BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, jumlah penyandang cacat di dunia sangat banyak dan berbedabeda

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan seiring dengan itu, angka kemiskinan terus merangkak. Kenaikan harga

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Setiap aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi membawa dampak pada terjadinya persaingan di segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. tanpa terkecuali dituntut untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas. Universitas X merupakan salah satu universitas

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan pekerjaan di Indonesia saat ini semakin terbatas, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kalangan bermain olahraga ini mulai dari yang tua, muda, bahkan anak-anak pun

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencengahan dan

BAB I PENDAHULUAN. memasuki dunia pekerjaan. Mendapatkan predikat lulusan terbaik dari suatu

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, persaingan yang sangat ketat terjadi di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di dalam bidang pendidikan. Perubahan perubahan tersebut menuntut

BAB I PENDAHULUAN. Di indonesia tercatat bahwa pada tahun 2011 terdapat 1,87 juta jiwa anak

BAB I PENDAHULUAN. Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia menempati peringkat kedua setelah China. Ekonomi Indonesia triwulan III-2015

BAB I PENDAHULUAN. terhadap masa depan seseorang. Seperti yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan norma hukum yang berlaku untuk setiap warga negara, aturan norma

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bertahan hidup di tengah zaman yang serba sulit ini. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. SD dan SMP, kemudian dilanjutkan ke jenjang SMA dan perguruan tinggi. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan segala usia (Soedijarto,2008). Di Indonesia, pendidikan terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Di jaman yang semakin maju, pendidikan menjadi salah satu faktor

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan diselenggarakan. Kaum muda diharapkan memiliki bekal

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia sedang mengalami penurunan ekonomi yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan

BAB I PENDAHULUAN. menyerukan kepada seluruh bangsa di dunia bahwa jika ingin membangun dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam pembangunan. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa dewasa awal individu dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial, selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diwajibkan dan tugas akhir yang biasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Surayya Hayatussofiyyah, 2014

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. penyandang cacat 10% dari total penduduk Indonesia. Data dari Departemen RI

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas hiburan yang mencakup permainan (game) di dalamnya. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yakni mata (Putri, 2014). Pada tahun 2013 penderita tunanetra menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, pendidikan adalah usaha sadar dan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Pembahasan kriminalitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu kunci yang penting terutama dalam era globalisasi. Pada era

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangannya rumah buta dikelola oleh swasta, tetapi berdasarkan SK

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan salah satu syarat untuk bisa melakukan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa bertambah, begitu juga halnya di Indonesia (

BAB I PENDAHULUAN. Ganda (PSG), sebagai perwujudan kebijaksanan dan Link and Match. Dalam. Dikmenjur (2008: 9) yang menciptakan siswa atau lulusan:

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang perekonomian, perindustrian, dan pendidikan. yang diambil seseorang sangat erat kaitannya dengan pekerjaan nantinya.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang (RSCN) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini jumlah penyandang cacat di dunia sangat banyak. PBB

BAB I PENDAHULUAN. Bandung merupakan Ibukota Jawa Barat, Kota Bandung pula berjuluk paris van

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan melakukan aktivitas secara mandiri. pembentukan pengertian dan belajar moral (Simanjuntak, 2007).

2014 MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SISWA TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. sekedar persaingan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) saja, tetapi juga produk dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

BAB I PENDAHULUAN. mata, bahkan tak sedikit yang mencibir dan menjaga jarak dengan mereka. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Di era yang serba maju dan modern ini, banyak sekali perusahaanperusahaan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menggunakan fungsi panca indera dan bagian-bagian tubuh lainnya, tetapi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. 1. Penghayatan hidup tak bermakna yang menyertai pengalaman derita di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh pekerjaan yang layak bagi penunjang kemandirian dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mutu lulusan pendidikan sangat erat kaitannya dengan proses

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pendidikan sangat penting. Hal ini disebabkan perkembangan

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Devi Sari Peranginangin, 2013

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Peranan pendidikan dalam upaya pengembangan sumber daya dan potensi

