puasa tidak ada artinya kalau implikasi puasa tidak berarti apa-apa terhadap stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. Maka di bulan yang suci ini marilah kita kembali kepada kepada ajaran agama yang fitri, yang menganjurkan persatuan dan kesatuan umat, menjaga keselarasan dan keharmonisan dengan umat yang lain dan saling menghormati dalam melakukan ajaran agama masing-masing. Semoga kita menjadi lebih baik pasca bulan suci Ramadhan dan idul fitri. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431H, Mohon Maaf Lahir dan Batin. ***** ( Hasrul Harahap, SS : Penulis adalah Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Periode 2008-2010, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta ) 5 / 5