SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT BUKTI HAK ATAS TANAH DALAM PROSES PERADILAN A CERTIFICATE OF LAND AS AN EVIDENCE OF LAND IN JUDICIAL SYSTEM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB 2 PEMBAHASAN. 2.1 Pendaftaran Tanah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

mudah dapat membuktikan hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasainya,

Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 LEGALISASI ASET PEMERINTAH DAERAH MELALUI PENDAFTARAN TANAH DI KABUPATEN PRINGSEWU. Oleh.

Pertanyaan: Ringkasan Jawaban: Analisa. 1. Surat Tanah di Indonesia. Dapat kah dilakukan amandemen nama pemilik pada surat tanah?

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN PENERAPAN ASAS PUBLISITAS DALAM PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KEPAHIANG.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Salah satu tujuan pembentukan UUPA adalah untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

UNIVERSISTAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM

FUNGSI SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DALAM MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

KEPASTIAN HUKUM SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997

PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI SECARA SPORADIK MELALUI PENGAKUAN HAK. Oleh Bambang Eko Muljono Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting. dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil dan

PEROLEHAN TANAH DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA KECIL

BAB II PENERBITAN SERTIFIKAT HAK MILIK YANG BERASAL DARI ALAS HAK SURAT PERNYATAAN DIBAWAH TANGAN

PENDAFTARAN TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIFIKAT DALAM SENGKETA HAK ATAS TANAH

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB II PROSEDUR PENERBITAN SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH. teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SAH HAK ATAS TANAH DENGAN ADANYA SERTIFIKAT GANDA HAK ATAS TANAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan

Lex et Societatis, Vol. III/No. 8/Sep/2015

ANALISIS YURIDIS AKTA KETERANGAN LUNAS YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS SEBAGAI DASAR DIBUATNYA KUASA MENJUAL JURNAL. Oleh

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat (Margono Slamet, 1985:15). Sedangkan W.J.S Poerwadarminta

AKIBAT HUKUM JUAL BELI HAK ATAS TANAH YANG BELUM DIDAFTARKAN THE LEGAL IMPACTS OF PURCHASING UNREGISTERED LAND RIGHTS

BAB I PENDAHULUAN. Boedi Harsono, Hukum Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 560

PENYIMPANGAN DALAM PENERBITAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH. Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

SIFAT PEMBUKTIAN SERTIFIKAT SEBAGAI TANDA BUKTI HAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

KEPASTIAN HUKUM SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI BUKTI KEPEMILIKAN BIDANG TANAH

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PEMBAHASAN RESPONSI UAS HUKUM AGRARIA SEMESTER GENAP TAHUN 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH.

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk, sementara disisi lain luas tanah tidak bertambah. mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang dimilikinya.

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Agraria berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah dan agrarius

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS

RESUME KUTIPAN BUKU LETER C SEBAGAI ALAT BUKTI PERSIL TERHADAP SERTIFIKAT GANDA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

KAJIAN TENTANG GUGATAN PERALIHAN DAN PENGUASAAN HAK. MILIK ATAS TANAH SECARA TIDAK SAH (Studi Kasus Putusan

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

PENDAFTARAN HAK MILIK ATAS TANAH ADAT (KONVERSI) DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM MELALUI PROGRAM LARASITA DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan

MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 1996 TENTANG

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai

Upik Hamidah. Abstrak

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

JURNAL KARYA ILMIAH. KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT HAK MILIK SEBAGAI ALAT BUKTI KEPEMILIKAN (STUDI KASUS TANAH DI PENGADILAN NEGERI MATARAM) Cover

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hukum tertulis sebagai pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

BAB II. A. Eksistensi Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun pertama kali dan pemeliharaan pendaftaran tanah.

MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 1996 TENTANG

PENERBITAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DAN IMPLIKASI HUKUMNYA

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan

Transkripsi:

Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ilyas Ismail No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 23-34. SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT BUKTI HAK ATAS TANAH DALAM PROSES PERADILAN A CERTIFICATE OF LAND AS AN EVIDENCE OF LAND IN JUDICIAL SYSTEM Oleh: Ilyas Ismail *) ABSTRACT Based on Article 19 (2) of the Act Number 5, 1960 nd Article 32 of the Government Regulation Number 24, 1997 state that in registering land, the certificate of land functioning as a strong evidence. Whether a freehold right can only be proved by a certificate, and to that extent of such evidence in judicial process. In terms of obtaining the answers from the questions, library research is conducted by exploring, discussing and analysing the laws, research reports and relevant experts views. The findings show that such freehold right certificate is issued by National Land Authority by registration process. If there is a land without certificate hence it can be proved through witnesses statements, prediction, acknowledgemen and oath. The certificate has the strong and complete power of proving can only be admitted if there is no challenge before the court. The challenge towards the certificate can be done if there are a defect on issuing it, good faith of the holder and/or the right holder does not really own the land. Keywords: Certificate, Land as an Evidence, Court. A. PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (biasa juga disebut Undang-Undang Pokok Agraria, dan untuk selanjutnya disebut UUPA) bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut PP 24/1997). Dalam Pasal 1 angka 1 PP 24/1997 disebutkan bahwa pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan ISSN: 0854-5499

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Ilyas Ismail satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Lebih lanjut dalam Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa salah satu tujuan dilaksanakan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan dan untuk itu kepada pemegang yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 bahwa sertifikat yang merupakan surat bukti hak atas tanah berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Oleh karena data dalam sertifikat mencakup data mengenai jenis haknya, subjeknya maupun mengenai letak, batas, dan luasnya maka sertifikat memberikan jaminan kepastian hukum terhadap data tersebut. Yang menjadi permasalahannya adalah apakah terhadap suatu bidang tanah yang belum mempunyai sertifikat dapat dibuktikan dengan alatalat bukti lainnya? Bagaimanakah kekuatan bukti sertifikat yang telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, apakah bersifat mutlak? B. ALAT BUKTI HAK ATAS TANAH Untuk membuktikan seseorang atau suatu badan hukum sebagai empunya suatu bidang tanah maka perlu alat bukti. Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 ditentukan bahwa sertifikat berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah. Sertifikat sebagai alat bukti hak atas tanah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melalui suatu proses pendaftaran tanah, karena itu apabila suatu bidang tanah *) Dr. Ilyas Ismail, S.H.,M.Hum, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 24

Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ilyas Ismail No. 53, Th. XIII (April, 2011). belum dilaksanakan pendaftaran tanahnya maka atas bidang tanah tersebut tidak mempunyai sertifikat. Setiap bidang tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia seharusnya telah terdaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat agar data tanah dapat tersedia secara lengkap dan menyeluruh yang dengan sendirinya akan bermanfaat bagi semua pihak baik instansi pemerintah sendiri maupun perorangan atau swasta terutama bagi pihak yang akan melakukan perbuatan hukum atau akan meletakkan hubungan hukum atas suatu bidang tanah. Pemerintah yang dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai institusi yang berwenang melaksanakan pendaftaran tanah telah mulai melaksanakan pendaftaran tanah pada tahun 1961 yaitu sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Perndaftaran Tanah. Salah satu alasan penerbitan PP 24/1997 bahwa ketentuan hukum yang dijadikan dasar pelaksanaan pendaftaran tanah dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dalam waktu yang singkat dengan hasil yang memuaskan, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 selama 35 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftarkan, baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah didaftar. 1 Pada tahun 2006 Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan bahwa sejak UUPA diundangkan tahun 1960 sampai tahun 2006 telah diterbitkan 33,74 juta sertifikat tanah atau sekitar 36 % dari jumlah bidang tanah yang perlu disertifikat di luar kawasan hutan. 2 Kenyataan tersebut dapat dipahami bahwa masih banyak bidang-bidang tanah hak yang belum mempunyai sertifikat. Pertanyaannya adalah apakah terhadap bidang-bidang 1 Penjelasan Umum PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 25

