Adapun poin poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut:
|
|
- Glenna Kusnadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (KOMINFO) TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF Diajukan kepada: Direktorat e Business, Direktorat Jendral Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Menindaklanjuti hasil kelompok diskusi terfokus (FGD) mengenai penanganan situs internet bermuatan negatif yang diselenggarakan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), pada tanggal 3 April 2014, yang membuka kesempatan bagi institusi yang hadir untuk memberikan masukan tertulis, bersama ini, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyampaikan beberapa poin masukan dan tanggapan terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (draft per 3 April 2014). Adapun poin poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut: I. Penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) konten internet sebagai bentuk pengurangan hak atas kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi warga negara: a. Praktik penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) yang diatur di dalam RPM ini merupakan bentuk pengurangan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi yang dijamin UUD Berdasarkan standar hukum hak asasi manusia internasional, 1 maupun ketentuan hukum nasional, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, perumusan cakupan pengurangan hak, hanya dimungkinkan dilakukan melalui pengaturan dalam Undang undang dan bukan peraturan teknis setingkat peraturan pemerintah, apalagi peraturan Menteri. 2 Lebih lanjut pengaturan tersebut juga tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan, termasuk di dalamnya perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), dan bukan list dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di re intepretasikan oleh pembuat kebijakan (dalam hal ini pemerintah). Hal ini dimaksudkan untuk 1 Lihat Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya ketentuan Pasal 19, yang telah disahkan Indonesia melalui UU No. 12 Tahun Secara detail prinsip-prinsip mengenai pembatasan tersebut kemudiaan diatur di dalam Prinsip Siracusa mengenai Pembatasan Hak-hak dalam ICCPR. 2 Lebih lanjut, diuraikan dalam ELSAM, Tata Kelola Internet yang berbasis Hak, Studi tentang permasalahan umum Tata Kelola Internet dan dampaknya terhadap Perlindungan HAM dapat diakses pada 1
2 mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan. 3 Lebih jauh, dalam konteks hukum hak asasi manusia internasional, yang dimaksud dengan penapisan/pemblokiran konten interney adalah tindakantindakan yang dilakukan untuk mencegah konten tertentu mencapai pengguna akhir. Hal tersebut meliputi pencegahan pengguna dalam mengakses laman khusus, Internet Protocol (IP), alamat, ekstensi nama domain, penutupan laman dari laman server di mana mereka menempatinya, atau menggunakan teknologi filter untuk membuang halaman halaman yang mengandung kata kunci tertentu atau memblok konten tertentu agar tidak bisa muncul. 4 Dalam banyak kasus, pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor konten internet telah dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau meski berdasarkan hukum, namun aturannya terlalu luas dan ambigu. Selain itu tindakan tersebut juga seringkali dilakukan tanpa adanya pembenaran tujuan atau dengan cara yang jelas jelas tidak perlu dan/atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan. Tindakan sensor terhadap konten internet, dalam bentuk penapisan dan pemblokiran dengan menggunakan teknologi tertentu adalah suatu tindakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Tindakan tindakan tersebut benarbenar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi manusia, dan sering menciptakan chilling effect atau efek ketakutan yang besar terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Merujuk pada batasan batasan tersebut, jika suatu tindakan penapisan dan pemblokiran konten diatur dalam wadah pengaturan yang tidak tepat, maka tindakan tersebut justru masuk dalam kategori pelanggaran. Secara detail tindakan penapisan dan pemblokiran yang dianggap sewenang wenang dan termasuk pelanggaran hak asasi adalah jika kategorinya berikut ini: Pertama, kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum, atau diatur oleh hukum namun pengaturannya sangat luas dan tidak langsung, sehingga menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan semena mena; Kedua, pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan yang dijelaskan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar; Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan, karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa diakses karena dianggap ilegal; dan Keempat, pemblokiran dilakukan tanpa adanya intervensi atau kemungkian pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan independen. 