HAKIKAT BERLAKUNYA PRINSIP NON-REFOULEMENT

dokumen-dokumen yang mirip
PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar

TEORI HUKUM INTERNASIONAL H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

Sigit Riyanto * Kata kunci: non-refoulement, refugee, asylum seeker, jus cogens.

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

BAB II HAKIKAT BERLAKU HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

PENGATURAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PENGUNGSI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM YANG MELINTASI BATAS INTERNASIONAL (ENVIRONMENTAL REFUGEE)

THE REASON OF INDONESIA NOT RATIFIED REFUGEE CONVENTION 1951 AND LEGAL PROTECTION FOR REFUGEES IN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

DAFTAR PUSTAKA. Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika : Jakarta Timur,

PERKULIAHAN III Devica Rully M., SH. MH. LLM.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus

HAKIKAT BERLAKUNYA PRINSIP NON-REFOULEMENT

Riyan Ananta Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

BAB I PENDAHULUAN. Hukum pengungsi internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. (born) human beings has inherent dignity and is inviolable (not-to be-violated),

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUAKA DAN HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

Penerapan Prinsip Non-Refoulement

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni.

BAB I PENDAHULUAN. salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain.

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK YANG TERJADI DI SURIAH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Hubungan Hukum Internasio nal dan Hukum Nasional H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. harus dilindungi hak-haknya sebagai manusia yang tertindas. Sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

Negara Hukum. Manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN. penderitaan yang diakibatkan oleh peperangan. dengan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

Transkripsi:

HAKIKAT BERLAKUNYA PRINSIP NON-REFOULEMENT SEBUAH PENDEKATAN FILOSOFIS Malahayati Filsafat Hukum January 18, 2016

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan bagi Penulis dalam menyelesaikan tulisan yang berjudul Hakikat Berlakunya Prinsip Non-refoulement: Sebuah Pendekatan Filosofis. Shalawat dan Salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW, yang telah membuka jalan bagi kita semua untuk terus menggali dan mencari ilmu pengetahuan, sehingga membawa kita kepada kehidupan yang lebih bermartabat dan menjadi rahmatan lil aalamin. Tulisan ini merupakan tugas dalam mata kuliah Filsafat Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Tahun 2015. Tulisan ini menguraikan tentang Prinsip Non-refoulement sebagai hukum kebiasaan internasional melalui pendekatan filosofis. Penulisan disusun dalam 4 (empat) Bab, yang terdiri dari Bab I Pendahuluan, Bab II Landasan Teori, Bab III Hakikat Berlakunya Prinsip Non-refoulement, dan Bab IV merupakan Kesimpulan. Tulisan ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Harapan Penulis, masukan dan kritikan dari Pembaca akan dapat memberikan perbaikan terhadap substansi tulisan yang lebih ilmiah dan akurat. Di sisi lain, semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum perlindungan terhadap pengungsi internasional. Semoga tulisan ini dapat menjadi cikal bakal dan bahagian kecil dari rencana disertasi Penulis nantinya. Salam, Penulis, Malahayati PAGE 1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... 1 BAB I PENDAHULUAN... 3 A. Latar Belakang Masalah... 3 B. Perumusan Masalah... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 7 D. Metode Pendekatan... 8 BAB II LANDASAN TEORI...10 A. Mazhab/Ajaran Hukum Alam.... 11 B. Mazhab/Teori Kehendak Negara.... 11 C. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara.... 12 D. Mazhab Wina... 13 E. Mazhab Perancis... 14 F. Hukum Kebiasaan Internasional... 15 BAB III HAKIKAT BERLAKUNYA PRINSIP NON-REFOULEMENT SEBAGAI HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL... 17 A. Prinsip Non-refoulement Sebagai Dasar Perlindungan Terhadap Pengungsi.. 17 B. Instrumen Hukum Prinsip Non-refoulement... 21 C. Pengecualian Prinsip Non-refoulement... 24 D. Kekuatan Mengikat Prinsip Non-refoulement Sebagai Jus Cogens... 26 E. Kekuatan Mengikat Prinsip Non-refoulement Terhadap Indonesia... 28 BAB IV KESIMPULAN... 34 DAFTAR PUSTAKA... 35 PAGE 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengungsi adalah orang-orang yang berada di luar Negara kebangsaannya atau tempat tinggalnya sehari-hari, yang mempunyai ketakutan beralasan akan mendapatkan penganiayaan dikarenakan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan di dalam kelompok sosial tertentu atau memiliki pendapat politik tertentu. 1 Pengungsi merupakan orang yang berada dalam keadaan yang sangat rentan. Mereka tidak mendapatkan perlindungan dari negaranya sendiri, bahkan seringkali pemerintahnya sendiri yang mengancam akan menganiaya mereka. 2 Dalam keadaan ketakutan seperti itu, masyarakat internasional melakukan upayaupaya yang diperlukan untuk menjamin dan memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang tetap terlindungi dan dihormati. Seseorang yang memiliki status sebagai pengungsi wajib mendapatkan perlindungan atas hak-hak dasarnya sebagai manusia. 3 Setiap Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orang yang berada di dalam wilayah negaranya, baik warga negaranya sendiri maupun orang asing yang sedang berada di wilayahnya tersebut, termasuk orang-orang yang mencari perlindungan dengan status pengungsi atau pencari suaka. Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan adalah perlindungan hukum, yang mewajibkan negara-negara penerima untuk memenuhi hak-hak hukum yang 120 1 UNHCR, 2007, Melindungi Pengungsi & Peran UNHCR, UNHCR, hlm. 10 2 Ibid, hlm. 7 3 Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. PAGE 3