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Ilyas Ismail tanah yang belum bersertifikat dapat dibuktikan dengan selain sertifikat. Ketentuan hukum tidak menyebutkan sertifikat sebagai satu-satunya alat bukti hak atas tanah, karena itu harus dipahami bahwa untuk membuktikan hak atas tanah adalah berlaku juga ketentuan tentang pembuktian hak pada umunya sebagaimana ditentukan dalam hukum pembuktian. Pasal 164 HIR/284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas; bukti tertulis/surat, bukti saksi, persangkaanpersangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. 3 Dalam membuktikan adanya sesuatu peristiwa atau adanya sesuatu hak pertama-tama digunakan bukti tulisan. Apabila bukti tulisan tidak ada atau tidak cukup maka digunakan bukti saksi, apabila bukti saksi tidak cukup maka digunakan bukti persangkaan, jika bukti tulisan ditambah bukti saksi dan bukti persangkaan juga belum cukup maka ditambah lagi dengan bukti pengakuan. Jikalau dengan bukti-bukti tersebut juga belum mencukupi maka ditambah lagi dengan bukti sumpah. 4 Dalam hukum pembuktian dikenal tiga jenis surat, yaitu akta otentik, akta dibawah tangan dan surat bukan akta. 5 Akta otentik merupakan surat yang dibikin dengan maksud untuk dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu 6. Berdasarkan Pasal 1 angka 20 PP 24/1997, sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah,hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dbukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Secara teknis batasan tentang sertifikat pernah dimuat 2 Risnarto, Dampak Sertipikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah Skala Kecil, Makalah disajikan pada Seminar Nasional Land and Household Economy 1970-2007, Changing Roads for Poverty Reduction. PSEKP and UNESCAP-CAPSA, Bogor.Indonesia, tanggal 25 Juni 2007. 3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 2. 4 Teguh Samudra, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 9. 5 Teguh Samudra, hlm. 37. 6 Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, cetakan keenam, Sumur, Bandung, 1975, hlm. 108. 26

Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ilyas Ismail No. 53, Th. XIII (April, 2011). dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 yang menyebutkan bahwa sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid menjadi satu dan diberikan sampul. 7 Sertifikat diterbitkan BPN yang didalamnya memuat data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah tertentu. Data fisik berkenaan dengan letak, batas dan luas bidang tanah. Sedangkan data yuridis berkenaan dengan subyek hak, alas hak dan pembebanan hak atas tanah. Data tersebut diperoleh dari pemohon sertifikat dan pemeriksaan oleh BPN melalui proses pendaftaran tanah. Karena itu dalam kaitannya dengan alat-alat bukti dalam proses peradilan perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 HIR/284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata maka sertifikat berstatus sebagai bukti surat yang berkualifikasi sebagai akta otentik. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam hal suatu bidang tanah tidak atau belum mempunyai sertifikat, maka dapat dibuktikan dengan bukti-bukti lainnya sebagaimana ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan. Bukti-bukti lainnya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR/284 RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata serta Pasal 23 dan Pasal 24 PP 24/1997 yang mengatur mengenai pembuktian hak atas tanah untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah. Dalam Pasal 23 PP 24/1997 disebutkan bahwa untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah terhadap hak-hak atas tanah yang lahir setelah berlakunya UUPA dapat dibuktikan dengan; (a) penetapan pemberian hak (Surat Keputusan Pemberian Hak) atas tanah Negara atau atas tanah hak pengelolaan dari pejabat yang berwenang, (b) akta pemberian Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dari PPAT (c) akta ikrar akaf, (d) akta pemisahan hak milik atas satuan rumah susun, dan (e) akta pemberian hak tanggungan. Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa terhadap hak atas tanah yang terjadinya berdasarkan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang maka pendaftaran hak merupakan syarat lahirnya hak atas tanah yang bersangkutan. Oleh karena bukti hak yang dikeluarkan dalam proses pendafatran tanah hanya sertifikat maka harus dipahami juga bahwa hak atas tanah yang lahir atas dasar penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang hanya dapat dibuktikan dengan sertifikat. Hal ini berbeda dengan hak atas tanah yang lahir selain berdasarkan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang. 7 Batasan yang terdapat dalam PP 10 tahun 1961. 27