5 Oleh karena itu, apabila pemerintah hendak mengeluarkan peraturan yang sifatnya teknis, setingkat peraturan menteri, semestinya hanya mengatur materi yang sifatnya teknis dan bukan menentukan cakupan apa yang dilarang/dibatasi (dimaksud dengan konten negatif dalam istilah RPM ini). Lebih lanjut, 3 Untuk kajian mengenai praktek-praktek pembatasan dan kontrol yang tidak sesuai dengan standar ini dan dampak kerugian bagi warga negara, lebih jauh diuraikan dalam, ELSAM, Membelenggu Ekspresi: Studi kasus mengenai praktik pemblokiran/penyaringan konten internet dan kriminalisasi pengguna internet di Indonesia, 2014, dapat diakes pada laman 4 Lihat A/HRC/17/27, paragraf 29, dapat diakses di A.HRC.17.27_en.pdf. 5 Lihat Ibid., paragraf 31. 2
3 pembatasan dengan mendasarkan pada ketertiban umum, moral publik dan keamanan negara tidak lagi dapat dipergunakan secara fleksibel, dalam standar tersebut juga harus dirumuskan secara rigid, batasan dan cakupannya, yang secara limitatif harus dirumuskan dalam Undang undang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya kesewenangan dari pemerintah atau badan badan negara dalam mengurangi hak asasi warga negara. Secara khusus Indonesia terikat dalam kewajiban ini dengan diratifikasinya Kovenan Internasional Hakhak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun (1) Menghapus Pasal 3: Ruang lingkup Peraturan Menteri ini, poin a penentuan situs internet bermuatan yang perlu ditangani, karena rumusan ini melampau kewenangan aturan pelaksanaan teknis setingkat peraturan Menteri. (2) Menyesuaikan rumusan cakupan peraturan Menteri dengan batasan standar pembatasan Hak sebagaimana berlaku terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. b. Pemerintah hanya berwenang melakukan pemblokiran konten internet yang mengandung muatan pornografi. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam peraturan perundang undangan terkait berikut ini: Peraturan perundang undangan yang secara tegas memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pemblokiran konten internet, adalah ketentuan Pasal 18 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menyebutkan: Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet. Sementara ketentuan perundang undangan yang lain, termasuk UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak secara eksplisit memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan penapisan dam pemblokiran konten internet, termasuk terhadap konten konten yang dilarang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 Pasal 29 UU ITE. Apabila dasar yang digunakan oleh pemerintah untuk merumuskan RPM ini adalah ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan: Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan, maka tidak tepat pula jika kewenangan pemblokiran konten internet diperluas tidak hanya terhadap konten pornografi. Mengapa demikian? Oleh karena peraturan perundang undangan yang memberikan kewenangan pemblokiran konten bagi pemerintah hanyalah ketentuan UU Pornografi, sementara yang lain tidak ada. Lalu apakah terhadap konten konten yang dilarang lainnya, yang masuk kategori kejahatan menurut Pasal 27 Pasal 29 UU ITE tidak dapat dilakukan pemblokiran? Dapat, sepanjang memenuhi kaidah prosedur pidana yang diatur UU ITE. Terhadap konten konten yang dilarang sebagaimana diatur ketentuan UU ITE, kategorinya adalah tindak pidana, yang penanganannya juga secara pidana, bukan lagi penanganan administratif. Oleh sebab itu, jika diperlukan pemblokiran terhadap konten konten dimaksud maka harus merujuk pada ketentuan Pasal 43 3