BAB IV HASIL PENELITIAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, jumlah penyandang cacat di dunia sangat banyak dan berbedabeda jenisnya, diantaranya cacat tubuh (tunadaksa), cacat netra (tunanetra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental (tunagrahita), dan lain lain. Jumlah penyandang cacat di Indonesia didasarkan data Depkes RI menurut Siswadi mencapai 3,11 persen dari populasi penduduk atau sekitar 6,7 juta jiwa, sementara bila mengacu pada standar yang diterapkan organisasi kesehatan dunia PBB dengan persyaratan lebih ketat jumlah penyandang cacat di Indonesia mencapai 10 juta jiwa (http://www.tribunnews.com/2011/01/09/ppci-perusahaan-harusmempekerjakan-1-persen-penyandang-cacat). World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan di wilayah Asia Tenggara ada sekitar 15 juta tunanetra atau sepertiga dari populasi tunanetra di dunia, yaitu 45 juta tunanetra. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kebutaan tertinggi di Asia Tenggara, dengan laju prevalensi kebutaan kurang lebih 1,47%. Jumlah ini terus meningkat dengan tingkat kenaikan 0,1% setiap tahunnya. Berapa banyak jumlah populasi tunanetra di Indonesia tidak ada angka yang pasti. Data resmi yang tersedia tahun 2000, jumlah tunanetra di Indonesia adalah 2.948.761 (http://whqlibdoc.who.int/searo/2000/sea_ophthal_117.pdf). 1

2 Menurut Somantri (2007) yang dimaksud tunanetra adalah mereka yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari. Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, individu dengan kondisi penglihatan yang termasuk setengah melihat, low vision, atau rabun adalah bagian dari kelompok tunanetra. Keterbatasan penglihatan yang dimiliki penyandang tunanetra membuat mereka menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan dalam kehidupannya seperti kesulitan dalam memperoleh pendidikan, bersosialisasi, mencari pasangan, masalah emosi, dan juga kesulitan dalam memperoleh pekerjaan. Memperoleh pekerjaan adalah tantangan terberat bagi penyandang tunanetra. Di Indonesia, pihak-pihak yang memperkerjakan tunanetra masih sangat sedikit. Kaum tunanetra dipandang tidak berkompeten, tidak mampu mengemban tanggung jawab bahkan dianggap hanya akan menyusahkan dengan kekurangan yang dimilikinya. Selain itu, untuk pekerjaan yang mampu dikerjakan oleh tunanetra sesungguhnya juga terbatas. Profesi seperti dokter, polisi, tentara, arsitek, designer, supir dan berbagai pekerjaan lainnya yang menuntut ketajaman penglihatan sudah tentu tidak dapat dikerjakan oleh tunanetra. Beberapa profesi yang masih mungkin dikerjakan seperti juru masak, guru, pencipta lagu, penyanyi, wira usahawan juga tidak banyak diraih oleh penyandang tunanetra karena harus bersaing dengan kaum non-tunanetra.(http://www.pijatunet.web.id/ 2011/06/kesulitan-hidup-seorang-tunanetra.html).

3 Banyaknya kesulitan yang dialami oleh penyandang tunanetra, DR. Westhoff, seorang doktor ahli mata bangsa Belanda mendirikan Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna. PSBN Wyata Guna didirikan dengan visi mewujudkan kesetaraan dan kemandirian penyandang tunanetra. Misi yang ingin dicapai PSBN Wyata guna antara lain meningkatkan sumber daya dan kesejahteraan sosial penyandang tunanetra. PSBN Wyata Guna memberikan pelayanan gratis yang meliputi asrama, makan dan minum, serta biaya pendidikan. PSBN Wyata Guna membagi pelayanan yang dilakukannya menjadi dua, yaitu pelayanan pendidikan formal dan pelayanan rehabilitasi sosial (http://wiyataguna.depsos.go.id). Pelayanan pendidikan formal mencakup pendidikan SD, SMP, SMK, Perguruan Tinggi dan Sekolah musik. Sedangkan pelayanan rehabilitasi sosial mencakup pembelajaran keterampilan pijat shiatsu dan massage. Sebelum memasuki program yang akan dipilih, calon siswa menjalani dua tahapan, diantaranya tahap observasi dan kesetaraan. Tahap observasi dilakukan selama tiga bulan. Pada tahap ini mereka diajari berbagai macam keterampilan self-help seperti mandi, makan, memasak, mencuci, dan menyetrika. Tahap ini juga digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan PSBN Wyata Guna, baik dengan lingkungan asrama, jadwal kegiatan, guru, pengurus, dan siswa lain yang berada di PSBN Wyata Guna. Selain itu, pada tahap ini calon siswa di observasi agar pihak PSBN Wyata Guna dapat menentukan program mana yang sesuai dengan calon siswa tersebut. Tahapan selanjutnya adalah tahap kesetaraan. Tahap ini berikan untuk calon siswa tunanetra yang akan mengikuti pelayanan rehabilitasi sosial yang belum pernah