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Ilyas Ismail Sedangkan terhadap hak-hak atas tanah yang telah ada sebelum berlakunya UUPA dan berdasarkan UUPA dapat dikonversi menjadi salah satu hak atas tanah yang dikenal dalam UUPA (atau yang lebih dikenal dengan hak atas tanah yang lahir berdasarkan ketentuan konversi UUPA) maka berdasarkan Pasal 24 ayat (1) PP 24/ 1997 bahwa untuk keperluan pendaftaran haknya, dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk dilakukan pendaftaran hak. Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP/1997 disebutkan bahwa alat-alat bukti tertulis tersebut dapat berupa, antara lain: (a) akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overcrijvings Ordonnantie (Stb. 1834-27); (b) surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja; (c) akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP 24/1997; (d) risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang yang tanahnya belum dibukukan. Lebih lanjut dalam Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan: Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan pendahulunya, dengan syarat: a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. 8 Berdasarkan aturan yang terdapat dalam PP 24/1997 dapat dipahami bahwa untuk membuktikan hak atas tanah bagi keperluan pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan surat, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan. Ketentuan tersebut tentu dapat diperlakukan mutatis mutandis terhadap pembuktian hak atas tanah dalam proses peradilan. 8 Pasal 26 PP 24/1997 pada dasarnya menyebutkan bahwa sebelum data suatu bidang tanah dibukukan dalam daftar-daftar yang disediakan untuk itu pada Kantor Pertanahan, data tanah tersebut harus diumumkan selama kurun waktu tertentu pada Kantor Pertanahan dan Kantor Desa/Kelurahan atau tempat lain yang dianggap perlu untuk memberikan kesempatan bagi yang berkepentingan mengajukan keberatan. 28

Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ilyas Ismail No. 53, Th. XIII (April, 2011). C. KEKUATAN BUKTI SERTIFIKAT Salah satu fungsi akta adalah sebagai alat pembuktian. Sebagai alat pembuktian akta dibedakan kedalam tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu: kekuatan pembuktian lahir, kekuatan pembuktian formal dan kekuatan pembuktian material. 9 Kekuatan bukti lahir merupakan kekuatan bukti yang didasarkan atas keadaan lahir bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta dianggap/diterima sebagai suatu akta dan harus diperlakuakn sebagai akta sepanjang tidak terbukti kebalikannya. Sedangkan kekuatan bukti formal merupakan kekuatan bukti yang didasarkan atas benar atau tidaknya pernyataan dalam akta bahwa penandatangan akta menerangkan apa yang tercantum dalam akta. Sementara itu kekuatan pembuktian material merupakan kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan bahwa penandatangan menyatakan bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi. Sertifikat yang mempunyai kedudukan sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil dan berdasarkan Pasal 165 HIR bahwa akta otentik mempunyai kekuatan yang sempurna. Artinya apa yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai suatu yang benar selama tidak ada pihak yang dapat membuktikan sebaliknya. Terkait dengan kekuatan pembuktian sertifikat hak atas tanah terdapat istilah tersendiri dalam ketentuan perundang-undangan pertanahan, antara lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA yang menyebutkan bahwa kegiatan pendaftaran tanah meliputi; Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Demikian juga halnya Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 yang menyebutkan; sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. 29

