II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

Pengertian Sistem Informasi Geografis

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

JENIS CITRA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

Gambar 1. Satelit Landsat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

TINJAUAN PUSTAKA. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB 2 DASAR TEORI Land Use dan Land Cover

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena

TINJAUAN PUSTAKA. wilayah yang jelas, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisa Pantauan dan Klasifikasi Citra Digital Remote Sensing dengan Data Satelit Landsat TM Melalui Teknik Supervised Classification

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)

PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH (STUDI KASUS KOTA BOGOR) ADITYO HADISUSILO A

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi, tumbuhan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena hampir semua aspek kehidupan pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung, berkaitan dengan permasalahan lahan (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Terdapat perbedaan antara penutup lahan (land cover) dengan penggunaan lahan (land use). Penutup lahan didefinisikan sebagai bahan-bahan seperti vegetasi dan pondasi yang menutup tanah. Sedangkan inti dari penggunaan lahan adalah aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah industri, pertanian, atau pemukiman (Marsh,1991, dalam Saefulhakim, 1994). Penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1997). Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Sepuluh kelas penggunaan lahan menurut Barlowe (1978) adalah sebagai berikut: 1) lahan pemukiman, 2) lahan industri dan perdagangan, 3) lahan bercocok tanam, 4) lahan peternakan dan penggembalaan, 5) lahan hutan, 6) lahan mineral/pertambangan, 7) lahan rekreasi, 8) lahan pelayanan jasa, 9) lahan transportasi dan 10) lahan tempat pembuangan. Perubahan penutupan lahan merupakan bentuk peralihan dari penutupan lahan sebelumnya ke penutupan lahan yang lain, yang berarti berubahnya luas dan lokasi penggunaan lahan tertentu pada suatu kurun waktu. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat 3

berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Secara umum Barlowe (1978) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan adalah faktor fisik dan biologi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia), faktor ekonomi, dan kelembagaan. Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat tidak dapat diubah (irreversible), contohnya adalah lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktivitas urban sangat kecil kemungkinannya untuk kemudian dikembalikan lagi menjadi sawah. Oleh karenanya proses-proses perubahan penggunaan lahan harus selalu ditempatkan dalam perspektif perencanaan jangka panjang (Rustiadi, 2001). Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: 1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, 2) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan parsial, namun memerlukan pendekatan-pendekatan intregatif (Rustiadi et al, 2005). Perkembangan kota dan wilayah yang dicerminkan oleh pembangunan fisik sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijaksanaan ekonomi. Dengan kata lain, perkembangan kota dan wilayah pada dasarnya adalah wujud fisik perkembangan ekonomi. Pembangunan fisik kota dan wilayah yang ditandai oleh perubahan penggunaan lahan sangat dirasakan khususnya pada metropolitan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang dan Bekasi). Sebagai contoh, pada tahun 1990 kawasan Puncak, Kabupaten Bogor didominasi oleh hutan, dengan luas 758,43 Ha, atau sekitar 53,04% dari luas keseluruhan. Penggunaan lahan dominan kedua adalah sawah, yaitu sebesar 254, 79 Ha atau sekitar 17,82 % dari luas kawasan Puncak. Sepuluh tahun berikutnya atau pada tahun 2001 menunjukan suatu perubahan yang sangat drastis dimana hutan berkurang menjadi sekitar 580,99 Ha atau sekitar 40,63% dari seluruh luas penggunaan lahan. Hutan di daerah Puncak dan sekitarnya berkurang sekitar 177,44 Ha atau berkurang sekitar 12,41 % dari luasan awalnya. Permukiman aatau kawasan permukiman 4

menjadi penggunaan lahan terbesar kedua dengan luas 443,73 Ha atau meningkat 14,66 %. (Aditya, D. A, 2007) 2.2. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Pasal 1 butir 1 UU No. 26/2007). Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang ( UU No. 26 Tahun 2007). Berdasarkan UU No.26/2007, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang, baik untuk wilayah administratif (seperti propinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan fungsional (seperti kawasan perkotaan dan perdesaan); pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan 1) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, 2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan 3) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang (UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, Pasal 5) 2.3. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu produk ilmu komputer yang paling mutakhir saat ini. Pengertian tentang SIG sangat beragam. 5

Hal ini sejalan dengan perkembangan SIG itu sendiri sejak pertama kali SIG dikembangkan oleh Tomlinson tahun 1967. Murai (1999) mengartikan SIG sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data berefrensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya. Menurut Aronoff (1993), SIG merupakan sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografi. Sedangkan Bernhardsen (2001) mendefinisikan SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta analisa data. Walaupun SIG tak lepas dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer sera manajemen data dan informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) Sistem Informasi Geografi atau disingkat sebagai SIG, terjemahan dari Geographical Information System (GIS), pada saat ini sudah merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencanaan atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya maupun dalam berbagai bidang lainnya seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. SIG juga unggul dalam mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisis dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. 6