4 mengikuti Sekolah Dasar (SD), sedangkan untuk calon siswa yang sudah tamat SD, mereka dapat langsung mengikuti program yang dipilihkan pihak PSBN Wyata Guna tanpa harus menjalani tahap kesetaraan. Pada tahap ini calon siswa diajari membaca dan menulis huruf braille dan diberi pelajaran setaraf SD selama satu tahun, kemudian diikutkan ujian agar mendapat ijasah SD. Penelitian ini difokuskan pada siswa yang mengikuti pelayanan rehabilitasi sosial karena pada pelayanan ini terdapat dua jenis program yang melatih keterampilan siswa yang dapat dijadikan sebagai profesinya dalam bekerja. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial (shiatsu atau massage) menjalani proses pembelajaran selama 2 tahun yang dibagi dalam dua bagian, yaitu tahap dasar dan tahap lanjutan. Pada tahap dasar, siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial diajarkan teori-teori mengenai anatomi tubuh, dan cara-cara memijat yang diselingi sedikit praktek di kelas. Pada tahap lanjutan, siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial lebih banyak diberikan kesempatan untuk magang di panti yang telah disediakan oleh PSBN Wyata Guna. Pada tahap ini, pertemuan di kelas digunakan untuk mendiskusikan kasus-kasus yang ditangani saat magang. Selama menempuh pendidikan ini, siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial juga diperbolehkan mengikuti kegiatan ekstra kurikuler seperti mempelajari komputer braille, olahraga, dan musik. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung berada dalam rentang usia 20 sampai dengan 37 tahun yang termasuk dalam masa dewasa awal dan madya. Pada masa dewasa

5 awal dan madya, individu berada pada tahap operasional formal dimana individu mengalami peningkatan kemampuan berpikir dengan menggunakan hipotetis yang membuat mereka mampu berpikir bebas (Piaget, dalam Santrock, 2002). Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung telah diajarkan keterampilan pada tahap dasar dan praktek magang di panti pijat, oleh karena itu diharapkan siswa tersebut telah memiliki gambaran yang lebih dalam tentang dirinya dimasa depan. Hal itu lah yang disebut dengan orientasi masa depan, yaitu cara pandang seseorang dalam memandang masa depannya yang mencakup motivasi untuk mencapai tujuan, perencanaan, dan strategi pencapaian tujuan (Nurmi, 1989). Orientasi masa depan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga bidang yaitu pendidikan, pekerjaan, dan pernikahan. Penelitian ini meneliti orientasi masa depan bidang pekerjaan karena dengan keterampilan yang telah diberikan untuk siswa tunanetra yang sedang menempuh pendidikan pada program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan, memungkinkan siswa untuk memiliki lebih banyak gambaran mengenai pekerjaan yang akan ditekuninya di masa depan. Gambaran yang dimiliki oleh individu tentang dirinya dalam konteks masa depan memungkinkan individu untuk menentukan tujuan, menyusun rencana untuk mencapai tujuan-tujuan dan mengevaluasi diri sejauh mana rencana tersebut dapat dilaksanakan dan dapat tercapai (Nurmi, 1989). Orientasi masa depan dapat dijabarkan melalui tiga tahap yaitu motivation (motivasi), planning (perencanaan) dan evaluation (evaluasi). Motivasi mengacu tentang motif, minat atau ketertarikan dan

