PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM BUKU PELAJARAN BAHASA INDONESIA NON-BSE UNTUK SISWA SMP DI SURAKARTA TESIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bahan ajar merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Bahan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: X Vol 1, No 1, 2013 (hal 12-26)

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam etnis,

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sosiokultural yang beragam dan geografis yang luas. Berikut adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN TEORI. dari kultur menurut Elizabeth Taylor dan L.H. Morgan (Ainul Yaqin, 2005:

BAB I PENDAHULUAN. konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ABSTRAK PENDAHULUAN. Syamsul Arif Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan. Kata Kunci : pendidikan, multikultural

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER. Muh.Anwar Widyaiswara LPMP SulSel

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Apriani Yulianti, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pembentukan karakter

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN. satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34)

ARTIKEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MULTIKULRAL MELALUI MODUL DI SEKOLAH DASAR SEBAGAI SUPLEMEN PELAJARAN IPS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. jarak antar Negara melalui fitur-fitur komunikasi yang terus dikembangkan. Hal ini

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini. Kesimpulan ini

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa

MANAJEMEN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM 2004 (STUDI KASUS DI KELAS XI SMA MUHAMMADIYAH GUBUG) TESIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari letak geografis

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Menurut Hamid

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

TESIS Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Menempuh Gelar Magister. Disusun oleh: Ferdillasari Prima Kurniawati Sukarno S

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan) TESIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. informal dalam keluarga, komunitas suatu suku, atau suatu wilayah.

Kata Kunci: Pendidikan multikultural, keberagamaan inklusif, dan materi PAI

PENDIDIKAN AGAMA BERWAWASAN MULTIKULTURAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. sudah disusun secara matang dan terperinci. (

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejalan dengan meningkatnya ketergantungan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20. Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

C. Perilaku Toleran terhadap Keberagaman Agama, Suku, Ras, Budaya, dan Gender

BAB IV ANALISIS TENTANG TOLERANSI MASYARAKAT ISLAM TERHADAP KEBERADAAN GEREJA PANTEKOSTA DI DESA TELAGABIRU

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 KONTRIBUSI PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL TERHADAP KEPEDULIAN SOSIAL DI KALANGAN SISWA SMA.

I. PENDAHULUAN. karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. teknologi informasi mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara baik

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun

BAB I PENDAHULUAN. Istilah pendidikan bukanlah hal asing lagi saat ini, Nanang Fatah

BAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang

D. Antropologi Materi Pembelajaran. Alokasi Waktu. Kegiatan Pembelajaran. Sumber Belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh peserta didik

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

BAHAN TAYANG MODUL 11 SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2016/2017 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH.

BAB I PENDAHULUAN. luas dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia.

IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMK NEGERI 6 SURAKARTA (STUDI KASUS) SKRIPSI. Oleh: Agus Yuliyanto K

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TESIS. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokaatuh Salam sejahtera bagi kita semua;

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN. by. EVY SOPHIA

PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM BIDANG PENDIDIKAN DI KOTA SURAKARTA. (Studi tentang Sensitivitas Gender Tenaga Pendidik di SMP Negeri 1.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

PENDIDIKAN MULTIKULTUR DI SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

SKRIPSI. Oleh: SRI LESTARI K

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptikal terhadap apa yang

Sambutan Presiden RI pada Peresmian Pesta Kesenian Bali ke-35, Denpasar, 15 Juni 2013 Sabtu, 15 Juni 2013

industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL

Transkripsi:

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM BUKU PELAJARAN BAHASA INDONESIA NON-BSE UNTUK SISWA SMP DI SURAKARTA TESIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Oleh Joko Purwanto S841108037 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

ii

iii

iv

MOTTO Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Alinsyirah: 5-6) v

PERSEMBAHAN Tesis ini saya persembahkan untuk: 1. Bapak dan Ibuku tercinta yang senantiasa mendoakanku. 2. Istriku, Yuni Susilowati, dan anakku, Faiza Abidatu Tsabita, yang paling saya cintai dan sayangi. 3. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa mendoakan dan menyemangatiku. 4. Rekan-rekanku yang selalu memberiku semangat. 5. Seluruh sahabat dan handai taulan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. vi

KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih karena atas kehendak- Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Penyusunan tesis ini adalah salah satu persyaratan untuk mencapai derajat magister pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini. 1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS sekaligus pembimbing I yang telah memberikan izin dan dukungan serta motivasi yang membangun dalam penyusunan tesis ini. 3. Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan serta motivasi yang luar biasa dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini. 4. Sivitas akademik Program Pascasarjana UNS atas pelayanan dan bimbingan yang tulus selama berjuang menimba ilmu, sehingga dapat menyelesaikan studi. 5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia yang selalu saling memberikan motivasi dalam perjuangan selama di kampus tercinta. 6. Keluarga besar saya yang senantiasa memberikan semangat dalam menyelesaikan studi ini. vii

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penyusunan tesis ini. Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah Swt. Penulis berharap semoga penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas buku dan pembelajaran bahasa Indonesia. Surakarta, Desember 2012 Penulis viii