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Ilyas Ismail Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1)) PP 24/1997 disebutkan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Karena itu selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari hari maupun dalam berperkara di pengadilan. 10 Sehubungan dengan hal tersebut dapat dipahami bahwa sertifikat tidak mempunyai kekuatan bukti yang mutlak, karena masih memungkinkan untuk dinyatakan batal atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum melalui putusan pengadilan. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pengadilan agar memutuskan bahwa suatu sertifikat hak atas tanah tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan PP 10/1961 bahwa kapanpun seseorang atau badan hukum dapat mengajukan gugatan terhadap suatu sertifikat tetapi berdasarkan PP 24/1997, yang juga telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku PP 10/1961, bahwa gugatan terhadap suatu sertifikat tidak lagi dapat diajukan apabila telah lewat waktu tertentu dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 ayat (2). Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 menyebutkan: Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (2) diuraikan lebih lanjut bahwa ketentuan tersebut bertujuan pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya Kelemahan sistem publikasi 9 Teguh Samudra, ibid, hlm. 47-49. 10 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003, hlm. 110. 30

Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ilyas Ismail No. 53, Th. XIII (April, 2011). negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Oleh karena hukum tanah Indonesia berdasarkan pada hukum adat maka untuk mengatasi kelemahan tersebut menggunakan lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikat baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut, yang dalam ketentuan perundang-undangan pertanahan disebut hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan. Berdasarkan ketentuan tersbut dapat dipahami bahwa batas waktu 5 (lima) tahun itu berlaku apabila memenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu; (1) pelaksanaan pendaftaran tanah yang melahirkan sertifikat tersebut dilakukan secara sah, artinya sesuai dengan ketentuan perundang-undanga yang berlaku, sebagai contoh bahwa salah satu tahapan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah dilakukan pengumuman terhadap data tanah yang telah diteliti sebelum dilakukan pembukuan hak atas tanah. Apabila pengumuman tidak dilakukan atau dilakukan tidak sesuai dengan aturan atau menyimpang dari tujuan diadakan pengumuman maka hal itu dapat dikategorikan sebagai cacat hukum dalam proses pensertifikatan; (2) penguasaan tanah oleh pemohon atau penerusnya dilakukan dengan iktikat baik, hal ini tentu ada ukuran-ukuran dalam hukum mengenai iktikat baik tersebut; dan (3) tanah tersebut dikuasai secara nyata oleh pemohon, hal ini berarti tidak cukup penguasaan secara hukum saja. Dengan demikian apabila ketiga persyaratan tersebut tidak dipenuhi secara kumulatif maka batasan waktu 5 (lima) tahun tersebut tidak dapat diterapkan. Karena pengaturannya masih dalam bentuk Peraturan Pemerintah maka hakimlah dalam penerapan Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 terhadap kasus-kasus konkrit yang akan mempertimbangkan terpenuhinya syaratsyarat bagi penerapannya sebagaimana halnya penerapan lembaga rechtsverwerking pada tanah-tanah adat. Hakimlah yang menimbang berat ringannya bobot kepentingan para pihak yang bersengketa dan dalam rangka pembaharuan hukum tanah nasional maka ketentuan tersebut perlu diatur dalam bentuk undang-undang. 11 Walaupun pengadilan berwenang memutuskan ketidakabsahan atau menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap suatu sertifikat tetapi pengadilan tidak berwenang membatalkan sertifikat yang bersangkutan. Pernyataan suatu sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum dan pembatalan sertifikat merupakan dua hal yang berbeda walaupun saling berkaitan. Perbedaan prinsipnya terletak pada kewenangan dan akibat 11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cetakan kesepuluh, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 482. 31

