BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

Adapun poin poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut:

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK

UNOFFICIAL TRANSLATION

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Ringkasan Putusan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP.

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

Kepada Yth: Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI Melalui Ketua Mahkamah Konstitusi RI Di Tempat. Dengan hormat

KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

Masih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat Friday, 21 October :50 - Last Updated Tuesday, 04 September :19

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

Pembatasan HAM. Oleh: Johan Avie, S.H.

PUTUSAN MK DAN PELUANG PENGUJIAN KEMBALI TERHADAP PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK. Oleh: Muchamad Ali Safa at

INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

PENJELASAN ATAS UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 005/PUU-I/2003

PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DPR Rl TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Ringkasan Putusan.

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

II. TINJAUAN PUSTAKA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEAMANAN NASIONAL KEBEBASAN INFORMASI

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

BAB I PENDAHULUAN. media yang didesain secara khusus mampu menyebarkan informasi kepada

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Kuasa Hukum : - Fathul Hadie Utsman, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Oktober 2014;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PERLINDUNGAN HAK PROFESI AKUNTAN PUBLIK Dr. Muchamad Ali Safa at, S.H., M.H.

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prinsip Dasar Peran Pengacara

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

Hak Asasi Manusia. Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015 Kewajiban Pelaku Pembangunan Rumah Susun Dalam Memfasilitasi Terbentuknya PPPSRS

Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

RINGKASAN PUTUSAN.

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

Mengetahui hak manusia yang melekat sejak lahir RINA KURNIAWATI, SHI, MH

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

Transkripsi:

1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Peraturan Menteri Sebagai Peraturan Perundang-Undangan Untuk Pembatasan Hak Asasi Manusia Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 1. Kerangka Hukum dan Ruang Lingkup Pembatasan Hak Asasi Manusia Secara konseptual, HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003: 199). Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara. Berdasarkan hal di atas, pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) atas pemenuhan HAM. Maka dari itu, negara mengemban tiga bentuk tugas. Antara lain negara harus

2 menghormati ( to respect), melindungi ( to protect), dan memenuhi ( to fullfil) hak asasi manusia (Asep Mulyana, 2015 : 2). Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Termasuk kewajiban pemerintah Indonesia untuk membuat laporan mengenai pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang harus disampaikan pada Komite di PBB. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan penghormatan (obligation to respect) merupakan kewajiban negara untuk tidak turut campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hak-haknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi. Misalnya terhadap hak-hak yang merupakan nonderogable rights negara tidak boleh melakukan pembatasan ataupun pengurangan. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk memberikan perlindungan ( obligation to protect) merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mengambil tindakantindakan untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ke tiga. Antara lain adalah kewajiban untuk bertindak ketika satu kelompok tertentu, seperti satu kelompok etnis, menyerang kelompok lain; kewajiban untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang layak dan lainnya. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan pemenuhan hak (obligation to fulfill) merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk bertindak secara aktif agar semua warga negaranya itu bisa terpenuhi hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk bisa ikut

3 mewujudkan penghormatan hak sipil dan politik. Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan pelaksanaan HAM secara penuh. Misalnya kewajiban meng-implementasikan pendidikan gratis pada tingkat dasar atau kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya. Selain tiga bentuk kewajiban utama tersebut, dalam pelaksanaan hak asasi manusia negara pun memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah ( to take steps), untuk menjamin ( to guarantee), untuk meyakini ( to ensure), untuk mengakui ( to recognize), untuk berusaha ( to undertake), dan untuk meningkatkan (to promote). Prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal menjamin adanya pemenuhan hak sipil dan politik warga negara. Pasal 19 DUHAM menyatakan, Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk meliputi kebebasan mempunyai pendapat- pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas. Sedangkan dalam penjelasan umum mengenai Pasal 19 DUHAM dicantumkan bahwa negara dipersyaratkan untuk perlindungan terhadap hak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu. Selaras dengan itu, Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat, Frank La Rue mengatakan, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak individual sekaligus kolektif, yang memungkinkan orang-orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam informasi, yang bisa mengembangkan dan mengekspresikan opini mereka dengan cara yang menurut mereka tepat. Kebebasan berekspresi menurut La Rue bisa dilihat dari dua cara, pertama hak

4 untuk mengakses informasi, dan kedua hak mengekspresikan diri melalui medium apapun. Selain itu, La Rue juga menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dilihat sebagai instrumen kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang lain dan juga penting sebagai alat untuk mendorong pemberantasan impunitas dan korupsi (Frank La Rue, 2010: 6) Berdasarkan hal-hal diatas, maka negara harus menjamin adanya perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, tidak hanya kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tetapi juga kebebasan untuk mencari dan menerima informasi dan ide tersebut tanpa memperhatikan medianya dan dalam bentuk apa pun baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya. Dalam Pasal 28C Ayat (1) UUD NRI 1945 Negara Republik Indonesia dicantumkan, Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Dalam Pasal 28F UUD NRI 1945, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Jaminan atas hak kebebasan berpendapat secara lebih jelas dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), sebagai berikut:

5 Pasal 14 (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya; (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Sedangkan Pasal 23 Ayat (2) UU HAM menyatakan, Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak ataupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara. Indonesia telah meratifikasi KIHSP melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) yang juga menjamin pemenuhan hak untuk berekspresi dan hak atas informasi. Pasal 19 ayat (1) KIHSP menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan. Sedangkan ayat (2) menyatakan, Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat/mengungkapkan diri; dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya sendiri. Negara juga telah mengeluarkan sejumlah peraturan perundangundangan yang di dalamnya memberikan jaminan perlindungan bagi pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi. Perundangan tersebut, antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers); (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU

6 Penyiaran); dan (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU Pers mengatur dan melindungi kegiatan jurnalistik. Pasal 4 UU Pers menyatakan secara tegas bahwa Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. UU Penyiaran menjadi jaminan untuk melindungi pengguna media termasuk kelompok minoritas agar dapat menerima gagasan dan informasi yang ada. Sedangkam UU KIP memuat beberapa aspek penting yaitu soal prinsip dasar bahwa informasi pada dasarnya bersifat terbuka dan pengecualian atasnya bersifat ketat dan terbatas, serta mengenai mekanisme untuk memperoleh informasi. Konstitusi Indonesia menyatakan diperbolehkannya pembatasan terhadap hak-hak yang tercantum dalam Konstitusi. Namun demikian, UUD NRI 1945 juga mengatur ketentuan tentang hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun ( non-derogable rights). Hal ini ditunjukkan dengan mencantumkan kata-kata berikut, Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan Pasal 4 UU HAM mengatur mengenai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun (non-derogable rights) yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Jika dianalisis, maka UU HAM mengatur pembatasan mengenai kebebasan dan HAM. Di dalam Pasal 73 UU HAM disebutkan kebebasan dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-

7 mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Pasal 74 UU HAM kemudian menegaskan tidak satu ketentuan dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan demikian, pembatasan yang dilakukan pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan HAM. Selanjutnya, pembatasan terhadap HAM yang tercantum dalam UU HAM harus dilakukan melalui undang-undang. Ketentuan umum mengenai tidak diperbolehkannya pengurangan hak, kecuali atas kondisi tertentu, tercantum dalam Pasal 5 Bersama Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal tersebut menyatakan: a. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan secara langsung kepada suatu Negara, kelompok atau perseorangan hak untuk melakukan kegiatan atau tindak apa pun yang bertujuan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam Kovenan ini. b. Tidak satupun pembatasan atau pengurangan atas hak-hak asasi manusia yang mendasar yang diakui atau berada di negara manapun berdasarkan kekuatan hukum, kovenan, peraturan atau kebiasaan, akan dapat diterima, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya namun tidak sepenuhnya. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan baik oleh negara atau penduduknya atas hak-hak apa pun yang ada dalam Kovenan. Pasal 5 ini juga untuk menguatkan bahwa

8 Kovenan tersebut haruslah didudukkan pada maksudnya serta untuk melindungi terhadap penafsiran yang salah terhadap ketentuan mana pun dari Kovenan yang digunakan untuk membenarkan adanya pengurangan hak mana pun yang diakui dalam Kovenan atau pembatasan hak mana pun pada tingkat yang lebih jauh dari pada yang ditentukan oleh Kovenan. Pasal 29 DUHAM menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis. Selanjutnya, kedua Kovenan tersebut memuat ketentuan yang mengatur adanya pembatasan terhadap hak-hak tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan dalam kedua kovenan adalah: diatur berdasarkan hukum ( prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis ( in a democratic society), ketertiban umum (public order/ordre public), kesehatan publik (public health), moral publik (public moral), keamanan nasional ( national security) dan keamanan publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and reputations of others), serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties) yang berkaitan dengan pembatasan terhadap pers dan publik pada pengadilan (restrictions on public trial). Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) diterjemahkan secara lebih detail di dalam Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak.

9 Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hakhak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang. (Asep Mulyana, 2015: 3) Pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi berikut: a. Diatur berdasarkan hukum ( prescribed by law/conformity with the law). Tidak ada pembatasan yang bisa diberlakukan kecuali didasarkan oleh hukum nasional. Selain itu, hukum yang membatasi hak tersebut juga tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan bisa diakses siapa pun. Selain itu negara harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan atau pun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut. Hak ini diperkuat dengan Prisip-prinsip Johannesburg ( The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression and Acces to Information) yang menyatakan: hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak. b. Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis ( in a democratic society). Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada pada negara yang menetapkan aturan pembatasan dengan menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat. Adapun model masyarakat yang demokratis dapat mengacu pada masyarakat yang mengakui dan menghormati hak asasi manusia yang tercantum dalam Piagam PBB dan DUHAM.