4 UU ITE. Dalam ketentuan tersebut Penyidik PNS yang dibentuk Kemenkominfo, salah satunya diberikan wewenang untuk melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang undangan. 6 Artinya, jika PPNS tidak memerlukan adanya pemblokiran terhadap konten yang menjadi sarana kejahatan, maka pemblokiran oleh pemerintah Kemenkominfo pun tidak bisa dilakukan. Penyegelan/penyitaan/pemblokiran tersebut sifatnya sementara, pemblokiran tetap hanya bisa dilakukan atas perintah dari pengadilan, ketika pengadilan memutus bersalah subjek hukum yang melakukan pelanggaran berdasar ketentuan UU ITE. Apabila pengadilan memutus sebaliknya, atau PPNS melakukan penghentian penyidikan sebagaimana diatur ketentuan Pasal 43 huruf i, maka konten yang diblokir harus segera dipulihkan atau dalam istilah RPM dilakukan normalisasi. (1) Apabila RPM akan dilanjutkan proses pembahasannya untuk disahkan menjadi Peraturan Menteri Kominfo, maka ruang lingkup kewenangan untuk melakukan pemblokiran konten internet harus dipersempit hanya pada konten pornografi. (2) Apabila konten konten lain yang dilarang sebagaimana dimaksud UU ITE, akan diatur, maka pengaturannya haruslah merupakan pengaturan yang sifatnya sangat teknis, yang prosesnya merupakan turunan dari yang diatur oleh ketentuan Pasal 43 UU ITE (permintaan dari PPNS atau perintah pengadilan). Mekanismenya harus dibedakan dengan penanganan terhadap konten pornografi, yang kewenangan pemblokirannya memang ada pada pemerintah. II. Penapisan dan pemblokiran sebagai bentuk pembatasan terhadap hak asasi manusia semestinya menjadi wewenang negara atau perangkat negara. RPM memberikan hak tersebut kepada masyarakat melalui beberapa pasal yakni: a. Pemberian wewenang pada masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 RPM, yang menyebutkan: Masyarakat dapat ikut serta menyelenggarakan layanan pemblokiran dengan memuat. Perumusan masyarakat sangat luas dan tidak ada penjelasan definitif lebih lanjut siapa yang disebut sebagai masyarakat, apakah individu perorangan, kelompok, badan usaha atau bentuk lain. Selain itu, bila masyarakat diijinkan melalukan praktik pemblokiran mandiri, bagaimana mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya, khususnya bila terjadi penyalahgunaan? Bagaimana menjamin perlindungan korban, khususnya kelompok kelompok rentan dari praktik pemblokiran sepihak ini? Sebagai contoh, kelompok kelompok minoritas keagamaan yang selama ini menjadi target aksi sepihak dari kelompok intoleran, kelompok transgender, dan LBGT yang secara hukum hak asasinya diakui, tapi dalam beberapa kasus menjadi subjek salah blokir. Ruang ini tentu akan menjadi alat legitimasi dan legalisasi bagi tindakan kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat yang lain untuk melakukan tindakan pemblokiran konten, dengan mengatasnamakan penanganan konten negatif. 6 Lihat Pasal 43 huruf g UU Informasi dan Transaksi Elektronik. 4
5 Meski terlihat demokratis dengan memberikan ruang partisipasi pada warga negara/kelompok masyarakat, pengaturan ini secara prinsip bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang secara jelas merujuk pada kewenangan dan otoritas negara dan bukan entitas privat (anggota masyarakat). Disebutkan, Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pasal 7 yang memberikan kewenangan kepada masyarakat secara mandiri untuk menyelenggarakan layanan pemblokiran dihapuskan. b. Pemberian wewenang pemblokiran bagi Penyelenggara Jasa Akses Internet, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 8 ayat (2) RPM, yang menyebutkan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan sebagai berikut: (a) pemblokiran mandiri; (b) pemblokiran oleh pihak lain yang menyediakan layanan pemblokiran. Pemberian kewenangan pemblokiran kepada penyedia jasa akses internet secara mandiri berpotensi membenarkan terjadinya pemutusan akses informasi di luar kontrol negara. Perumusan pasal ini memberikan pembenaran hukum pada praktik pemblokiran sepihak oleh penyedia akses tanpa proses yang akuntabel dan transparan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia yang berlaku dan dijamin dalam UU No. 39 Tahun Selain itu praktik ini berpotensi merugikan pengguna/konsumen yang secara sepihak mengalami pemutusan akses informasi. Bagi penyelenggara jasa akses internet sendiri, pemberian wewenangan ini sesungguhnya juga merugikan, terutama bila dilihat dari pertimbangan bisnis. Tindakan pemblokiran yang dilakukan secara mandiri oleh penyelenggara jasa akses internet akan membuka banyak celah gugatan hukum dari konsumen, yang tentu akan memberikan banyak kerugian bagi penyelenggara jasa akses