6 tujuan orientasi di masa depan. Perencanaan mengacu pada bagaimana rencana yang dimiliki individu untuk merealisasikan maksud, minat, dan tujuan yang dimilikinya. Evaluasi berhubungan dengan kemungkinan terealisasinya tujuan yang telah dibentuk dan rencana-rencana yang telah disusun. Sebelum siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan menamatkan pendidikannya, diharapkan mereka dapat mengetahui minat mereka dalam bidang pekerjaan. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan juga diharapkan telah menyusun langkahlangkah atau rencana-rencana untuk mencapai pekerjaan yang diinginkannya. Selain itu, siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial juga diharapkan telah menilai sejauh mana pekerjaan yang diinginkan dan strategi yang dibuatnya dapat tercapai. Orientasi masa depan bidang pekerjaan merupakan hal yang penting bagi siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal dan dewasa madya, karena kaitannya sangat erat dengan kesiapan siswa untuk menghadapi masa depannya. Berdasarkan data yang didapat dari PSBN Wyata Guna, sejak tahun 2008 sampai saat ini sudah 131 siswa yang telah diluluskan oleh PSBN Wyata Guna. Dari ke 131 orang tersebut, 81 (61,83%) diantaranya disalurkan ke klinik-klinik pijat, 37 orang (28,24%) kembali ke keluarga, 6 orang (4,58%) menjadi wiraswasta, 5 orang (3,81%) melanjutkan sekolahnya, dan 2 orang sisanya (1,52%) menjadi tenaga honorer. Pekerjaan-pekerjaan tersebut diperoleh dari lembaga-lembaga yang telah

7 bekerja sama dengan PSBN Wyata Guna, ada juga lembaga baru yang merekrut lulusan dari PSBN Wyata Guna, dan ada juga siswa yang mencari pekerjaan sendiri di klinik-klinik pijat yang ada. Sedangkan siswa yang kembali ke keluarga kebanyakan tidak bekerja. Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan pada 7 orang siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung, diperoleh data bahwa semua responden (100%) memiliki motivasi yang kuat. Seluruh responden memiliki ketertarikan pada bidang massage atau siatsu dan telah menentukan tujuannya setelah menamatkan pendidikannya, yaitu menjadi seorang terapis. Seluruh responden (100%) juga memiliki perencanaan yang terarah pada tujuannya setelah menyelesaikan pendidikan. Semua responden telah mengumpulkan informasi mengenai lowongan pekerjaan yang mungkin dapat diisinya, hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum bekerja dan bertanya kepada alumni-alumni mengenai pengalaman mereka saat bekerja. Pada tahap evaluasi, hanya 4 (57,14%) responden yang memiliki evaluasi yang akurat. Keempat responden (57,14%) tersebut telah memikirkan kembali mengenai pekerjaan yang diinginkannya melalui informasi yang telah didapatkannya dari senior mereka. Mereka juga memikirkan kembali kemampuan mereka untuk mencapai pekerjaan yang diinginkannya itu. Selain itu mereka juga telah memikirkan kembali mengenai perencanaan yang telah dibuatnya, baik mengenai hal-hal yang menghambat maupun yang mendukung mereka dalam mendapatkan pekerjaan yang mereka minati.

8 Tiga responden (42,86%) yang evaluasinya tidak akurat belum memikirkan kembali perencanaan yang mereka buat. Sebagian dari mereka belum memikirkan kembali rencana-rencana yang telah disusunnya, mereka mengatakan bahwa mereka akan memikirkan kembali mengenai informasi-informasi yang telah diperolehnya setelah mereka menamatkan pendidikan mereka. Sebagian dari siswa tunanetra yang evaluasinya tidak akurat belum memikirkan hal-hal yang dapat menghambat maupun mendukung pencapaian tujuan mereka dalam hal pekerjaan, rencana-rencana yang telah mereka susun sebelumnya, dan kemungkinan terealisasinya tujuan tersebut. Meskipun begitu, mereka telah memiliki minat dan tujuan untuk bekerja sebagai tukang pijat. Mereka juga telah mengumpulkan informasi mengenai lowongan pekerjaan dan bertanya kepada alumni-alumni mengenai pengalaman mereka saat bekerja. Gambaran orientasi masa depan bidang pekerjaan pada 3 responden (42,86%) ini tentunya akan berbeda dengan orientasi masa depan bidang pekerjaan pada keempat responden (57,14%) yang telah mencapai seluruh tahapan orientasi masa depan. Berdasarkan data lulusan dan variasi data saat survey awal mengenai orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung.