10 c. Untuk melindungi ketertiban umum ( public order/ordre public). Frasa ketertiban umum di sini diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam penggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan mandiri lain yang kompeten. d. Untuk melindungi kesehatan publik ( public health). Klausul ini digunakan untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat atau pun anggota masyarakat. Namun langkah pembatasan ini harus diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan atau dalam rangka akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial. e. Untuk melindungi keselamatan publik ( public safety). Klausul ini digunakan untuk melindungi orang dari bahaya dan melindungi kehidupan mereka, integritas fisik atau kerusakan serius atas milik mereka. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk pembatasan yang sewenang-wenang dan hanya bisa diterapkan jika ada perlindungan yang cukup dan pemulihan yang efektif terhadap penyalahgunaan pembatasan. f. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan hak dan kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini tidak bisa

11 digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari kritik dan opini publik. g. Untuk melindungi moral publik ( public moral). Negara harus menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi terpeliharanya nilai-nilai mendasar komunitas. Dalam hal ini negara memiliki diskresi untuk menggunakan alasan moral masyarakat. h. Untuk melindungi keamanan nasional ( national security). Klausul ini digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang sewenang-wenang dan tidak jelas. Pembatasan dengan klausul ini juga tidak sah, jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional. Termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) secara lebih rinci mencatat beberapa hak yang pelaksanaannya dapat dibatasi dan dikurangi, yaitu: pertama, hak untuk bebas bergerak. Pembatasan dapat dilakukan jika ditentukan oleh hukum, yang perlu untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan umum, atau moral, atau hak dan kebebasan orang lain, dan konsisten dengan hak lainnya yang diakui dalam Kovenan ini. Dalam Komentar Umum Nomor 27 disebutkan pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh membatalkan dan melemahkan jiwa dari hak untuk bebas bergerak. Selain itu, Langkahlangkah pembatasan harus menjadi instrumen intervensi terakhir dan harus proporsional bagi kepentingan mereka yang ingin dilindungi. Penerapan pembatasan- pembatasan yang diperbolehkan oleh Pasal 12 ayat (3) harus sesuai dengan hak-hak lain yang dijamin oleh Kovenan dan dengan prinsip-prinsip mendasar kesetaraan dan nondiskriminasi.

12 Kedua, hak pers dan masyarakat atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan. Pers dan masyarakat dapat dilarang mengikuti seluruh atau sebagian sidang dengan alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis, atau bilamana perlu, demi kepentingan kehidupan pribadi pihak yang bersangkutan, atau sejauh diperlukan menurut pengadilan dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru dianggap akan merugikan kepentingan keadilan itu sendiri. Namun apa pun yang diputuskan pengadilan, baik perkara pidana atau perdata, harus diumumkan, kecuali kepentingan anakanak di bawah umur menentukan sebaliknya, atau jika persidangan tersebut mengenai perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. Ketiga, hak untuk menjalankan agama atau kepercayaan. Hak ini hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Namun pembatasan yang diterapkan harus dijamin oleh hukum dan tidak boleh diterapkan dengan cara-cara yang dapat melanggar hak-hak itu sendiri. Pembatasan tidak boleh diterapkan untuk tujuan-tujuan yang diskriminatif atau diterapkan dengan cara yang diskriminatif. Kenyataan bahwa suatu agama diakui sebagai agama negara atau bahwa agama tersebut dinyatakan sebagai agama resmi atau tradisi, atau bahwa penganut agama tersebut terdiri dari mayoritas penduduk, tidak boleh menyebabkan tidak dinikmatinya hakhak yang dijamin Kovenan, termasuk oleh Pasal 18 dan pasal 27 KIHSP. Keempat, hak untuk bebas menyatakan pendapat dan memperoleh informasi. Pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. Pasal 19 Ayat (3) KIHSP menentukan kondisi-kondisi tertentu untuk melakukan pembatasan, yaitu: (1) harus dinyatakan oleh hukum ;