melekat pada orang asing tersebut. 4 Perlindungan hak asasi merupakan hak pokok dalam penanganan pengungsi dan menjadi kewajiban masyarakat internasional, serta kewajiban nasional suatu negara. 5 Dasar hukum internasional atau lebih tepatnya perjanjian internasional yang dibentuk untuk menangani masalah pengungsi adalah Convention Relating to The Status of Refugees 1951 (Konvensi 1951) dan protocol tentang status Pengungsi 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees 1967. Prinsip Non-refoulement, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvesi 1951, merupakan aspek dasar hukum pengungsi yang mengatur larangan atau tidak diperbolehkannya suatu Negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi ke suatu wilayah tempat dia akan menghadapi persekusi atau penganiayaan yang membahayakan hidupnya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau karena politiknya. 6 Prinsip ini mengikat seluruh negara peserta Konvensi 1951. Namun kenyataannya, seringkali pengungsi yang meninggalkan negaranya dalam keadaan terdesak tidak lagi berpikir panjang tentang negara yang akan jadi tujuannya, apakah negara tersebut adalah negara peserta Konvensi 1951 atau bukan. Pada praktiknya, banyak Negara-negara yang kemudian menangani pengungsi yang tidak sesuai standar internasional yang sudah diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967, bahkan melanggar prinsip mengenai larangan pengusiran atau pengembalian (non-refoulement) yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional, seperti Negara Thailand. Pada Praktiknya, Negara Thailand telah melanggar Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai prinsip non-refoulement yang ia lakukan kepada para pengungsi Rohingya yang datang ke negaranya. Pemerintah 4 Yanuarda Yudo Persian, 2010, Pengaturan dalam Hukum Internasional Mengenai Pengungsi Akibat Perubahan Iklim yang Melintasi Batas Internasional (Environmental Refugees). Hlm. 10. 5 Wagiman, Ibid., hlm. 56. 6 Guy S. Goodwin-Gill, 1988, the Refugees in International Law (Second Edition), Oxford University Press, Oxford, hlm. 117 PAGE 4

Thailand telah mengirim pulang secara paksa sekitar 1.300 orang pengungsi Rohingya ke Myanmar. 7 Namun di sisi lain Negara Thailand tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, ini dikarenakan Negara Thailand adalah salah satu Negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai posisi geografis yang strategis. Hal ini menyebabkan Indonesia terletak pada posisi strategis karena berada di jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Indonesia menjadi tempat persinggahan bagi para pedagang, eksportir, importir, dan para perantara perdagangan dari luar negeri yang akan melakukan kegiatan ekonominya di Benua Asia menuju ke Benua Australia atau sebaliknya. Di tempat transit atau persinggahan itu para pelaku kegiatan ekonomi luar negeri maupun dalam negeri serta para imigran-imigran memasuki Indonesia. Karena posisi strategis inilah yang menjadikan Indonesia menjadi salah satu Negara tempat para pengungsi melakukan transit. 8 Kasus Muslim Rohingya yang terpaksa harus meninggalkan negaranya Myanmar merupakan salah satu kasus pengungsi yang memprihatinkan. Pengungsi Rohingya harus menerima pemulangan paksa oleh Pemerintah Thailand ketika mereka berusaha mencari perlindungan. Hal ini berbeda dengan perlakuan yang didapatkan dari Pemerintah Indonesia. Walaupun Thailand dan Indonesia samasama bukan negara anggota Konvensi, Pemerintah Indonesia justru menerima dan menampung sementara pengungsi tersebut. Indonesia juga termasuk salah satu Negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 hingga saat ini. Berbanding terbalik dengan apa yang telah dilakukan Negara Thailand, Indonesia yang masih belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 menangani pengungsi Rohingnya yang berasal dari 7 Thailand telah deportasi 1300 Pengungsi Rohingya, SINDOnews.com (Diakses pada Sabtu, 19 April 2015 pukul 14:49 WIB) 8 Vindy Septia Anggrainy, Perlindungan Pengungsi Lintas Batas Negara Di Indonesia Menurut Hukum Internasional, Lex et Societatis, Vol. II/No. 1/ Januari/2014, hlm. 55. PAGE 5

Negara Myanmar sesuai dengan salah satu isi Pasal yang diatur dalam Konvensi tersebut, yaitu Pasal 33 tentang Prinsip Non-refoulement. Walaupun Indonesia belum menjadi pihak dalam Konvensi itu, namun pada prakteknya Indonesia secara konsisten telah menerapkan prinsip ini ketika menghadapi eksodus pengungsi Vietnam. Pada pemaparan di atas, terlihat perbedaan penerapan prinsip nonrefoulement sebagai bagian dari hukum internasional oleh kedua negara (Indonesia dan Thailand). Kedua negara memiliki sistem hukum nasional yang berbeda dan perlakuan yang berbeda terhadap hukum internasional, namun sama-sama belum menandatangani Konvensi 1951. Hal ini tidak terlepas dari sistem hukum nasional yang dimiliki oleh masing-masing negara dan politik hukum negara tersebut dalam menerapkan hukum internasional. Masing-masing negara memiliki politik hukum terhadap kekuatan mengikat sebuah hukum internasional untuk diterapkan sebagai hukum nasional negaranya. Ada beberapa teori yang menerangkan tentang hakikat berlaku atau kekuatan mengikat sebuah hukum internasional. Teori ini menjelaskan alasanalasan sebuah negara yang ada dalam masyarakat internasional mau mentaati hukum internasional. teori-teori tersebut di antaranya adalah teori hukum alam, teori kehendak negara, teori kehendak bersama, dan teori tentang fakta kemasyarakatan. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sebagian besar sistem hukumnya masih mewarisi sistem hukum penjajah Belanda. Berbeda dengan negara bekas jajahan Inggris (misalnya) yang sudah memiliki sistem hukum yang lebih lengkap, Indonesia masih memerlukan pengaturan terkait penerapan prinsip non-refoulement, sehingga adanya kepastian dan perlindungan hukum terhadap pengungsi yang memasuki wilayah Indonesia. Prinsip non-refoulement sangat dibutuhkan bagi pengungsi internasional untuk memberikan rasa aman dan terlindungi bagi pengungsi atau pencari suaka, sehingga tidak terulangi kembali PAGE 6