DAFTAR ISI JUDUL... PENGESAHAN PEMBIMBING... PENGESAHAN PENGUJI TESIS... PERNYATAAN... MOTTO... PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... ABSTRACT... i ii iii iv v vi vii xi xii xiii xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 7 C. Tujuan Penelitian... 8 D. Manfaat Penelitian... 8 BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori... 10 1. Hakikat Pendidikan Multikultural... 10 a. Multikulturalisme... 10 ix

b. Pendidikan Multikultural... 15 c. Pendekatan Pendidikan Multikultural... 26 2. Hakikat Buku Pelajaran...... 32 a. Pengertian Buku Pelajaran... 32 b. Penyusunan Buku Pelajaran... 34 c. Tujuan dan Manfaat Penyusunan Buku Pelajaran... 36 d. Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Berperspektif Pendidikan Multikultural... 39 e. Pengintegrasian Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia... 48 B. Penelitian Relevan... 49 C. Kerangka Berpikir... 52 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian... 54 B. Bentuk dan Strategi Penelitian... 54 C. Data dan Sumber Data... 55 D. Teknik Pengumpulan Data... 55 E. Validitas Data... 57 F. Teknik Analisis Data... 57 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 59 1. Buku dengan judul Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP dan MTs Kelas VIII karya Ratna Purwaningtyastuti. 59 x

2. Buku berjudul Seribu Pena Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VIII karya Tim Abdi Guru... 67 3. Buku berjudul Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VIII karya E. Kosasih dan Restuti Murwaningrum 72 4. Buku berjudul Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VIII Karya Nurhadi, Dawud, dan Yuni Pratiwi... 77 5. Buku dengan judul Bahasa dan Sastra Indonesia karya Suharma, dkk... 79 B. Pembahasan Hasil Penelitian... 81 1. Muatan Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia non-bse tingkat SMP Kelas VIII... 81 2. Kualitas Muatan Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia non-bse tingkat SMP Kelas VIII.... 100 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan... 105 B. Implikasi... 106 C. Saran... 109 DAFTAR PUSTAKA... 111 LAMPIRAN... 115 xi

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 1... 115 Lampiran 2: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 2... 128 Lampiran 3: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 3... 141 Lampiran 4: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 4... 152 Lampiran 5: Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen Buku 5... 162 Lampiran 6: Transkrip Hasil Wawancara... 172 Lampiran 7: Foto Sampul Buku-buku Pelajaran Bahasa Indonesia Non-BSE yang Diteliti.. 183 Lampiran 8: Angket Rekapitulasi Data Buku Non-BSE Bahasa Indonesia SMP Kelas VIII di Surakarta.. 188 xii

Joko Purwanto. S841108037. 2013. Pendidikan Multikultural dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Non-BSE untuk Siswa SMP di Surakarta. Tesis. Pembimbing I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.; II: Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta. ABSTRAK Penelitian ini memilik tujuan: (1) mendeskripsikan dan menjelaskan muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-bse untuk tingkat SMP, dan (2) mendeskripsikan dan menjelaskan kualitas muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-bse tingkat SMP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku pelajaran bahasa Indonesia non- BSE untuk tingkat SMP di Kota Surakarta dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik analisis konten, angket, dan wawancara mendalam. Uji validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi teori dan sumber, sedangkan analisis data menggunakan teknik analisis interaktif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-bse yang dianalisis belum sepenuhnya memuat dimensi-dimensi pendidikan multikultural. Hal ini terbukti dari dari lima dimensi yang seharusnya ada hanya ada tiga dimensi yang dimunculkan, yakni dimensi integrasi materi, pengurangan prasangka, penguatan budaya sekolah dan struktur sosial. Sedangkan dua dimensi yang lain, yakni dimensi konstruksi pengetahuan dan dimensi penyesuaian metode pembelajaran tidak ditemukan dalam lima buku pelajaran tersebut. Bahkan ada satu buku pelajaran yang tidak memuat keseluruhan dimensi multikultural. (2) kualitas muatan pendidikan multikultural dalam lima buku pelajaran tersebut masih sangat kurang memadai. Hal ini karena belum semua dimensi multikultural terintegrasi dalam buku-buku pelajaran tersebut. Kata kunci: pendidikan multikultural, buku pelajaran bahasa Indonesia non-bse xiii

Joko Purwanto. S841108037. 2013. Education Multicultural In Indonesian Textbook non-bse For Student SMP at Surakarta. Thesis. Supervisor I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.; II: Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M. Hum. Indonesian Language Education Study Program, Post Graduate Program of Sebelas Maret University, Surakarta. ABSTRACT This watchfulness has aim: (1) describe and explaination education load multicultural in Indonesian textbook non-bse for level SMP, and (2) describe and expalin education load quality multicultural in Indonesian textbook non-bse level SMP. The method of the research is qualitative descriptive. Data source in this watchfulness Indonesian textbook non-bse for level SMP at city Surakarta and informant. Data collecting technique uses analysis technique content, questionnaire, and interview deepens. Data validity test is done with technique triangulatings theory and source, while data analysis uses analysis technique interactive. Based on watchfulness result inferential that: (1) education load multicultural in Indonesian textbook non-bse that analyzed not yet thoroughly hold education dimensions multicultural. This matter proved from from five dimensions should there there's only three dimensions that showed, that is matter integration dimension, prejudice reduction, school culture reinforcement and social structure. While two other dimensions, that is erudition construction dimension and dimension settings study method is not found in five textbook. May even exist one textbook doesn't hold overall dimension multicultural. (2) education load quality multicultural in five textbook still very less memadai. This matter is because not yet all dimensions multicultural integration in lesson books. Keyword: education multicultural, Indonesian textbook non-bse xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan berbagai letak geografis serta kondisi sosial budaya yang beragam sangatlah memberikan gambaran yang begitu jelas bahwa Indonesia adalah sebagai negara multikultural. Bagaimana tidak? Indonesia adalah sebuah negara dengan ribuan pulau dengan jumlah penduduk yang lebih dari dua ratus juta jiwa dan menggunakan lebih dari tujuh ratusan bahasa daerah yang berbeda-beda. Masyarakatnya pun memeluk berbagai agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, serta berbagai aliran kepercayaan lainnya. Hal tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas tentang keragaman yang ada di Indonesia. Namun, keragaman tersebut seringkali menimbulkan masalah yang sangat hebat. Sering terjadi konflik antarsuku, golongan, bahkan antaragama yang sampai menimbulkan pertumpahan darah dan korban jiwa di antara mereka. Kerusuhan di Sampit, Ambon, Poso, dan Papua adalah beberapa contoh konflik yang terjadi antarberbagai suku dan agama yang ada di Indonesia. Hal itu adalah masalah yang dihadapi bangsa Indonesia yang harus segera dicarikan solusinya. Kemajemukan atau keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut bisa diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Keberagaman itu, di satu sisi, merupakan khazanah yang pantas disyukuri dan dipelihara karena jika bisa dikelola dengan baik akan dapat memunculkan berbagai inspirasi dan kekuatan 1