13 (2) hanya boleh diterapkan bagi salah satu tujuan yang dinyatakan di sub ayat (a) dan (b) dari ayat 3; (3) pembatasan tersebut harus dijustifikasi sebagai sesuatu yang dibutuhkan negara untuk salah satu dari tujuan-tujuan tersebut. Pembatasan itu tidak boleh membahayakan hak itu sendiri. Tidak seorang pun boleh menjadi subyek pembatasan dan sanksi, serta dirugikan karena pendapat atau kepercayaannya. Ekspresi dapat dihukum sebagai ancaman keamanan nasional jika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi itu ditujukan atau dapat memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau ada hubungan langsung dan dekat antara ekspresi dan kekerasan tersebut. Namun tidak seorang pun boleh dihukum karena ekspresi yang mengandung kritik atau penghinaan terhadap kebijakan pemerintah atau pejabat publik. Pembatasan hak menyatakan pendapat dan kebebasan memperoleh informasi merupakan salah satu hal yang diperkenankan dalam hukum internasional maupun hukum nasional. Mengingat internet merupakan salah satu akses dalam menyatakan pendapat dan kebebasan memperoleh informasi, maka dalam konteks ini Negara dapat melakukan pembatasan dengan mengingat pertimbangan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. 2. Tinjauan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif sebagai Pembatasan Hak Asasi Manusia Dalam konteks pemajuan hak asasi manusia (HAM), besarnya pengguna internet ini tentu melahirkan banyak peluang. Mengutip pernyataan dari Frank La Rue, dalam laporannya ia mengatakan : Given that the Internet has become an indispensable tool for realizing a range of human rights, combating inequality, and accelerating development and human progress, ensuring universal

14 access to the Internet should be a priority for all states. Each State should thus develop a concrete and effective policy, in consultation with individuals from all sections of society, including the private sector and relevant Government ministries, to make the Internet widely available, accessible and affordable to all segments of population (Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberantas ketidakadilan, serta mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia. Oleh karena itu, memastikan akses universal terhadap Internet harus menjadi prioritas bagi semua negara. Masing-masing negara harus mengembangkan kebijakan yang mendasar dan efektif, melibatkan individu-individu dari semua bagian dari masyarakat, baik sektor swasta maupun departemen pemerintah yang relevan, agar Internet tersedia secara luas, dapat diakses dan terjangkau bagi semua segmen dari populasi ) (Frank La Rue, 2011: 22). Guna menjamin pemenuhan HAM diranah media online/internet, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah meng esahkan Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (Permen Kominfo). Peraturan ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum mengenai tata cara pemblokiran konten internet yang dinilai negatif, sebagai turunan dari pengaturan konten yang dilarang sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meskipun demikian, tidak ada penjelasan yang detail dan terstruktuk tentang apa yang dimaksud dengan konten bermuatan negatif. Artinya, Permen ini dapat membatasi konten apapun yang ada di Internet, karena rumusan cakupan pengaturannya menjadi sangat luas dan tidak spesifik. Selama ini praktik pemblokiran terhadap konten internet di Indonesia, telah aktif dilakukan oleh Internet Service Provider (ISP) atas perintah Kominfo, tanpa berdasarkan aturan dan prosedur yang memadai. Keberadaan Trust+Positif, sebagaimana disebut dalam Permen Kominfo tersebut, tidaklah memiliki 3 hal: (i) legitimasi, (ii) prosedur, dan (iii) audit kinerja yang transparan dan akuntabel. Setidaknya, pihak Kominfo sendiri belum dapat menunjukkan ketiga hal tersebut. Padahal Trust+Positif adalah database yang dikeluarkan oleh Kominfo, berisi daftar situs yang

15 wajib diblokir oleh para penyelenggara jasa Internet Indonesia (PJI / ISP) di Indonesia tanpa terkecuali. Selain itu, sebagai produk hukum tentang peraturan teknis, Permen Kominfo ini haruslah mengacu, melaksanakan pendelegasian dari undangundang yang spesifik atau tertentu. Sehingga apabila Permen Kominfo ini merujuk pada UU ITE, maka yang diatur dalam Permen ini adalah pada pasal-pasal larangan dalam UU ITE, dalam hal ini pasal 27 hingga pasal 29. Sementara, jika merujuk pada UU Pornografi, maka Permen ini seharusnya hanya mengatur konten yang bermuatan pornografi. Secara formil, pemberian kewenangan di dalam Permen Kominfo ini telah bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundangundangan ( Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011), dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan undang-undang yang mendasarinya. Selain itu, pelaksana teknis Permen Kominfo ini sebenarnya telah diberikan wewenang yang sangat besar untuk merumuskan dan menentukan konten yang dinilai bermuatan negatif, melebihi dari yang telah dirumuskan oleh undang-undang. Perumusan yang sewenang-wenang juga nampak dengan adanya frasa kegiatan ilegal lainnya di dalam Permen Kominfo tersebut. Rumusan ini semakin mengaburkan batasan pengertian dengan memberikan blanko kosong kepada pemerintah untuk bebas melakukan intepretasi atas konten/kegiatan ilegal yang dapat dan/atau wajib diblokir di Internet. Hal tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan serta mempertinggi tingkat ketidakpastian hukum, yang pada ujungnya merugikan masyarakat Indonesia pada umumnya dan pengguna internet pada khususnya. Ketentuan di dalam UU ITE tidak mengenal kegiatan ilegal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. Dalam penjelasan lebih lanjut (Pasal 4 ayat (2)) kegiatan ilegal adalah kegiatan yang pelaporannya