kasus-kasus pemulangan kembali pengungsi yang melanggar prinsip nonrefoulement ini. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba melihat hakikat prinsip nonrefoulement sebagai hukum kebiasaan internasional yang seharusnya mengikat bagi seluruh bangsa-bangsa beradab di dunia. Analisis terhadap beberapa aspek ontologis, epistimologis dan aksiologis perlu dilakukan untuk melihat status hukum dan kekuatan mengikat prinsip non-refoulement bagi negara-negara, baik yang sudah menjadi anggota Konvesi 1951 maupun yang belum. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan judul yang akan diteliti, maka Penulis ingin mendalami hakikat berlakunya prinsip non-refoulement dalam perspektif filsafat. Apakah prinsip non-refoulement memiliki kekuatan mengikat terhadap Indonesia sebagai hukum kebiasaan internasional, walaupun Indonesia bukan negara peserta Konvensi 1951? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulis membahas hakikat berlakunya prinsip non-refoulement adalah untuk mendapatkan jawaban tentang hakikat kekuatan mengikat prinsip non-refoulement sebagai hukum kebiasaan internasional terhadap Indonesia yang bukan negara anggota Konvesi 1951, dari beberapa aspek dan teori hukum. Adapun manfaat yang diharapkan Penulis dari tulisan ini adalah: 1. Agar hasil penelitian ini memberikan sumbangan teoritis bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya kemajuan Ilmu Hukum Internasional tentang Perlindungan Pengungsi. 2. Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi tambahan bagi para akademisi dan kalangan yang berminat dalam bidang kajian yang sama terlebih lagi bagi Penulis pribadi. PAGE 7

3. Agar hasil penulisan ini menjadi sumbangsih dalam pembinaan hukum nasional dan pertimbangan dalam penegakan hukum (law enforcement), khususnya penegakan Hukum Internasional di Negara Republik Indonesia. D. Metode Pendekatan Tulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 9 Tipe penelitian hukum yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian adalah analisis kekuatan mengikat prinsip non-refoulement terhadap Indonesia, yang bukan negara anggota Peserta Konvensi 1951. Penggunaan jenis penelitian yuridis-normatif dalam penelitian ini mencoba mengkaji hakikat dan unsur-unsur dasar prinsip non-refoulement sebagai hukum kebiasaan internasional. Sebagai ilmu normative, ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi bentuk konkrit dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang tertentu. Norma-norma tersebut akan dijelmakan dalam peraturan-peraturan konkrit bagi suatu masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan filsafat (philosophical Approach). Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif, pendekatan filsafat akan mengkaji isu hukum dalam penelitian normative secara radikal dan mendalam. 10 Socrates mengatakan bahwa tugas filsafat bukan menjawab pertanyaan yang diajukan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan. Dengan demikian, ajaran filsafat meliputi aspek ontologis, epistimologis, dan 9 Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, hlm. 295 10 Ibid, hlm. 320 PAGE 8

aksiologis untuk memperjelas secara mendalam, sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan manusia. Berdasarkan ciri khas filsafat tersebut, seharusnya dapat dilakukan sebuah penelitian fundamental (fundamental research). 11 Penelitian fundamental adalah suatu penelitian yang memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap implikasi social dan efek penerapan suatu aturan perundang-undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat. Setiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga pengetahuan tersebut, yaitu komponen ontology, epistimologi dan aksiologi. Ontology berbicara mengenai hakikat sesuatu melalui pertanyaan apa yang harus dikatakan, dijelaskan dan diterjemahkan. Epistimologi menjelaskan pertanyaan bagaimana membentuk ulang, membuat dan membangun. Sedangkan aksiologi yang menjelaskan pertanyaan untuk apa, nilai-nilai yang hendak dicapai, dan menggunakan nilai-nilai tersebut (etika, estetika, dan agnostic). 12 Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem cluster dan diklasifikasikan menurut sumber dan hirarkhienya untuk kemudian dianalisis secara komprehensif. Penulis kemudian menguraikan dan menghubungkan seluruh bahan hukum yang ada untuk kemudian disajikan dalam penulisan yang sistematis sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan. 11 Ziegler P., 1988, A General Theory of Law as Paradigm for Legal Research, Modern Law Review 569. 12 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, hlm. 7 PAGE 9

BAB II LANDASAN TEORI Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Sehingga, berbeda halnya dengan tertib hukum nasional (yang bersifat subordinasi), dalam tertib hukum koordinasi (hukum internasional) tidak terdapat lembaga-lembaga yang disangkutpautkan dengan hukum dan pelaksanaannya seperti kekuasaan eksekutif, legislatif, yudisial maupun embaga kepolisian. Lembaga-lembaga tersebut adalah lembaga-lembaga yang diperlukan guna memaksakan berlakunya suatu ketentuan hukum. Dikarenakan keadaan yang demikianlah sehingga beberapa pihak menyangkal sifat mengikat hukum internasional, misalnya Hobbes, Spinoza, Austin. Menurut John Austin, hukum internasional itu bukanlah hukum melainkan sekadar aturan-aturan moral positif (rules of positive morality). Namun pendapat Austin tersebut terbantahkan oleh dua hal: Pertama, tidak adanya badan pembuat atau pembentuk hukum bukanlah berarti tidak ada hukum. Misalnya hukum adat; Kedua, harus dibedakan antara persoalan ada-tidaknya hukum dan ciri-ciri efektifnya hukum. Tidak adanya lembaga-lembaga yang diasosiasikan dengan hukum dalam tubuh hukum internasional (eksekutif, legislatif, kehakiman, kepolisian, dsb) adalah ciri-ciri atau pertanda bahwa hukum internasional belum efektif tetapi bukan berarti bahwa hukum internasional itu tidak ada. Jika pada kenyataannya hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, eksekutif, yudisial, maupun kepolisian tetapi pada kenyataannya pula hukum internasional itu mengikat, maka timbul pertanyaan: mengapa hukum internasional itu mengikat? Bagaimana penjelasannya? Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu: PAGE 10