2 dalam upaya pembangunan bangsa. Keberagaman itu pula akan mampu mendinamisasikan kita sebagai sebuah bangsa. Di sisi lain, keberagaman itu dapat pula merupakan titik pangkal terjadinya friksi yang dapat memicu konflik (Sarwiji Suwandi, 2008: 1). Selain permasalahan tersebut, dunia pendidikan di Indonesia saat ini pun dihadapkan pada berbagai permasalahan yang sangat kompleks. Menurunnya kualitas pendidikan, rendahnya kualitas lulusan, rendahnya daya serap lulusan pada dunia kerja, adanya kenakalan pelajar, semua itu merupakan cerminan masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Berbagai permasalahan tersebut juga tidak mudah untuk diselesaikan. Hal yang tak kalah penting selain yang berkaitan dengan permasalahan di atas dan tentu menjadi sebuah tantangan besar bagi dunia pendidikan Indonesia adalah masih adanya konflik dan kekerasan yang seringkali terjadi di masyarakat, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Dengan berbagai macam alasan, sesama pelajar justru terlibat tawuran. Dengan mengatasnamakan individu maupun kelompok, mereka saling ejek, saling serang dan bahkan saling membunuh. Bahkan sampai saat ini, hal-hal semacam itu masih sering terjadi di kalangan pelajar ataupun mahasiswa. Masalah-masalah tersebut mengindikasikan bahwa harus segera ada perbaikan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Perbaikan dalam dunia pendidikan diperlukan karena pemecahan masalah dalam kekerasan belumlah cukup jika hanya mengandalkan peran dari aparat penegak hukum saja. Dunia pendidikan pun mempunyai peran yang sangat besar dalam memberikan solusi terhadap berbagai konflik tersebut. Terbangunnya

3 konsep kesadaran akan pentingnya toleransi, saling menghargai, dan kedamaian bisa diwujudkan melalui dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia harus mengarahkan kepada para peserta didiknya agar mau dan mampu menerima serta memahami berbagai perbedaan suku, budaya, dan agama yang berbeda. Jika tidak demikian, tentu akan menimbulkan berbagai macam benturan antarsuku, budaya, dan agama yang berbeda tersebut sehingga akan berujung pada perpecahan bangsa. Merunut pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Bab III pasal 4 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Berdasar pada undang-undang tersebut, sudah seyogyanya bila pendidikan yang dilaksanakan harus mampu membentuk karakter para peserta didik untuk mempunyai jiwa yang humanis, demokratis, dan tidak diskriminatif. Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk menerapkan pembelajaran yang akan mampu membantu mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut. Penerapan bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan, yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan tata nilai, menumbuhkan persahabatan di antara siswa yang beragam suku, ras, agama, dan mengembangkan sikap saling memahami. Oleh sebab itu, menurut Sitti Mania (2010: 78-79), pendidikan multikultural adalah jawaban atas beberapa problematika kemajemukan itu.

4 Pendidikan multikultural merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan. Pendidikan multikultural tidak sekadar merekatkan kembali nilai-nilai persatuan, kesatuan, berbangsa dan bernegara, tetapi memberikan pemahaman tersendiri terhadap rasa kebangsaan sendiri. Pendidikan multikultural bisa berguna untuk merespon fenomena konflik etnis, sosial, budaya yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat multikultural. Pendidikan multikultural, menurut Yaqin (2005: 5), merupakan salah satu alternatif melalui konsep pendidikan dan penerapan strategi yang didasarkan pada pemanfaatan berbagai keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa, seperti keragaman budaya, status sosial, agama, etnis, bahasa, umur, status sosial, gender, dan lain-lain. Mansouri dan Trembath (2005: 516) memberikan penegasan bahwa penerapan pendidikan multikultural juga diperlukan untuk menggabungkan dinamika sosialpolitik di luar batas faktor sekolah dan keluarga agar bisa berlangsung lebih dinamis. Dengan penerapan pendidikan multikultural, diharapkan akan mampu membantu para peserta didik mengerti, memahami, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, status sosial, etnis, budaya dan sebagainya. Melalui penanaman konsep multikulturalisme ini diharapkan akan menjadi sarana pelatihan dan penyadaran bagi para peserta didik untuk menerima dan menghargai perbedaan serta bisa hidup bersama secara damai. Selain itu, agar para peserta didik mempunyai rasa kepekaan yang tinggi dalam menghadapi, menyikapi, dan mencari solusi berbagai gejala serta masalah sosial yang bersifat multikultural. Adanya perbedaan budaya dan sulitnya penyesuaian diri terhadap berbagai budaya

5 yang berbeda tentu akan mempersulit proses pembelajaran. Hal senada dinyatakan oleh Novera (2004: 475) bahwa penyesuaian diri adalah kontributor yang signifikan untuk keberhasilan akademis mahasiswa internasional yang berbeda budaya, dan perbedaan budaya dapat menyebabkan masalah penyesuaian diri. Pada jenjang pendidikan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas, tidak akan bisa dilepaskan dari penggunaan buku pelajaran. Buku pelajaran dapat menjadi pegangan guru dan siswa sebagai referensi utama ataupun menjadi buku pendamping dalam proses belajar mengajar di sekolah. Di dalam kegiatan belajar, siswa tidak sebatas mencermati apa-apa saja yang diterangkan oleh guru. Siswa membutuhkan referensi atau acuan untuk menggali ilmu agar pemahaman siswa lebih luas sehingga kemampuannya dapat lebih dioptimalkan. Dengan adanya buku pelajaran tersebut, siswa dituntun untuk berlatih, berpraktik, atau mencobakan teori-teori yang sudah dipelajari dari buku tersebut. Oleh karena itu, guru harus secara cerdas menentukan buku pelajaran apa yang akan digunakan di dalam pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan muatan materi yang ada di dalamnya. Karena pada saat guru mampu secara tepat menentukan buku pelajaran terbaik, hal tersebut akan berpengaruh besar di dalam proses pembelajaran siswa. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia tentu juga tidak akan terlepas dari adanya penggunaan buku pelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini, konsep maupun praktik pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam buku pelajaran atau materi ajar mata pelajaran bahasa Indonesia, baik dalam materi kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pengintegrasian materi

6 tentu saja dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan siswa, kebutuhan guru, dan pemanfaatan semua unsur sosial dan budaya dilingkungan sekitar peserta didik sebagai salah satu sumber belajar. Menurut James A. Banks (2010: 23), pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan: (1) content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam pelajaran; (2) the knowledge contruction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran; (3) an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pembelajaran dengan kondisi siswa; (4) prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pembelajaran mereka, kemudian melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. (5) empowering school culture and social structure, yakni mengonstruksi kultur sekolah dan struktur sosial. Kelima dimensi tersebut hendaknya ada dalam buku pelajaran, dalam hal ini adalah buku pelajaran bahasa Indonesia. Buku pelajaran yang baik harus mampu memberikan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh mengenai kenyataan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan. Karena muatan budaya yang beragam akan membantu peserta didik untuk menerima dan menghargai keragaman budaya yang ada. Untuk itu, aspek multikultural harus ada dan terintegrasikan dalam buku pelajaran. Nilai-nilai multikultural dalam buku pelajaran harus dirancang sedemikian rupa agar dapat

7 terefleksikan dalam aspek-aspek pembelajaran, baik tersirat maupun tersurat. Nilai-nilai multikultural bisa diimplementasikan ke dalam pilihan materi pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu analisis terhadap buku-buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia. Apakah nilai-nilai atau muatan pendidikan multikultural sudah tercakup atau terintegrasikan dalam buku pelajaran bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, buku pelajaran yang dianalisis adalah buku pelajaran bahasa Indonesia non-bse (non-buku Sekolah Elektronik) untuk siswa SMP kelas VIII. Hal ini didasarkan pada realita yang ada di sekolah, yakni masih banyak sekolah-sekolah yang menggunakan buku pelajaran bahasa Indonesia non- BSE. Padahal pemerintah, melalui Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sudah menerbitkan BSE (Buku Sekolah Elektronik) yang dapat digunakan oleh pihak sekolah untuk mendukung proses pembelajaran. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-bse tingkat SMP? 2. Bagaimana kualitas muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-bse tingkat SMP?

8 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: 1. muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non- BSE tingkat SMP. 2. kualitas muatan pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia non-bse tingkat SMP. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini memberikan pemahaman tentang konsep dan aplikasi pendidikan multikultural dalam buku pelajaran bahasa Indonesia, khususnya untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama kelas VIII. 2. Manfaat Praktis a. Untuk guru Dapat digunakan sebagai acuan bagi para guru dalam memilih dan menyiapkan materi ajar yang benar-benar sesuai dan mampu mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan, khususnya dalam pelaksanaan pendidikan multikultural. b. Untuk Penyusun Buku Pelajaran Bagi penyusun buku pelajaran, seperti penulis buku ajar, penerbit, guru dan pusat perbukuan, penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan buku-buku pelajaran berperspektif pendidikan multikultural. Hal ini agar para siswa memiliki pemahaman

9 dan penghargaan terhadap berbagai keanekaragaman, seperti suku, etnis, bahasa, budaya, dan agama. c. Untuk Pusat Perbukuan Dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pusat Perbukuan dalam menerbitkan buku pelajaran bahasa Indonesia yang memuat aspek atau nilai-nilai pendidikan multikultural.

BAB II LANDASAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori 1. Hakikat Pendidikan Multikultural a. Multikulturalisme Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan, adalah negara yang terdiri dari berbagai macam sukubangsa. Adanya sukubangsa yang berbeda-beda tentu saja akan menampakkan adanya berbagai budaya yang berbeda-beda pula. Oleh sebab itu, suatu negara atau bangsa yang mempunyai masyarakat dengan budaya yang beragam, negara atau bangsa tersebut adalah negara yang bersifat multikultur. Dalam suatu masyarakat yang multikultur, kemungkinan besar akan dapat menimbulkan suatu permasalahan jika masyarakat yang bersifat multikultur tersebut tidak ditangani dengan baik. Permasalahan yang timbul bisa berasal dari berbagai macam aspek, seperti sosial, hukum, pendidikan, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan lain-lain. Hal ini dipertegas oleh Baidhawy (2005: 26) yang menyatakan bahwa satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Satu pelajaran berharga dari sejarah masa lalu dan kini adalah bahwa bangsa besar yang kedodoran di hamparan kepulauan nusantara ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris, pola pikir monolog yang membuat kita menderita 10

11 dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalis karena kealpaan-kealpaan yang dibuatnya sendiri. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk saling memahami keberagaman kultur maupun pemahaman tentang apa itu multikulturalisme. Untuk memahami pengertian multikulturalisme, perlu dipahami terlebih dahulu tentang kata kultur. Banyak pakar yang telah mengemukakan atau mendefinisikan makna kata kultur. Meskipun memang mungkin tidak akan pernah ada kata sepakat mengenai makna dari kata kultur. Demikian halnya yang dinyatakan oleh Tilaar (2005: 59) bahwa studi kultural memang berkenaan dengan seluruh kehidupan manusia. Berbicara mengenai makna kultur, L. H. Morgan (dalam Yaqin, 2011: 27) mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Julian Steward dan Leslie White mengemukakan bahwa kultur adalah sebuah cara bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan membuat hidupnya terjamin (dalam Yaqin, 2005: 28). Dengan luasnya cakupan makna kultur, perlu pula dipahami terlebih dahulu karakteristikkarakteristik kultur. Conrad P. Kottak (dalam Yaqin, 2005: 6-9) menyatakan karakterkarakter khusus kultur. Pertama, kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai

12 kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya, bergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada. Kedua, kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Dalam hal ini, ada tiga macam pembelajaran: (1) pembelajaran individu secara situasional, (2) pembelajaran situasi secara sosial, dan (3) pembelajaran kultural, yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya. Ketiga, kultur adalah sebuah simbol, baik berbentuk verbal maupun nonverbal (linguistik dan nonlinguistik). Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Secara alamiah, manusia harus makan untuk mendapatkan energi, kemudian kultur mengajarkan manusia untuk makan apa, kapan, dan bagaimana. Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Keenam, kultur adalah sebuah model. Artinya, kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat istiadat, institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai kait-mengait. Ketujuh, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. Berdasarkan uraian tentang karakter-karakter khusus kultur di atas, dapat disimpulkan bahwa kultur merupakan ciri-ciri tingkah laku manusia

13 yang dipelajari, bersifat sangat khusus, dan tidak diturunkan secara genetis. Artinya, kultur dapat dimaknai sebagai sebuah cara dalam bertingkah-laku dan beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya dan masing-masing kultur memiliki keunikan tersendiri dan tidak bisa dikatakan bahwa kultur yang satu lebih baik dari kultur yang lain. Oleh sebab itu, sangatlah jelas bahwa sebenarnya kultur bukanlah sesuatu yang tunggal, melainkan sesuatu yang jamak. Dengan kata lain, kultur adalah sesuatu yang multikultural. Ada banyak sekali kultur yang ada di dunia ini. Sebab itulah, setiap individu hendaknya memiliki sikap dan perilaku yang arif dan bijaksana terhadap keberadaan berbagai macam kultur dan tidak menggunakan sudut pandang kulturnya sendiri dalam menilai kultur yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini karena masing-masing kultur memiliki karakteristik tersendiri. Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikembangkan pemaknaan dan pemahaman terhadap konsep multikulturalisme. Multikulturalisme adalah sebuah paham tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi, dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan (Ngainun Naim & Achmad Sauqi, 2011: 125). Senada dengan pendapat Naim tersebut, Pareh (2008: 15) menyatakan bahwa multikulturalisme merupakan pandangan mengenai keanekaragaman atau perbedaan yang dilekatkan secara kultural. Sementara itu, Tilaar (2005: 306) menyatakan bahwa multikulturalisme

14 adalah suatu pandangan yang multietnis di dalam kehidupan modern. Pandangan ini mengakui adanya jenis-jenis budaya, dan karena itu sifatnya antirasisme, kesamaan budaya, partisipasi, dialog, dan berdiferensiasi. Tidak ada budaya yang murni, semuanya bersifat hibrida. Pendapat senada disampaikan oleh Lawrence Blum (Ujan, dkk., 2011: 14) bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain. Multikulturalisme meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri. Abdullah (dalam Ngainun Naim & Achmad Sauqi, 2011: 125) mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya. Multikulturalisme bermaksud menciptakan suatu konteks sosiopolitis yang memungkinkan individu dapat mengembangkan kesehatan jati diri dan secara timbalbalik mengembangkan sikap-sikap antarkelompok yang positif (Berry dalam Markhamah, 2003: 22). Pemahaman seseorang akan adanya budaya yang beragam tentu akan mampu menjadikan kehidupan ini lebih

15 harmonis dan dinamis. Dengan demikian, akan tercipta suasana kerukunan antarsesama suku, ras, etnis, budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda. Berpijak pada beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah pemahaman, penghargaan dan penghormatan terhadap adanya keragaman budaya yang ada dalam suatu masyarakat, bangsa, dan negara. b. Pendidikan Multikultural Pendidikan multikultural menjadi sebuah hal yang didengungdengungkan dalam pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini seiring dengan semakin maraknya konflik yang terjadi di masyarakat. Konflik itu terjadi bukan hanya sesama suku, melainkan juga sudah melibatkan antarsuku yang tentu mempunyai kultur yang berbeda-beda. Sebagai contoh adanya konflik yang terjadi di Ambon dan Poso serta konflik yang terjadi di Sampang, Madura. Sebuah hal yang memang tidak bisa dihindari bahwa masyarakat Indonesia selain beragam dari segi etnis, suku, bahasa dan agama, juga majemuk dari segi budaya. Sering terjadinya pergesekan maupun pertentangan atas nama suku, etnis, bahkan agama yang terjadi beberapa tahun belakangan ini seharusnya memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada setiap individu tentang pentingnya pendidikan multikultural. Dalam konsep-konsep yang telah disepakati, baik dalam undang-undang, peraturan perundangan, dan lain sebagainya, memang sudah ada pengakuan tentang adanya berbagai

