BAB 5 : PEMBAHASAN. penelitian Ginting (2011) di Puskesmas Siantan Hulu Pontianak Kalimantan Barat mendapatkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 : PENDAHULUAN. dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat tersebut. (1) Selain

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

BAB I PENDAHULUAN. bersih, cakupan pemenuhan air bersih bagi masyarakat baik di desa maupun

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada bayi dan balita. United Nations Children's Fund (UNICEF) dan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada anak balita

ANALISIS HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN KONTRUKSI SUMUR GALI TERHADAP KUALITAS SUMUR GALI

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DIDUGA AKIBAT INFEKSI DI DESA GONDOSULI KECAMATAN BULU KABUPATEN TEMANGGUNG

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) dalam Buletin. penyebab utama kematian pada balita adalah diare (post neonatal) 14%,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan. Tanpa air kehidupan di

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Repository.unimus.ac.id

PENGARUH KONSTRUKSI SUMUR TERHADAP KANDUNGAN BAKTERI ESCHERCIA COLI PADA AIR SUMUR GALI DI DESA DOPALAK KECAMATAN PALELEH KABUPATEN BUOL

BAB I PENDAHULUAN. prasarana kesehatan saja, namun juga dipengaruhi faktor ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. dapat melangsungkan kehidupan selain sandang dan perumahan. Makanan, selain mengandung nilai gizi, juga merupakan media untuk dapat

HUBUNGAN ANTARA SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LIMBUR LUBUK MENGKUANG KABUPATEN BUNGO TAHUN 2013

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4,48 Ha yang meliputi 3 Kelurahan masing masing adalah Kelurahan Dembe I, Kecamatan Tilango Kab.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB 1 : PENDAHULUAN. memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya.

SUMMARY GAMBARAN KUALITAS AIR SUMUR GALI PENDERITA PENYAKIT KULIT DI DESA AYUHULA KECAMATAN BONGOMEME KABUPATEN GORONTALO

sebagai vector/ agen penyakit yang ditularkan melalui makanan (food and milk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bohulo. Desa Talumopatu memiliki batas-batas wilayah sebelah Utara berbatasan

PENGARUH JARAK ANTARA SUMUR DENGAN SUNGAI TERHADAP KUALITAS AIR SUMUR GALI DI DESA TALUMOPATU KECAMATAN MOOTILANGO KABUPATEN GORONTALO

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Diare adalah penyebab kematian yang kedua pada anak balita setelah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia biasanya dibuat melalui bertani, berkebun, ataupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

KUESIONER PENELITIAN FAKTOR RESIKO TERJADINYA DIARE DI KELURAHAN HAMDAN KECAMATAN MEDAN MAIMUN KOTA MEDAN TAHUN : Tidak Tamat Sekolah.

UJI MPN BAKTERI ESCHERICHIA COLI PADA AIR SUMUR BERDASARKAN PERBEDAAN KONSTRUKSI SUMUR DI WILAYAH NAGRAK KABUPATEN CIAMIS

STUDI KASUS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAYANAN TAHUN 2015

HUBUNGAN FAKTOR SOSIODEMOGRAFI DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GIRIWOYO 1 WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. Repository.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas

DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA... PENGAWASAN KUALITAS AIR BERSIH FORMULIR INSPEKSI SANITASI : : : : : :

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sampel 343 KK. Adapun letak geografis Kecamatan Bone sebagai berikut :

HUBUNGAN KONTRUKSI SUMUR GALI TERHADAP KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR PADA SUMUR GALI DIKELURAHAN TEJOSARI KECAMATAN METRO TIMUR KOTA METRO TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Anak usia sekolah merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya dalam makanan secara tidak sengaja (Fathonah, 2005). Faktorfaktor

KUESIONER PENELITIAN PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN HYGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM DI KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN 2010


HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG HYGIENE MAKANAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS JATIBOGOR TAHUN 2013

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sumur kurang dari 0,8 meter dari permukaan tanah didapat hasil sebagai berikut :

KESEHATAN DAN SANITASI LINGKUNGAN TIM PEMBEKALAN KKN UNDIKSHA 2018

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Escherichia coli PADA JAJANAN ES BUAH YANG DIJUAL DI SEKITAR PUSAT KOTA TEMANGGUNG

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman

BAB 1 PENDAHULUAN. selama hidupnya selalu memerlukan air. Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air.