A. Mazhab/Ajaran Hukum Alam. Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian dari hukum alam yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antarmereka karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum alam. Tokoh-tokoh dari mazhab ini, antara lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel, dll. Kontribusi terbesar ajaran atau mazhab hukum alam bagi hukum internasional adalah bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mazhab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antarbangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Meskipun demikian, ia juga mengandung kelemahan yang cukup mendasar yaitu tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan hukum alam itu. Akibatnya, pengertian tentang hukum alam itu menjadi sangat subjektif, bergantung pada penafsiran masing-masing orang atau ahli yang menganjurkannya. B. Mazhab/Teori Kehendak Negara. Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari ajaran atau mazhab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional. Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari PAGE 11

hukum nasional (c.q. hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht). Para pemuka mazhab ini, antara lain, Georg Jellinek, Zorn, dll. Kritik dan sekaligus kelemahan dari ajaran ini adalah bahwa ajaran ini tidak mampu menjelaskan bagaimana jika negara-negara itu secara sepihak menyatakan tidak hendak lagi terikat kepada hukum internasional, apakah dengan demikian hukum internasional tersebut tidak lagi mengikat? Ajaran ini juga tidak mampu menjelaskan negara-negara yang baru lahir sudah langsung terikat oleh hukum internasional terlepas dari mereka setuju atau tidak? C. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara. Mazhab ini berusahan untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum internasional itu mengikat bukan karena bukan karena kehendak negara-negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama negara-negara itu di mana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik. Inilah inti dari ajaran Vereinbarungstheorie yang dikemukakan oleh Triepel. Melalui ajarannya itu Triepel sesungguhnya berusaha untuk mendasarkan teorinya pada cara mengikat hukum kebiasaan internasional. Maksudnya, dengan mengatakan bahwa kehendak bersama negara-negara untuk terikat pada hukum internasional itu tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik ia sesungguhnya bermaksud mengatakan bahwa negara-negara itu telah menyatakan persetujuannya untuk terikat secara implisit atau diam-diam (implied). Kendatipun telah berusaha menjawab kritik terhadap kelemahan Mazhab/Teoeri Kehendak Negara, Mazhab/Teori Kehendak Bersama Negaranegara ini tetap saja mengandung kelemahan, yaitu: PAGE 12

Pertama, mazhab ini tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap pertanyaan: kalaupun negara-negara tidak dimungkinkan menarik persetujuan untuk terikat kepada hukum internasional secara sendirisendiri, bagaimana jika negara-negara tersebut secara bersama-sama menarik persetujuannya untuk terikat pada hukum internasional? Apakah dengan demikian berarti hukum internasional menjadi tidak ada lagi? Kedua, dengan mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara, maka (seperti halnya pada Mazhab/Teori Kehendak Negara) mazhab ini pun sesungguhnya hanya menganggap hukum internasional itu hanya sebagai hukum perjanjian antar negara-negara. Pendapat ini, sebagaimana telah disinggung di atas, telah terbukti sebagai pendapat yang tidak benar. Sebab hukum internasional bukan semata-mata lahir dari perjanjian internasional. D. Mazhab Wina Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara (yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh terkenal dari aliran ini adalah Hans Kelsen yang mazhabnya dikenal dengan sebutan Mazhab Wina (Vienna School of Thought). Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus PAGE 13

diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pacta sunt servanda. Kelemahan dari mazhab atau teori ini adalah bahwa memang sepintas tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini tampak logis dalam menerangkan dasar mengikatnya hukum internasional. Namun, mazhab ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar (grundnorm) itu sendiri mengikat? Lagipula, dengan mengatakan bahwa kaidah dasar itu sebagai hipotesa, yang merupakan sesuatu yang belum pasti, maka berarti pada akhirnya dasar mengikatnya hukum internasional digantungkan pada sesuatu yang tidak pasti. Dengan demikian, seluruh konstruksi pemikiran yang mulanya tampak logis itu pada akhirnya menjadi sesuatu yang menggantung di awang-awang. Lebih jauh lagi, dengan mengatakan bahwa grundnorm itu sebagai persoalan di luar hukum atau tidak dapat dijelaskan secara hukum maka berarti persoalan tentang dasar mengikatnya hukum internasional akhirnya dikembalikan lagi kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yaitu rasa keadilan dan moral yang berarti sama saja dengan mengembalikan dasar mengikatnya hukum internasional itu kepada hukum alam. E. Mazhab Perancis Suatu mazhab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum internasional dengan konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya (Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Hukum Positif) muncul di Perancis. Karena itu, Mazhab ini dikenal sebagai Mazhab Perancis. Pelopornya, antara lain, Leon Duguit, Fauchile, dan Schelle. Dalam garis besarnya, mazhab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum internasional sebagaimana halnya bidang hukum lainnya pada faktor-faktor yang mereka namakan fakta-fakta kemasyarakatan (fait social), yaitu berupa faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar PAGE 14

mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mazhab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat. F. Hukum Kebiasaan Internasional Hukum kebiasaan internasional dikenal sebagai sumber fundamental hukum internasional. 13 Bahkan kebiasaan internasional dianggap sebagai sumber hukum internasional yang paling penting, sampai kemudian digantikan dengan keberadaan perjanjian internasional. Sebuah kebiasaan internasional tidak serta merta merupakan hukum kebiasaan internasional. Berdasarkan Pasal 38 (1)(b) disebutkan bahwa international custom, as evidence of a general practice accepted ass law. Artinya, hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. 14 Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak semua kebiasaan internasional diterima sebagai hukum kebiasaan internasional yang dapat menjadi sumber hukum internasional. Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah kebiasaan internasional untuk dapat dijadikan sumber hukum, yaitu: 1) harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum (unsur materiil); 2) Kebiasaan tersebut harus diterima sebagai hukum (unsur psikologis). Dari syarat tersebut dapat dikatakan bahwa sebuah kebiasaan internasional akan dapat menjadi sumber hukum 13 Lihat Statute of the International Court of Justice, Pasal 38(1)(b), Tanggal 26 1945. 14 Mochtar Kusumaatmadja,2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 143 PAGE 15

