BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PERAN AKTOR DALAM PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA (RPJMDES)

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 134 TAHUN : 2011 SERI : E

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN

BAB III METODE PENELITIAN

Pembendaharaan Negara (Lembaran Negara tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

BUPATI KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 1 TAHUN 2016

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

GUBERNUR SULAWESI UTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

MANAJEMEN KEUANGAN BANDI. 11/26/2013 Bandi, 2013 MKN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi Negara

BAB I PENDAHULUAN. Bagian pendahuluan ini akan menguraikan rencana penelitian yang

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MALINAU

Assalamu'alaikum Wr.Wb Salam Sejahtera

BAB I PENDAHULUAN. dan kemampuan Pegawai Negeri Sipil. Maka dari itu dikatakan bahwa

Berkomitmen terhadap Pokok Kaidah Negara Fundamental

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

pelaksanaan pemerintahan terbebas dari praktek-praktek KKN,

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA DESA RARANG SELATAN KECAMATAN TERARA KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DESA RARANG SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2017

BAHAN TAYANG MODUL 5

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

TRANSFORMASI DESA PENGUATAN PARTISIPASI WARGA DALAM PEMBANGUNAN, PEMERINTAHAN DAN KELOLA DANA DESA. Arie Sujito

BAB I PENDAHULUAN. unsur kekuatan daya saing bangsa, sumber daya manusia bahkan sebagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara tentu memiliki tujuan dan cita-cita nasional untuk menciptakan

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 027 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik

Pancasila Sebagai Dasar Negara (dalam hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945)

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

KEPALA DESA MIAU MERAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DESA MIAU MERAH NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 alinea

BUPATI BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

RENCANA KERJA (RENJA)

BAB II LANDASAN TEORITIS

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

SAMBUTAN KEPALA DESA

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

Policy Brief Launching Arsitektur Kabinet : Meretas Jalan Pemerintahan Baru

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu Melindungi segenap

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. teknologi, dibidang pemerintah telah terjadi perubahan yang mendasar. Salah satu

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

I. PENDAHULUAN. Konsep otonomi daerah dan pemerintahan yang bersih, termasuk juga konsep

KEPALA DESA KARANGPAPAK KECAMATAN CISOLOK KABUPATEN SUKABUMI PERATURAN DESA KARANGPAPAK NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Negara Republik Indonesia saat ini sedang giat-giatnya melaksanakan

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan proaktif melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA DAN KELURAHAN

Kegiatan perencanaan dan penganggaran Pemerintah Daerah yang diatur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG TAHUN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PEMBANGUNAN DESA DAN KERJA SAMA DESA

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak dalam

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 028 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017

REPUBLIK INDONESIA KANTOR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1994: 136 ) mengatakan tujuan dari welfere state ( negara kesejahteraan ) pada hakikatnya

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera lahir dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dinamika yang harus dimainkan dalam ranah yang terus berubah tadi.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN KATINGAN TAHUN

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

No.1087, 2014 BNPB. Badan Penanggulangan Bencana. Daerah. Pembentukan. Pedoman KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005

HASIL-HASIL PENELITIAN/KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIS

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

BAB I PENDAHULUAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAEAH KOTA BINJAI TAHUN LATAR BELAKANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam pelaksanaan fungsi desentralisasi dan demokratisasi pada tingkat lokal (Otonomi Daerah), pemerintah melakukan upaya-upaya yang signifikan melalui penataan sistem perencanaan pembangunan nasional. Paskah Suzetta (2007) mengatakan bahwa, dalam rangka menata pembangunan nasional, pemerintah melakukan upaya-upaya yang terencana, terkoordinasi, konsisten, dan berkelanjutan, melalui peran pemerintah bersama masyarakat, dengan memperhatikan kondisi ekonomi, perubahan sosial-politik, perkembangan sosialbudaya yang ada, perkembangan ilmu dan teknologi, serta perkembangan dunia internasional atau globalisasi. Upaya ini didorong oleh perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan, yang lebih menekankan pada interaksi antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, mengacu pada pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Tujuan dari penataan sistem perencanaan pembangunan nasional tersebut pada prinsipnya adalah agar penyelenggaraan pembangunan berbasis pada prinsip pelaksanaan otonomi daerah, yakni, pertama, demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, kedua, usaha meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan ketiga, terwujudnya pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Suwondo, 2005: 21-22). Pembangunan secara sederhana diartikan sebagai suatu perubahan tingkat kesejahteraan yang terukur. Agar perubahan tingkat kesejahteraan dapat dilakukakn secara terukur, maka diperlukan perencanaan. Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), pasal 1, telah termuat tentang hubungan antara pembangunan dan perencanaan, yakni; Ayat (1) Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia; 1