2.4. Penginderaan Jauh, Citra Ikonos dan Quickbird Lillesand dan Kiefer (1994) menyatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Menurut Kennie dan Matthews (1985) secara fisik penginderaan jauh adalah pengukuran dan perekaman variasi-variasi energi elektromagnetik yang terjadi ketika energi itu berinteraksi dengan atmosfer dan permukaan bumi. Data penginderaan jauh dapat berupa (1) data analog, misalnya foto udara cetak atau data video, dan (2) data digital, misalnya matriks/raster nilai kecerahan yang diperoleh menggunakan penyiam, susunan linier (linier array) atau susunan luasan (area array) (Jensen, 1996). Data analog penginderaan jauh dianalisis dengan metode visual, sedangkan data digital dianalisis dengan metode digital. Untuk melengkapi proses penginderaan jauh, data yang dikumpulkan oleh sistem penginderaan jauh harus dianalisis melalui interpretasi dan teknik pengukuran untuk memperoleh informasi yang berguna mengenai obyek-obyek yang diteliti (Avery dan Berlin, 1992). Data penginderaan jauh mempunyai karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah resolusi. Resolusi adalah ukuran kemampuan sistem optik untuk membedakan sinyal-sinyal yang dekat secara spasial atau sama secara spektral (Jensen, 1996). Terdapat tiga resolusi yang umum digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik citra, yaitu resolusi spektral, resolusi spasial, resolusi temporal dan resolusi radiometrik. Resolusi spektral berhubungan dengan nomor dan ukuran interval panjang gelombang spesifik pada spektrum elektromagnetik yang peka diindera (Jensen, 1996). Resolusi spasial adalah ukuran angular terkecil atau pemisahan linier antara dua obyek yang dapat dipisahkan oleh sensor atau dengan kata lain ukuran keruangan yang direkam sensor ke dalam satu piksel (Jensen, 1996). Resolusi temporal menunjukkan frekuensi sensor merekam citra pada daerah tertentu (Jensen, 1996). Resolusi temporal ini sangat berguna untuk mendeteksi perubahan di permukaan bumi. Resolusi radiometrik adalah ukuran sensitivitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radiant flux) yang dipantulkan atau diemisikan dari suatu obyek permukaan bumi. Citra yang mempunyai resolusi radiometrik yang 7

lebih tinggi akan memberikan variasi informasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan citra yang mempunyai resolusi radiometrik yang lebih rendah. (Sidik, A. 2008) Ikonos merupakan satelit observasi komersial bumi yang dapat mendeteksi obyek sampai dengan ketelitian satu meter. Citra Ikonos diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 september 1999 di California. (Wikipedia. 2010) Ikonos menghasilkan dua macam data: multispektral pada empat interval panjang gelombang, yaitu merah (0,45-0,52 µm), biru (0,52-0,60 µm), hijau (0,63-0,69 µm), infra merah dekat (0,76-0,90 µm), serta pankromatik (0,45-0,90 µm). Memiliki resolusi spasial (1x1) m untuk citra pankromatik, dan (4x4) m untuk citra multispektral. Resolusi temporal Ikonos adalah 14 hari, ini berarti sensor merekam daerah yang sama setiap 14 hari. (Sidik, A. 2008) Quickbird merupakan citra satelit dengan resolusi yang tinggi, yang dimiliki perusahaan penyedia citra satelit dari Amerika Serikat yaitu Digital Globe. Satelit-nya sendiri mengumpulkan citra pankromatik (warna hitam putih) dengan resolusi spasial 0,6 meter dan juga mengumpulkan citra satelit multispektral (berwarna) dengan resolusi spasial 2,4 meter. Dengan tingkat resolusi spasial yang tinggi seperti itu, bangunan seperti rumah, gedung-gedung perkantoran, dan banyak bangunan lainnya akan tampak dengan cukup jelas. (Umardani, M. 2010) Citra Quickbird menghasilkan dua macam data: multispektral pada empat interval panjang gelombang, yaitu biru (0,45-0,52 µm), hijau (0,52-0,60 µm), merah (0,63-0,69 µm), infra merah dekat (0,76-0,90 µm), serta pankromatik (0,50-0,90 µm). Resolusi temporal Quickbird adalah 20 hari. (Sidik, A. 2008) 2.5. Analisis Skalogram Analisis skalogram merupakan salah satu alat untukmengidentifikasi pusat pertumbuhanwilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktifitas suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan menjadi daerah belakang (hinterland). 8

Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki sarana pelayanan yang lebih banyak dan lebih beragam. Adanya hirarki secara teoritis mencerminkan adanya perbedaan masa, dimana hirarki yang lebih tinggi mempunyai masa yang lebih besar daripada yang berhirarki lebih rendah. (Rustiadi et al 2005). 9