KONDISI SUMUR GALI dan KANDUNGAN BAKTERI Escherichia coli PADA AIR SUMUR GALI DI DESA BOKONUSAN KECAMATAN SEMAU KABUPATEN KUPANG TAHUN 2017

DAFTAR GAMBAR. Gambar 2.7 Kerangka Teori Gambar 3.1 Kerangka Konsep... 24

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2007). dan balita. Di negara berkembang termasuk Indonesia anak-anak menderita

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan

UKDW. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari) 9) terjadinya komplikasi pada mukosa.

BAB 1 : PENDAHULUAN. oleh makhluk lain misalnya hewan dan tumbuhan. Bagi manusia, air diperlukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. yaitu: faktor keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN juta kematian/tahun. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka

BAB 1 : PENDAHULUAN. Dalam hal ini sarana pelayanan kesehatan harus pula memperhatikan keterkaitan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Sebelah Barat : berbatasan dengan Sungai Bulango. b. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kelurahan Ipilo

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kualitas lingkungan dapat mempengaruhi kondisi individu dan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

Studi Sanitasi Dan Pemeriksaan Angka Kuman Pada Usapan Peralatan Makan Di Rumah Makan Kompleks Pasar Sentral Kota Gorontalo Tahun 2012

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI TABUK KABUPATEN BANJAR

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diperhatikan untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

TINGKAT KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR BERSIH DI DESA SOSIAL KECAMATAN PAGUYAMAN KABUPATEN BOALEMO

Anwar Hadi *, Umi Hanik Fetriyah 1, Yunina Elasari 1. *Korespondensi penulis: No. Hp : ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Limba U I Kec. Kota Selatan Kota Gorontalo. Pasar sental Kota Gorontalo

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. yang berada di Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo. Kelurahan ini memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. lebih dalam sehari. Dengan kata lain, diare adalah buang air besar

BAB I PENDAHULUAN. Diare merupakan salah satu dari gangguan kesehatan yang lazim. dan Indonesia (Ramaiah, 2007:11). Penyakit diare merupakan masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di Puskesmas Sidomulyo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten

Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit diare adalah kondisi dimana terjadi buang air besar atau defekasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Sanitasi Lingkungan Wilayah Pesisir Danau Limboto di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo Tahun 2013

NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Oleh : Januariska Dwi Yanottama Anggitasari J

BUKU SAKU VERIFIKASI SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM)

BAB 1 PENDAHULUAN. masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Gambar lampiran 1: Tempat Pencucian Alat masak dan makan hanya satu bak

BAB I PENDAHULUAN.

HUBUNGAN SANITASI DASAR RUMAH DAN PERILAKU IBU RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA BENA NUSA TENGGARA TIMUR

Repository.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia,

PERILAKU IBU DALAM MENGASUH BALITA DENGAN KEJADIAN DIARE

HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSONAL HYGIENE,

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN, PERSONAL HIGIENE DENGAN JUMLAH BAKTERI Escherichia coli PADA DAMIU DI KAWASAN UNIVERSITAS DIPONEGOROTEMBALANG

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Untuk pemenuhan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. atau lendir(suraatmaja, 2007). Penyakit diare menjadi penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. pasien dewasa yang disebabkan diare atau gastroenteritis (Hasibuan, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-journal) Volume 4, Nomor 3, Juli 2016 (ISSN: )

Transkripsi:

BAB 5 : PEMBAHASAN 5.1 Analisis Univariat 5.1.1 Kejadian Diare pada Balita Hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari separoh responden (59,1%) mengalami kejadian diare. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang bervariasi mengenai kejadian diare pada anak balita. Penelitian Yogi (2008) di Kelurahan Grogol Kota Depok menunjukkan bahwa persentase kejadian diare pada balita adalah sebesar 58,3%, sedangkan penelitian Ginting (2011) di Puskesmas Siantan Hulu Pontianak Kalimantan Barat mendapatkan proporsi diare sebesar 29,41%. Penelitian Olyfta (2010) di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang mendapatkan kejadian diare pada anak balita sebesar 38,2%, sedangkan penelitian Kasman (2003) di Puskesmas Air Dingin di Kota Padang memperoleh kejadian diare yang lebih tinggi yaitu sebesar 85,3%. (24-27) Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada anak balita. Menurut Departemen Kesehatan RI (2009), diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja lembek (setengah cair) dengan frekuensi lebih dari tiga kali sehari atau dapat berbentuk cair saja. Diare pada anak balita sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian akibat kekurangan cairan (dehidrasi). (18) Menurut Sumirat J (2007) banyak faktor yang menimbulkan penyakit diare antara lain faktor lingkungan, faktor balita, faktor ibu, dan faktor sosiodemografis. (16) Dalam konsep segitiga epidemiologi, hubungan antara pejamu, bibit penyakit dan lingkungan dalam menimbulkan penyakit diare amat kompleks dan majemuk. Ketiga faktor ini saling mempengaruhi satu sama lainnya. Faktor geografis dan musim juga dapat mempengaruhi kejadian diare. Namun, secara umum faktor lingkungan dan perilaku merupakan hal dasar yang

mempengaruhi penyebaran agen penyebab diare. Hal-hal ini menjadikan kejadian diare dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Menurut WHO (2009), insiden diare lebih tinggi pada usia di bawah 2 tahun dan akan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Hiswani (2003) juga berpendapat bahwa penyakit diare paling sering dijumpai pada anak balita terutama pada 3 tahun pertama kehidupan. Kelompok umur yang paling rawan terkena diare adalah 2-3 tahun, walaupun banyak juga ditemukan penderita yang usianya relatif muda yaitu antara 6 bulan-12 bulan. Pada usia ini anak mulai mendapat makanan tambahan seperti makanan pendamping air susu ibu, sehingga kemungkinan termakan makanan yang sudah terkontaminasi oleh agen penyebab penyakit diare menjadi lebih besar, seperti sanitasi makanan pada saat pengolahan makan balita dan kebersihan kebersihan serta hygiene penyajian yang dilakukan oleh ibu balita. (28) 5.1.2 Risiko Pencemaran Sumur Gali Hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari separoh responden (53,4%) memiliki risiko pencemaran sumur gali yang tidak memenuhi syarat. Berdasarkan analisis kuesioner diketahui bahwa risiko pencemaran sumur gali yang paling banyak adalah ember dan tali timba diletakkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan merembes kedalam sumur (45,5%), lantai semen yang mengitari sumur mempunyai radius kurang dari 1 m (42%), ada genangan air sewaktu-waktu diatas lantai semen sekeliling sumur (35,2%) dan ada keretakan pada lantai sekitar sumur yang memungkinkan air merembes masuk ke sumur (29,5%). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Esti (2006) yang menyatakan bahwa risiko pencemaran sumur gali yang tidak baik yaitu 60%. (29) Firmansyah (2015) yang menyatakan risiko pencemaran sumur gali dengan kotaminasi tinggi 60,7%. (30)