9 1.2. Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang mendalam mengenai orientasi masa depan bidang pekerjaan dan faktor-faktor yang mempunyai kecenderungan keterkaitan dengan orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis 1. Memberi informasi pada bidang ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan mengenai orientasi masa depan bidang pekerjaan pada

10 siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan PSBN Wyata Guna Bandung. 2. Memberikan sumbangan informasi mengenai orientasi masa depan bidang pekerjaan kepada peneliti-peneliti lainnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai orientasi masa depan bidang pekerjaan pada penyandang cacat lainnya. 1.4.2. Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada kepala PSBN Wyata Guna Bandung mengenai orientasi masa depan khususnya di bidang pekerjaan, sehingga memungkinkan lembaga mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan orientasi masa depan di bidang pekerjaan. 2. Memberi informasi kepada ketua sie. rehabilitasi sosial dan para instruktur di PSBN Wyata Guna Bandung agar dapat membantu dan mendorong siswa untuk menentukan tujuan, merencanakan langkah-langkah pencapaian tujuan dan mengevaluasi rencana-rencana untuk mencapai bidang pekerjaan yang diinginkannya melalui diskusi. 3. Memberi informasi kepada orang tua yang memiliki anak peyandang tunanetra agar memberi informasi mengenai pekerjaan yang dapat ditekuninya serta memberi dukungan moral agar anak optimis dalam memandang masa depannya dalam bidang pekerjaan.

11 1.5. Kerangka Pemikiran Menurut Somantri (2007), pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Sesuai dengan pengertian tersebut, kondisi penglihatan siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial di PSBN Wyata Guna juga berbeda-beda, ada yang buta, setengah melihat, maupun low vision. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna berkisar antara usia 20 sampai 37 tahun. Kisaran usia tersebut masih berada dalam kelompok dewasa awal dan dewasa madya menurut teori perkembangan. Pada masa dewasa awal kesehatan fisik mencapai puncaknya, terutama pada usia 19 sampai 26 tahun dan mengalami penurunan kesehatan pada masa dewasa madya. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna memiliki kesehatan fisik yang baik, hal tersebut membuat siswa memiliki stamina kerja yang optimal meskipun dengan keterbatasan penglihatan yang dimilikinya. Siswa tunanetra yang berada dalam kelompok dewasa awal dan madya memiliki pemikiran oprasional formal yang memampukan mereka dalam berpikir hipotesis tentang masalah dan menurunkan suatu pemecahan masalah, khususnya dalam pemilihan karir yang diminatinya. Pada permulaan masa dewasa awal, sebagian besar individu memasuki beberapa tipe pekerjaan. Individu sering mendekati eksplorasi karir dan pengambilan keputusan dalam ambiguitas, ketidakpastian, dan stress (Lock, 1988, dalam Santrock,

12 2002). Kemampuan hipotesis dan pemecahan masalah yang dimiliki siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial di PSBN Wyata Guna dapat membuat siswa tersebut menetapkan diri terhadap suatu jenis pekerjaan dan telah memfokuskan diri pada keterampilan yang telah didapatnya untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keterampilan dan minatnya, seperti massage dan siatsu, serta telah dapat menyusun gambaran mengenai masa depannya mengenai pekerjaan. Dengan kemampuan kognitif yang dimilikinya dan pendidikan yang terarah tersebut, diharapkan siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna mampu memiliki orientasi masa depan bidang pekerjaan yang jelas. Orientasi masa depan dalam hal ini mengacu pada bagaimana cara siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna memandang masa depannya. Orientasi masa depan dapat terbentuk melalui tiga tahap, yaitu motivasi, perencaaan, dan evaluasi (Nurmi, 1989). Tahap motivasi mengacu tentang ketertarikan yang siswa tunanetra miliki yang diarahkan pada suatu tujuan yaitu untuk bekerja. Pada tahap ini, siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang mengarahkan pada tujuan dalam bidang pekerjaan mereka di masa depan. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna yang telah diajarkan teori-teori dan praktek dalam memijat, tertarik dan memiliki