16 keragaman, baik etnis, suku, budaya, bahasa, bahkan agama. Namun, dalam praktik nyata di lapangan, hal itu hanyalah omong kosong belaka. Betapa tidak? Adanya konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan antarsuku, etnis, bahkan agama masih saja sering terjadi. Hal itu menjadi bukti bahwa adanya undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya belumlah cukup untuk mengarahkan masyarakat memahami dan menghormati adanya keberagaman. Lahirnya sebuah ide tentang sangat perlunya diterapkan pendidikan multikultural tidak bisa dilepaskan dari adanya kondisi dan situasi penindasan yang terjadi pada kultur minoritas di Amerika Serikat saat itu. Tentu saja pihak yang melakukan penindasan adalah pihak yang memiliki kultur dominan. Saat itu, di Amerika Serikat, masyarakatnya adalah masyarakat multikultural yang memiliki banyak kultur yang beragam namun memiliki satu kultur yang sangat dominan. Dalam bukunya, Zamroni (2011: 141), menyatakan kultur dominan tersebut dengan kultur kelompok WMCA, yaitu kultur orang kulit putih (White), kultur lelaki (Male), kultur pemeluk Kristen Protestan (Christian), dan kultur orang-orang yang datang dari Eropa Barat (Anglo Saxon). Kultur kelompok lain, seperti kultur Eropa non-anglo Saxon, kelompok Yahudi dan kelompok Greek (Yunani), kelompok lain dari Eropa, kelompok orang Asia, kelompok orang Amerika Latin dan kelompok orang Afrika yang disebut Negro atau black people, merupakan kelompok kultur minoritas.

17 Penindasan yang dilakukan oleh kultur dominan atas kultur minoritas juga terjadi pada penindasan sosial ekonomi. Warga dari kelompok minoritas sulit sekali mendapatkan pekerjaan. Selain itu, terdapat pula kebijakan diskriminatif yang sangat mencolok antara kaum lelaki dan kaum wanita. Para wanita yang bekerja mendapatkan gaji yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok laki-laki, padahal pekerjaan yang dilakukan sama. Dengan adanya diskriminasi ini lahirlah gerakan women equal right movement yang kemudian mengilhami gerakan kesetaraan berdasarkan jenis kelamin yang dikenal sekarang ini. Penindasan dan diskriminasi dalam bidang sosiokultural juga terjadi, yaitu dengan adanya pemisahan antara orang kulit putih dengan orang kulit hitam. Hal ini terjadi dalam berbagai layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Tidak cukup sampai di situ, diskriminasi dalam bidang pendidikan pun juga terjadi. Kelompok kultur dominan akan dengan sangat mudah dan lancar dalam mendapatkan layanan pendidikan, bahkan mereka pasti dijamin keberhasilannya dalam pendidikan. Berbeda halnya dengan kelompok yang datang dari kaum kultur minoritas. Berdasarkan gambaran di atas, jelaslah bahwa pendidikan multikultural memiliki suatu tanggung jawab yang besar, yaitu menyatukan bangsa yang terdiri dari berbagai macam budaya dan menyiapkan bangsa untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi. Jika kedua tanggung jawab besar itu dapat dicapai, kemungkinan perpecahan bangsa dan munculnya konflik dapat dihindarkan. Konflik-konflik kedaerahan sering terjadi karena

18 tidak adanya pemahaman tentang masyarakat yang multikultur. Oleh karena itu, salah satu cara yang bisa diterapkan untuk mencegah atau meminimalkan konflik tersebut adalah penerapan dan pengembangan pendidikan multikultural. Hal ini perlu dilakukan agar setiap individu, termasuk para siswa, memiliki penghargaan yang baik terhadap berbagai perbedaan dan keragaman yang ada. Pentingnya penerapan pendidikan multikultural, khususnya di sekolah, didasarkan pada adanya lima pertimbangan tentang kenyataan yang terjadi di lapangan, yakni: keragaman budaya, ketidakmampuan hidup secara harmoni, tuntutan untuk menguasai/memahami bahasa lain, kesetaraan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, dan proses pengembangan citra diri yang positif (Cardinas, 1975: 23). Pendapat yang dikemukakan oleh Cardinas di atas, diperkuat lagi oleh pendapat yang dikemukakan oleh Gollnick (1983: 15) yang mengemukakan bahwa urgensi penerapan pendidikan multikultural didasarkan pada beberapa asumsi, yakni: keragaman budaya merupakan inti dari masyarakat sekarang ini, adanya interaksi antarbudaya yang beragam, perlunya keadilan dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara, pendidikan memberikan fungsi yang penting terhadap sikap dan nilai bagi kelangsungan masyarakat yang demokratis, guru dan praktisi pendidikan dapat memberikan peran dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung pendidikan multikultural. Zamroni (2011: 140) menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu bentuk reformasi pendidikan yang bertujuan untuk