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Ilyas Ismail hukumnya. Penyataan bahwa suatu sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum merupakan kewenangan pengadilan sedangkan pembatalan sertifikat merupakan kewenangan BPN. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dan Pasal 13 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, bahwa Menteri Negara Agraria/Kepala BPN berwenang membatalkan keputusan pemberian hak atas tanah. Lebih lanjut dalam Pasal 104 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, disebutkan bahwa pembatalan keputusan pemberian dan sertifikat hak atas tanah diterbitkan karena dua hal, yaitu (1) karena terdapat cacat hukum administratif dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanahnya, atau (2) karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Untuk pembatalan sertifikat atas dasar putusan pengadilan, pihak yang berkepentingan harus mengajukan permohonan kepada Kepala BPN. Persoalan muncul apabila tidak dikabulkannya permohonan pembatalan tersebut, atau sebelum dibatalkannya sertifikat tersebut, apakah subyek hak yang tercantum namanya dalam sertifikat masih berhak atas tanah tersebut dan bagaimana pula kedudukan perbuatan-perbuatan hukum yang mendasarkan diri pada sertifikat yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetapi belum/tidak dibatalkan oleh BPN. Hal tersebut berpeluang timbulnya multi tafsir, tergantung pada pemahaman terhadap kedudukan putusan pengadilan dan kedudukan Peraturan Menteri/Kepala BPN dalam sistem hukum Indonesia. Ada yang berpandangan bahwa sertifikat yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh pengadilan walaupun belum dibatalkan oleh BPN menyebabkan sertifikat tersebut telah hilang kekuatannya sebagai akta otentik. Dengan demikian sejak dibacakannya putusan tersebut maka terhadap sertifikat yang bersangkutan sudah tidak dapat dijadikan dasar untuk 32

Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ilyas Ismail No. 53, Th. XIII (April, 2011). melakukan perbuatan-perbuatan hukum. 12 Karena itu seyogyanya dalam peraturan perundang-undangan disebutkan secara tegas bahwa pembatalan hak atas tanah dan sertifikat atas dasar putusan pengadilan adalah bersifat adminitratif belaka dan tidak memberikan peluang keabsahan perbuatan hukum terhadap bidang tanah yang hak dan sertifikatnya sudah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan berlaku oleh pengadilan. D. PENUTUP Sertifikat merupakan alat bukti hak atas tanah yang utama tetapi bukan satu-satunya alat bukti. Ketiadaan sertifikat tidak dengan sendirinya ketiadaan hak seseorang atas suatu bidang tanah. Untuk membuktikan hak kepemilikan atas suatu bidang tanah dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti lain sebagaimana halnya alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam proses peradilan perdata pada umumnya sebagaimana ditentukan dalam HIR/RBg dan KUH Perdata. Sertifikat tidak berkekuatan mutlak, karena sertifikat masih dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum apabila dapat dibuktikan sebaliknya melalui proses peradilan. Dalam UUPA dan PP 24/1997 disebutkan bahwa sertifikat mempunyai kekuatan bukti yang kuat, harus diterima sebagai suatu yang benar selama tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya dalam suatu proses peradilan. Gugatan pembatalan hak atas tanah dan sertifikat hak atas tanah masih dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan walaupun telah lewat waktu 5 (lima) tahun sejak terbitnya sertifikat, asalkan dapat membuktikan adanya cacat hukum dalam proses penerbitan sertifikat, perolehan hak atas tanahnya tidak dengan iktikat baik dan/atau tanah yang dimohonkan hak tersebut tidak dikuasai secara nyata. 12 Maya Sartika, Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Telah Dinyatakan Tidak Mempunyai 33

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak Atas Tanah dalam Proses Peradilan Ilyas Ismail DAFTAR PUSTAKA Boedi Harsono (2005), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cetakan kesepuluh, Djambatan, Jakarta. Irawan Soerodjo (2003), Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya. Maya Sartika (2010), Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Telah Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Oleh Pengadilan, Tesis, PPS UNSYIAH, Banda Aceh. Risnarto (2007), Dampak Sertipikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah Skala Kecil, Makalah disajikan pada Seminar Nasional Land and Household Economy 1970-2007, Changing Roads for Poverty Reduction. PSEKP and UNESCAP-CAPSA, Bogor, 25 Juni 2007. Sudikno Mertokusumo (1985), Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Teguh Samudra (2004), Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung. Wirjono (1975), Hukum Acara Perdata di Indonesia, cetakan keenam, Sumur, Bandung. Kekuatan Hukum Oleh Pengadilan, Tesis, PPS UNSYIAH, Banda Aceh, 2010, hlm. 104. 34