Syarat sumur gali yang memenuhi syarat kesehatan adalah lokasi atau jarak yang jauh dari jamban, lubang galian untuk air limbah (cesspool, seepage pit) dan sumber-sumber pengotoran lainnya, jarak sumur minimal 15 meter dan lebih tinggi dari sumber pencemaran. Dinding sumur harus memiliki jarak kedalaman 3 meter dari permukaan tanah, dinding sumur gali harus terbuat dibuat dari tembok yang kedap air (disemen). Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi perembesan air / pencemaran oleh bakteri dengan karakteristik habitat hidup pada jarak tersebut. Selanjutnya pada kedalaman 1,5 meter dinding berikutnya terbuat dari pasangan batu bata tanpa semen, sebagai bidang perembesan dan penguat dinding sumur. Pada kedalaman 3 meter dari permukaan tanah, dinding sumur harus dibuat dari tembok yang tidak tembus air, agar perembesan air permukaan yang telah tercemar tidak terjadi. Kedalaman 3 meter diambil karena bakteri pada umumnya tidak dapat hidup lagi pada kedalaman tersebut. Kira-kira 1,5 meter berikutnya ke bawah, dinding ini tidak dibuat tembok yang tidak disemen, tujuannya lebih untuk mencegah runtuhnya tanah. (12) Kedalaman sumur gali dibuat sampai mencapai lapisan tanah yang mengandung air cukup banyak walaupun pada musim kemarau. Bibir sumur gali dibuat di atas tanah dibuat tembok yang kedap air, setinggi minimal 70 cm, untuk mencegah pengotoran dari air permukaan serta untuk aspek keselamatan. Lantai sumur dibuat dari tembok yang kedap air ± 1,5 m lebarnya dari dinding sumur. Dibuat agak miring dan ditinggikan 20 cm di atas permukaan tanah, bentuknya bulat atau segi empat. Tanah di sekitar tembok sumur atas disemen dan tanahnya dibuat miring dengan tepinya dibuat saluran. Lebar semen di sekeliling sumur kira-kira 1,5 meter, agar air permukaan tidak masuk. Lantai sumur kira-kira 20 cm dari permukaan tanah. Saluran Pembuangan Air Limbah dari sekitar sumur dibuat dari tembok yang kedap air dan panjangnya sekurang-kurangnya 10 m. (12)

Kebutuhan manusia terhadap air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mencuci, dan sebagainya. Dengan menggunakan air yang bersih, setiap anggota keluarga dapat terpelihara kebersihan dirinya sehingga status kesehatan dapat semakin meningkat. Penggunaan air bersih oleh masyarakat akan semakin meningkat jika didukung dengan tersedianya sarana air bersih yang memadai. Jika sarana telah tersedia, masyarakat tetap perlu digerakkan agar mau memelihara dan memanfaatkan sarana tersebut dengan sebaik-baiknya baik sumber air minum yang berasal dari perpipaan maupun berupa sumur gali. Pencemaran air sumur gali dapat menimbulkan penyakit, salah satunya adalah penyakit diare yang disebabkan adanya bakteri coliform pada air sumur gali. Bakteri coliform yang dapat menyebabkan penyakit diare. Adapun syarat untuk bakteri coliform yang terdapat pada Permenkes RI Nomor : 416/Menkes/Per/IX/1990 untuk air bersih yaitu air perpipaan 10/100 ml dan bukan air perpipaan 50/100mL. (12) Hasil observasi dengan melakukan pemeriksaan bakteriologis air sumur gali yang dilaksanakan oleh peneliti dengan sampel 5 sampel rumah untuk melihat kualitas air sumur gali diketahui 3 unit sampel dengan kategori kelas C yang terdiri 2 unit sampel dengan jumlah 240 MPN coliform (kelas C) dan 1 unit sampel dengan jumlah 460 MPN coliform (kelas C) dan 2 unit sampel dengan kategori kelas B dengan jumlah 93 MPN coliform. Masalah tingginya penyakit diare sebagai akibat kondisi lingkungan yang tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih, tercemarnya tanah, air dan udara karena limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian dan kondisi lingkungan fsik yang memungkinkan berkembang biaknya vektor. Kualitas air utama pada sarana penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat juga merupakan masalah utama yang perlu mendapat perhatian dan banyak dijumpai di masyarakat dan sebagai faktor risiko terjadinya penyakit diare. Konstruksi dan