intenter itu sendiri. (1) Pembatasan cakupan pemblokiran yang limitatif sesuai dengan rumusan yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang undangan. (2) Pengaturan yang lebih rinci mengenai detail prosedur penapisan/pemblokiran yang dilakukan ISP untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi sebagai bagian dari perlindungan hak konsumen/pengguna, yang merupakan turunan dari ketentuan perundangundangan, baik UU Pornografi (tanpa proses pidana), maupun UU ITE (proses pidana). III. Sejumlah kelemahan yang terkait dengan rumusan rumusan ketentuan di dalam RPM, sebagai berikut: a. Rumusan konten negatif RPM merumuskan cakupan pengaturan dengan sangat luas dan kurang spesifik. Sebagai peraturan teknis, sebenarnya RPM ini merupakan aturan pelaksanaan/delegasi dari UU yang mana? Bila yang dirujuk adalah UU ITE 5
6 (sebagaimana diutarakan pihak KOMINFO dalam FGD tgl 3/4/201), tidak terdapat rujukan konten negatif dalam UU tersebut. Apabila merujuk pada UU ITE maka sebagai peraturan pelaksanaan semestinya Rancangan Permen ini merujuk pada pasal pasal larangan dalam UU ITE, yang secara limitatif membatasi rumusan larangan terkait (Pasal 27 Pasal 29 UU ITE), atau jika merujuk pada perintah UU Pornografi, sebagaimana telah disinggung di atas, maka RPM ini hanya mengatur konten pornografi. Pemberian kewenangan di dalam RPM ini, bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundangundangan (UU No. 12 Tahun 2011) dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan UU yang mendasarinya. Dengan rumusan tersebut, pelaksana memiliki kekuatan yang jauh lebih besar untuk merumuskan dan menentukan kegiatan ilegal yang kemudian disebut sebagai muatan negatif. Menyesuaikan/mengganti rumusan muatan negatif dengan rumusan yang ada dan dikenal dalam ketentuan peraturan perundang undangan (UU Pornografi atau UU ITE). Sehingga RPM ini merupakan turunan prosedur dari dari prosedur yang diatur dalam kedua undang undang tersebut. b. Rumusan kegiatan ilegal Terkait dengan pengaturan kegiatan ilegal yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1) huruf c RPM, yang menyebutkan, mengenai kegiatan ilegal lainnya, dan Pasal 4 ayat (2) RPM, rumusan tentang kegiatan ilegal mengandung dua kelemahan: 1. UU ITE tidak mengenal kegiatan ilegal sebagaimana diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri ini. Dalam penjelasan lebih lanjut (Pasal 4 ayat (2)) kegiatan ilegal adalah kegiatan yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. Pasal 4 huruf c RPM kegiatan illegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan memberikan kewenangan dari RPM untuk menentukan cakupan dan apa yang dikategorikan sebagai bermuatan negatif dengan rumusan yang sangat luas dan tanpa batasan yang jelas. Rumusan ini justru semakin memperlebar batasan pengertian dengan menyerahkan intepretasi kegiatan ilegal berdasarkan kementerian atau lembaga pemerintah. Perumusan yang sedemikian fleksible dapat meningkatkan potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan dengan secara lentur melakukan intepretasi atas perbuatan ilegal rumusan ini jelas mempertinggi tingkat ketidakpastian hukum khususnya bagi warga negara/ entitas pengguna internet yang menjadi subyek dari peraturan ini. Merujuk pada FGD tgl 3/4/2014 diuraikan mengenai kebutuhan perumusan ayat ini untuk mewadahi permintaan permintaan pemblokiran yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tapi dipersepsikan meresahkan masyarakat (seperti dicontohkan dengan permintaan FPI melalui telepon kepada pejabat yang bersangkutan untuk melakukan pemblokiran konten, yang segera dilakukan pihak kementerian dengan alasan kemendesakan karena bila tidak dilakukan pemblokiran, FPI akan segera mengerahkan massa untuk melakukan tindakan sepihak). Dengan rujukan ini, ketentuan ayat ini berpotensi untuk menjadi ayat karet sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan menjadi ancaman bagi warga negara karena dapat menjadi 6