internasional apabila memenuhi unsur materiil dan unsur psikologis. Apabila kebiasaan tersebut hanya memenuhi unsur materiil saja, maka kebiasaan tersebut tidak dapat melahirkan hukum, melainkan sebatas kesopanan internasional. Sebuah kebiasaan internasional dapat dikatakan bersifat umum apabila kebiasaan tersebut merupakan pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa. Selanjutnya, kebiasaan tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hukum internasional. apabila kedua unsur tersebut telah terpenuhi, barulah dapat dikatakan telah ada kebiasaan internasional yang bersifat umum. Unsur psikologis, yaitu kebiasaan internasional yang bersifat umum tersebut harus diakui sebagai hukum. Kebiasaan internasional tersebut dirasakan memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum. Secara praktis, pengakuan secara hukum dapat dilihat apabila negara-negara itu tidak menyatakan keberatan terhadap kebiasaan tersebut. Keberatan dapat dinyatakan dengan berbagai cara, baik diplomatic atau dengan jalan hukum, dengan mengajukan keberatan di hadapan suatu mahkamah. 15 Perjanjian internasional yang berulang kali diadakan mengenai hal yang sama dapat menimbulkan suatu kebiasaan dan menciptakan lembaga hukum melalui proses hukum kebiasaan internasional. salah satu contoh adalah dibuatnya ketentuan hukum mengenai hubungan konsuler yang ditimbulkan oleh praktik kebiasaan di lapangan, yang berasal dari perjanjian bilateral mengenai hubungan konsuler yang diadakan oleh negara-negara di dunia. Praktik diadakannya perjanjian bilateral mengenai hubungan konsuler ini menimbulkan dari kompleks kaidah hukum kebiasaan mengeani hubungan konsuler. 15 Ibid, hlm. 144-145 PAGE 16

BAB III HAKIKAT BERLAKUNYA PRINSIP NON-REFOULEMENT SEBAGAI HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL A. Prinsip Non-refoulement Sebagai Dasar Perlindungan Terhadap Pengungsi Istilah non-refoulement berasal dari kata Bahasa Perancis refouler yang berarti mengembalikan atau mengirim balik (to drive back). 16 Prinsip nonrefoulement adalah larangan atau tidak diperbolehkannya suatu negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi ke suatu wilayah tempat dia akan menghadapi persekusi atau penganiayaan yang membahayakan hidupnya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan ada kelompok sosial tertentu, atau karena keyakinan politiknya. 17 Makna utama dari prinsip non-refoulement ini adalah tidak boleh ada negara yang mengembalikan atau mengirim pengungsi atau pencari suaka ke suatu wilayah tempat kehidupan dan keselamatan mereka akan terancam, kecuali kehadiran mereka benar-benar menimbulkan masalah ketertiban dan keamanan bagi negara yang bersangkutan. Non-refoulement harus dibedakan dengan pengusiran (expulsion) atau deportasi (deportation) atau pemindahan secara paksa (forced removal). Pengusiran 16 Harun Ur Rashid, 2005, Refugee and the Legal Principle of Non-Refoulement (Rejection), dalam Law and Our Rights, No. 197, Juli, 2005. 17 Guy S. Goodwin-Grill, Ibid. PAGE 17

atau deportasi terjadi ketika warga negara asing yang berada di wilayah sebuah negara, melakukan tindakan yang bertentangan dengan ketertiban hukum dan kepentingan nasional negara setempat, atau tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari proses peradilan. Prinsip non-refoulement merupakan salah satu prinsip yang paling dasar dalam sistem perlindungan internasional bagi pengungsi dan pencari suaka. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam perlindungan individu dan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyiksaan dana tau penghukuman yang kasar dan merendahkan martabat dan tidak manusiawi. 18 Prinsip ini merupakan tulang punggung bagi pengungsi dan pencari suaka yang telah dilembagakan dalam berbagai instrument hukum internasional maupun nasional. Prinsip non-refoulement dalam sistem hukum Internasional secara khusus diatur dalam Pasal 33 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, yang berbunyi: No contracting State shall expel or return (refouler) a refugee in any mannar whatsoever to the frontier of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion. Ada beberapa permasalahan penting yang diatur dan dijelaskan dalam Pasal tersebut, yaitu: (1) pihak-pihak yang terikat terhadap prinsip non-refoulement; (2) Perbuatan yang dilarang; (3) pihak-pihak yang dilindungi; (4) tempat yang dilarang untuk melakukan non-refoulement; (5) ancaman terhadap hidup dan kebebasan; dan (6) karakter ancaman. Pembahasan terhadap masing-masing poin di atas akan didiskusikan lebih lanjut pada bagian ini. 18 Sir Elihu Lauterpacht & Daniel Bethlehem, 2003, the Scope and Content of the Principle of Non-Refoulement, dalam Erika Feller, Volker Turk, & Frances Nicholson (Eds.), 2003, Refugee Protection in International Law: UNHCR s Global Consultations on International Protection, Cambridge University Press, Cambridge, hlm. 87-164. PAGE 18