16 berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. Pasal 4 huruf c Peraturan Menteri dikatakan, kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan dari Peraturan Menteri ini untuk menentukan cakupan dan apa yang dikategorikan sebagai bermuatan negatif dengan rumusan yang sangat luas dan tanpa batasan yang jelas. Rumusan tersebut justru semakin memperlebar batasan pengertian dengan menyerahkan intepretasi kegiatan ilegal berdasarkan kementerian atau lembaga pemerintah. Perumusan yang sedemikian fleksibel dapat meningkatkan potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang secara lentur melakukan intepretasi atas perbuatan ilegal rumusan ini jelas mempertinggi tingkat ketidakpastian hukum khususnya bagi warga negara/entitas pengguna internet yang menjadi subyek dari peraturan ini Kejanggalan lain dari peraturan ini ialah pemberian kewenangan kepada masyarakat (individu, kelompok masyarakat, sektor bisnis) untuk turut serta melakukan pemblokiran terhadap konten internet yang dinilai bermuatan negatif. Meski terlihat demokratis dengan memberikan ruang partisipasi pada masyarakat, pengaturan ini secara prinsip bertentangan dengan pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945, yang secara jelas merujuk pada kewenangan dan otoritas negara, bukan entitas privat, yang dapat melakukan tindakan pembatasan hak asasi. Bagi sektor bisnis, dalam hal ini para ISP, pemberian kewenangan ini merugikan mereka. Karena jika Permen Kominfo ini dijalankan, maka selain dapat berdampak pada kenetralitasan jaringan (net neutrality), juga justru membuka banyak celah gugatan hukum kepada para ISP dari konsumen yang merasa haknya dirugikan. Sebab walaupun database blokir memang disediakan dan diwajibkan oleh Kominfo, secara teknis tindakan pemblokiran memang dilakukan oleh ISP. Kendati bermaksud mengisi kekosongan hukum, kehadiran Permen Kominfo ini mengandung sejumlah kelemahan mendasar, baik secara

17 formil maupun materiil. Pemblokiran terhadap konten internet memang dapat dilakukan oleh negara, sebagai bentuk pembatasan terhadap hak asasi yang memang boleh dibatasi. Akan tetapi dalam pembatasannya haruslah memenuhi kaidah-kaidah pembatasan, salah satunya adalah keharusan prescribe by law atau diatur dalam undang-undang. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, yang diwakili oleh DPR, serta memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya. Kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, yang mengharuskan perumusan cakupan pengurangan hak, hanya mungkin dilakukan melalui pengaturan dalam Undang-undang dan bukan peraturan teknis setingkat Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan Menteri. Selain itu, pengaturan tersebut haruslah tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan. Di dalamnya termasuk perumusan daftar yang bersifat tertutup ( exhausted list), serta bukan daftar dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di reintepretasikan oleh pembuat kebijakan (dalam hal ini pemerintah). Ini dim aksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan. Dalam banyak kasus, pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor konten internet telah dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau meski berdasarkan hukum, namun aturannya terlalu luas dan ambigu. Selain itu tindakan tersebut juga seringkali dilakukan tanpa adanya pembenaran tujuan atau dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan/atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan. Tindakan sensor terhadap konten internet, dalam bentuk penapisan dan pemblokiran dengan menggunakan teknologi tertentu adalah suatu tindakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Tindakan-ttindakan tersebut benar-benar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi manusia, dan

18 sering menciptakan chilling effect (efek ketakutan) yang besar terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Merujuk pada batasan-batasan tersebut, jika suatu tindakan penapisan dan pemblokiran konten diatur dalam wadah pengaturan yang tidak tepat, maka tindakan tersebut justru masuk dalam kategori pelanggaran. Secara detail tindakan penapisan dan pemblokiran yang dianggap sewenang-wenang dan termasuk pelanggaran hak asasi jika dikategorikan adalah berikut ini: Pertama, kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum, atau diatur oleh hukum namun pengaturannya sangat luas dan tidak langsung, sehingga menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan seme-mena; Kedua, pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan yang dijelaskan Pasal 19 ayat (3) KIHSP, dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar; Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat-alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan, karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa diakses karena dianggap ilegal; dan Keempat, pemblokiran dilakukan tanpa adanya intervensi atau kemungkian pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan independen. Peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pemblokiran konten internet, adalah ketentuan Pasal 18 UU Pornografi, yang menyebutkan: Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet.. Sementara ketentuan perundang-undangan yang lain, termasuk Undang-Undang Nomor 11