Ayat (2) Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara; Dan ayat (3) tertulis, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencanarencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Dari peraturan tersebut, dapat dikatakan bahwa pembangunan yang terencana merupakan sebuah kesatuan tata cara dan proses menentukan tindakan yang tepat, berdasarkan jangka waktu tertentu, yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 1 Sebuah proses perencanaan pembangunan akan bermuara pada proses penentuan kebijakan-kebijakan maupun program-program pembangunan (Salam, 2002; 14). Jika pengertian ini dikontekskan pada pembangunan desa, maka setiap perencanaan pembangunan desa merupakan proses penentuan kebijakan dan program yang bertujuan untuk pembangunan desa. Menurut Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, Pasal 63 ayat 2, perencanaan pembangunan desa diwajibkan agar dilakukan secara partisipatif oleh pemerintah desa sesuai dengan kewenangannya. Hasil dari perencanaan pembangunan desa ini adalah dokumen kebijakan perencanaan pembangunan jangka menengah di desa disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). RPJMDes merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat strategi dan arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa dan program prioritas kewilayahan, yang disertai dengan rencana kerja dan RPJMDes tersebut merupakan dokumen perencanaan yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota, (Pasal 63 ayat 1 PP No 72/2005). 1 Tujuan bernegara seperti temuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, pada alinea keempat, yakni; Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2

Dalam konteks pembangunan wilayah, desa merupakan basis pembangunan masyarakat terkecil. Jumlah penduduk desa hampir mencapai 60% dari total penduduk Indonesia (Jayadinata dan Pramandika, 2006; 1), dan hal ini berarti prioritas pembangunan mestinya dititik-beratkan pada pembangunan desa. Namun kenyataannya, masalah pembangunan yang paling menunjukkan ketimpangan adalah pada pembangunan desa. Jika menilik jumlah penduduk miskin di Indonesia, jumlah penduduk miskin di desa lebih besar 18,935 juta jiwa (15,59%), dibandingkan penduduk miskin di perkotaan yang berjumlah 10,954 juta jiwa (9,09%) (BPS, 2011). Data tersebut ingin menyatakan bahwa, desa (dalam konteks pembangunan) sangat membutuhkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang terencana dan sistematis untuk menanggulangi persoalanpersoalan pembangunan, dan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Kualitas pembangunan suatu daerah (kabupaten/kota) sangat dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya kualitas pembangunan dari tingkat desa. Akan tetapi, menilik pada persoalan pembangunan desa di atas, bahwa jumlah penduduk miskin masih banyak di desa, mengartikan bahwa perencanaan pembangunan suatu daerah belum memprioritaskan pada kualitas perencanaan yang dimulai dari perencanaan pembangunan desa, atau dapat diasumsikan dalam logika terbalik bahwa, masalah utamanya adalah adalah belum tuntasnya kualitas perencanaan pembangunan desa itu sendiri, sehingga mempengaruhi perencanaan pembangunan daerah pada umumnya. Lemah atau kuatnya kualitas perencanaan pembangunan di tingkat desa sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang merencanakan pembangunan tersebut. Menurut Asmara, H. (2001), lemahnya kualitas perencanaan pembangunan di tingkat desa disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu; Pertama, lemahnya kapasitas lembaga-lembaga yang secara fungsional menangani perencanaan; Kedua, kelemahan identifikasi masalah pembangunan; Ketiga, dukungan data dan informasi perencanaan yang lemah; Keempat, kualitas sumber daya manusia, khususnya di desa yang lemah; Kelima, lemahnya dukungan pendampingan dalam kegiatan perencanaan; dan Keenam, lemahnya dukungan 3

pendanaan dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan pembangunan di desa. Dari kelima faktor tersebut, menunjukkan bahwa persoalan kualitas perencanaan pembangunan desa terletak pada aktor-aktor perencananya yang belum memiliki kapasitas perencana, sehingga hal ini pula mempengaruhi intitusi perencana di tingkat desa untuk merumuskan kebijakan pembangunan di tingkat desa. Secara sosiologis, penyusunan dan perumusan sebuah kebijakan dalam skala apapun, peranan aktor sangat diperlukan. Jika dapat disederhanakan, peran ini dapat diartikan sebagai Siapa, melakukan apa, untuk memperoleh apa, atau dengan kata lain, kebijakan diartikan sebagai sekumpulan aktivitas yang terjadi dalam sebuah proses yang dilahirkan dari berbagai kegiatan (tindakan/praktik) aktor-aktor untuk mencapai tujuan tertentu (Kusumanegara, 2010; 53). Dalam kaitannya dengan penyusunan kebijakan RPJMDes, peran-peran yang dilakukan oleh aktor-aktor sangat berpengaruh pada hasil penyusunan dari RPJMDes itu sendiri. Aktor-aktor ini biasanya mempunyai latar belakang yang berbeda, sehingga motif dan tujuan ingin dicapai juga berbeda-beda. Aktor tersebut diantaranya yaitu, aparatur desa, kelompok kepentingan, kelompok intelektual kampus (akademisi), kelompok yang mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lain-lain. Peran aktor-aktor tersebut sangat menentukan dalam perumusan, pelaksanaan maupun pada saat mempertimbangkan konsekuensi dari kebijakan yang dibuat (Kusumanegara, 2010; 53). Desa Polobogo merupakan salah satu dari 12 desa yang ada dalam wilayah administrasi Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah administrasi Desa Polobogo diapit oleh dua pemerintahan, yakni Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. Pada akhir tahun 2010, pemerintahan Desa Polobogo melaksanakan salah satu tugas dan fungsinya secara administratif, yaitu penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Polobogo (selanjutnya disebut RPJMDes Polobogo) tahun 2010-2015. 2 2 Tugas dan fungsi tersebut mengacu pada pelaksanaan penerjemahan dan penjabaran dari peraturan daerah kabupaten Semarang Nomor 7 Tahun 2011 yang disahkan pada tanggal 13 Mei 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Semarang tahun 2011-2015. 4

Pada pelaksanaannya, ditemui persoalan mendasar yaitu, Pertama, RPJMDes Polobogo 2010-2015 belum diakomodir sebagai dokumen kebijakan desa. Kedua, pada tingkatan praktis, kebijakan dan program yang tercantum dalam RPJMDes Polobogo 2010-2015 belum memperoleh alokasi anggaran dari Kabupaten Semarang karena RPJMDes Polobogo belum menjadi dokumen kebijakan daerah (kabupaten). Berdasarkan kedua hal tersebut, pemerintah Desa Polobogo kemudian melakukan komunikasi dengan pemerintah Kabupaten Semarang untuk menyelesaikan benturan (persoalan) tersebut di atas. Sehingga pada bulan Oktober 2011, melalui berbagai inisiasi dilakukan kembali upaya untuk melakukan penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 bekerja sama dengan Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Trukajaya. 3 Atas kerjasama tersebut, dihasilkanlah RPJMDes Polobogo 2010-2015 yang baru, yang kemudian disampaikan pada Lokakarya RPJMDes Polobogo pada tanggal 7 Desember 2011. Dalam kegiatan Lokakarya RPJMDes Polobogo 2010-2015 4 itu, berbagai masukan, harapan dan evaluasi yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten Semarang (BAPPEDA) terhadap RPJMDes Polobogo yang baru diselesaikan itu. Tercatat dalam sambutan Kepala Desa Polobogo menyampaikan harapan agar RPJMDes yang disampaikan ini, dapat memecahkan masalah dan benturan-benturan pembangunan yang selama ini terjadi. Selanjutnya, evaluasi yang disampaikan oleh BAPPEDA Kabupaten Semarang terhadap perubahan RPJMDes Polobogo itu, yang adalah sebagai berikut: Pertama, penyusunan RPJMDes sebelumnya belum melalui mekanisme yang seharusnya (meninjau RPJMDes Polobogo yang diajukan sebelumnya). Kedua, peraturan desa tentang RPJMDes yang disusun, belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketiga, belum memuat perencanaan pembangunan tahunan. Keempat, visi desa (yang 3 Diskusi pertama antara Pemerintah Desa Polobogo (termasuk Tim Penyusun RPJMDes Polobogo sebelumnya) bersama dengan mahasiswa dan dosen pengampu mata kuliah Perencanaan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (FISKOM UKSW) serta perwakilan dari LSM Trukajaya. Kantor Desa Polobogo, 13 Oktober 2011. 4 Berdasarkan pada Notulensi Lokakarya RPJMDes Polobogo 2010-2015 tanggal 7 Desember 2011. 5

termuat dalam RPJMDes masih meniru visi kabupaten. Namun demikian, berdasarkan lokakarya tersebut, RPJMDes Polobogo yang baru ini diterima (juga diapresiasi) oleh pihak pemerintah kabupaten dan disarankan agar diajukan segera menjadi masukan bagi dokumen pembangunan daerah dalam lingkup kerja administratif desa Polobogo. Menilik dinamika dan perkembangan dari penyusunan RPJMDes Polobogo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar, siapa sajakah aktor yang berperan penting dalam penyusunan RPJMDes tersebut? Apakah peran yang dilakukan oleh aktor-aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo tersebut? Dan, apakah tujuan yang ingin dicapai oleh para aktor tersebut dalam penyusunan RPJMDes Polobogo? Ketiga pertanyaan sederhana ini tentu terlihat mudah untuk dijawab. Namun demikian dalam konteks sosiologis, yang perlu dicermati lebih jauh adalah apa dan bagaimanakah kegiatan (tindakan/praktik) dari pada aktoraktor dalam menyusun RPJMDes Polobogo, atau apakah motif yang melatarbelakangi para aktor dalam menyusun RPJMDes Polobogo, yang tentu menjadi pertanyaan yang mendasar. Dalam pendekatan sosiologi, Pierre Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003;8) mengemukakan bahwa fenomena sosial apa pun merupakan produk dari tindakantindakan individual, oleh karena itu, logika tindakan harus dilihat (dicari) pada sisi rasionalitas pelakunya. Pierre Bourdieu juga mengemukakan bahwa (dalam Adib, 2012) praktik (secara sosial) merupakan hubungan relasional yakni struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku, terjalin secara dialektik. Dalam konteks penyusunan RPJMDes Polobogo, dapat diasumsikan bahwa terdapat rasionalitas tindakan antar aktor-aktor dalam sebuah struktur obyektif, yaitu proses penyusunan RPJMDes Polobogo itu sendiri. Dari beberapa uraian di atas, peran aktor menjadi signifikan untuk diteliti lebih lanjut. Jika proses perencanaan pembangunan (desa) adalah (1) untuk mendorong partisipasi, (2) pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dan (3) mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka menjadi menarik untuk diteliti tentang peranan aktor-aktor dalam mencapai ketiga tujuan prinsip tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini akan berupaya mencermati tentang 6

peran aktor dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran aktor dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Polobogo 2010-2015, di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang? 1.3. Pokok Persoalan Penelitian 1. Bagaimanakah proses penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015? 2. Bagaimanakah peran aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015? 1.4. Tujuan Penelitian Dari persoalan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menggambarkan proses penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. 2. Menjelaskan peran aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan konsep perencanaan pembangunan khususnya di tingkat desa. 2. Hasil dari penelitian ini lebih diutamakan sebagai masukkan bagi aparatur Pemerintahan Desa dan masyarakat di Desa Polobogo. 3. Bagi peneliti-peneliti selanjutnya di bidang perencanaan pembangunan desa dan institusi perguruan tinggi yang memiliki tanggung jawab pengabdian masyarakat. 7

1.6. Konsep-Konsep Yang Digunakan Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Peran Aktor Peran aktor yang menjadi alat analisa teoritis terhadap hasil penelitian ini menggunakan konsep tindakan aktor Pierre Bourdieu. Dalam kaitannya dengan konsep Bourdieu, maka peran aktor yang ingin dimaksudkan adalah sekumpulan tindakan individual atau kolektif antar aktor atau individu berdasarkan rasionalitas atau pengalamannya yang digunakan dalam mempengaruhi struktur obyektif (Bourdieu, 1977; 86), yakni arena kekuasaan/perjuangan, dengan memanfaatkan, atau bahkan dengan maksud ingin merebut modal-modal yang ada dalam struktur obyektif tersebut (Ritzer dan Goodman, 2010; 583). 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat strategi dan arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa dan program prioritas desa, yang disertai dengan rencana kerja. RPJMDes disusun untuk menjadi panduan atau pedoman bagi komunitas desa dan supradesa, untuk mengelola potensi maupun persoalan di desa dalam rangka pembangunan di desa. (Hanapiah, 2011) 8