7 alas hukum pembenar untuk melakukan pengurangan hak akibat tekanan dari pihak ketiga (alasannya menjadi suka dan tidak suka). 2. Secara teknis, rumusan kegiatan ilegal bukanlah merupakan diksi yang tepat dipergunakan dalam drafting ketentuan perundang undangan, apabila ingin merujuk pada tindakan yang dilarang sebaiknya merujuk langsung pada ketentuan hukum yang dipergunakan sebagai acuan, atau apabila merujuk pada tindak kejahatan atau perbuatan melawan hukum juga harus mempergunakan cakupan dan rumusan dari ketentuan UU yang dijadikan acuan. Oleh karena itu, ELSAM merekomendasikan menghilangkan Pasal 4 ayat (1) huruf c kegiatan illegal dst, dan menghapus Pasal 4 ayat (2) kegiatan ilegal lainnya. IV. Pengaturan mengenai pelaporan mendesak RPM ini merumuskan pelaporan mendesak dengan rumusan yang sangat terbuka dan lentur sebagai diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e. mengenai muatan lainnya yang berdampak negatif yang menjadi keresahan masyarakat secara luas. Perumusan ini memberikan ruang keluasan yang tidak terbatas pada pemegang otoritas (unit teknis pelaksana tupoksi pemblokiran dalam Direktorat Jendral terkait) untuk menentukan dan berdasarkan hal tersebut mengambil langkah cepat (1X24 jam). Tanpa perumusan dan batasan yang tegas, rumusan semacam ini memberikan ruang intepretasi dan subjektifitas yang tinggi tanpa disertai kontrol dan mekanisme akuntabilitas yang memadai. (1) menyesuaian dengan batasan dan standar pembatasan sebagaimana diatur dalam UU yang dirujuk/diacu. (2) Menyesuaikan dengan batasan standar pembatasan Hak sebagaimana berlaku terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. (3) Menghapus rumusan Pasal 10 ayat (3) huruf e RPM, karena cakupan kewenangan peraturan teknis melampaui rumusan dan cakupan peraturan perundangan yang lebih tinggi hierarkinya (UU) yang dirujuk. V. Mekanisme dan prosedur pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Mengingat keluasan dan dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan ketentuan teknis ini terhadap warga negara, proses pembahasan semestinya melibatkan konsultasi publik yang luas dengan pemangku kepentingan maupun subjek yang akan terkena dampak peraturan ini. Upaya melakukan konsultasi publik dan menjaring masukan ini tidak dapat secara memadai dilakukan hanya dengan mencantumkan dalam website kementrian, mengingat 70% pengguna internet hanya terkonsentrasi di lima kota besar di Jawa dan Sumatera. Mekanisme ini jelas menutup akses yang memadai bagi warga negara yang tidak memiliki akses internet. Sementara peraturan ini akan berlaku bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali, mereka dianggap tahu segera setelah diundangkan (presumptio iures de iure). Selain itu, proses konsultasi yang luas dan upaya menjaring masukan juga tidak semestinya dihentikan karena dipersepsikan sebagai sesuatu yang menghambat 7
8 proses penyelesaian pembahsan RPM ini (sebagaimana diutarakan dalam FGD tanggal 3/4/2014). Hal ini bertentangan dengan semangat menjamin partisipasi warga dalam proses pembuatan kebijakan sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan umum yang baik, maupun prinsip tata kelola internet itu sendiri, yang menghendaki partisipasi multi pemangku kepentingan dalam setiap perumusan kebijakan yang terkait dengan internet. Dalam kaitan itu, ELSAM merekomendasikan keterlibatan lembaga lembaga dan pemangku kepentingan dalam proses pembahasan RPM ini, antara lain: (i) KOMNAS HAM; (ii) Komisi Informasi Pusat; (iii) Dewan Pers; (iv) Perwakilan media, khususnya media online; dan (v) organisasi jurnalis yang akan menjadi subjek penerima dampak dan manfaat langsung dari penerapan peraturan ini. Demikian masukan ELSAM terhadap materi dan proses pembahasan RPM Kominfo tentang Penanganan Konten Negatif, untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya. Jakarta, 5 April 2014 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Indri D. Saptaningrum, S.H., LL.M. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak hak sipil dan politik serta hakhak asasi manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil melalui advokasi dan promosi hak asasi manusia. Informasi lebih lanjut: ELSAM, Jl Siaga II No. 31/Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Laman: Surel: office@elsam.or.id, 8
Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Perlindungan HAM dalam berinternet Resolusi 20/8 yang dikeluarkan oleh Dewan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Semenjak awal, perdebatan mengenai internet dan hak asasi manusia mengerucut pada isu kesenjangan akses dan upaya penciptaan regulasi untuk membatasi atau mengontrol penggunaan
Lebih terperinciTANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK
TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK Diajukan kepada: Kementerian Komunikasi dan Informatika
Lebih terperinciHak atas Informasi dalam Bingkai HAM
Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Lebih terperinciBAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Peraturan Menteri Sebagai Peraturan Perundang-Undangan Untuk Pembatasan Hak Asasi Manusia Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 1. Kerangka Hukum dan Ruang
Lebih terperinciTENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELAPORAN ATAU PENGADUAN KONTEN INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN
Lebih terperinciBab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media
Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108
Lebih terperinci(USULAN) Tata Cara Kerja 1. Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 2
(USULA) Tata Cara Kerja 1 Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan egatif 2 Draft per tanggal 1 Maret 2016 1 Draft ini disusun untuk penguatan prosedur penanganan konten negatif yang diterbitkan oleh
Lebih terperinciPOLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK
POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Lebih terperinciPENANGANAN KONTEN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
RESTRICTED DOCUMENT PENANGANAN KONTEN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika 1 DASAR HUKUM PENANGANAN KONTEN NEGATIF SAAT INI 1. Amanat Pasal 40 Undang-undang
Lebih terperinciUU ITE Meresahkan Kemerdekaan Berpendapat dan Berekspresi, Penting Segera Direvisi
Ringkasan Hasil Kajian ELSAM UU ITE Meresahkan Kemerdekaan Berpendapat dan Berekspresi, Penting Segera Direvisi A. Pengantar Terus bertambahnya pengguna Internet, termasuk makin besarnya penggunaan teknologi
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5952 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti
Lebih terperinciLAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI
LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA
Lebih terperinciinformasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional
Kuliah Keamanan Komputer Disusun oleh : M. Didik R. Wahyudi, MT& Melwin Syafrizal, S.Kom., M.Eng. 1. Pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai
Lebih terperinciKebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet
Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Oleh Asep Mulyana Revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran Internet telah mengubah pola dan gaya hidup manusia yang hidup di abad modern,
Lebih terperinciPASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003
PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003 Pasal 1 (8) Pasal Potensi Pelanggaran HAM Kerangka hukum yang bertabrakan Tidak ada Indikator jelas mengenai keras
Lebih terperinciTerm of Reference (ToR) Diskusi Panel 2014 National ID-IGF Dialogue
Term of Reference (ToR) Diskusi Panel 2014 National ID-IGF Dialogue Membangun Tata Kelola Internet Indonesia dengan Perspektif HAM: Prosedur Penanganan Situs Ilegal, Penapisan/Pemblokiran dan Revisi Pasal
Lebih terperinciSINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX
DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX (BACA, TELITI, DAN KONFIRMASI : BUDAYAKAN BIJAK DALAM LITERASI) Madiunkota.go.id Pemerintah Kota Madiun LPPL Radio Suara
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.251, 2016 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952) UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal
Lebih terperinciINTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2
INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Intelijen negara diperlukan sebagai perangkat deteksi dini adanya ancaman terhadap keamanan nasional, tidak saja ancaman
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciLOMBA. Pedoman. Pendidikan Keluarga. TEMA: Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan di Era Kekinian
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PAUD DAN PENDIDIKAN MASYARAKAT DIREKTORAT PEMBINAAN PENDIDIKAN KELUARGA Pedoman LOMBA BL G Pendidikan Keluarga TEMA: Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan
Lebih terperincihttp://www.warungbaca.com/2016/12/download-undang-undang-nomor-19-tahun.html UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
Lebih terperinciPENGENDALIAN INFORMASI BPJS KETENAGAKERJAAN