sanitasi lingkungan yang kurang baik dapat menurunkan kualitas bakteriologis air sumur gali dan menjadi faktor penyebab dari terjadinya penyakit diare. Kejadian diare dapat ditularkan melalui air yang merupakan media utama dalam penularan diare, disamping makanan dan vektor penyakit. Diare dapat terjadi bila seseorang mengonsumsi air minum yang telah tercemar, baik tercemar dari sumbernya maupun tercemar selama perjalanan sampai ke rumah. (4) Berdasarkan analisis peneliti risiko pencemaran sumur gali yang tidak memenuhi syarat pada penelitian ini disebabkan ember dan tali timba diletakkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan merembes kedalam sumur, lantai semen yang mengitari sumur mempunyai radius kurang dari 1 m, ada genangan air sewaktu-waktu diatas lantai semen sekeliling sumur dan ada keretakan pada lantai sekitar sumur yang memungkinkan air merembes masuk ke sumur. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya pencemaran sumur gali sanitarian puskesmas harus memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai syarat sumur gali yang memenuhi syarat kesehatan berdasarkan konstruksi sumur gali yang meliputi dinding, bibir sumur, lantai, dan jarak berdasarkan anjuran yang telah ditetapkan. 5.1.3 Sanitasi Makanan Hasil penelitian diketahui bahwa kurang dari separoh responden (29,5%) memiliki sanitasi makanan yang tidak baik. Berdasarkan analisis kuesioner diketahui bahwa sanitasi makanan yang tidak baik adalah mencuci tangan sabun dan dengan air yang mengalir sebelum mengolah makanan untuk balita (9,1%) dan menggunakan peralatan masak yang dicuci, dirawat dan disimpan dengan baik (45,5%). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur (2006) yang menyatakan bahwa 32% responden memiliki sanitasi pengolahan makanan yang kurang baik. (31) Hasil penelitian Rosidi (2015), bahwa risiko terjadinya diare pada balita yang keluarganya menyimpan hidangan/makanan secara terbuka mempunyai risiko terjadi diare. (7)

Sanitasi makanan adalah suatu pencegahan yang menitik beratkan pada kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu kesehatan mulai dari sebelum makanan diproses, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, pen-yajian sampai pada makanan dan minuman itu dikonsumsi oleh masyarakat. Penyelenggaraan sani-tasi makanan bertujuan untuk menyingkirkan resiko terkontaminasi oleh mikroorganisme pada tahap-tahap yang berbeda dalam produksi dan pemprosesan makanan. (5) Agen infeksius yang menyebabkan penyakit diare ditularkan melalui jalan fecal-oral terutama karena menelan makanan /minuman yang terkontaminasi. Bila lingkungan tidak sehat (karena tercemar kuman diare) dan berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat (melalui makanan dan minuman), maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sanitasi makanan yang tidak baik disebabkan karena cuci tangan belum menjadi budaya yang dilakukan masyarakat luas termasuk dalam hal ini ibu yang memiliki balita. Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak yang mencuci tangan hanya dengan air sebelum makan dan saat mengolah makanan balita. Cuci tangan dengan sabun justru dilakukan setelah makan dan setelah mengolah makanan balita. Mencuci tangan dengan air saja lebih umum dilakukan, namun hal ini terbukti tidak efektif dalam menjaga kesehatan dibandingkan dengan mencuci tangan dengan sabun. Menggunakan sabun dalam mencuci tangan sebenarnya menyebabkan orang harus mengalokasikan waktunya lebih banyak saat mencuci tangan, namun penggunaan sabun menjadi efektif karena lemak dan kotoran yang menempel akan terlepas saat tangan digosok dan dapat membunuh kuman penyakit yang ada di tangan. Oleh karena itu perlu adanya dilakukan penyuluhan oleh sanitarian untuk memberikan informasi

kepada ibu balita bahwa pentingnya melakukan cuci tangan pakai sabun dan dengan air yang mengalir sebelum mengolah makanan untuk balita. 5.1.4 Personal Hygiene Hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari separoh responden (51,1%) memiliki personal hygiene yang tidak baik. Berdasarkan analisis kuesioner diketahui bahwa personal hygiene yang tidak baik adalah mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah buang air besar dan beraktifitas (11,4%), menggunakan alas kaki saat pergi buang air besar di jamban (17%) dan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan (33%). Hasil penelitian Anisiati (2006) menyatakan bahwa 53% ibu balita memiliki personal hygiene yang kurang baik, perilaku kebersihan yang kurang diperhatikan oleh ibu adalah mencuci tangan pakai sabun setelah buang air besar dan beraktifitas serta saat sebelum dan setelah makan. (5) Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Geo (2012) yang menyatakan bahwa 55% ibu balita memiliki perilaku kebersihan pribadi yang kurang baik. (6) Perilaku personal hygiene merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat setelah faktor lingkungan. Banyak masalah kesehatan yang ada di Indonesia, termasuk timbulnya berbagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat. Seperti KLB diare, penyebab utamanya adalah rendahnya perilaku masyarakat untuk cuci tangan pakai sabun, menggunakan air bersih, serta buang air besar tidak di jamban. (4) Perilaku sehat seseorang berhubungan dengan tindakannya dalam memelihara dan meningkatkan status kesehatannya, antara lain tindakan-tindakan pencegahan penyakit, kebersihan diri, higiene pribadi dan sanitasi lingkungan. Menurut Saidi, perilaku sehat individu sangat erat kaitannya dengan lingkungan secara menyeluruh. (4)