(1) pihak-pihak yang terikat terhadap prinsip non-refoulement; Contracting State pada Pasal 33 (1) di atas merujuk pada semua negara yang menjadi para pihak pada Konvensi 1951. Artinya, Pasal tersebut hanya mengikat bagi negara-negara peserta. Berdasarkan Pasal 1 (2) Protokol 1967, suatu negara yang tidak menjadi para pihak pada Konvensi 1951 namun menjadi pihak pada Protokol 1967, juga terikat pada Pasal 2 hingga Pasal 34 Konvensi 1951. Dengan demikian, Pasal 33 Konvensi 1951 mengikat begaranegara yang menjadi pihak pada Konvensi 1951 atau Protokol 1967, atau pada kedua instrument hukum tersebut. Negara peserta juga termasuk semua wilayah pemerintahan yang berada di bawahnya, seperti provinsi ataupun negara bagian, serta seluruh aparatur pelaksana negara yang memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan. (2) Perbuatan yang dilarang; Makna larangan terhadap non-refoulement dapat dilihat pada kata expel or return (refouler) in any manner whatsoever yang terdapat dalam Pasal 33 (1) di atas. Artinya aturan ini bertujuan melarang setiap tindakan pemindahan atau penolakan yang akan menempatkan seseorang dalam kondisi yang berbahaya. Bentuk perbuatan secara formal tidak dibatasi terhadap pengusiran (expulsion), deportasi (deportation), pengembalian (return), maupun penolakan (rejection) saja. Ada beberapa saran untuk tidak menerapkan non-refoulement terhadap kasus-kasus ekstradisi pada masamasa penyusunan draft Konvensi, namun masukan tersebut tidak menjadi materi yang dibahas lebih lanjut. 19 19 Paul Weis, 1995, Refugee Convention 1951: The Travaux Preparatoire Analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, Cambridge University Press, hlm. 341-342 PAGE 19

(3) pihak-pihak yang dilindungi; Pasal 33 (1) secara jelas menyebutkan bahwa perlindungan diberikan kepada pengungsi (refugee). Berdasarkan Pasal 1A (2) Konvensi 1951, yang diamandemen oleh Pasal I (2) Protokol 1967, refugee adalah: any person who owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or ho, not having nationality and being outside the country of his former habitual residence, is unable to or, owing to such fear, is unwilling to return to it. Penjelasan dari pasal di atas tidak membatasi penerapan non-refoulement hanya kepada pengungsi yang sudah mendapatkan status pengungsinya secara formal, melainkan lebih menekankan pada who owing to wellfounded fear of being persecuted. Maknanya, khusus untuk kepentingan Konvensi 1951 dan Protokol 1967, yang dimaksud pengungsi dalam Pasal 1A (2) di atas adalah orang yang secara nyata ketakutan akan persekusi atau penyiksaan yang harus dihadapinya, tanpa harus mempermasalahkan status formalnya sebagai pengungsi yang sah secara hukum nasional negara penerima. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan the Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status sebagai berikut: A person is a refugee within the meaning of the 1951 Convention as soon as he fulfils the criteria contained in the definition. Thiswould necessarily occur prior to the time at which his refugee status is formally determined. Recognition of his refugee status does not therefore make him a refugee but declares himto be one. He does not become a refugee because of recognition, but is recognized because he is a refugee. 20 20 UNHCR, 1979, Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status, Genewa, Re-Edit 1992, paragraph 28. PAGE 20

(4) Tempat yang dilarang untuk melakukan non-refoulement; Tempat yang dilarang untuk melakukan non-refoulement dapat dijelaskan pada kalimat to the frontiers of territories. Yang harus diingat bahwa yang dimaksud tempat ini bukan semata-mata negara asal pengungsi ataupun pencari suaka. Frontiers of territories disini dapat berarti tempat apa saja dan dimana saja yagn dapat menimbulkan kekhawatiran atau ketakutan akan keselamatan hidup dan kebebasannya. Selain itu, tempat ini juga tidak harus dalam bentuk sebuah negara atau states. Bisa juga tempat yang dapat menimbulkan resiko terhadap nyawa seseorang adalah wilayah negaranya sendiri, maka orang tersebut dapat saja meminta perlindungan di kantor diplomatic negara lain yang ada di negara si pengungsi. (5) ancaman terhadap hidup dan kebebasan; ancaman yang menjadi dasar seseorang memilih meninggalkan tempat asalnya harus dapat dibuktikan dan memiliki standar yang jelas terhadap resiko kematian, keselamatan atau kebebasan pengungsi atau pencari suaka. Akan dilakukan berbagai tes standar terhadap adanya ancaman yang nyata bagi pengungsi atau tidak. (6) karakter ancaman. Pasal 33 (1) memberikan batasan bahwa ancaman tersebut didapatkan pengungsi atas dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari sebuah kelompok social atau perbedaan pandangan politiknya. Artinya, semua ancaman tersebut harus berdasarkan alasan-alasan di atas, sehingga prinsip non-refoulement dapat diberlakukan kepada mereka. B. Instrumen Hukum Prinsip Non-refoulement yang berbunyi: Larangan mengembalikan pengungsi diatur dalam Pasal 33 (1) Konvensi 1951, PAGE 21

No contracting State shall expel or return (refouler) a refugee in any mannar whatsoever to the frontier of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion. Prinsip non-refoulement juga diatur dalam beberapa instrument hukum internasional lainnya, seperti the 1966 Principles concerning Treatment of Refugees, yang diadopsi oleh the Asian-African Legal Consultative Committee, 21 Pasal III (3), yang berbunyi: No one seeking asylum in accordance with these Principles should, except for overriding reasons of national security or safeguarding the populations, be subjected to measures such as rejection at the frontier, return or expulsion which would result in compelling him to return to or remain in a territory if there is a well-founded fear of persecution endangering his life, physical integrity or liberty in that territory. The 1967 Declaration on Territorial Asylum yang diadopsi oleh the United Nations General Assembly (UNGA) sebagai Resolution 2132 (XXII), 14 Desember 1967, Pasal 3 yang berbunyi: 22 1. No person referred to in article 1, paragraph 1 [seeking asylum from persecution], shall be subjected to measures such as rejection at the frontier or, if he has already entered the territory in which he seeks asylum, expulsion or compulsory return to any State where he may be subjected to persecution. 2. Exception may be made to the foregoing principle only for overriding reasons of national security or in order to safeguard the population, as in the case of a mass influx of persons. 3. Should a State decide in any case that exception to the principle stated in paragraph 1 of this article would be justified, it shall consider the possibility of granting the person concerned, under such conditions as it may deem 21 Report of the Eighth Session of the Asian-African Legal Consultative Committee, Bangkok, 8 17 Agt 1966, hlm. 335 22 United Nations General Assembly (UNGA), A/RES/2132 (XXII), tanggal 14 Desember 1967. PAGE 22