13 minat terhadap bidang massage atau siatsu dan bertujuan untuk bekerja menjadi terapis setelah mereka menamatkan pendidikannya. Tahap perencanaan mengacu pada bagaimana siswa tunanetra merencanakan realisasi dari ketertarikan mereka dalam konteks masa depan. Perencanaan merupakan usaha untuk merealisasikan niat, minat, dan tujuan yang terkait dengan bidang pekerjaan yang diinginkan dengan cara menyusun langkah-langkah atau strategi untuk mencapai tujuannya. Aktivitas perencanaan dibagi ke dalam tiga fase. Fase pertama individu perlu menyusun gambaran dari tujuan dan konteks masa depan dimana tujuan diharapkan dapat terwujud. Misalnya siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna mulai menyusun gambaran mengenai jam kerja, gaji minimum yang dapat diperoleh, dan tempat-tempat yang dapat dihubungi saat mereka sudah lulus. Hal tersebut didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki tentang konteks aktivitas di masa depan dan kemampuan yang dimilikinya. Fase kedua pada tahap perencanaan, siswa tunanetra harus membuat langkahlangkah yang mengarah pada pencapaian goal kemudian memutuskan langkah manakah yang paling efisien. Misalnya siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna belajar sungguh-sungguh dan mendalami teknik-teknik dalam memijat, berencana mencari informasi mengenai panti-panti pijat yang sedang membutuhkan tenaga kerja, atau berencana menanyakan kepada senior mengenai relasinya yang mungkin sedang membutuhkan pekerja tambahan.

14 Fase terakhir dari tahap perencanaan adalah melaksanakan rencana dan strategi yang telah disusun. Pelaksanaan dari rencana dan strategi juga dikontrol oleh perbandingan antara gambaran tujuan dengan realita. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan mulai mencari informasi mengenai panti-panti pijat yang sedang membutuhkan tenaga kerja dan atau menanyakan kepada senior-senior mengenai panti-panti yang membutuhkan pekerja tambahan. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna juga masih dapat membandingkan jenis pijat yang lebih sesuai dengan dirinya, misalnya siswa jurusan massage yang ingin memperdalam teknik pijat shiatsu setelah diperkenalkan oleh temannya, sehingga siswa tersebut dapat pindah jurusan atau belajar dari temannya itu. Tahap ketiga dari orientasi masa depan adalah tahap evaluasi. Tahap evaluasi adalah tahap dimana individu menilai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dan rencana yang disusun dapat terwujud. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna harus mengevaluasi kemampuan untuk merealisasikan tujuan berupa pekerjaan yang sudah ditetapkan dan rencana yang telah disusun, akan tetapi karena tujuan dan rencana untuk meraih pekerjaan belum direalisasikan, proses ketiga ini sebagian besar termasuk evaluasi kemungkinan perealisasiannya. Pada tahap ini, causal attributions dan affect memiliki peran yang besar dalam mengevaluasi kemungkinan terwujudnya tujuan dan rencana orientasi masa depan.

15 Causal attribution berdasarkan pada evaluasi kognitif yang disadari terhadap kesempatan individu untuk mengendalikan masa depannya. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna menyadari bahwa selain dirinya, terdapat faktor lingkungan dan sosial dapat mempengaruhi pencapaian tujuannya dalam mendapatkan pekerjaan yang diminatinya. Sedangkan affects menyebabkan tipe evaluasi yang lebih cepat dan tidak disadari. Affect disertai dengan perasaan-perasaan tertentu seperti perasaan optimis dan pesimis yang akan mempengaruhi pemilihan pekerjaan dan perencanaan yang telah disusun oleh siswa. Semakin optimis siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial, semakin tinggi juga harapan untuk mencapai pekerjaan yang diminatinya. Sebaliknya, semakin pesimis siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan, semakin rendah pula harapannya untuk mencapai pekerjaan yang diminatinya. Tahap motivasi, perencanaan, dan evaluasi tidak berdiri sendiri tapi merupakan sistem dimana setiap tahapnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Tujuan dan standar pribadi menjadi dasar untuk mengevaluasi hasil. Ketika siswa tunanetra melakukan evaluasi, mereka akan melihat kembali tujuannya untuk bekerja, apakah dapat diwujudkan dalam realita atau tidak. Tercapainya tujuan akan membentuk keyakinan attributional yang internal. Pengalaman bahwa mereka pernah berhasil dalam mewujudkan tujuannya akan membuat mereka merasa yakin dengan kemampuannya untuk mencapai tujuannya untuk bekerja dan yakin bahwa dirinya memiliki kendali untuk mencapai keberhasilan (attributional yang internal).