19 memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa tanpa memandang latar belakangnya sehingga semua siswa dapat meningkatkan kemampuan secara optimal sesuai dengan ketertarikan, minat, dan bakat yang dimiliki. Hal senada juga disampaikan Teguh Sarosa (2009: 25) yang menjelaskan bahwa pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang lain dengan latar belakang suku, budaya, nilai, pemikiran, dan tingkah laku yang berbeda. Untuk itu, siswa perlu diajak melihat nilai budaya, lingkungan, dan individu lain sehingga mengerti secara mendalam dan akhirnya dapat menghargainya. Pengertian pendidikan multikultural menurut Ainurrafiq Dawam (dalam Ngainun Naim & Achmad Sauqi, 2011: 50) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran agama. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki adanya penghormatan dan penghargaan terhadap setiap individu yang memiliki latar budaya yang berbeda-beda. Pendapat yang semakna dikemukakan oleh Banks (2002: 14) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas dan cara berpikir tentang adanya keberagaman kelompok, etnis, ras, dan budaya. Suatu konsep pendidikan yang memberikan kesempatan secara adil kepada semua peserta didik dengan tanpa memandang adanya perbedaan etnik, ras, agama, kelas sosial, dan karakteristik kultural mereka. Singkatnya, pendidikan multikultural seharusnya mencakup semua aspek dalam

20 pendidikan seperti: kurikulum, pendidik, materi, metode, dan lain-lain. Semua peserta didik harus memperoleh hak dan perlakuan yang sama di sekolah meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Pendapat yang dikemukakan oleh Banks di atas diperkuat oleh Baker (dalam http://www.csupomona.edu/~jis/1999/baker.pdf) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan gerakan reformasi yang didesain untuk mengubah lingkungan pendidikan secara menyeluruh sehingga peserta didik yang berasal dari kelompok ras dan etnik yang beragam memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah, perguruan tinggi, dan universitas. Senada dengan Banks dan Baker, Hidalgo (dalam http://education.nmsu.edu/faculty/ci/ruchavez/publications/8_multicultu RAL%20EDUCATION.pdf) mengungkapkan bahwa pendidikan multikultural adalah pembelajaran yang bebas dari seksisme, rasisme, dan segala bentuk dominasi sosial serta intoleran lainnya. Pendapat yang semakna juga disampaikan oleh Okada (dalam http://themargins.net/fps/student/okada.html) yang memberikan pengertian bahwa pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membantu para peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mengenal, menerima, menghargai, dan merayakan keragaman kultural. Senada dengan pendapat Okada adalah pendapat yang disampaikan oleh Wilson (dalam http://www.edchange.org/multicultural/papers/keith.html) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang

21 didesain berdasarkan pembangunan konsensus, penghargaan, dan penguatan pluralisme kultural ke dalam masyarakat yang rasial. Menurut Abdullah Aly (2011: 109), definisi Wilson dan Okada memiliki kesamaan. Hal ini karena kedua pengertian tersebut sama-sama menyatakan serta menggarisbawahi bahwa pendidikan multikultural menekankan pada pentingnya penghormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, meskipun memiliki perbedaan latar belakang budaya, etnis, ras, dan agama. Dengan demikian akan tercipta kehidupan manusia yang aman, harmonis, dan nyaman. Nieto (dalam Zamroni, 2011: 144) juga mengungkapkan hal yang semakna bahwa pendidikan multikultural sebagai suatu bentuk pendidikan yang bertumpu pada keadilan sosial, kesetaraan pendidikan dan suatu dedikasi guna memberikan pengalaman pembelajaran di mana seluruh siswa dapat mencapai perkembangan secara optimal. Sejalan dengan pemikiran di atas, Hilda Hernandez (dalam Choirul Mahfud, 2011: 176) mengungkapkan bahwa pendidikan multikultural adalah perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan upaya yang dapat digunakan untuk mengelola suatu masyarakat majemuk dengan berbagai dinamika sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan hubungan lebih

22 harmonis di antara berbagai individu dalam masyarakat. Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai golongan dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kebersamaan, serta mengakui, menerima, menghargai, dan menghormati adanya keragaman dan perbedaan budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah gerakan yang menjamin terciptanya lingkungan pendidikan yang setara bagi para siswa, maka pendidikan multikultural memiliki prinsip-prinsip yang harus diketahui sebagaimana yang dijelaskan oleh Zamroni (2011: 147) berikut ini. Pertama, pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada. Kedua, pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: level kelas, yakni pembelajaran dan level sekolah, yakni kelembagaan, antara keduanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif.

23 Ketiga, pendidikan multikultural menekankan pada perlunya analisis kritis terhadap sistem kekuasaan untuk dapat dilakukannya reformasi komprehensif dalam pendidikan. Keempat, berdasarkan analisis kritis ini, tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakat yang dimiliki siswa. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya. Lebih lanjut Zamroni (2011: 152) menjelaskan tentang tujuan yang akan dicapai pada diri siswa melalui proses pendidikan multikultural ini, yakni: 1) Siswa memiliki critical thinking yang kuat sehingga bisa mengkaji materi yang disampaikan secara kritis dan konstruktif. 2) Siswa memiliki kesadaran atas sifat curiga atas pihak lain yang dimiliki, dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat curiga itu muncul, serta terus mengkaji bagaimana cara menghilangkan sifat curiga tersebut. 3) Siswa memahami setiap ilmu bagaikan pisau bermata dua, ada sisi baik dan sisi buruk. Semua tergantung pada yang memiliki ilmu tersebut. 4) Siswa memiliki keterampilan untuk memanfaatkan dan mengimplementasikan ilmu yang dikuasai. 5) Siswa bersifat sebagai a learning person, terus belajar sepanjang hayat masih dikandung badan.