appropriate, an opportunity, whether by way of provisional asylum or otherwise, of going to another State. Selain itu, Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa oleh Organization of Africa Unity (OAU) pada tahun 1969, Pasal II(3) menegaskan: bahwa: No person shall be subjected by a Member State to measures such as rejection at the frontier, return or expulsion, which would compel him to return to or remain in a territory where his life, physical integrity or liberty would be threatened for the reasons set out in Article I, paragraphs 1 and 2 [concerning persecution for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, or who is compelled to leave his country of origin or place of habitual residence in order to seek refuge from external aggression, occupation, foreign domination or events seriously disturbing public order]. American Convention on Human Rights Tahun 1969, Pasal 22(8) mengatur In no case may an alien be deported or returned to a country, regardless of whether or not it is his country of origin, if in that country his right to life or personal freedom is in danger of being violated because of his race, nationality, religion, social status, or political opinions. Cartagena Declaration tahun 1984, Section III, paragraph 5 menyebutkan: the importance and meaning of the principle of non-refoulement (including the prohibition of rejection at the frontier) as a corner-stone of the international protection of refugees. This principle is imperative in regard to refugees and in the present state of international law should be acknowledged and observed as a rule of jus cogens. Prinsip non-refoulement juga tercantum pada Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture), Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) Tahun 1949, Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak PAGE 23

Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) tahun 1966, serta beberapa instrumen hukum hak asasi lainnya. C. Pengecualian Prinsip Non-refoulement Dalam penerapan prinsip non-refoulement dimungkinkan adanya pengecualian, maksudnya seorang pengungsi atau pencari suaka tidak mendapatkan perlindungan internasional karena alasan-alasan tertentu. Klausula pengecualian tersebut dapat dilihat pada Pasal 33 (2) Konvensi 1951, yang berbunyi: (2) The benefit of the present provision [prohibiting refoulement] may not, however, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by a final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country. Menurut Pasal 33 ayat (2) Konvensi 1951, larangan memaksa pengungsi kembali ke negara dimana ia mungkin mengalami persekusi tidak diterapkan kepada pengungsi yang mengancam keamanan negara, atau ia telah mendapatkan putusan akhir dari hakim atas kejahatan serius yang telah ia perbuat, serta membahayakan masyarakat negara setempat. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk pengecualian yang sangat mendesak. Hal tersebut bermakna, apabila pengecualian tersebut akan diterapkan, maka harus dibuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara keberadaan pengungsi di suatu negara dengan keamanan nasional negara itu yang terancam. 23 Pada dasarnya penafsiran tentang ancaman bagi keamanan nasional merupakan kewenangan otoritas negara setempat sebagai pemegang kedaulatan. Namun demikian, penilian tentang adanya ancaman bagi keamanan 23 Kadarudin, 2012, Penerapan Prinsip Non-Refoulement oleh Indonesia sebagai Negara Transit Pengungsi Internasional, Tesis, Makassar, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. PAGE 24

nasional oleh negara setempat karena kehadiran pengungsi dilakukan secara kasus per-kasus dan harus didasari oleh itikad baik (good faith). Meskipun pada dasarnya penafsiran tentang ancaman bagi keamanan nasional merupakan otoritas negara setempat sebagai pemegang kedaulatan. 24 Pengusiran pengungsi hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali apabila alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diizinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya serta mengajukan banding kepada instansi yang berwenang. Pengecualian penerapan non refoulement mensyaratkan adanya unsur ancaman terhadap keamanan negara dan gangguan terhadap ketertiban umum di negara setempat. 25 Dalam arti sempit, ancaman dapat bersifat terencana ataupun residual. Ancaman terencana dapat berupa subversi, yakni menggulingkan pemerintahan sah yang sedang berkuasa, maupun pemberontakan dalam negeri serta infiltrasi (penyusupan), subversi, sabotase (pengerusakan) dan invasi (penyerbuan ke wilayah Negara lain). Ancaman residual adalah berbagai keadaan dalam masyarakat yang merupakan kerawanan ekonomi, sosial dan politik yang apabila tidak ditangani secara tuntas pada waktunya, akan memicu kerusuhan yang dapat dipergunakan oleh unsur-unsur subversi atau pemberontak untuk kepentingannya. Secara umum, negara-negara di dunia mengecualikan prinsip non refoulement dengan berasumsikan pada konvensi 1951. Selain pada Pasal 33 ayat (2), hal terkait pengecualian juga terdapat pada Pasal 1F Konvensi 1951 bahwa pengungsi yang telah melakukan suatu kejahatan terhadap perdamaian, suatu 24 Sigit Riyanto, 2010, Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Internasional, Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 3, Oktober 2010, hlm. 447 25 Kadarudin, Op.Cit. PAGE 25

kejahatan perang, atau suatu kejahatan kemanusiaan, seperti yang didefinisikan dalam instrumen-instrumen internasional yang disusun untuk membuat peraturan mengenai kejahatan-kejahatan tersebut, selain itu pengecualian dilakukan pada pengungsi yang telah melakukan suatu kejahatan non-politik yang berbahaya di luar negara pengungsian sebelum masuknya dia ke negara tersebut sebagai pengungsi, ataupun mereka telah bersalah karena melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsipprinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. 26 D. Kekuatan Mengikat Prinsip Non-refoulement Sebagai Jus Cogens Prinsip non-refoulement telah mengalami berbagai perkembangan dan penafsiran. Pada abad modern ini, penafsiran prinsip non-refoulement telah berubah dari diskusi dan kesepakatan awal pembentukan Konvensi 1951. Saat ini, prinsip non-refoulement bukan hanya berlaku atas negara-negara peserta, melainkan juga telah bergeser paradigm dari hukum internasional yang berdasarkan perjanjian menjadi hukum kebiasaan internasional. Meski cukup sulit untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang dapat menjadikan sebuah prinsip hukum internasional sebagai jus cogens, setidaknya prinsip non-refoulement dapat dikategorikan sebagai hukum kebiasaan internasional dari beberapa unsur yang telah dimilikinya. Unsur-unsur tersebut adalah: a. Prinsip ini mengikat semua negara-negara anggota Konvensi 1951 dan Protokol 1967, termasuk seluruh wilayah dan organ pelaksana pemerintahan yang berada di bawahnya, serta setiap orang yang bertindak atas nama negara tersebut. 26 Sir Elihu Lauterpacht & Daniel Bethlehem, Op. Cit., hlm. 130-131. PAGE 26