PENGENDALIAN INFORMASI BPJS KETENAGAKERJAAN Informasi BPJS Ketenagakerjaan Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan, baik data, fakta maupun
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE I. PEMOHON Muhammad Habibi, S.H., M.H., Kuasa Hukum Denny
Lebih terperinciDRAFT KEBIJAKAN PENANGANAN KELUHAN
DRAFT KEBIJAKAN PENANGANAN KELUHAN PENGELOLA NAMA DOMAIN INTERNET INDONESIA Icon Business Park Unit L1-L2 BSD City Tangerang, Indonesia 15345, Indonesia. www.pandi.id Judul: Kebijakan Penanganan Keluhan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional
Lebih terperinciInternet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia
Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia Oleh Teguh Arifiyadi (Ketua Indonesia Cyber Law Community/ICLC) Kebijakan Internet Censorship di Indonesia Penetrasi pertumbuhan internet di Indonesia dapat
Lebih terperinciRilis Pers Bersama. Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum
Rilis Pers Bersama Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-undang
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
Lebih terperinciHUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016
HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 Keterangan tertulis Komnas HAM di hadapan MK, 2 Mei 2007 Kesimpulan: Konstitusi Indonesia atau UUD 1945, secara tegas
Lebih terperinciPrinsip Dasar Peran Pengacara
Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7
Lebih terperinciPENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME I. UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana
Lebih terperinciMasih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat Friday, 21 October :50 - Last Updated Tuesday, 04 September :19
Kemerdekaan Berekspresi terutamanya kemerdekaan berpendapat memiliki sejumlah alasan menjadi kenapa salah satu hak yang penting dan menjadi indikator terpenting dalam menentukan seberapa jauh iklim demokrasi
Lebih terperinciBAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN
BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara
Lebih terperinciKuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XV/2017 Nominal Transaksi Keuangan Mencurigakan, Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal, Penyitaan Kekayaan Diduga TPPU I. PEMOHON Anita Rahayu Kuasa Hukum Antonius
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia
Lebih terperinciPerihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Kepada Yang Terhormat, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Di Jakarta Perkenankan kami: 1. Anggara
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN PEMBUATAN, PENYEBARLUASAN, DAN PENGGUNAAN PRODUK PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MELAWI
PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 12 TAHUN 2011 T E N T A N G KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATEN
Lebih terperinciBahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional
Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN PEMBUATAN, PENYEBARLUASAN, DAN PENGGUNAAN PRODUK PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat dalam diri manusia sejak lahir. Salah satu tokoh yang hidup pada tahun
Lebih terperinci2016, No Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (Lemba
No.1483, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMNAS HAM. Calon Anggota Komnas Ham. Panitia Seleksi. Pembentukan. PERATURAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENGENDALIAN INFORMASI PT INDOFARMA (Persero) Tbk
KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFORMASI PT INDOFARMA (Persero) Tbk I. LANDASAN HUKUM 1. Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 2. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Lebih terperinci2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.861, 2017 KEMEN-KP. Kode Etik PPNS Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP
PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SUMENEP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : : BUPATI SUMENEP
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan
Lebih terperinciPEDOMAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFORMASI
PEDOMAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFORMASI Desember 2012 DAFTAR ISI Daftar Isi... 1 Pernyataan Komitmen... 2 I. LANDASAN HUKUM... 3 II. PENGERTIAN UMUM... 3 III. MAKSUD DAN TUJUAN... 4 IV. KLASIFIKASI INFORMASI...