Untuk meningkatkan derajat kesehatan balita perlu adanya upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan secara umum kepada ibu balita, khususnya tentang penyakit menular dalam hal ini penyakit diare sehingga di harapkan ada perubahan sikap serta di ikuti dengan perubahan perilaku kebersihan perorangan dengan hasil akhir menurunnya angka kesakitan penyakit menular dan diare. (4) Berdasarkan analisis peneliti perilaku personal hygiene yang kurang baik pada penelitian ini disebabkan masih kurangnya perilaku mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah buang air besar dan beraktifitas, menggunakan alas kaki saat pergi buang air besar di jamban dan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan. Oleh karena itu untuk meningkatkan perilaku personal hygiene ibu balita puskesmas dalam hal ini sanitarian harus memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai personal hygiene yang baik meliputi perilaku mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah buang air besar, beraktifitas dan sebelum dan sesudah makan. 5.2 Analisis Bivariat 5.2.1 Hubungan Risiko Pencemaran Sumur Gali dengan Kejadian Diare pada Balita Hasil penelitian diketahui bahwa persentase responden yang mengalami kejadian diare lebih tinggi pada responden dengan risiko pencemaran sumur gali (87,2%) dibandingkan dengan yang tidak berisiko (26,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,001 (p value < 0,05) maka disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara risiko pencemaran sumur gali dengan kejadian diare. Hasil uji statistik memperoleh nilai OR=3,2 (95%CI=1,9-5,4) artinya responden yang memiliki risiko pencemaran sumur gali mempunyai peluang 3,2 kali untuk mengalami kejadian diare pada balita dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki risiko pencemaran sumur gali.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Anisiati (2006) menyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi sanitasi sumur gali (p value=0,030) dengan kejadian diare. (5) Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Geo (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi sanitasi sumur gali dan personal hygiene dengan kejadian diare. (6) Sudah diketahui bahwa air sangat penting untuk kehidupan dan tidak ada satupun kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus tanpa adanya air yang cukup dari segi kualitas maupun kuantitas. Namun, disamping itu air juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam penularan penyakit. Hal ini disebabkan keadaan air itu sendiri yang sangat membantu dan sangat baik untuk kehidupan mikrobiologis, yaitu sebagai tempat berkembang biak dan sebagai tempat sementara sebelum mikroorganisme tersebut berpindah kepada manusia. Salah satu penyakit yang penularannya dapat melalui air adalah penyakit diare. Masalah tingginya penyakit diare sebagai akibat kondisi lingkungan yang tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih, tercemarnya tanah, air dan udara karena limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian dan kondisi lingkungan fsik yang memungkinkan berkembang biaknya vektor. Kualitas air utama pada sarana penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat juga merupakan masalah utama yang perlu mendapat perhatian dan banyak dijumpai di masyarakat dan sebagai faktor risiko terjadinya penyakit diare. Konstruksi dan sanitasi lingkungan yang kurang baik dapat menurunkan kualitas bakteriologis air sumur gali dan menjadi faktor penyebab dari terjadinya penyakit diare. Kejadian diare dapat ditularkan melalui air yang merupakan media utama dalam penularan diare, disamping makanan dan vektor penyakit. Diare dapat terjadi bila seseorang mengonsumsi air minum yang telah tercemar, baik tercemar dari sumbernya maupun tercemar selama perjalanan sampai ke rumah. (4)