19 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak secara eksplisit memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan penapisan dam pemblokiran konten internet, termasuk terhadap kontenkonten yang dilarang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 hingga Pasal 29 UU ITE. Apabila dasar yang digunakan oleh pemerintah untuk merumuskan RPM ini adalah ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan: Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, maka tidak tepat pula jika kewenangan pemblokiran konten internet diperluas tidak hanya terhadap konten pornografi. Hal ini karena peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pemblokiran konten bagi pemerintah hanyalah ketentuan UU Pornografi, sementara yang lain tidak ada. Dalam perkembangan selanjutnya, terhadap Permen Kominfo ini, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana atau Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ELSAM, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Perkumpulan Mitra TIK Indonesia, dll mengajukan permohonan pengujian ke Mahkamah Agung untuk menguji legalitas peraturan menteri tersebut karena dianggap bertentangan Peraturan yang lebih tinggi. Menurut para pemohon, Peraturan Kominfo tersebut haruslah mengacu, melaksanakan pendelegasian dari undang-undang yang spesifik atau tertentu. Secara formil, pemberian kewenangan di dalam Permen Kominfo ini telah bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundangundangan ( Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011), dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan undang-undang yang mendasarinya. Sementara Kementerian Kominfo menganggap bahwa meskipun dalam dasar hukum mengingatnya memasukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan

20 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, peraturan menteri tersebut memang bukan delegasi yang tegas dari peraturan yang lebih tinggi, tetapi didasarkan pada kewenangan atau freis ermessen yang dimiliki oleh pemerintah yang karena meskipun Undang-Undang Pornografi sudah mengatur pemblokiran konten pornografi, tetapi masih ada kekosongan peraturan perundang-undangan dalam tata cara pemblokiran tersebut, sementara permintaan pemblokiran kepada Kominfo sudah sangat banyak, sehingga peraturan menteri tersebut dianggap sebagai peraturan kebijaksanaan. Hingga kini putusan pengujian tersebut belum dipublikasikan sehingga tidak akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan hukum ini. Berdasarkan hal-hal di atas, dapat diuraikan 5 hal sebagai berikut: a. Praktik penapisan dan pemblokiran ( filtering and blocking) yang diatur di dalam Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 merupakan bentuk pengurangan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi yang dijamin UUD NRI 1945; b. Penerbitan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) sehingga pemuatan materi larangan-larangan dalam Permen seharusnya tidak melebihi tindakantindakan yang diatur UU ITE dan UU Pornografi; c. Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tidak memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas dalam pemberian kewenangan pada Kementerian Kominfo untuk menilai apakah suatu situs bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi untuk menutup situs tersebut. Maka, legitimasi kewenangan Kominfo lewat di peraturan itu tidak sah karena tidak berdasar;

21 d. Pemblokiran "konten yang dilarang" sudah aktif dilakukan Internet Service Provider (ISP) atas perintah Kominfo merujuk pada daftar "TRUST+Positive" yang dibentuk berdasarkan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014. Pada implementasinya, materi pengaturan pemblokiran ini membatasi hak dan kebebasan yang dijamin UUD NRI 1945. Seharusnya materi peraturan tersebut diatur oleh undangundang untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya; dan e. Pembatasan hak asasi manusia dengan mendasarkan pada ketertiban umum, moral publik, dan keamanan negara tidak lagi dapat dipergunakan secara fleksibel, dalam standar tersebut juga harus dirumuskan secara rigid, batasan dan cakupannya, yang secara limitatif harus dirumuskan dalam Undang-Undang. B. Rekonstruksi Hukum Untuk Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif Dalam Kerangka Pembatasan Hak Asasi Manusia Pembatasan HAM khususnya tentang kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi telah diatur dalam KIHSP yang mana pada hukum Internasional pelaksanaan atas Kovenan semacam ini selalu disertai dengan Komentar Umum ( General Comment). Komentar Umum merupakan interpretasi otoritatif yang berlaku seperti panduan, berisi cakupan, karakteristik dan cara membaca isi kovenan. Dikeluarkan oleh badan atau komite PBB yang membidangi hak-hak terkait dan merupakan soft law bagi negara pihak yang ikut meratifikasi. Rekonstruksi hukum dalam penanganan situs internet bermuatan negatif dalam kerangka pembatasan hak asasi manusia harus sesuai dengan pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, juga harus sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di Indonesia terkait dengan masalah pembatasan HAM dan bidang teknologi informasi Internet. Selanjutnya,

22 karena Indonesia telah meratifikasi KIHSP melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), maka Indonesia juga tunduk terhadap Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 KIHSP. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional memahami hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan martabat manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di samping diatur mengenai hak asasi manusia juga diatur mengenai kewajiban dasar manusia, yang dimaknai sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Dalam undang-undang a quo diatur mengenai hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia (Pa sal 14 ayat (1) dan ay at (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999). Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 KIHSP pada pasal 7 menyebutkan: Kewajiban untuk menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah mengikat setiap negara pihak secara keseluruhan. Semua cabang negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan otoritas publik atau swasta lainnya, pada tingkat apapun -nasional, regional maupun lokal- berada dalam posisi ikut serta bertanggung jawab dengan negara pihak. Tanggung jawab tersebut dapat juga dikenakan oleh suatu negara Pihak di bawah beberapa keadaan sehubungan untuk menghormati tindakan oleh entitas (badan) semi negara. Kewajiban ini juga memerlukan negara-negara pihak