Lebih terperinciUNOFFICIAL TRANSLATION
UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /
Lebih terperinciLAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI
LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA
Lebih terperinci15 Februari apa isi rpm konten
15 Februari 2010 http://www.detikinet.com/read/2010/02/15/125757/1299704/399/seperti apa isi rpm konten MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN PEMBUATAN, PENYEBARLUASAN, DAN PENGGUNAAN PRODUK PORNOGRAFI I. UMUM Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciMATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN
MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Lebih terperinciBUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN DATA ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN DATA ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa kemudahan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1198, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Pengaduan Masyarakayt. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Lebih terperinciBAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan
Lebih terperinciKEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia
KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia PARADIGMA BARU PELAYANAN INFORMASI DALAM ERA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK *) Oleh : Amin Sar Manihuruk, Drs,
Lebih terperinci-2- Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.248, 2016 BPKP. Pengaduan. Penanganan. Mekanisme. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG MEKANISME
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN No. 11 Tahun 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI
Lebih terperinciAMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK
AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK Index: ASA 21/1381/2015 7 April 2015 Indonesia: Dua perempuan divonis bersalah di bawah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena postingannya di media
Lebih terperinciMEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh : Butje Tampi, SH., MH. ABSTRAK Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan
Lebih terperinciPERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
-1- PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciKEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PAUD DAN PENDIDIKAN MASYARAKAT DIREKTORAT PEMBINAAN PENDIDIKAN KELUARGA PEDOMAN LOMBA
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PAUD DAN PENDIDIKAN MASYARAKAT DIREKTORAT PEMBINAAN PENDIDIKAN KELUARGA PEDOMAN LOMBA JURNALIST K PENDIDIKAN KELUARGA TEMA: PERAN KELUARGA DAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas
Lebih terperinci2 Pelanggaran di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih da
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1189, 2014 LPSK. Dugaan Pelanggaran. System Whistleblowing. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG WHISTLEBLOWING SYSTEM ATAS DUGAAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BAB I KETENTUAN UMUM
UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ 2010. TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015
UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN RAYA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN
Lebih terperinciPEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA
PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 24 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA KEPUTUSAN PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI PEMBANTU DINAS PEMBERDAYAAN
Lebih terperinciPasal 4. (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang Undang ini.
CAPAIAN POSITIP DALAM UU KIP PELEMBAGAAN /PENGAKUAN Pasal 4 Kecuali ayat (3) yang masih mensyaratkan permintaan HAK PUBLIK ATAS INFORMASI (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan
Lebih terperinciBUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN
SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN NAMA DOMAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN NAMA DOMAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
LAMPIRAN II: Draft VIII Tgl.17-02-2005 Tgl.25-1-2005 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinci- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK
Bagian Organisasi - 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Lebih terperinciKEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 3 Tahun 2008 NOMOR : KEP-033/A/JA/6/2008 NOMOR : 199 Tahun 2008 TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,
Lebih terperinci4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Re
BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli Habibie,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinci2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.170, 2008 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.321, 2015 KEMENKOMINFO. Sistem Elektronik. Penyelenggara Negara. Pendaftaran. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinci