Bab IV Pengolahan Data dan Analisis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

Tabel 4.1 Perbandingan parameter hasil pengolahan data dengan dan tanpa menggunakan moving average

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

PENENTUAN KOMPONEN KOMPONEN PASANG SURUT DARI DATA SATELIT JASON DENGAN ANALISIS HARMONIK METODE KUADRAT TERKECIL

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

BAB II TEKNOLOGI SATELIT ALTIMETRI DAN PASUT LAUT

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

Bab III Satelit Altimetri dan Pemodelan Pasut

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB II SATELIT ALTIMETRI

BAB 2 DATA DAN METODA

SEA SURFACE VARIABILITY OF INDONESIAN SEAS FROM SATELLITE ALTIMETRY

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri

Bab II Teori Harmonik Pasang Surut Laut

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

STUDI SEA LEVEL RISE (SLR) MENGGUNAKAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI K. SAHA ASWINA D., EKO YULI HANDOKO, M. TAUFIK

BAB 3 DATA DAN PENGOLAHAN DATA

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

Analisis Harmonik Pasang Surut untuk Menghitung Nilai Muka Surutan Peta (Chart Datum) Stasiun Pasut Sibolga

BAB I PENDAHULUAN I.1.

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

BAB I PENDAHULUAN I.1.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal Geodesi Undip April 2016

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

Studi Analisa Pergerakan Arus Laut Permukaan Dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode (Studi Kasus : Perairan Indonesia)

2 BAB II LANDASAN TEORI DAN DATA

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

B 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 METODOLOGI. Gambar 3.1 Foto stasiun pengamatan pasut di Kecamatan Muara Gembong

Oleh: Ikhsan Dwi Affandi

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

I Elevasi Puncak Dermaga... 31

PERBANDINGAN AKURASI PREDIKSI PASANG SURUT ANTARA METODE ADMIRALTY DAN METODE LEAST SQUARE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut

BAB 4 IDENTIFIKASI DAN ANALISIS WAVEFORM TERKONTAMINASI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Ira Mutiara Anjasmara 1, Lukman Hakim 1 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

PEMANFAATAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI UNTUK KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN PULAU JAWA DARI TAHUN 1995 s.d 2014

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

TEORI DASAR. variasi medan gravitasi akibat variasi rapat massa batuan di bawah. eksplorasi mineral dan lainnya (Kearey dkk., 2002).

BAB I PENDAHULUAN I.1

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

PEMODELAN TOPOGRAFI MUKA AIR LAUT (SEA SURFACE TOPOGRAPHY) PERAIRAN INDONESIA DARI DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 MENGGUNAKAN SOFTWARE BRAT 2.0.

BAB III 3. METODOLOGI

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Jurnal Geodesi Undip APRIL 2015

ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS KARAKTERISTIK FISIS WAVEFORM SATELIT ALTIMETRI STUDI KASUS: PESISIR PULAU JAWA

PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Pulau Enggano, Bengkulu

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Pasang Surut

Jurnal Geodesi Undip April 2016

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

BAB 4 ANALISIS DATA TIME SERIES GPS KONTINU SUGAR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

ANALISA FENOMENA SEA LEVEL RISE PADA PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE TAHUN

PENENTUAN KONSTANTA PASUT LAUT DI WILAYAH PERAIRAN SIBOLGA DARI DATA TOPEX/ POSEIDON ( ) DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALISIS HARMONIK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERAMALAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PELABUHAN KUALA STABAS, KRUI, LAMPUNG BARAT

BAB III METODOLOGI. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam studi ini meliputi :

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS. 4.1 Nilai undulasi geoid dari koefisien geopotensial UTCSR

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari buah

III HASIL DAN DISKUSI

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB I PENDAHULUAN I.1.

PEMODELAN MUKA AIR LAUT RERATA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI ENVISAT

BAB IV ANALISIS DATA. Data yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah data eksplorasi

MODUL PELATIHAN PEMBANGUNAN INDEKS KERENTANAN PANTAI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ESTIMASI ENERGI GELOMBANG LAUT MENGGUNAKAN SATELIT ALTIMETRI JASON-2 STUDI KASUS: SELATAN PULAU JAWA

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang

SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

Bab IV Pengolahan Data dan Analisis Kualitas data yang dihasilkan dari suatu pengukuran sangat tergantung pada tingkat kesuksesan pereduksian dan pengeliminasian dari kesalahan dan bias yang mengkontaminasi data ukuran. Hal ini berlaku juga untuk data hasil pengukuran satelit altimetri. Oleh karena itu diperlukan strategi yang tepat dalam menangani data supaya kita bisa mendapatkan sinyal yang baik untuk menghasilkan informasi yang kita inginkan. Pada bagian ini akan diuraikan mengenai pemrosesan data altimetri sehingga menghasilkan informasi model pasut dari data Topex dan Jason-1 beserta analisisnya. Pelaksanaan pemrosesan data altimetri dapat terlihat pada gambar IV.1. IV.1 Pemrosesan Data Altimetri IV.1.1 Pembentukan time series data altimetri Topex dan Jason-1 Data altimetri yang akan digunakan adalah data satelit Topex dan Jason-1. Kedua satelit ini memiliki karakteristik yang sama. Satelit Jason-1 merupakan misi lanjutan dari satelit Topex. Pengolahan data yang dilakukan dimulai pada cycle 1-364 untuk satelit Topex kemudian dilanjutkan dengan misi satelit Jason cycle 22-183. Sumber data berasal dari basis data RADS (Radar Altimetry Database System) TU DELFT yang terlebih dahulu ditentukan jenis koreksi yang diaplikasikan pada data. Pada tabel IV.1 adalah rincian jenis-jenis koreksinya, terlihat bahwa koreksi pasut laut (ocean tides) tidak diaplikasikanya terhadap data tinggi muka laut sehingga pada data altimetri tersebut masih mengandung sinyal pasang surut laut. Data yang masih mengandung sinyal pasut ini selanjutnya disebut RSS (Residual Sea Surface). Model pasut yang digunakan sebagai model pasut awal sebagai pembanding dari model pasut yang akan diekstrak dari altimetri, yaitu model global FES2004. Karakteristik model FES2004 diberikan pada tabel IV.2. 46

Gambar IV.1. Diagram alir pemrosesan data altimetri 47

Tabel IV.1 Pemberian koreksi pada data satelit altimetri Correction Used in RADS Topex/Poseidon (T/P) & Jason 1 Orbit Corrections Orbital altitude JGM 3/NASA (model) Altimeter range corrected for instrument effect Geophysical Corrections Dry troposfer correction ECMWF (model) Wet troposfer correction ECMWF (model) Ionospheric correction IRI95 (model) Bias Sea state bias Chambers BM4 (model empirik) Inverse barometer correction local global mean pressure Tides Corrections Solid earth tide Applied *Ocean tide Not applied FES2004 & NAO99.b (model) Load tide FES2004 & NAO99.b (model) Pole tide Applied Reference Geoid or mass height MSSCLS01 (model) Significant wave height Ku band value Backscatter coefficient Ku band value Wind speed altimeter estimate Tabel IV.2 Karakteristik model pasut FES2004 [Lyard et al., 2006] Sumber data 1. 671 stasiun pasut 2. 337 titik crossover Topex/Poseidon 3. 1254 titik crossover ERS Metoda perhitungan 1. Persamaan hidrodinamika 2. Data asimilasi Komponen pasut yang dilibatkan Resolusi Diurnal : M2, S2,N2,K2,2N2 Semidiurnal :K1,O1,P1,Q1,S1 Periode Panjang :Mf,Mm,Mtm,Msqm Perairan Dangkal : M4 Rata rata 7.5 km dari garis pantai Grid berukuran 0.125 0 Sebelum dilakukan analisis harmonik terhadap data altimetri terlebih dahulu dilakukan pemrosesan awal seperti pemilihan titik normal serta pengisian data kosong dengan interpolasi cubic spline. Data time series pasut altimetri dibentuk dari gabungan dua misi satelit altimetri, yaitu Topex (cycle 11 cycle 364) dan Jason (cycle 22 cycle 183), sehingga jumlah total data adalah sebanyak 516 cycle. 48

IV.1.2 Pemilihan titik normal Untuk studi pasut diperlukan data time series tinggi muka laut pada posisi tetap sepanjang lintasan tertentu. Namun, pada kenyataanya terdapat variasi posisi tiap lintasan sekitar ± 1 km. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data tersebut diperlukan suatu posisi acuan yang dinamakan sebagai titik acuan atau titik normal (normal points). Output yang dihasilkan dari RADS adalah nilai RSS berdasarkan waktu dan posisi. Dilakukan interpolasi data pada titik normal karena analisis yang akan dilakukan adalah variasi temporal pasut pada titik normal. Titik normal yang digunakan adalah titik-titik pada saat crossover cycle 61 Topex dengan jumlah data maksimum yang meliputi wilayah laut Indonesia dan sekitarnya. Cakupan wilayahnya adalah -20 0 LU sampai 19 0 LS dan 85 0 BT sampai 141 0 BT yaitu berjumlah 151 titik seperti terlihat pada gambar 4.2, dengan jumlah lintasan naik (ascending) sebanyak 24 pass dan lintasan turun (descending) sebanyak 26 pass. Titik crossover didefinisikan sebagai titik perpotongan antara lintasan naik dan lintasan turun satelit. Pemilihan titik ini dilakukan untuk melihat kekonsistenan nilai konstanta harmonik yang dapat dihitung dari dua lintasan satelit altimetri. Setiap titik normal yaitu titik crossover tersebut diasumsikan sebagai satu stasiun pasut (tide gauge). IV.1.3 Pengisian data kosong dengan interpolasi Metode interpolasi yang digunakan untuk mengisi kekosongan data adalah cubic spline yang menggunakan polinomial sepotong-sepotong untuk menghasilkan pencocokan data yang baik. Interpolasi cubic spline dilakukan dua kali yaitu terhadap ruang (lintang) dan terhadap waktu (cycle). Interpolasi terhadap ruang dilakukan jika dalam proses pencarian tidak ditemukan posisi yang mengacu pada posisi acuan dan jari-jari pencariannya untuk menentukan titik normal, sedangkan interpolasi terhadap waktu dilakukan untuk mengisi kekosongan pada data altimetri. Radius pencarian data dalam penentuan titik normal adalah sebesar 2 km. Seluruh data tinggi muka laut dari data altimetri harus diinterpolasikan terhadap titik normal tersebut [Wisse, et al., 1995]. 49

IV.2 Pemilihan Komponen Pasut Data yang dipersiapkan sebagai input dalam analisis harmonik adalah data altimetri yang masih mengandung sinyal pasut serta informasi frekuensi tiap komponen pasut yang akan diekstrak dari data altimetri. Frekuensi yang digunakan adalah frekuensi aliasing, sehingga terlebih dahulu harus kita hitung nilainya. Dalam hal ini dilakukan perhitungan frekuensi aliasing dengan menggunakan metode folding (pelipatan) [Yanagi, et al., 1997] Pemilihan komponen pasut yang akan dilibatkan dalam analisis harmonik didasarkan pada komponen pasut yang memiliki pengaruh yang dominan membentuk sinyal pasut. Pemilihan awal sebanyak 21 komponen pasut berdasarkan studi yang dilakukan oleh Cherniawsky et.al., 2000. Komponen pasut tersebut terdiri dari 9 komponen periode semidiurnal yaitu 2,,,,,,,,, 8 komponen periode panjang, 8 komponen periode diurnal,,,,,,,, serta 4 komponen periode panjang,,, yang merupakan komponen tahunan, setengah tahunan, bulanan dan dua mingguan. Selanjutnya dengan menggunakan metoda Lomb untuk menghitung spectral content dari data pasut yang tidak equally space pada data pasut yang ada. Data yang digunakan adalah data pasut palem daerah Sibolga, Sumatera Utara selama kurun waktu 1993-2003. (a) 50

Komponen Pasut Komponen Semidiurnal Spektrum Komponen Pasut Komponen Diurnal Komponen Periode Panjang (b) Gambar IV.2 (a) Spektrum komponen pasut palem Sibolga dengan metode Lomb (b) Spektrum komponen semidiurnal, diurnal dan periode panjang palem pasut Sibolga 51

Pada gambar IV.2 terlihat bahwa komponen pasut yang berjumlah 21 tersebut muncul pada data pasut palem sehingga komponen tersebut akan dijadikan pertimbangan awal dalam analisis harmonik. Pertimbangan selanjutnya dalam menentukan kriteria pemilihan komponen pasut yang akan dilibatkan dalam analisis harmonik yaitu kriteria Rayleigh untuk menentukan banyaknya gelombang pasut yang dapat diuraikan berdasarkan panjang data. Pada tabel 3.3 terlihat periode sinodik aliasing terbesar ada pada pasangan komponen P1-K2 serta K1-Ssa yaitu 3399 hari (sekitar 9,3 tahun). Dengan panjang data altimetri 13 tahun maka ke-21 komponen tersebut dapat dipisahkan. Hanya untuk komponen Sa (tahunan) dan Ssa (setengah tahunan) yang lebih besar periodenya dibandingkan interval data altimetri tetap memiliki frekuensi asli dan tidak teraliasing. Dalam hal ini data altimetri yang digunakan cukup untuk dapat memisahkan komponen-komponen yang tertera pada tabel III.3. IV.3 Simulasi efek kesalahan (error) terhadap parameter Data time-series pasut altimetri pada pengolahan data yang dilakukan masih mengandung kesalahan orbit dan noise akibat kesalahan pada instrumen satelit altimetri. Simulasi data yang masih memiliki efek kesalahan (error) ini dilakukan untuk melihat sensitifitas parameter yaitu perubahan nilai amplitudo dan fase akibat adanya noise. Simulasi dilakukan dengan asumsi bahwa data altimetri belum terbebas dari semua jenis kesalahan, dalam hal ini masih memiliki noise yang dapat menyebabkan perubahan nilai konstanta pasut. Besarnya noise diasumsikan sekitar besarnya nilai koreksi data pengamatan yang didapat pada saat dilakukan analisis harmonik yaitu sekitar 20 cm. Pengaruh adanya kesalahan pada data pengamatan terhadap parameter ini diterapkan dalam 4 kondisi, yaitu : Kondisi 1 : data altimetri ditambah dengan noise yang terdistribusi normal Kondisi 2 : data altimetri ditambah dengan noise yang uniformly distributed Kondisi 3 : data altimetri ditambah dengan spike Kondisi 4 : data altimetri memiliki kesalahan sistematik ditambah dengan noise yang terdistribusi normal 52

(a) (b) (c) 53

(d) Gambar IV.3 Ilustrasi pemberian noise pada efek kesalahan (error) terhadap parameter (a) kondisi 1 (b) kondisi 2 (c) kondisi (3) dan (4) kondisi 4. Pada tabel IV.3 dan IV.4 terdapat hasil simulasi pada keempat kondisi yang telah diuraikan sebelumnya. Pada semua komponen pasut (periode panjang, diurnal dan semidiurnal) terlihat bahwa data dengan kondisi 2 (noise yang uniformly distributed) dan 4 (noise yang memiliki kesalahan sistematik) memberikan nilai perbedaan yang lebih besar dibandingkan kondisi 1 (noise terdistribusi normal) dan 3 (spike). Pada komponen pasut periode panjang, simulasi data dengan kondisi 3 (spike) memberikan hasil yang hampir mendekati nilai amplitudo awalnya. Hal ini dikarenakan pada analisis harmonik dilakukan pembobotan, sehingga walaupun nilai noisenya besar tetapi ia mendapatkan bobot koreksi yang kecil pada pengestimasian nilai parameternya. Simulasi data dengan kondisi 4 (noise yang memiliki kesalahan sistematik) memberikan hasil yang lebih besar dibandingkan kondisi lainnya. Perbedaan terbesar pada komponen Mm yaitu sebesar 1.5 cm, Q1 sebesar 2.6 cm, dan S2 sebesar 1.8 cm. Didapatkan bahwa nilai amplitudo tidak mengalami banyak perubahan dari nilai amplitudo awalnya yaitu berkisar 0-2.6 cm. Hal ini menunjukkan bahwa proses least square dapat mereduksi noise untuk nilai estimasi amplitudo dan memberikan hasil yang konsisten. 54

Tabel IV.3 Hasil simulasi terhadap nilai amplitudo dan perbedaanya dengan input amplitudo Komponen Amp_awal Kondisi Kondisi Kondisi Kondisi 1 2 3 4 dk1 dk2 dk3 dk4 Sa 0.107 0.107 0.105 0.107 0.112 0.000 0.002 0.000 0.005 Ssa 0.019 0.018 0.009 0.019 0.017 0.001 0.011 0.000 0.002 Mm 0.014 0.027 0.014 0.012 0.029 0.013 0.000 0.001 0.015 Mf 0.022 0.024 0.020 0.021 0.022 0.002 0.001 0.000 0.000 QI 0.020 0.020 0.046 0.020 0.022 0.000 0.026 0.000 0.002 O1 0.076 0.058 0.061 0.076 0.058 0.018 0.015 0.000 0.018 NO1 0.008 0.003 0.005 0.008 0.004 0.005 0.003 0.000 0.004 P1 0.036 0.045 0.047 0.036 0.053 0.010 0.012 0.001 0.018 S1 0.032 0.041 0.045 0.032 0.038 0.009 0.013 0.000 0.006 K1 0.128 0.120 0.121 0.128 0.123 0.008 0.007 0.000 0.005 J1 0.013 0.009 0.025 0.013 0.014 0.004 0.012 0.000 0.001 OO1 0.015 0.019 0.018 0.014 0.020 0.004 0.004 0.000 0.005 2N2 0.017 0.023 0.027 0.015 0.026 0.006 0.010 0.002 0.009 MU2 0.019 0.018 0.020 0.018 0.018 0.001 0.000 0.001 0.002 N2 0.084 0.087 0.075 0.086 0.089 0.003 0.010 0.001 0.004 NU2 0.014 0.011 0.014 0.015 0.005 0.003 0.000 0.001 0.009 M2 0.364 0.366 0.366 0.361 0.365 0.002 0.002 0.002 0.002 L2 0.008 0.013 0.014 0.006 0.015 0.005 0.007 0.002 0.007 T2 0.003 0.009 0.005 0.003 0.010 0.006 0.002 0.000 0.007 S2 0.166 0.169 0.148 0.165 0.167 0.003 0.018 0.001 0.001 K2 0.049 0.055 0.042 0.049 0.056 0.006 0.006 0.000 0.007 Lain halnya dengan komponen fase yang nilainya bervariasi untuk setiap komponen pasut. Perbedaan fase pada komponen pasut periode panjang berkisar 1-30 0, pada komponen diurnal 1-75 0 dan semidiurnal 1-137 0. Perbedaan nilai fase terkecil terlihat hampir pada semua komponen pada kondisi 3 kecuali pada komponen Mm dan N2. Pada komponen periode panjang, perbedaan fase komponen Sa memberikan kecenderungan yang sama dan nilainya hampir mirip dengan nilai fase awalnya. Pada komponen diurnal, perbedaan fase O1 dan K1 memberikan kecenderungan yang sama dan nilainya hampir mirip dengan nilai fase awalnya. Pada komponen semidiurnal, perbedaan fase M2 dan S2 memberikan kecenderungan yang sama dan nilainya hampir mirip dengan nilai fase awalnya pada semua kondisi. Perlu dicari pola apakah hal ini berlaku juga apabila kita memasukkan input data yang berbeda. Dapat dikatakan kualitas data altimetri sangat sensitif terhadap nilai estimasi fase. Sebaiknya data altimetri yang digunakan adalah data altimetri yang sudah terbebas dari noise. Diperlukan algoritma untuk dapat mengatasi masalah noise tersebut. 55

Tabel IV.4 Hasil simulasi terhadap nilai fase dan perbedaanya dengan input fase Komponen Pha_Awal Kondisi Kondisi Kondisi Kondisi 1 2 3 4 dk1 dk2 dk3 dk4 Sa 319.59 319.19 317.76 319.40 319.49 0.40 1.83 0.19 0.10 Ssa 339.35 346.65 34.58 339.98 352.92 7.30 55.23 0.63 13.57 Mm 228.24 225.20 218.38 239.47 216.60 3.04 9.86 11.23 11.64 Mf 284.38 310.05 270.03 284.71 316.02 25.67 14.35 0.33 31.64 QI 110.44 92.68 154.65 110.75 105.10 17.76 44.22 0.31 5.34 O1 113.09 113.32 104.47 113.37 110.32 0.22 8.62 0.28 2.78 NO1 288.27 343.24 212.67 286.30 227.47 54.97 75.60 1.97 60.80 P1 332.55 313.37 333.55 331.01 315.55 19.18 0.99 1.54 17.00 S1 97.01 86.08 102.71 96.73 86.31 10.93 5.70 0.27 10.69 K1 338.81 335.39 334.94 338.84 336.84 3.42 3.86 0.03 1.97 J1 234.46 287.66 191.53 233.11 274.12 53.20 42.93 1.35 39.66 OO1 111.39 87.75 95.34 111.43 94.14 23.64 16.05 0.05 17.24 2N2 140.84 162.37 111.34 134.38 151.43 21.53 29.50 6.46 10.59 MU2 124.50 108.91 149.92 124.72 103.91 15.60 25.42 0.21 20.59 N2 79.85 79.31 72.87 78.08 77.91 0.53 6.98 1.76 1.93 NU2 325.77 321.07 340.29 325.08 311.84 4.70 14.52 0.70 13.93 M2 126.71 126.79 126.94 126.50 126.77 0.07 0.23 0.22 0.05 L2 158.82 219.80 114.42 165.46 216.89 60.98 44.40 6.64 58.07 T2 306.63 43.72 169.45 303.16 43.51 97.09 137.19 3.47 96.88 S2 303.67 302.38 305.51 303.72 303.16 1.30 1.84 0.04 0.51 K2 131.85 135.61 130.49 132.13 137.81 3.77 1.36 0.29 5.96 IV.4 Analisis Harmonik metode Least Square IV.4.1 Perhitungan Koreksi Nodal Dalam perhitungan konstanta pasut yaitu nilai amplitudo dan fase ini perlu diperhitungkan faktor koreksi nodal atau disebut satellite modulation [Foreman et al.,1995] dikarenakan data pengamatan T/P dan Jason-1 yang digunakan merupakan data yang panjang. Jika data yang digunakan satu tahun akan memberikan nilai koreksi terhadap amplitudo dan fase yang kecil dan dapat diabaikan, namun jika data yang digunakan melebihi 1 tahun perlu diperhitungkan nilai koreksi nodalnya. Komponen pasut yang merupakan konstanta dari pengaruh bulan akan mengalami perubahan yang bervariasi sebesar beberapa persen. Misalnya untuk perubahan terbesar terdapat pada amplitudo komponen O1 yang mengalami perubahan bervariasi dapat mencapai 18.7 %, amplitudo K1 mencapai 11.5%, amplitudo komponen K2 mencapai 28.6 % [Pugh, 1985]. 56

Pada tabel IV.5 diperlihatkan variasi nilai modulasi yang dihitung dengan menggunakan data dari stasiun pasut Sibolga dengan panjang data sekitar 10 tahun. Nilai V, u dan f ini diperoleh dari program T_TIDE [Pawlowicz, R., et. al., 2002]. Untuk pengamatan antara tahun 1993 sampai 2003, pada tabel (4.4) terlihat bahwa nilai faktor modulasi amplitudo bervariasi dari 1.056 sampai 0.880 untuk K1, dari 1.082 sampai 0.795 untuk O1, dan dari 1.132 sampai 0.7478 untuk K2. Berikut adalah tabel variasi terbesar nilai koreksi nodal untuk komponen K1, K2 dan O1. Tabel IV.5 Variasi nilai koreksi nodal (V adalah argumen astronomis, u adalah faktor koreksi nodal untuk fase dan f adalah faktor koreksi nodal untuk amplitudo.) Tahun K1 K2 O1 V u f V u f V f U 1993 0.071 0.024 0.996 0.643 0.050 0.968 0.497 0.028 0.989 1994 0.071 0.023 0.954 0.641 0.045 0.880 0.223 0.028 0.918 1995 0.070 0.018 0.917 0.640 0.035 0.810 0.942 0.024 0.859 1996 0.069 0.011 0.890 0.639 0.020 0.766 0.339 0.015 0.815 1997 0.071 0.002 0.880 0.643 0.003 0.748 0.451 0.003 0.795 1998 0.071 0.007 0.887 0.642 0.015 0.757 0.171 0.008 0.810 1999 0.070 0.016 0.912 0.640 0.030 0.793 0.110 0.019 0.860 2000 0.069 0.022 0.946 0.639 0.042 0.854 0.610 0.027 0.927 2001 0.072 0.025 0.985 0.643 0.049 0.938 0.400 0.032 0.988 2002 0.071 0.025 1.022 0.642 0.049 1.035 0.119 0.031 1.036 2003 0.070 0.022 1.056 0.640 0.044 1.132 0.839 0.026 1.082 Dilakukan penghitungan nilai konstanta pasut yaitu nilai amplitudo dan fase untuk 21 komponen pasut, yang terdiri dari 4 komponen periode panjang, yaitu,,,, 8 komponen periode diurnal yaitu,,,,,,,, serta 9 komponen periode semidiurnal yaitu 2,,,,,,,, di setiap titik crossover di wilayah Indonesia dengan menggunakan analisis harmonik metode least square menggunakan prinsip pembobotan berdasarkan nilai residu yang disertai uji statistik chi-square. 57

Perairan Indonesia merupakan wilayah yang memiliki karakeristik beragam berkaitan dengan kondisi pasutnya. Wilayah perairannya mencakup perairan dalam, perairan dangkal, perairan pedalaman, perairan selat sempit (narrow strait) serta perairan samudera. Sebagian wilayahnya merupakan perairan dengan kedalaman < 1000 meter sehingga tidak termasuk dalam solusi pasut global pasut yang ada. Analisis amplitudo dan fase 21 komponen pasut dilakukan terhadap beberapa area perairan di wilayah Indonesia yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu : Tabel IV.6 Pembagian kajian wilayah Karakteristik perairan Kedalaman Titik crossover yang mewakili karekteristik perairan Perairan dangkal 60 200 m sekitar Laut Bangka (titik 79 dan 73) sekitar Laut Utara Jawa (titik 60 dan 61) sekitar Laut bagian selatan Irian Jaya (titik 47 dan 48) Perairan dalam >1000 m Samudera Hindia (titik 3,4, 17, dan 18) Bagian utara Irian Jaya (titik 133, 134, 147, dan 148) Bujur ( 0 ) Lintang ( 0 ) Gambar IV.4 Titik-titik crossover satelit Topex di Indonesia 58

IV.4.2 Penerapan uji statistik dalam pemilihan komponen pasut Analisis harmonik dilakukan dengan metode least square menggunakan pembobotan. Model pembobotan data ukuran di dalam studi ini diturunkan dari matriks variansi-kovariansi residu ( dari hasil pengolahan data dengan bobot sama. Setelah dilakukan perataan parameter untuk memperoleh nilai amplitudo dan fase dari komponen-komponen pasut yang terlibat, dilakukan uji statistik chisquare untuk mengetahui apakah perataan yang telah dilakukan adalah benar atau salah secara statistik. Penghitungan analisis harmonik pada setiap titik di dalam studi ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, dilakukan analisis harmonik dengan menggunakan seluruh komponen pasut yang ada, yaitu sejumlah 21 buah komponen pasut. Setelah dilakukan analisis harmonik, dilakukan uji chi-square untuk melihat kesalahan apa yang terdapat pada proses pengolahan data. Terdapat titik pengamatan yang memberikan hasil uji chi-square di bawah batas daerah penerimaan. Hal ini mengindikasikan adanya kesalahan yang diakibatkan karena terlalu banyak parameter yang dilibatkan dalam proses analisis harmonik. Oleh karenanya, harus dilakukan pengeliminasian parameter-parameter yang seharusnya tidak terlibat dari proses pengolahan data. Pengeliminasian tersebut dilakukan dengan cara menyeleksi komponen pasut yang mempunyai nilai standar deviasi amplitudo yang melebihi nilai amplitudo komponen pasut itu sendiri, kemudian mengeliminasi komponen-komponen tersebut agar tidak terlibat dalam penghitungan analisis harmonik selanjutnya. Tahap kedua, dilakukan analisis harmonik dengan menggunakan komponenkomponen pasut baru yang tidak tereliminasi oleh tahap sebelumnya. Setelah analisis harmonik selesai dilakukan, uji chi-square kembali diterapkan. Apabila hasil uji chi-square masih berada di bawah batas daerah penerimaan uji chisquare, maka dilakukan pengeliminasian parameter ulang seperti pada tahap satu. Namun apabila uji chi-square berada di atas batas daerah penerimaan uji hipotesis, berarti komponen yang dieliminasi pada tahap pertama terlalu banyak. Tahap pertama dilakukan ulang dengan menggunakan batas amplitudo yang baru 59

hingga diperoleh parameter-parameter yang paling cocok untuk dimasukan ke dalam proses analisis harmonik. Hal ini dilakukan dengan cara trial and error. Penghitungan analisis harmonik dianggap telah selesai dilakukan apabila hasil uji chi-square dari penghitungan analisis harmonik yang telah dilaksanakan berada pada daerah penerimaan uji chi-square. Penghitungan analisis harmonik disertai uji statistik dilakukan dengan menggunakan jumlah parameter sesuai asumsi awal yaitu sebanyak 21 komponen pasut pada kasus perairan di Samudera Hindia lintasan ascending. Percobaan pertama dilakukan dengan mengasumsikan bobot pengamatan adalah sama untuk setiap komponen pasut. Dari nilai matriks variansi kovariansi percobaan pertama, kemudian diturunkan model pembobotan terhadap data ukuran sebagai representasi dari kualitas data yang berbeda-beda pada setiap pengukuran, yaitu sebesar ; dimana adalah variansi-kovariansi data ukuran yang baru. Jika dibandingkan kedua percobaan itu memberikan nilai amplitudo yang kecenderungannya sama, hanya memiliki perbedaan sekitar 1 mm lebih besar untuk komponen Sa, Mf, K1, dan S2 pada percobaan pertama. Untuk komponen fase terdapat perbedaan sekitar 1-3 0, kecuali untuk komponen NO1 yang memiliki perbedaan sekitar 8 0. Secara statistic kedua percobaan tersebut belum lulus uji chisquare karena hasil pengujian chi-square masih di bawah nilai kritis bawah dari wilayah penerimaan hasil uji variansi. Oleh karena itu dilakukakan pengurangan jumlah parameter yang dilibatkan dalam analisis harmonik. Proses eliminasi pertama dilakukan pada komponen NO1 dan J1 karena memiliki nilai amplitudo yang lebih kecil dari standar deviasinya namun hasil pengujian chi-square masih lebih kecil dari batas bawah wilayah uji penerimaan chi-square. Nilai standar deviasi rata-rata setiap komponen adalah sebesar 8 mm. Selanjutnya dilakukan eliminasi kepada sejumlah komponen yang memiliki nilai amplitudo yang lebih besar dari standar deviasinya namun nilainya mendekati standar deviasinya yaitu pada komponen L2 (Amplitudo L2 = 8,8 mm, standar deviasi amplitudo 8,5 mm). Total pengeliminasian jumlah komponen pasut sehingga hasil pengujian chi-square berada pada wilayah penerimaan hasil uji variansi adalah 3 60

komponen pasut (NO1, J1, dan L2). Ketiga komponen yang dieliminasi merupakan komponen pasut yang dipengaruhi oleh faktor bulan. Nilai perubahan konstanta komponen pasut yang lulus uji chi-square berkisar antara 0-1 cm untuk amplitudo dan rata-rata 1-3 0 untuk fase semua komponen pasut. Percobaan Tabel IV.7 Hasil uji chi-square pada kasus perairan dalam (ascending) Jumlah Parameter Variansi aposteriori Batas Atas Batas Bawah Hasil Uji Chi square Lulus P=1 21 0.08718 321.75 230.04 23.888 Tidak P=diag(Q 1 ll ) 21 0.64272 321.75 230.04 176.11 Tidak Uji std 19 0.77214 326.08 233.71 214.65 Tidak Uji batas 18 0.85436 328.25 235.54 239.22 Ya Tabel IV.8 Nilai konstanta pasut pada kasus perairan dalam (ascending) P=1 P=diag(Q 1 ll ) uji std uji batas Amp Pha Amp Pha Amp Pha Amp Pha Sa 0.102 319.31 0.101 319.38 0.101 319.15 0.102 319.07 Ssa 0.021 323.76 0.021 324.87 0.021 324.21 0.021 323.74 Mm 0.015 131.44 0.015 128.52 0.015 125.63 0.015 126.74 Mf 0.018 160.26 0.017 159.32 0.018 160.21 0.018 160.18 QI 0.010 82.88 0.011 81.56 0.012 81.78 0.011 81.94 O1 0.072 126.06 0.072 126.02 0.072 125.86 0.073 126.07 NO1 0.004 141.73 0.004 133.05 P1 0.039 138.84 0.039 139.84 0.039 140.04 0.038 140.18 S1 0.026 27.70 0.026 27.10 0.026 26.92 0.026 26.87 K1 0.120 166.32 0.119 166.50 0.119 166.55 0.120 166.55 J1 0.007 227.17 0.007 226.64 OO1 0.011 325.41 0.010 327.65 0.011 326.96 0.011 327.86 2N2 0.018 189.55 0.018 191.60 0.018 192.43 0.018 192.01 MU2 0.019 270.77 0.019 270.10 0.019 269.55 0.019 269.86 N2 0.078 187.73 0.078 188.13 0.078 188.06 0.078 187.96 NU2 0.013 336.67 0.013 334.45 0.014 332.89 0.013 333.22 M2 0.384 276.71 0.384 276.58 0.384 276.59 0.384 276.58 L2 0.009 173.35 0.009 176.14 0.009 176.32 T2 0.017 294.00 0.017 291.770 0.016 291.47 0.016 291.47 S2 0.154 314.50 0.155 314.720 0.155 314.79 0.155 314.66 K2 0.052 80.18 0.052 80.429 0.052 80.54 0.052 80.29 61

Penghitungan analisis harmonik disertai uji statistik dilakukan juga untuk lintasan descending di perairan Samudera Hindia dengan menggunakan jumlah parameter sesuai asumsi awal yaitu sebanyak 21 komponen pasut. Perbedaan hasil nilai amplitudo dan fase pada percobaan menggunakan pembobotan memberikan hasil yang cenderung sama dengan hasil pada lintasan ascending, yaitu berbeda sekitar 1 mm dan 1-2 0 namun hasil pengujian chi-square masih berada di bawah nilai kritis bawah dari wilayah penerimaan hasil uji variansi. Percobaan Tabel IV.9 Hasil uji chi-square pada kasus perairan dalam (descending) Jumlah Parameter Variansi aposteriori Batas Atas Batas Bawah Hasil Uji Chi square Lulus P=1 21 0.0975 316.32 225.46 26.235 Tidak P=diag(Q 1 ll ) 21 0.7071 316.32 225.46 190.22 Tidak Uji std dan batas 17 1.0419 325.00 232.79 288.60 Ya Tabel IV.10 Nilai konstanta pasut pada kasus perairan dalam (descending) P=1 P=diag(Q 1 ll ) uji std dan batas Amp Pha Amp Pha Amp Pha Sa 0.103 316.010 0.103 315.990 0.103 316.080 Ssa 0.006 97.672 0.006 103.740 Mm 0.009 130.200 0.009 130.730 0.009 134.360 Mf 0.011 89.542 0.012 89.940 0.012 89.138 QI 0.019 89.009 0.020 90.229 0.019 89.563 O1 0.075 121.730 0.075 121.950 0.075 122.480 NO1 0.011 60.817 0.011 60.492 0.011 60.841 P1 0.040 113.870 0.040 113.680 0.040 113.630 S1 0.018 235.580 0.018 234.590 0.018 234.370 K1 0.102 167.580 0.103 167.660 0.103 167.670 J1 0.004 165.880 0.004 165.200 OO1 0.003 236.210 0.003 242.890 2N2 0.008 131.090 0.008 136.490 MU2 0.017 252.820 0.017 251.680 0.017 254.060 N2 0.073 188.010 0.074 187.920 0.074 188.240 NU2 0.019 317.890 0.019 317.060 0.019 316.060 M2 0.382 278.470 0.382 278.540 0.382 278.520 L2 0.022 166.090 0.022 165.750 0.022 164.630 T2 0.009 328.360 0.010 328.240 0.010 325.700 S2 0.158 311.490 0.157 311.590 0.157 311.450 K2 0.054 92.616 0.054 92.840 0.054 92.492 62

Oleh karena itu dilakukan pengeliminasian jumlah komponen pasut yang akan dilibatkan kembali dalam analisis harmonik dengan mempertimbangkan nilai standar deviasi amplitudo yang melebihi nilai amplitudonya. Komponen yang dieliminir adalah komponen Ssa(6 mm), J1(3 mm), OO1(4 mm) dan 2N2 (8 mm) sedangkan nilai standar deviasinya adalah 9 mm. Setelah dilakukan pengolahan kembali ternyata hasil pengujian chi-square berada pada wilayah penerimaan hasil uji variansi. Nilai estimasi amplitude dan fase selengkapnya dapat terlihat pada tabel IV.10. Penghitungan analisis harmonik disertai uji statistik dilakukan juga untuk kasus perairan dangkal di sekitar laut Bangka dengan jumlah parameter lebih dari 21 komponen dengan mempertimbangkan komponen pasut perairan dangkalnya. Komponen perairan dangkal yang dilibatkan sebanyak 17 komponen, namun ternyata setelah diestimasi dengan menggunakan analisis harmonik metode pembobotan, nilai amplitudo dan fase komponen ini hampir sebagian besar memiliki nilai standar deviasi amplitudo melebihi nilai amplitudonya. Komponen perairan dangkal yang dapat diestimasi adalah MNS2 (diturunkan dari komponen M2,S2 dan N2), 2SM2 (diturunkan dari komponen M2 dan S2), M4 (diturunkan dari komponen M2), MK4 (diturunkan dari M2 dan K2), serta 2MS6 (diturunkan dari komponen M2 dan S2). Untuk melakukan validasi nilai komponen perairan dangkal ini sebaiknya dilakukan dengan membandingkannya dengan hasil estimasi dari palem pasut di sekitar Laut Bangka. Karena tidak dilakukan validasi, sehingga tidak dapat diketahui apakah hasil estimasi amplitudo dan fase untuk perairan dangkal memberikan hasil yang baik. 63

Tabel IV.11 Nilai konstanta komponen pasut perairan dangkal di perairan Laut Bangka Komponen Perairan dangkal Nilai Estimasi Fase Amp (m) ( 0 ) Standar deviasi Amp (m) Fase (menit) Msf 0.001 67.905 0.011 34.225 MP1 0.003 3.895 0.011 4.546 SO1 0.007 312.590 0.013 32.329 MNS2 0.019 268.020 0.011 37.151 2MS2 0.010 198.210 0.011 11.306 MSN2 0.003 317.020 0.012 29.058 2SM2 0.075 291.200 0.072 359.240 MO3 0.008 62.963 0.011 34.164 MK3 0.007 359.760 0.011 3.170 MN4 0.009 31.878 0.011 20.230 M4 0.012 312.300 0.011 29.320 MS4 0.011 318.970 0.011 24.273 MK4 0.018 269.430 0.012 40.182 S4 0.009 132.450 0.010 20.547 M6 0.011 302.320 0.011 31.417 2MS6 0.017 300.900 0.011 32.089 M8 0.007 348.990 0.011 8.054 Pada tabel IV.12 berikut terlihat bahwa dengan penambahan konstanta komponen perairan dangkal memberikan hasil uji chi-square masih berada di bawah nilai kritis bawah dari wilayah penerimaan hasil uji variansi. Kemudian dilakukan pengurangan jumlah konstanta seperti asumsi awal, yaitu 21 komponen. Setelah dilakukan pengeliminasian terhadap komponen MU2, L2 dan T2 karena memiliki nilai amplitudo dibawah nilai standar deviasinya, maka hasil pengujian chi-square berada pada wilayah penerimaan hasil uji variansi. Percobaan Tabel IV.12 Hasil uji chi-square pada kasus perairan dangkal (ascending) Jumlah Parameter Variansi aposteriori Batas Atas Batas Bawah Hasil Uji Chi square Lulus P=1 38 0.06247 264.07 181.72 13.806 Tidak P=diag(Q 1 ll ) 38 0.24162 264.07 181.72 53.399 Tidak P=1 21 0.10593 301.13 212.66 27.011 Tidak P=diag(Q 1 ll ) 21 0.73438 301.13 212.66 187.27 Tidak Uji std dan batas 18 0.96909 307.64 218.14 252.93 Ya 64

Nilai estimasi komponen pasut untuk amplitudo masih berkisar pada orde mm, dan rata-rata perbedaan fase antara 1-3 0. Perbedaan terbesar nilai fase ada pada komponen S1 yang mencapai hampir 20 0. Tabel IV.13. Nilai konstanta pasut pada kasus perairan dangkal (ascending) P=1 P=diag(Q 1 ll ) uji std dan batas Amp Pha Amp Pha Amp Pha Sa 0.108 0.760 0.108 0.419 0.108 0.324 Ssa 0.037 25.019 0.038 25.606 0.038 26.037 Mm 0.005 143.830 0.005 146.840 0.005 138.720 Mf 0.009 181.760 0.009 182.210 0.009 183.490 QI 0.059 298.900 0.059 298.930 0.059 298.400 O1 0.351 304.210 0.352 304.270 0.351 304.330 NO1 0.026 296.950 0.025 296.560 0.025 297.040 P1 0.171 8.928 0.170 9.030 0.170 9.075 S1 0.003 354.900 0.004 347.640 0.004 339.870 K1 0.545 47.731 0.544 47.753 0.544 47.706 J1 0.025 67.103 0.025 67.231 0.026 68.483 OO1 0.023 203.130 0.023 204.090 0.023 204.450 2N2 0.021 19.459 0.020 20.208 0.020 20.310 MU2 0.009 134.240 0.009 134.230 N2 0.016 89.657 0.017 88.285 0.019 84.782 NU2 0.010 326.590 0.010 325.320 0.010 323.820 M2 0.020 332.830 0.020 331.050 0.020 330.820 L2 0.007 186.410 0.006 187.720 T2 0.007 185.580 0.007 180.130 S2 0.033 106.640 0.034 105.880 0.033 104.580 K2 0.011 328.410 0.010 331.640 0.010 331.650 Penghitungan analisis harmonik disertai uji statistik dilakukan juga untuk lintasan descending di perairan laut Bangka dengan menggunakan jumlah parameter sesuai asumsi awal yaitu sebanyak 21 komponen pasut. Hasil pengujian chi-square masih berada di bawah nilai kritis bawah dari wilayah penerimaan hasil uji variansi, oleh karena itu dilakukan pengeliminasian komponen pasut Ssa, Mf dan K2. Setelah dilakukan pengolahan kembali ternyata hasil pengujian chi-square berada pada wilayah penerimaan hasil uji variansi. 65

Percobaan Tabel IV.14 Hasil uji chi-square pada kasus perairan dangkal (descending) Jumlah Parameter Variansi aposteriori Batas Atas Batas Bawah Hasil Uji Chi square Lulus P=1 38 0.038961 292.42 205.36 9.6233 Tidak P=diag(Q ll 1 ) 38 0.16382 292.42 205.36 40.462 Tidak P=1 21 0.087966 315.2401 224.5465 23.575 Tidak P=diag(Q ll 1 ) 21 0.63773 315.2401 224.5465 170.9129 Tidak Uji std dan batas 19 1.0619 321.7455 230.0411 290.9709 Ya Tabel IV.15 Nilai konstanta pasut pada kasus perairan dangkal (descending) P=1 P=diag(Q 1 ll ) uji std dan batas Amp Pha Amp Pha Amp Pha Sa 0.107 7.836 0.106 8.095 0.104 9.122 Ssa 0.073 250.140 0.074 249.600 Mm 0.011 119.810 0.011 119.940 0.011 113.290 Mf 0.005 233.130 0.006 226.620 QI 0.065 294.550 0.065 295.030 0.065 295.810 O1 0.362 304.920 0.362 304.920 0.362 304.730 NO1 0.029 299.580 0.029 299.290 0.033 295.720 P1 0.174 11.748 0.174 11.883 0.173 11.082 S1 0.017 88.259 0.017 86.453 0.017 85.967 K1 0.543 46.653 0.542 46.696 0.547 46.804 J1 0.015 106.370 0.015 105.990 0.017 104.980 OO1 0.021 232.490 0.022 231.750 0.021 228.220 2N2 0.010 86.351 0.010 89.315 0.010 85.792 MU2 0.015 7.889 0.015 7.698 0.015 7.490 N2 0.018 62.742 0.018 63.195 0.019 47.974 NU2 0.018 254.760 0.017 252.000 0.017 251.270 M2 0.017 354.120 0.017 357.370 0.018 3.352 L2 0.019 357.680 0.019 357.530 0.019 356.100 T2 0.011 289.890 0.010 289.440 0.010 305.230 S2 0.038 120.720 0.038 121.310 0.037 119.270 K2 0.008 294.800 0.008 295.670 Perbedaan hasil nilai amplitudo pada percobaan menggunakan pembobotan memberikan hasil yang cenderung sama dengan hasil pada lintasan ascending, yaitu berbeda sekitar 1 mm. Pada komponen fase memberikan variasi sebesar 1-6 0 dengan perbedaan terbesar terlihat pada komponen M2. 66

Setelah melakukan analisis harmonik least square dengan pebobotan kemudian dilihat perbandingan amplitudo dan fase hasil solusi ascending dan descending untuk 8 komponen pasut utama diurnal (K1,Q1, P1, K1) dan semidiurnal (N2,M2,S2 dan K2) serta 4 komponen periode panjang. Sebagian besar komponen utama diurnal dan semidiurnal tersebut tidak tereliminasi dalam uji chi-square, kecuali untuk komponen periode panjang yang nilai amplitudonya kadang-kadang melebihi nilai standar deviasinya. Hal ini terlihat misalnya pada komponen Mm dan Mf. Nilai komponen periode panjang lainnya seperti Sa dan Ssa ini penting karena dapat meningkatkan reliability dalam analisis selanjutnya [Pugh, 1987]. Pada tabel IV.16 untuk kasus perairan dangkal < 200 meter di perairan sekitar Laut Bangka, menunjukkan bahwa terdapat nilai amplitudo lebih besar ada pada komponen diurnal untuk titik 73 yang letaknya lebih dekat ke pulau yang memiliki kedalaman yang dangkal sekitar 30 meter. Perbedaan nilai amplitudo pada titik 73 untuk solusi ascending dan descending sekitar 1 mm 1 cm, sedangkan perbedaan fase sekitar 1-36 0, dan perbedaan terbesar mencapai 327 0 pada komponen M2. Titik 79 memiliki kedalaman sekitar 60-70 meter. Nilai perbedaan amplitudo berkisar antara 1 mm 1.5 cm dengan perbedaan terbesar ada pada komponen S2. Sedangkan pada fase perbedaanya antara 1-14 0, kecuali untuk komponen Ssa sebesar 130 0. Pada tabel IV.17 untuk kasus perairan dangkal di sekitar Laut Jawa menunjukkan bahwa komponen diurnal mendominasi di wilayah ini. Untuk nilai estimasi amplitudo pada titik 60 memberikan perbedaan terbesar pada komponen periode panjang Ssa yaitu 4 cm. Perbedaan fase berkisar 1-18 0 untuk komponen diurnal dan semidiurnal, tetapi pada komponen periode panjang nilainya berkisar 60-90 0. Pada titik 61 perbedaan amplitudo berada pada kisaran yang sama dengan titik 60, sedangkan untuk perbedaan fase berkisar 1-9 0 dan perbedaan terbesar ada pada komponen Ssa (203 0 ) dan Mm (57 0 ). 67

Pada tabel IV.18 yang terletak di bagian selatan pulau Irian Jaya yang merupakan perairan dangkal. Perbedaan nilai amplitudo pada titik 48 dan 49 untuk solusi ascending dan descending sekitar 1 mm 2 cm, sedangkan perbedaan fase pada titik 48 sekitar 1-9 0 dan perbedaan terbesar adalah Ssa (185 0 ). Pada titik 49 perbedaan fase sekitar 1-11 0 dan perbedaan terbesar adalah Ssa (178 0 ). Di daerah perairan dalam sekitar Samudera Hindia tabel IV.19, pada titik 3 terdapat perbedaan amplitudo sekitar 1 mm-3.6 cm (P1) dan perbedaan fase berkisar antara 1-48 0 (P1). Pada titik 17, perbedaan amplitudo 1 mm-1.7 cm (K1) dan perbedaan fase 1 71 0 (Mf). Untuk kasus perairan Samudera Pasifik nilai estimasi amplitudo memiliki perbedaan 1-15 0, kecuali untuk komponen Q1 (284 0 ) pada titik 147 dan Ssa (162 0 ). Pada tabel IV.16, IV.17, IV.18, IV.19 dan IV.20 terlihat masih adanya perbedaan nilai amplitudo dan fase antara hasil lintasan ascending dan lintasan descending yang dikarenakan perbedaan waktu pencuplikan data ascending dan descending yang berkisar antara 1.5 hari sampai 9.9156 hari di wilayah Indonesia. Nilai perbedaan amplitudo berkisar ± 1 mm 4 cm. Nilai fase yang dihasilkan adalah nilai fase dengan waktu relatif terhadap kedudukan pasut setimbang di Greenwich yaitu mengacu ke 1 Januari 1900. Solusi ascending dan descending menghasilkan nilai fase yang berbeda. Belum tepatnya nilai fase yang dihasilkan dari analisis harmonik ini kemungkinan disebabkan oleh masih adanya sinyal yang tidak diharapkan (noise) dan kesalahan orbit pada data altimetri pada data ascending maupun descending. Untuk menginvestigasi masalah perbedaan nilai fase akan dilakukan simulasi efek error terhadap parameter. 68

Tabel IV.16 Amplitudo dan Fase komponen pasut utama di sekitar Laut Bangka (Amp: meter; Pha: 0 ) No Koordinat N2 M2 S2 K2 Titik Lintang Bujur A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc 73 1.986 107.725 0.019 0.019 84.78 47.97 0.020 0.018 330.82 3.35 0.033 0.037 104.58 119.27 0.010 NaN 331.65 NaN 79 1.990 106.307 0.041 0.036 294.46 283.67 0.156 0.158 29.01 27.05 0.014 0.029 116.49 102.23 NaN NaN NaN NaN QI O1 P1 K1 73 1.986 107.725 0.059 0.065 298.40 295.81 0.351 0.362 304.33 304.73 0.170 0.173 9.07 11.08 0.544 0.547 47.71 46.80 79 1.990 106.307 0.044 0.042 226.47 218.22 0.225 0.223 225.40 227.01 0.088 0.077 270.62 264.58 0.233 0.229 303.47 303.15 Sa Ssa Mm Mf 73 1.986 107.725 0.108 0.104 0.32 9.12 0.038 NaN 26.03 NaN 0.005 0.011 138.72 113.29 0.009 NaN 183.49 NaN 79 1.990 106.307 0.121 0.115 352.58 356.75 0.025 0.037 203.85 336.55 NaN NaN NaN NaN NaN 0.010 NaN 277.04 Tabel IV.17 Amplitudo dan Fase komponen pasut utama di sekitar Laut Utara Jawa No Koordinat N2 M2 S2 K2 Titik Lintang Bujur A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc 60 5.933 111.977 0.029 0.021 185.19 204.91 0.071 0.076 296.68 296.38 0.017 0.029 169.69 187.75 0.009 0.005 287.80 281.76 61 5.933 114.812 0.046 0.052 44.55 40.75 0.171 0.171 131.32 130.64 0.074 0.066 81.71 86.15 0.017 0.018 231.76 225.84 QI O1 P1 K1 60 5.933 111.977 0.037 0.022 113.62 96.86 0.185 0.184 127.96 134.03 0.133 0.129 200.66 200.93 0.431 0.415 234.33 236.19 61 5.933 114.812 0.039 0.042 134.22 124.26 0.229 0.245 135.74 133.49 0.127 0.135 187.31 180.02 0.415 0.411 217.13 218.25 Sa Ssa Mm Mf 60 5.933 111.977 0.019 0.028 90.58 148.31 0.065 0.022 250.77 341.71 NaN 0.013 NaN 99.28 NaN 0.011 NaN 114.71 61 5.933 114.812 0.080 0.062 42.44 44.54 0.064 0.015 249.19 45.24 0.009 0.013 156.55 99.51 NaN 0.020 NaN 172.77 Tabel IV.18 Amplitudo dan Fase komponen pasut utama di sekitar Laut bagian selatan Irian Jaya No Koordinat N2 M2 S2 K2 Titik Lintang Bujur A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc 48 9.809 133.237 0.105 0.108 75.93 87.56 0.448 0.440 183.21 182.16 0.141 0.144 256.21 258.64 0.039 0.039 0.81 27.05 49 9.806 136.072 0.162 0.146 180.86 181.09 0.716 0.730 284.51 285.83 0.255 0.254 358.87 358.35 0.058 0.053 126.28 129.81 QI O1 P1 K1 48 9.809 133.237 0.060 0.050 165.12 168.04 0.217 0.236 189.01 188.73 0.097 0.084 213.54 207.30 0.242 0.230 248.30 250.06 49 9.806 136.072 0.084 0.080 206.80 200.02 0.359 0.360 220.88 219.16 0.136 0.133 269.82 262.84 0.400 0.390 305.68 306.57 Sa Ssa Mm Mf 48 9.809 133.237 0.080 0.076 37.04 41.67 0.031 0.015 197.38 11.84 0.012 NaN 103.32 NaN NaN NaN NaN NaN 49 9.806 136.072 0.119 0.129 31.93 38.55 0.050 0.029 149.28 327.53 0.014 0.013 109.50 100.47 0.009 0.011 98.22 135.68 69

Tabel IV.19 Amplitudo dan Fase komponen pasut utama di sekitar Samudera Hindia No Koordinat N2 M2 S2 K2 Titik Lintang Bujur A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc 3 17.174 90.717 0.073 0.069 179.20 185.19 0.408 0.407 268.15 267.81 0.181 0.190 304.58 301.91 0.033 0.034 85.99 74.98 4 17.174 93.551 0.075 0.074 182.34 185.49 0.359 0.359 275.61 275.92 0.147 0.141 315.96 316.51 0.027 0.024 72.41 69.13 17 13.565 92.124 0.078 0.074 187.96 188.24 0.384 0.382 276.58 278.52 0.155 0.157 314.66 311.45 0.052 0.054 80.30 92.49 18 13.566 94.968 0.067 0.082 199.72 193.55 0.343 0.340 287.78 284.67 0.125 0.124 323.97 324.43 0.032 0.037 111.06 122.44 QI O1 P1 K1 3 17.174 90.717 0.014 0.018 109.58 108.78 0.073 0.060 121.89 112.41 0.022 0.058 94.22 142.35 0.118 0.107 162.93 168.21 4 17.174 93.551 0.020 0.017 129.34 89.04 0.074 0.078 117.33 120.67 0.036 0.041 130.85 139.26 0.138 0.104 165.41 173.42 17 13.565 92.124 0.011 0.019 81.95 89.56 0.073 0.075 126.07 122.48 0.038 0.040 140.18 113.63 0.120 0.103 166.55 167.67 18 13.566 94.968 0.011 0.003 163.60 232.70 0.071 0.084 108.32 112.21 0.037 0.050 134.70 142.35 0.123 0.128 166.15 174.65 Sa Ssa Mm Mf 3 17.174 90.717 0.023 0.020 28.71 2.18 0.038 0.013 313.62 327.79 NaN NaN NaN NaN NaN NaN NaN NaN 4 17.174 93.551 0.048 0.046 332.76 328.05 0.030 NaN 299.85 NaN NaN NaN NaN NaN 0.014 NaN 174.15 NaN 17 13.565 92.124 0.102 0.103 319.07 316.08 0.021 NaN 323.74 NaN 0.015 0.009 126.74 134.36 0.018 0.012 160.18 89.14 18 13.566 94.968 0.114 0.112 293.51 293.66 0.022 NaN 317.10 NaN NaN 0.011 NaN 187.36 0.015 NaN 204.74 NaN Tabel IV.20 Amplitudo dan Fase komponen pasut utama di sekitar Samudera Pasifik No Koordinat N2 M2 S2 K2 Titik Lintang Bujur A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc A_asc A_dsc P_asc P_dsc 133 13.572 130.402 0.104 0.108 185.61 189.62 0.543 0.541 281.28 279.46 0.231 0.251 323.23 322.83 0.052 0.051 66.44 78.49 134 13.572 133.237 0.095 0.100 190.04 192.73 0.511 0.507 280.37 278.70 0.233 0.229 321.40 321.21 0.051 0.057 82.38 73.39 147 17.180 128.985 0.095 0.109 185.62 187.79 0.548 0.556 277.67 278.80 0.223 0.233 318.56 321.89 0.073 0.062 82.85 75.53 148 17.180 131.819 0.112 0.108 191.75 198.13 0.545 0.547 280.16 279.30 0.219 0.220 317.88 318.12 0.054 0.045 82.46 86.76 QI O1 P1 K1 133 13.572 130.402 0.021 0.017 46.22 59.25 0.108 0.098 37.06 35.28 0.056 0.041 74.19 58.23 0.161 0.169 93.93 89.56 134 13.572 133.237 0.025 0.018 36.99 56.63 0.111 0.115 40.00 41.31 0.058 0.049 58.89 39.05 0.149 0.156 81.88 85.04 147 17.180 128.985 0.023 0.018 352.18 68.14 0.087 0.113 35.82 45.01 NaN 0.032 NaN 67.24 0.171 0.152 80.64 95.78 148 17.180 131.819 0.017 0.036 59.81 33.63 0.114 0.135 33.02 43.33 0.046 0.046 46.26 74.75 0.158 0.112 95.14 84.00 Sa Ssa Mm Mf 133 13.572 130.402 0.063 0.071 169.48 163.87 0.016 0.017 11.80 174.18 0.016 NaN 110.98 NaN NaN NaN NaN NaN 134 13.572 133.237 0.077 0.070 163.39 171.17 0.025 0.010 346.08 155.09 NaN NaN NaN NaN 0.015 0.005 182.36 156.43 147 17.180 128.985 0.025 0.036 187.69 173.55 0.019 0.015 294.70 238.57 0.010 0.010 271.52 174.19 0.010 NaN 89.10 NaN 148 17.180 131.819 0.043 0.040 195.05 201.53 NaN 0.034 NaN 185.91 0.012 0.013 134.08 88.17 0.017 NaN 151.32 NaN 70

IV.5 Membandingkan model pasut dari satelit altimetri lintasan naik dan turun Perbedaan nilai amplitude mapun fase pada lintasan naik (ascending) dan turun (descending) menimbulkan adanya perbedaan model pasut yang dihasilkan. Dengan menyamakan faktor waktu, nilai amplitude dan fase hasil analisis harmonik yang telah lulus uji chi-square kemudian direkontruksi menjadi model pasut. Nilai perbedaan model pasut untuk kasus perairan dalam adalah minimum 0,1 m dan maksimum 0.15 m dengan RMS sebesar 0.05 m. Nilai perbedaan model pasut untuk kasus perairan dangkal adalah minimum 0.15 m dan maksimum 0.15 m dengan RMS sebesar 0.04 m. (a) (b) Gambar IV.5 Model pasut lintasan ascending dan descending beserta histogram koreksi (a) perairan dalam (b) perairan dangkal 71

IV.6 Penerapan model pasut dari data altimetri dibandingkan dengan model global FES2004 Untuk memverifikasi model pasut yang diturunkan dari data altimetri dilakukan perhitungan dan perbandingan nilai RSS TOPEX di grid tertentu berukuran 1 0 x1 0 pada lintasan ascending dan descending yang dikoreksi dengan menggunakan model pasut yang didapat dari altimetri dan model pasut global yaitu FES2004 yang selanjutnya disebut dengan SLA_ALTI dan SLA_FES. Sea level anomaly (SLA) merupakan tinggi muka laut yang tereferensi pada bidang geoid atau dalam hal ini MSSCLS01 dimana efek dinamisnya seperti pasang surut dan pengaruh tekanan atmosfer sudah dihilangkan. Efek pasang surut laut terdiri atas SET (Solid Earth Tide), EOT (Earth Ocean Tide), PT (Pole Tide). EOT merupakan penjumlahan pasut laut murni atau pure oceanic tide (yang mencakup pasut setimbang dan tidak setimbang) dan pasut pembebanan [Benada, 1997]. Nilai SLA kemudian dihitung sepanjang misi satelit Topex yaitu 364 cycle pada sampel di perairan dangkal dan perairan dalam. Pada area berukuran 1 0 x1 0 terdapat sekitar 18-20 titik data. Jika digambarkan seluruhnya akan terlihat seperti pada gambar IV.6 dan IV.7. Perbedaan nilai SLA ini kemudian direferensikan pada cycle tertentu, hasilnya perbedaan tersebut memiliki kecenderungan shifting yang mungkin terjadi karena masih adanya faktor kesalahan orbit satelit. Setelah dihitung nilai SLA kemudian dilihat variasi nilai minimum dan maksimumnya untuk melihat jangkauan dari nilai SLA. Terlihat pada tabel bahwa nilai minimum dan maksimum SLA_ALTI lebih kecil dibandingkan SLA_FES yang nilainya berkisar antara 5-10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa model pasut altimetri memberikan koreksi yang lebih besar terhadap nilai RSS dibandingkan dengan model FES2004. Perkiraan maksimum kesalahan penggunaan model pasut global pada misi satelit Topex adalah sebesar 3 cm [Scharoo, 2002]. Diharapkan model pasut empirik ini dapat digunakan sebagai koreksi pasut untuk data satelit altimetri di perairan Indonesia. Jika diamati nilai rata-rata pada SLA_FES memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan SLA_ALTI. Nilai rata-rata pada SLA_ALTI cenderung mendekati nilai nol (orde mm) sedangkan untuk SLA_FES bernilai sekitar 1-2 cm. Hal ini menunjukkan mungkin adanya bias pada model pasut FES. 72

Titik 17 Samudera Hindia ASCENDING DESCENDING Gambar IV.6 Perbandingan nilai SLA_ALTI dan SLA_FES pada kasus perairan dalam pada cycle tertentu 73

Titik 73 Perairan Dangkal ASCENDING DESCENDING Gambar IV.7 Perbandingan nilai SLA_ALTI dan SLA_FES pada kasus perairan dangkal pada cycle tertentu 74

Setelah dihitung nilai deviasinya terlihat bahwa nilai SLA_ALTI memiliki deviasi yang lebih kecil dibandingkan dengan SLA_FES baik pada contoh kasus perairan dalam dan perairan dangkal. Pada perairan dangkal, terlihat pada solusi lintasan ascending bahwa rata-rata deviasi SLA_ALTI sebesar 12 cm dan rata-rata deviasi SLA_ALTI sebesar 13 cm. Begitu pula pada kasus perairan dalam, terlihat nilai rata-rata deviasi untuk SLA_ALTI adalah 10 cm dan untuk SLA_FES mencapai 12 cm. Tabel IV.21 Perbandingan model pasut dari altimetri dan FES 2004 (sampel 8 titik) pada track ascending dan descending KASUS Pass SLA Statistik 1 2 3 4 5 6 7 8 CO73 P229 ALTI mean 0.000 0.000 0.001 0.002 0.001 0.003 0.003 0.002 DANGKAL min 0.373 0.359 0.371 0.356 0.358 0.353 0.347 0.349 max 0.445 0.454 0.483 0.464 0.479 0.480 0.483 0.482 std 0.121 0.121 0.122 0.119 0.119 0.118 0.119 0.120 FES mean 0.009 0.017 0.018 0.022 0.022 0.022 0.023 0.020 min 0.363 0.362 0.365 0.353 0.361 0.377 0.374 0.357 max 0.545 0.536 0.586 0.556 0.563 0.572 0.596 0.591 std 0.136 0.135 0.135 0.135 0.135 0.135 0.135 0.136 P64 ALTI mean 0.001 0.000 0.002 0.002 0.004 0.003 0.001 0.004 min 0.292 0.286 0.307 0.313 0.314 0.341 0.315 0.291 max 0.334 0.313 0.332 0.364 0.343 0.324 0.359 0.358 std 0.106 0.105 0.108 0.108 0.107 0.108 0.108 0.108 FES mean 0.012 0.010 0.008 0.009 0.009 0.010 0.007 0.007 min 0.382 0.390 0.396 0.374 0.371 0.370 0.379 0.376 max 0.604 0.589 0.586 0.607 0.602 0.592 0.579 0.570 std 0.135 0.134 0.135 0.134 0.134 0.135 0.134 0.133 Tabel IV.22 Perbandingan model pasut dari altimetri dan FES 2004 (sampel 8 titik) pada track ascending dan descending KASUS Pass SLA Statistik 1 2 3 4 5 6 7 8 CO17 P179 ALTI mean 0.002 0.002 0.005 0.002 0.001 0.000 0.000 0.000 DALAM min 0.292 0.289 0.302 0.323 0.335 0.330 0.292 0.321 max 0.253 0.252 0.256 0.262 0.285 0.252 0.309 0.297 std 0.101 0.101 0.102 0.101 0.102 0.103 0.101 0.102 FES mean 0.011 0.009 0.008 0.008 0.011 0.013 0.012 0.010 min 0.350 0.337 0.340 0.350 0.337 0.361 0.353 0.372 max 0.307 0.319 0.335 0.325 0.305 0.301 0.328 0.346 std 0.124 0.123 0.126 0.125 0.125 0.126 0.125 0.127 P40 ALTI mean 0.001 0.001 0.004 0.000 0.003 0.003 0.002 0.001 min 0.390 0.386 0.403 0.414 0.383 0.368 0.353 0.387 max 0.256 0.252 0.279 0.232 0.240 0.254 0.242 0.252 std 0.111 0.111 0.110 0.109 0.107 0.106 0.108 0.108 FES mean 0.025 0.027 0.029 0.026 0.025 0.023 0.023 0.023 min 0.445 0.431 0.446 0.462 0.433 0.421 0.385 0.426 max 0.339 0.345 0.320 0.310 0.307 0.277 0.303 0.322 std 0.139 0.139 0.137 0.137 0.136 0.133 0.134 0.134 75