23 untuk memastikan bahwa orang yang dilindungi dari tindakan oleh orang pribadi atau badan yang akan mengganggu kenikmatan kebebasan berpendapat dan berekspresi sejauh bahwa hak-hak Perjanjian ini disetujui untuk di aplikasi antara orang pribadi atau badan. Maka dari itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi Kovenan ini dianggap sebagai Negara Pihak yang harus turut tunduk pada ketentuan tersebut, artinya Indonesia wajib menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kewajiban ini diikuti tanggung jawab yang dibebankan kepada semua bagian pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pembatasan terhadap hak ini pun menjadi tanggung jawab 3 bagian pemerintah tersebut. Negara-negara pihak diwajibkan untuk memastikan bahwa hak-hak yang terkandung dalam Pasal 19 perjanjian memberikan efek dalam hukum domestik negara, secara konsisten dengan panduan yang disediakan Komite sesuai dalam Komentar Umum Nomor 31 bahwa sudah sifat kewajiban hukum umum untuk dikenakan pada negara-negara pihak Perjanjian. Perlu diingat bahwa negara-negara Pihak harus memberikan kepada Komite, sesuai dengan laporan yang disampaikan sesuai dengan Pasal 40, dengan aturan-aturan hukum domestik yang relevan, praktek-praktek administratif dan peradilan, serta tingkat kebijakan yang relevan dan praktek-praktek sektoral lain yang berkaitan dengan hak-hak yang dilindungi oleh Pasal 19, mempertimbangkan isu-isu yang dibahas dalam Komentar Umum yang sekarang. Negara-negara pihak juga harus memasukkan informasi tentang perbaikan yang tersedia jika hak-hak tersebut dilanggar.(pasal 8 Komentar Umum Nomor 34) Indonesia sebagai negara Pihak harus mampu memenuhi hak-hak yang dilindungi oleh Pasal 19 dengan menyelaraskan hal-hal berikut: (1) peraturan domestik yang relevan,

24 (2) praktek-praktek administratif dan peradilan, serta tingkat kebijakan dan praktek-praktek sektoral lain yang relevan; dan (3) perbaikan apabila hak-hak tersebut dilanggar. Artinya mengenai pembatasan atas hak-hak yang disebutkan pada Pasal 19 pun harus selaras dengan 3 poin diatas. Salah satu yang termasuk pembatasan hak yang dimaksud adalah mengenai penanganan situs internet bermuatan negatif. Penanganan yang dilakukan yang berupa filtering bahkan blocking terhadap situs-situs yang dianggap mengandung muatan negatif merupakan bentuk dari pembatasan hak berekspresi dan menerima informasi. Sebagaimana telah diatur dalam pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi : (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokaratis. Indonesia telah memiliki peraturan domestik yang relevan namun mengenai tingkat kebijakan yang relevan perlu ada rekonstruksi dalam pengaturannya, begitupula mengenai perbaikan yang layak bagi korban yang dilanggar haknya. Rekonstruksi tersebut dapat dilakukan dengan membuat undangundang yang dikhususkan mengatur mengenai pembatasan hak-hak berekspresi dan menerima informasi sebagaimana yang dimaksud pasal 19 KIHSP. Penanganan situs internet bermuatan negatif, sebagaimana telah dibahas pada sub-bab bagian pertama, hanya diatur oleh peraturan yang berupa Peraturan Menteri yang acuan undang-undang dalam pemberian kewenangannya tidak jelas. Terlebih lagi dalam menutup suatu situs internet legitimasi kewenangan Kominfo melalui peraturan itu tidaklah sah karena tidak berdasar.

25 Salah satu kaidah dari pembatasan HAM adalah keharusan prescribe by law atau diatur dalam undang-undang. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan rakyat), serta memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya. Indonesia merupakan negara demokrasi, salah satu esensi demokrasi adalah kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui segala jenis saluran yang tersedia. Kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi adalah darah hidup demokrasi. Warga demokratis hidup dengan suatu keyakinan bahwa melalui pertukaran informasi, pendapat, dan gagasan yang terbuka, kebenaran akhirnya akan terbukti dan kepalsuan akhirnya akan terkalahkan. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi, berpendapat, mengeluarkan ide dan gagasan, berkorespondensi dengan pers adalah suatu media komunikasi massa. Perbincangan mengenai pers dalam sistem politik demokrasi menempati posisi sentral, mengingat kebebasan pers menjadi salah satu ukuran demokratis tidaknya suatu sistem politik. Kebebasan pers dalam sistem demokrasi politik dihubungkan dengan kebebasan penting lainnya, seperti kebebasan untuk berekspresi dan bertukar informasi. Dalam sistem politik demokrasi, kebebasan pers diperlukan sebagai sarana informasi bagi masyarakat, dan demokrasi hanya akan berjalan efektif jika warga negaranya memperoleh akses informasi dengan baik. Kebebasan pers yang meliputi media cetak, media elektronik, dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh karena itu kebebasan pers harus diorientasikan untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, harkat dan martabat setiap orang adalah tak ternilai harganya ( immateriil). Pelanggaran terhadap hal tersebut dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kepercayaan dari publik sepanjang hidupnya, tidak hanya

26 terhadap dirinya sendiri melainkan juga terhadap nama baik keluarganya. Demikian pula halnya dalam lingkup kehidupan keperdataannya, banyak relasi, mitra yang akan berpikir kembali untuk menjalin kerjasama atau membuat perikatan dengan orang tersebut. Mekanisme pemulihan kembali atas hak tersebut seringkali teramat sulit dilakukan bahkan cenderung tidak proporsional karena tidak ada jaminan pemulihan hak yang sepadan baik dari aspek (i) ruang, (ii) waktu, maupun (iii) dampak/akibatnya. Akibat suatu pemberitaan pada suatu ruang dan waktu tertentu telah secara nyata langsung menimbulkan multiplier effect (chilling effects) yang bergulir terus tanpa kendali sebagaimana layaknya snow ball. Ironisnya, pemulihan hak tersebut sering tidak mendapat ruang dan waktu yang sama, demikian pula dengan dampak seketika yang langsung dirasakan oleh si korban. Oleh karena itu, kepentingan hukum adanya rumusan tindak pidana pencemaran nama baik adalah guna keseimbangan antara hak kebebasan berpendapat dengan hak perlindungan harkat dan martabat setiap orang. Meskipun pada satu sisi setiap orang dijamin kebebasan berbicaranya, namun hak tersebut jangan sampai disalahgunakan sehingga setiap orang dengan mudahnya dapat memfitnah, menghina, atau mencemarkan nama baik orang lain tanpa ancaman pidana yang cukup berat, hal tersebut tentunya akan mengakibatkan ketidakadilan. Mengenai berat atau ringannya ancaman pidana terkait dengan politik hukum pidana nasional dan politik pemidanaan nasional yang diikuti inilah yang menjadi kompetensi legislatif atau pembentuk hukum. Jika ada pihak keberatan terhadap ancaman pidana, keberatan tersebut ditujukan kepada legislatif/pembentuk agar melakukan legislative review atau apabila terkait dengan praktek penegakan hukum, maka keberatan ditujukan kepada hakim (pengadilan) yang memiliki wewenang kehakiman yakni mengadili perkara pidana dan menjatuhkan ancaman sanksi pidana dalam undang-undang.

27 Notabene, tujuan undang-undang yaitu sebagai barometer atau ukuran pengaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang bersumber dari konstitusi itu sendiri (hak -hak konstitusional), dan dilain pihak undangundang juga berperan untuk melindungi hak-hak konstitusional dari pihakpihak yang wajib mendapat perlindungan hukum. Maka memang sudah seharusnya pengaturan mengenai pembatasan semacam ini diwujudkan dalam bentuk undang-undang yang garis kewenangannya jelas serta revelan baik dari segi peraturan domestik, kebijakan, praktek-praktek administratif, peradilan dan sektoral, serta mampu memberikan perbaikan yang layak atas pelanggaran hak yang terjadi. Dengan demikian harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat tercipta. Kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, yang mengharuskan perumusan cakupan pengurangan hak, hanya mungkin dilakukan melalui pengaturan dalam Undang-undang dan bukan peraturan teknis setingkat Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan Menteri. Selain itu, pengaturan tersebut haruslah tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan. Di dalamnya termasuk perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), serta bukan daftar dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di re-intepretasikan oleh pembuat kebijakan. Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan. Pada pasal 24 Komentar Umum yang membahas tentang pasal 19 ayat (3) KIHSP disebutkan: P embatasan harus dilakukan oleh hukum. Hukum yang dimaksud dapat berupa undang-undang dari Parlemen yang memiliki hak khusus dan undang-undang terendah pengadilan. Dikarenakan pembatasan-pembatasan pada kebebasan berekspresi merupakan pengurangan serius hak asasi manusia, maka tidak dibenarkan berdasarkan Perjanjian ini atas pembatasan yang diatur dalam hukum tradisional, agama atau hukum kebiasaan lainnya. Pasal ini mempertegas kebijakan dan