b. Prinsip ini juga tidak membatasi bentuk tindakan non-refoulement yang dilakukan oleh sebuah negara, melainkan lebih mementingkan dampak yang akan dirasakan oleh pengungsi atau pencari suaka. Ancaman yang dihadapi dapat berupa ancaman penyiksaan, resiko nyata akan kekerasaan dan penganiayaan, tidak manusiawi dan perbuatan yang tidak layak atau penghukuman, serta ancaman terhadap jiwa, badan dan kebebasan seseorang. c. Prinsip non-refoulement juga dilarang terhadap setiap wilayah dimana pengungsi atau pencari suaka diduga akan mengalami persekusi, walaupun wilayah tersebut tidak secara langsung membahayakan mereka, namun patut diduga dapat membawa mereka pada kondisi yang beresiko terhadap keselamatan dan kebebasan mereka. d. hanya dibatasi apabila berkaitan dengan kepentingan nasional dan keselamatan umum. 27 Dari unsur-unsur di atas, prinsip kebiasaan non-refoulement dalam bidang perlindungan pengungsi dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Tidak seorangpun yang mencari suaka atau perlindungan dapat ditolak, dikembalikan atau diusir dengan tindakan apapun, ke tempat manapun, yang diduga akan membuat orang tersebut harus mengalami ancaman persekusi atau kematian, fisik, ataupun kebebasan. b. Alasan keamanan nasional dan kepentingan public dapat dijadikan alasan oleh negara anggota untuk tidak menerapkan prinsip nonrefoulement apabila ancaman yang dihadapi dianggap belum memenuhi unsur penganiayaan, kekerasan, perbuatan yang tidak manusiawi, yang tidak masuk dalam ruang lingkup non-derogable prinsip perlindungan HAM. 27 Sir Elihu Lauterpacht & Daniel Bethlehem, Op. Cit., hlm. 149-150. PAGE 27

Sifat non-derogable larangan pengusiran telah ditegaskan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Komite Eksekutif UNHCR bahkan lebih jauh menetapkan bahwa prinsip non-refoulement merupakan kemajuan peremptory norm dalam hukum internasional. Prinsip non-refoulement telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, yang bermakna seluruh negara, baik telah menjadi Negara Pihak maupun bukan, pada konvensi-konvensi pengungsi dan/atau hak asasi manusia yang melarang pengusiran, berkewajiban untuk tidak mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara dimana hidup atau keamanan orang itu sungguh-sungguh berada dalam bahaya. 28 Peremptory norm atau disebut juga jus cogens atau ius cogens (dari bahasa Latin yang berarti hukum yang memaksa) merupakan suatu prinsip dasar hukum international yang diterima oleh negara-negara sebagai suatu norma yang tidak dapat dikurangi pelaksanaannya. Sebagai peremptory norm atau jus cogens, prinsip nonrefoulement harus dihormati dalam segala keadaan dan tidak dapat diubah. Hak dan prinsip fundamen ini telah diadakan untuk kepentingan semua orang tanpa memandang apakah negara sudah menjadi pihak pada Konvensi 1951 atau belum dan tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sudah diakui statusnya sebagai pengungsi atau tidak. E. Kekuatan Mengikat Prinsip Non-refoulement Terhadap Indonesia Prinsip non refoulement merupakan aspek dasar dari hukum pengungsi dan telah dikembangkan menjadi kebiasaan hukum internasional. Ini berarti bahwa prinsip tersebut bersifat mengikat bagi setiap negara meskipun belum menjadi peserta penandatanganan Kovensi Tahun 1951. Prinsip tersebut dibangun atas dasar ketidakberpihakan serta tanpa diskriminasi. Bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi tidak boleh dialihkan dengan alasan-alasan politis atau kemiliteran dan 2001. 28 UNHCR, Refugee Protection: A Guide to International Refugee Law, Desember PAGE 28

yang pertama memiliki kewenangan terkait dengan prinsip non refoulement adalah negara penerima. Mengenai penerapan hukum kebiasaan internasional disebutkan juga dalam Pasal 38 Konvesi Wina Tahun 1969 dimana pada intinya menetapkan bahwa hukum kebiasaan internasional mengikat bagi semua negara. 29 Prinsip non refoulement oleh beberapa ahli hukum internasional dikategorikan sebagai ius cogens, dimana ius cogens dapat diartikan sebagai suatu norma dasar hukum internasional. Norma dasar hukum internasional menurut Konvensi Wina 1969 yaitu suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya bisa diubah oleh norma dasar hukum internasional baru yang sama sifatnya. 30 Oleh karena tersebut, prinsip non refoulement harus tetap diterapkan di suatu negara dimana pengungsi mencari perlindungan, walaupun negara tersebut bukan merupakan negara peserta penandatanganan Konvensi Tahun 1951. Non-refoulement tidak sama dengan deportasi ataupun pemindahan secara paksa. Deportasi ataupun pengusiran terjadi ketika warga negara asing dinyatakan bersalah karena melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan negara setempat atau ia menjadi tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari proses peradilan. Prinsip non-refoulement tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun secara tersirat dapat ditemukan dalam Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV tahun 1949, Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966, Pasal 24 Tap MPR No. XVII/1998 mengenai HAM, Pasal 28 G ayat 2 UUD 1945, Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 39/1999 mengenai HAM, Pasal 26-28 UU No. 37/1999 mengenai Hubungan Luar Negeri. 29 Sumaryo Suryokusumo, 2007, Studi Kasus Hukum Internasional, Tatanusa, Jakarta, hlm. 186. 30 Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 123 PAGE 29