BAB I PANDAHULUAN I.1. Latar Belakang Mycobacterium Tuberculosis (MTB) telah menginfeksi sepertiga pendududk dunia (Depkes RI, 2002). Tahun 1993 WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC karena disebagian besar negara dunia penyakit TBC tidak terkendali. Setiap tahunnya terdapat 249.701 kasus baru penderita TB paru (WHO, 2004). Sedikitnya 1 orang akan terinfeksi tuberkulosis setiap detik dan akan meninggal tiap 10 detik akibat TB (Aditama, 1999). Diperkirakan 95% penderita TB terdapat di negaranegara berkembang. Di Indonesia setiap tahunnya terdapat 583.000 kasus baru dengan kematian 140.000 serta diperkirakan terdapat 130 kasus baru dengan BTA (+) setiap 100.000 penduduk (Hisyam, 2001). Tuberkulosis paru menyerang sebagian besar kelompok usia produktif, status sosisl ekonomi dan pendidikan rendah (Manaf, 1997). 1
2 Oleh karena itu, diperlukan pengobatan seawal mungkin untuk mencegah penularan, resistensi dan komplikasi. Diperlukan cara diagnosis yang cepat, tepat, dan akurat dalam menentukan diagnosis tuberkulosis. Diagnosis pasti tuberkulosis paru ditegakkan dengan biakan kultur, namun pada metode ini diperlukan biaya yang mahal dan juga waktu yang cukup lama (John JS et al., 2007). Metode tercepat untuk diagnosa tuberkulosis yaitu dengan pemeriksaan mikroskopis (Matsushima, 1999; Moore, 1998; Rajalahti, 1998; Riain, 1998). Menurut program pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia, penegakan diagnosis dilakukan secara mikroskopis dengan sputum sebagai spesimen (Depkes RI, 1999). Meskipun pemeriksaan mikroskopis tergolong cepat, namun masih terdapat masalah dalam hal interpretasi hasil laboratorium, dimana para klinisi sering mengalami kesulitan untuk menentukan diagnosis tuberkulosis pada pasien yang memiliki hasil pemeriksaan mikroskopik scanty (Enarson, 2000; WHO, 1998). Hasil pemeriksaan mikroskopik dinyatakan scanty apabila ditemukan kurang dari 10 BTA/100 lapang
3 pandang. Sedangkan menurut rekomendasi dari International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) dan World Health Organization (WHO), hasil pemeriksaan mikroskopis sputum dianggap positif, jika di dalam pemeriksaan mikroskopis terdapat setidaknya 10 basil tahan asam (BTA) per 100 lapang pandang (WHO, 1998; IUATLD). Berbeda dengan standar IUATLD dan WHO tersebut, American Thoracic Society (ATS) menetapkan bahwa jika ditemukan 1 AFB/100 HPF dalam pemeriksaan mikroskopik, maka dapat dinyatakan sebagai hasil positif (ATS, 2000). Menurut WHO, hasil scanty diklasifikasikan menjadi dua, yaitu scanty positif jika terdapat 4-9 AFB/100 HPF dan scanty negatif apabila ditemukan 1-3 AFB/100 HPF (WHO, 1994). Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2003) bila ditemukan 1-3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan harus diulang dengan spesimen dahak yang baru. Bila hasilnya tetap 1-3 BTA, maka hasilnya dilaporkan negatif. Sedangkan bila ditemukan 4-9 BTA, maka hasilnya dilaporkan sebagai positif.
4 Karena sifatnya yang ambigu, hasil scanty tersebut cenderung menyebabkan kebingungan. Di samping itu, cut-off untuk hasil scanty sering tidak diterapkan secara ketat sehingga para laboran akan cenderung melaporkan hasil scanty sebagai hasil yang negatif atau positif saja, padahal pergeseran interpretasi hasil pemeriksaan ini akan sangat berpengaruh pada penegakan diagnosis dan menejemen pasien. Pengambilan keputusan pada hasil mikroskopik scanty menimbulkan hasil keraguan sehingga perlu diteliti. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui lebih jauh penerapan hasil BTA scanty dalam menentuan diagnosis TB dengan membandingkan hasil BTA scanty dengan hasil kultur Lowenstein Jensen (LJ). I.2. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana hasil kultur Löwenstein Jensen pada spesimen dengan hasil mikroskopik scanty?
5 I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil kultur dari spesimen dengan pemeriksaan mikroskopik scanty menggunakan media kultur Lowenstein Jensen sebagai baku emas penegakan diagnosis tuberkulosis. I.4. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai perbandingan hasil scanty dengan kultur Lowenstein Jensen sebagai baku emas penegakan diagnosis TB sepanjang pengetahuan penulis, sudah pernah dilakukan. Antara lain adalah: 1. Penelitian dengan judul A Comparative Study For Detection Of Mycobacteria By BACTEC MGIT 960, Lowenstein Jensen Media And Direct AFB Smear Examination oleh S Rishi, et al pada tahun 2007. Pada penelitian ini diungkapkan bahwa M960 merupakan metode yang cepat dan sensitiv untuk diagnosis awal tuberkulosis pulmonal dan ekstrapulmonal. Namun untuk pemulihan yang maksimal dari mikobakteri, kombinasi media M960 dan Lowenstein Jensen (LJ) harus dilakukan.
6 2. Penelitian yang berjudul Comparison of scanty AFB smear against culture in an area with high HIV prevalence oleh L. Lawson, et al pada tahun 2005. Pada penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi pasien terduga tuberkulosis yang datang ke rumah sakit Abuja, Nigeria, jika BTA dinilai sebagai scanty yang positif palsu. BTA dari 1068 pasien dinilai dengan klasifikasi International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD). I.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan dalam menentukan diagnosis TB sehingga diharapkan dapat membantu dalam menentukan menejemen TB paru. Bagi penderita TB paru, pemeriksaan ini dapat membantu mengetahui penyakitnya lebih dini sehingga pengobatan dapat diberikan lebih cepat, guna mencegah komplikasi lebih lanjut.