Berdasarkan analisis peneliti terdapatnya hubungan risiko pencemaran sumur gali dengan kejadian diare disebabkan bahwa sumur gali sebagai sumber air minum yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi tempat berkembanganya bakteri yang menjadi penyebab diare, untuk mencegah terjadinya penyakit diare yang penularannya melalui air (water born disease), maka perlu diperhatikan penggunaan sumur gali atau air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Adapun perawatan perawatan terhadap sumur gali (SGL). Perawatan jangka pendek untuk sumur antara lain dengan pembersihan dinding sumur secara berkala kurang lebih 6 bulan sekali, pembersihan saluran air di sekitar sumur gali (SGL) agar tidak timbul genangan-genangan air yang bisa mencemari sumur dan dengan cara pemebrian kaporit. Sedangkan perawtan jangka panjang antara lain dengan pembuatan tutup permanen untuk menutupi sumur sehingga sumur terhindar dari pencemaran udara 5.2.2 Hubungan Sanitasi Makanan dengan Kejadian Diare pada Balita Hasil penelitian diketahui bahwa persentase responden yang mengalami kejadian diare lebih tinggi pada responden dengan sanitasi makanan yang tidak baik (84,6%) dibandingkan dengan sanitasi makanan yang baik (48,4%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,004 (p value < 0,05) maka disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sanitasi makanan dengan kejadian diare. Hasil uji statistik memperoleh nilai OR=1,7 (95%CI=1,2-2,3) artinya responden yang memiliki sanitasi makanan yang tidak baik mempunyai peluang 1,7 kali untuk mengalami kejadian diare pada balita dibandingkan dengan responden yang memiliki sanitasi makanan yang baik. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Toyo (2005), bahwa risiko terjadinya diare pada balita yang keluarganya menyimpan hidangan/makanan secara terbuka mempunyai risiko terjadi diare. Hasil penelitian Nur (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan antara penyediaan bahan makanan dengan kejadian diare pada balita (p value 0,005)

dengan nilaior 8,105(CI 95%:1,61-40,76), ada hubungan antara penyimpanan bahan makanan dengan kejadian diare pada balita (p value 0,018) dengan nilai OR 3,596 (CI 95%:1,21-10,63), ada hubungan antara penyimpanan makanan dengan kejadian diare pada balita(p value 0,004) dengan nilai OR 4,929 (CI 95%: 1,61-15,0). (31) Hasil penelitian Rosidi (2015) menyatakan terdapat hubungan sanitasi makanan dengan kejadian diare pada balita. (7) Manusia dan mahluk hidup lainnya memerlukan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan yang dikonsumsi terdiri dari bermacam zat gizi yang terkandung di dalamnya. Agar makanan sehat, makanan harus terbebas dari kontaminasi seperti debu dan binatang (kecoa, tikus, lalat, dan lain-lain). Makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan penyakit (food borne disease), salah satunya adalah diare. Selain daripada itu perilaku menyimpan hidangan yang tidak baik dapat berakibat pada terkontaminasinya makanan oleh bibit penyakit yang dibawa oleh vektor/lalat yang dapat menyebabkan penyakit diare. (17, 18) Faktor penyebab terjadinya diare yang salah satunya dipengaruhi oleh faktor makanan yang dikonsumsi, terlebih jika makanan mengandung bakteri dan jamur. Faktor sanitasi makanan akan berpengaruh kepada gangguan imunologis yang menyebabkan penurunan pada sistem pertahanan tubuh anak terhadap bakteri, virus, jamur yang masuk kedalam usus yang berkembang dengan cepat dan berakibat kepada kejadian diare pada anak dan berdampak juga pada malabsorpsi makanan. (2,4) Diare merupakan satu masalah kesehatan utama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Balita sangat rentan terkena penyakit diare, salah satu faktor penyebab dan risiko yang berkontribusi terhadap kejadian diare pada anak adalah daya tahan tubuh anak masih rendah terutama pada kebersihan makanan yang dikonsumsi kurang hygienis. Agen infeksius yang menyebabkan penyakit diare ditularkan melalui jalan fecal-oral terutama karena menelan