16 Orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna memiliki kecenderungan keterkaitan baik oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan orientasi masa depan bidang pekerjaan adalah self esteem. Self esteem berkaitan erat dengan tahap evaluasi dalam pembentukan orientasi masa depan bidang pekerjaan. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna yang memiliki self esteem tinggi akan lebih yakin dapat mendapat pekerjaan di masa depan dibandingkan dengan mereka yang self esteem-nya rendah. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Gunayang self esteem-nya tinggi merasa yakin bahwa dirinya mampu mengatasi permasalahan dalam pekerjaannya di masa depan, dan merasa dirinya layak mencapai perkerjaan yang diharapkan. Sebaliknya, siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna yang self esteem-nya rendah cenderung kurang yakin bahwa dirinya mampu mengatasi masalah dalam pekerjaannya di masa depan. Hal ini berkaitan erat dengan pembentukan minat dan tujuan yang akan dibentuk kembali oleh siswa tersebut. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna yang self esteem-nya rendah dapat merubah minat dan tujuannya atau tetap bertahan pada minat sebelumnya, namun menurunkan standar-standar yang dimilikinya mengenai pekerjaan. Faktor eksternal yang memiiki kecenderungan keterkaitan dengan orientasi masa depan bidang pekerjaan siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi

17 sosial pada tahap lanjutan adalah konteks budaya dan lingkungan sosial. Konteks budaya dapat dijelaskan melalui aturan-aturan sosial, keyakinan dan pola aktivitas ini juga tampak berbeda dalam budaya sesuai beberapa faktor, salah satunya adalah usia. Pola pikir siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna yang berada pada tahap operasional formal, dimana mereka dapat berpikir secara hipotetik dan dapat memecahkan masalahnya terutama dalam pekerjaannya di masa depan. Pola pikir siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna yang berusia 21-24 tahun berbeda dengan siswa yang berusia 24-35 tahun. Menurut Super (dalam Santrock, 2002), siswa yang berusia 21-24 tahun dalam masa menyelesaikan pendidikan dan pelatihan mereka dan memasuki dunia kerja. Sedangkan siswa yang berusia 24-35 tahun diharapkan telah menentukan pekerjaan yang cocok dengannya (Super dalam Santrock, 2002). Dari pernyataan tersebut, siswa yang berusia 24-35 tahun memiliki orientasi masa depan yang lebih jelas di bandingkan dengan siswa yang berusia 21-24 tahun. Selain itu, pola kebudayaan dan tugas-tugas perkembangan dapat berbeda sesuai faktor lain seperti jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan (Dannefer, 1984). Pada jaman dahulu, siswa laki-laki dituntut untuk lebih memikirkan pekerjaan daripada perempuan, namun seiring berkembangnya jaman terjadi pergeseran peran yang membuat perempuan menjadi lebih memikirkan pekerjaan dan menginginkan kemandirian ekonominya sendiri. Hal ini berkaitan