24 6) Siswa memiliki cita-cita untuk menempati posisi sebagaimana ilmu yang dipelajari. Namun, juga menyadari bahwa posisi tersebut harus dicapai dengan kerja keras. 7) Siswa memahami keterkaitan apa yang dipelajari dengan kondisi dan persoalan yang dihadapi bangsa. Mughni (dalam Choirul Mahfud, 2011: xiii) menyatakan bahwa setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan bila akan mewujudkan pendidikan multikultural yang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Pertama adalah dialog. Pendidikan multikultural tidak akan mungkin berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Dengan adanya dialog, diharapkan terjadi sumbang pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan serta saling memahami dan menghargai. Kedua adalah toleransi. Toleransi adalah sikap mau menerima bahwa orang lain, budaya orang lain berbeda dengan kita atau budaya kita. Dialog dan toleransi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila dialog itu bentuknya, toleransi adalah isinya. Toleransi tidak hanya diperlukan pada tataran konseptual, tetapi juga dalam tataran teknis operasional. Inilah yang sejak lama terabaikan dalam sistem pendidikan kita. Selama ini yang dititikberatkan hanya pengayaan pengetahuan dan keterampilan tetapi sering

25 mengabaikan penghargaan atas nilai-nilai budaya dan tradisi bangsa. Oleh sebab itu, hadirnya pendidikan multikultural adalah sebuah keniscayaan bagi dunia pendidikan. Kembali pada konsep pendidikan multikultural, Banks (2010: 23) menjelaskan adanya lima dimensi dalam implementasi pendidikan multikultural, yakni: conten integration, knowledge construction, equity pedagogy, prejudice reduction, empowering school culture and social structure. Penjelasannya sebagai berikut: Conten integration, berkaitan dengan sejauh mana upaya guru untuk menghadirkan aspek kultur dari berbagai kultur yang ada ke ruang-ruang kelas seperti: pakaian, tarian, kebiasaan, dan sebagainya. Presentasi masalah ini akan mengembangkan kesadaran pada diri siswa akan kultur milik kelompok lain. The knowledge process, pembelajaran memberikan kesempatan kepada para siswa untuk memahami dan merekonstruksi berbagai kultur yang ada. Prejudice reduction, sebagai upaya agar para siswa menghargai adanya berbagai kultur dengan segala perbedaan yang menyertainya. Selain itu, siswa juga bisa memiliki sifat positif atas perbedaan tersebut. Equity pedagogy, kesetaraan akan muncul apabila guru sudah mulai memodifikasi perilaku pembelajaran mereka disesuaikan dengan kondisi para siswa yang memiliki berbagai latar belakang yang berbeda sehingga memberikan harapan bahwa semua siswa tanpa melihat latar belakang yang dimilikinya akan dapat mencapai hasil sebagaimana yang telah direncanakan.

26 Pada tahap ini, para guru sudah mengembangkan pendekatan, model, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mengarah pada student centered, pembelajaran di kelas yang bertumpu pada diri siswa sebagai seorang individu. Empowering school culture and social structure, merupakan tahap dilakukannya penguatan, baik kultur sekolah maupun struktur sosial. Hal ini diperlukan untuk memberikan jaminan kepada semua siswa dengan latar belakang yang berbeda agar mereka merasa mendapatkan pengalaman dan perlakuan yang setara dalam proses pembelajaran di sekolah. c. Pendekatan Pendidikan Multikultural Pendidikan multikultural, khususnya di Indonesia, tentu akan menghadapi berbagai tantangan yang sangat besar. Hal ini karena Indonesia memang memiliki sekian banyak kultur yang berbeda. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural agar benar-benar mampu mencapai sasaran yang diinginkan. Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam proses pendidikan multikultural. Choirul Mahfud (2011: 192-193) mengemukakan lima pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu: Pertama, pendidikan multikultural menolak pandangan yang menyamakan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan juga bermaksud

27 membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan semata-mata berada di tangan mereka melainkan tanggung jawab semua pihak. Kedua, pendidikan menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnis. Hal ini dikarenakan seringnya para pendidik, mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient. Oleh karena individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi di mana setiap pemahaman tersebut berbeda, maka individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan. Dalam konteks ini, pendidikan multikultural akan melenyapkan kecenderungan memandang individu secara stereotip menurut identitas etnik mereka. Malah akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak-didik dari berbagai kelompok etnik. Ketiga, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh situasinya. Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut untuk melupakan upaya-upaya penguatan identitas melainkan berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang

28 dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud. Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun nonformal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan nonpribumi. Sementara itu, Banks (dalam Zamroni, 2011: 155) mengemukakan empat tahap pendekatan dalam implementasi pendidikan multikultural. Keempat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, pendekatan membawa masuk ke sekolah elemen kultur masyarakat, seperti peringatan hari-hari besar, kebiasaan dan ritual kultural, makan, pakaian, dan lain sebagainya. Kedua, pendekatan menambah isi dan materi pembelajaran tanpa mengubah struktur kurikulum-keilmuan. Ketiga, pendekatan transformatif, dengan mengubah struktur kurikulum-keilmuan agar siswa dapat mengkaji materi dan kondisi masyarakat dari berbagai perspektif kultural. Keempat, pendekatan aksi, siswa membuat keputusan dan mengambil tindakan berkaitan dengan masalah personal, sosial kemasyarakatan.

29 Paparan di atas hendaknya mampu memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik agar menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai kepribadian. Melalui penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Paradigma pendidikan multikultur mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami. Guru harus belajar agar mampu menerapkan strategi pembelajaran dalam pergaulan sosial dengan para siswa yang memiliki berbagai sifat yang beragam itu dalam suasana belajar yang sangat menyenangkan, sehingga mereka akan saling belajar segisegi positif dari temannya. Salah satu tujuan utama pendidikan multikultural adalah mengubah berbagai pendekatan belajar mengajar, mengubah konseptualisasi dan organisasinya sehingga setiap individu dari berbagai kultur memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dalam lembaga pendidikan. Kesempatan yang sama itu bukan semata-mata memperoleh