makanan /minuman yang terkontaminasi. Bila lingkungan tidak sehat (karena tercemar kuman diare) dan berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat (melalui makanan dan minuman), maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare. Berdasarkan analisis peneliti terdapatnya hubungan sanitasi makanan dengan kejadian diare pada balita disebabkan tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus pathogen dari tubuh, faeses atau sumber lain ke makanan. Oleh karena itu kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas yang tinggi, walaupun hal tersebut sering disepelekan. Pencucian dengan sabun sebagai pembersih, penggosokan, dan pembilasan dengan air mengalir akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung mikroorganisme. Solusi dalam permasalahan kejadian diare pada anak adalah dengan untuk menjaga kesehatan anak terutama dalam pencegahan penyakit diare, diharapkan kepada orang tua untuk dapat meningkatkan kualitas sanitasi dan sarana sanitasi yang ada. Sanitasi makanan dapat mencegahan terjadinya diare pada anak, terutama dalam hal cuci tangan sebelum makan dengan menggunakan sabun sebelum memberikan makan dan menjaga kebersihan alat makan. 5.2.3 Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Diare pada Balita Hasil penelitian diketahui bahwa persentase responden yang mengalami kejadian diare lebih tinggi pada responden dengan personal hygiene yang tidak baik (71,1%) dibandingkan dengan personal hygiene yang baik (46,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,033 (p value < 0,05) maka disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara personal hygiene dengan kejadian diare. Hasil uji statistik memperoleh nilai OR=1,1 (95%CI=1,1-2,2) artinya responden yang memiliki personal hygiene yang tidak baik mempunyai peluang 1,1 kali untuk mengalami kejadian diare pada balita dibandingkan dengan responden yang memiliki personal hygiene yang baik.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Anisiati (2006) menyatakan bahwa ada hubungan antara personal hygiene (p value=0,006) dengan kejadian diare. (5) Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Geo (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian diare. (6) Perilaku personal hygiene merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat setelah faktor lingkungan. Banyak masalah kesehatan yang ada di Indonesia, termasuk timbulnya berbagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat. Seperti KLB diare, penyebab utamanya adalah rendahnya perilaku masyarakat untuk cuci tangan pakai sabun, menggunakan air bersih, serta buang air besar tidak di jamban. (4) Tindakan kebersihan pribadi yang dilakukan agar terhindar dari diare, yaitu tindakan dalam penggunaan air bersih, mencuci tangan dengan sabun, dan penggunaan jamban. Tindakan yang baik dalam penggunaan jamban yaitu dengan memiliki jamban/wc di rumah yang berfungsi dengan baik dan dengan model leher angsa yang dilengkapi dengan tangki septik/lubang penampungan kotoran. Umumnya semua anggota keluarga di rumah haruslah telah menggunakan jamban/wc untuk buang air besar, tinja bayi/anak kecil dibuang ke dalam jamban, menyediakan air, sabun, dan alat (sikat) pembersih jamban, setiap selesai buang air besar disiram sampai bersih, dan jamban dibersihkan secara teratur. (4) Waktu-waktu penting cuci tangan pakai sabun antara lain setelah dari jamban, setelah membersihkan anak yang buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan, dan setelah memegang/menyentuh hewan. Sedangkan waktu-waktu kritis cuci tangan pakai sabun yang paling penting adalah setelah ke jamban dan sebelum menyentuh makanan (mempersiapkan/memasak/menyajikan dan makan). (2,4)

Berdasarkan analisis peneliti terdapatnya hubungan antara personal hygiene ibu dengan kejadian diare disebabkan karena cuci tangan belum menjadi budaya yang dilakukan masyarakat luas. Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak yang mencuci tangan hanya dengan air sebelum makan. Cuci tangan dengan sabun justru dilakukan setelah makan, padahal seharusnya sebelum dan sesudah makan dan juga setelah beraktifitas dan menyiapkan makanan. Selain daripada itu penggunaan jamban yang sehat dan membuang kotoran bayi di jamban juga merupakan hal yang penting untuk menghindari terjangkitnya penyakit diare. Oleh karena itu perlu adanya upaya promosi yang intensif baik oleh petugas kesehatan, kader, maupun tokoh masyarakat agar diharapkan kebiasaan masyarakat tersebut dapat berubah menjadi lebih baik.