18 dengan motif, minat, tujuan, serta perencanaan yang dibuat, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memikirkan orientasi masa depan bidang pekerjaan. Status sosial ekonomi yang lebih tinggi memberi peluang siswa untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri, sehingga orientasi masa depan bidang pekerjaannya akan lebih jelas. siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna yang status sosial ekonominya lebih tinggi cenderung memiliki tujuan dan perencanaan yang terarah mengenai pekerjaan yang ingin ditekuninya. Sedangkan siswa dengan status sosial ekonomi yang rendah cenderung mengandalkan pekerjaan-pekerjaan yang disediakan, sehingga dapat menimbulkan kebingungan dalam memilih pekerjaan. Tingkat pendidikan yang berbeda misalnya siswa tunanetra yang telah mengikuti pendidikan formal sebelumnya akan memiliki pemikiran yang lebih luas mengenai pekerjaan di masa depan dibandingkan dengan siswa tunanetra yang tidak menempuh pendidikan formal sebelumnya. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna yang pernah mengikuti pendidikan formal sebelumnya memungkinkannya mendapat lebih banyak informasi mengenai jenis-jenis pekerjaan, meningkatkan kemampuannya dalam menyusun rencana-rencana untuk mencapai tujuannya, serta mengevaluasi kemungkinan terwujudnya tujuan tersebut. Selain konteks budaya, lingkungan sosial juga mempengaruhi orientasi masa depan. Yang termasuk lingkungan sosial adalah keluarga dan teman sebaya. Meskipun siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap

19 lanjutan di PSBN Wyata Guna lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sekolahnya daripada orang tua, namun orang tua tetap berperan penting bagi kehidupannya (Jurkovic & Ulrici 1985, dalam Nurmi 1989). Orang tua berperan dalam menentukan standar normatif, orang tua mempengaruhi perkembangan minat, nilai, dan tujuan siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung (Nurmi, 1989). Hal ini mempengaruhi perkembangan tahap motivasi siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan dalam orientasi masa depan bidang pekerjaannya. Selain itu, Nurmi (1989) juga mengatakan bahwa orang tua menentukan dasar untuk belajar tentang kemampuan perencanaan dan strategi pemecahan masalah yang diterapkan saat menentukan pekerjaan di masa depan. Hal ini berkaitan dengan tahap perencanaan dalam perkembangan orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung yang telah memiliki orientasi masa depan bidang pekerjaan yang jelas akan memiliki motivasi yang kuat, perencanaan yang terarah, serta evaluasi yang akurat. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung yang memiliki orientasi masa depan yang jelas telah memiliki motivasi yang kuat terhadap pekerjaannya di masa depan sehingga mendorongnya dalam mengumpulkan informasi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang

20 diminatinya dan menyusun langkah-langkah yang dapat mewujudkan tujuannya tersebut. Melalui evaluasi, siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna akan menilai tujuan dan rencananya secara realistis yang kemudian dapat mempengaruhi penetapan tujuan selanjutnya. Apabila salah satu dari tahap tersebut tidak optimal, maka dapat berpengaruh terhadap ketidak jelasan orientasi masa depan bidang pekerjaan. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung yang memiliki motivasi yang lemah untuk mewujudkan pekerjaannya akan berpengaruh pada tahap selanjutnya, yaitu perencanaan. Dalam menyusun langkahlangkah untuk mencapai tujuan menjadi kurang sistematis dan terarah. Hal ini akan berpengaruh juga pada tahap evaluasi, sehingga tidak dapat melakukan penilaian yang akurat terhadap tujuan dan rencananya. Kerangka pemikiran ini dapat digambarkan melalui bagan berikut ini.

21 Secara skematis, kerangka pikir ini dapat digambarkan sebagai berikut: Faktor-faktor yang memiliki kecenderungan keterkaitan : Faktor Internal : Self Esteem Faktor eksternal : Konteks budaya dan Lingkungan sosial Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial di PSBN Wyata Guna Bandung Orientasi Masa Depan Bidang Pekerjaan Jelas Tidak Jelas Tahap Orientasi Masa Depan bidang pekerjaan Motivation Goals Planning Plans Evaluation Attributions Emotions

22 1.6. Asumsi 1. Siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung memiliki orientasi masa depan bidang pekerjaan yang berbeda-beda. 2. Faktor-faktor yang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung yaitu self esteem, konteks budaya, dan lingkungan sosial. 3. Orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung mempunyai tiga tahapan, yaitu motivasi, perencanaan, dan evaluasi. 4. Orientasi masa depan bidang pekerjaan pada siswa tunanetra yang menempuh program rehabilitasi sosial pada tahap lanjutan di PSBN Wyata Guna Bandung tidak jelas jika siswa tunanetra memiliki motivasi lemah, perencanaan tidak terarah, evaluasi tidak akurat, atau salah satu diantaranya.