BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

BAB 1 PENDAHULUAN. satu kejadian yang masih marak terjadi hingga saat ini adalah penyakit kecacingan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi perhatian masyarakat dunia termasuk didalamnya negara Indonesia. Di

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Soil transmitted helminth (STH) merupakan cacing usus yang dapat. menginfeksi manusia dengan empat spesies utama yaitu Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

SKRIPSI. Oleh. Yoga Wicaksana NIM

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Peran Cacing Usus dalam Menekan Kejadian Atopi. The role of intestinal worm in suppressing atopy

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kerja. Tenaga kerja yang terpapar dengan potensi bahaya lingkungan

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RESPON Th2 PADA INFEKSI CACING USUS

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Helminthiasis atau

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa nematoda yang menginfeksi usus manusia ditularkan melalui tanah dan disebut dengan soil transmitted helminth (STH) 9 yang disebut juga dengan geohelminth atau intestinal helminth. 10 Beberapa STH yang penting diketahui karena sering menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan beberapa spesies Trichostrongylus. 9 Ascaris lumbricoides dewasa hidup di rongga usus halus, seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100 000 sampai 200 000 butir sehari. Telur A. lumbricoides ditandai dengan adanya mamillated outer coat dan thick hyaline shell yang membuat ia dapat bertahan hidup karena partikel tanah akan melekat pada dinding telur yang dapat melindunginya dari kerusakan. 11 Dalam lingkungan yang sesuai (tanah yang lembab, hangat, dan terlindung dari matahari) telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksius dalam waktu kurang lebih tiga minggu. 9, 11 Bentuk infeksius yang tertelan manusia akan menetas di usus halus, selanjutnya larva akan menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di 9

paru akan menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring, pasien akan terbatuk akibat rangsangan ini. Selanjutnya larva akan tertelan ke dalam esophagus dan mencapai usus halus dimana larva akan berubah menjadi cacing dewasa. Diperlukan waktu sekitar dua bulan sejak telur infeksius tertelan sampai menjadi dewasa. Cacing T. trichiura betina dewasa diperkirakan menghasilkan 3000 sampai 10 000 telur per hari. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan hospes bersama tinja, telur menjadi matang (infeksius) dalam waktu 3 sampai 6 minggu pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Individu akan terinfeksi jika tertelan telur infeksius. Setelah tertelan, larva akan keluar melalui dinding telur dan masuk ke usus halus, setelah menjadi dewasa turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (cacing ini tidak mempunyai siklus di paru). Waktu yang diperlukan sejak telur infeksius tertelan hingga menjadi cacing dewasa adalah 30 sampai 90 hari. 9 9 9

2.2. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminth Infeksi STH merupakan penyakit yang dikaitkan dengan kemiskinan, menimbulkan penderitaan dan kematian, juga menyebabkan kemiskinan yang berkelanjutan akibat gangguan kemampuan kognitif anak, berkurangnya kapasitas dan produktifitas kerja orang dewasa. 12 Infeksi STH paling sering terjadi di daerah tropis dan subtropis dari negara-negara yang sedang berkembang dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi yang kurang. 13 Prevalensi infeksi STH di Sumatera Utara pada tahun 1995 adalah 57% sampai 90%. 14 Sedangkan berdasarkan spesiesnya maka prevalensi di Sumatera Utara 46% sampai 75% untuk ascariasis, 65% untuk trichuriasis, dan 20% untuk infeksi cacing tambang. A. lumbricoides dijumpai di seluruh dunia dan diperkirakan 1.3 milyar orang pernah terinfeksi cacing ini, tidak jarang dijumpai infeksi campuran dengan cacing lain terutama T. trichiura. Prevalensi tertinggi ascariasis di daerah tropis dijumpai pada kelompok usia 3 sampai 8 tahun. 11 Usia yang paling rentan untuk mendapat infeksi T. trichiura adalah 5 sampai 15 tahun. 15 16 2.3. Imunologi Infeksi Soil Transmitted Helminth Berbagai Protozoa dan cacing berbeda dalam ukuran, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respons imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya kronis dan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang akan meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen

yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen. 6 Hipersensitifitas yang diperantarai IgE merupakan mekanisme imun utama dalam mengatasi infeksi cacing. Pertahanan terhadap kebanyakan infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5, IL-4 selanjutnya merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI (reactive oxygen intermediate) yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi imunologi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. 18 17 18,19

Histamin Protein kationik, MBP, neurotoksin Superoksida, oksida nitrit spasme Sel mast/ Eosinofil PMN makrofag Basofil. IgA/IgG IgE IgA/IgG cacing Gambar 1. Pengeluaran cacing dari lumen saluran cerna. 18 Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepaskan protein kationik, MBP (myelin basic protein) dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit, dan enzim yang membunuh cacing. Infeksi parasit secara khusus merangsang sejumlah mekanisme pertahanan, baik yang diperantarai antibodi maupun yang diperantarai sel, dan respons yang paling efektif tergantung jenis parasit dan stadium infeksi. 20 Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap antigen parasit memperkuat aktifitas antiparasit dari makrofag, neutrofil, dan 18

eosinofil. Eosinofil diduga berkembang sebagai pertahanan terhadap parasit di jaringan yang terlalu besar untuk difagositosis, dan reaksi sel mast yang tergantung IgE untuk melokalisir eosinofil dekat parasit dan memperkuat fungsi antiparasit. IgE pada infeksi cacing bisa menimbulkan efek berat pada pejamu akibat pelepasan mediator dari sel mast. Meskipun dari berbagai penelitian cross-sectional terlihat adanya perkembangan imunitas terhadap A. lumbricoides, tetapi respons antibodi humoral tidak mempunyai peranan untuk menekan infeksi. Adanya antibodi terhadap antigen Ascaris dewasa dan larva, merupakan refleksi dari intensitas infeksi dan tidak memberikan dampak perlindungan terhadap infeksi. 11 Infeksi STH menimbulkan respons imun pada manusia khas berupa kadar IgE yang meningkat, eosinofilia, dan peningkatan produksi sitokin Th2 oleh lekosit darah perifer sebagai respons terhadap rangsangan antigen 20 parasit. 21-23 Paparan awal parasit berhubungan dengan meningkatnya respons inflamasi alergi terhadap parasit, sementara pada infeksi jangka panjang dan infeksi berulang respons inflamasi menjadi lebih terkendali. Infeksi kronis memiliki efek regulasi yang kuat pada respons inflamasi antiparasit, berhubungan dengan respons Th2 yang telah bermodifikasi yang selain memungkinkan parasit tetap hidup juga memberikan perlindungan dari penyakit imun bagi pejamu. 21 Ketahanan hidup STH pada infeksi kronis dimungkinkan dengan adanya mekanisme imunoregulasi, termasuk sel T regulatori (T reg) yang mampu mensekresi sitokin imunosupressan seperti

IL-10 dan/atau TGF-β, menghasilkan suasana antiinflamasi. 19,22,24 Respons antibodi terhadap berbagai stadium A. lumbricoides tidak berpengaruh besar baik pada derajat infeksi yang baru terjadi maupun pada intensitas infeksi ulangan. 25 Regulasi imunitas pejamu oleh infeksi kronis STH tidak hanya mempengaruhi respons terhadap antigen parasit tetapi juga terhadap antigen eksogenus lainnya seperti antigen vaksin dan alergen udara, efek tersebut dapat menjelaskan terjadinya gangguan imunogenitas vaksin dan penurunan prevalensi penyakit alergi di daerah pedesaan negara tropis. 21 2.4. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminth dan Penyakit atopi Beberapa observasi menunjukkan adanya peningkatan prevalensi immunemediated disease (misalnya; inflammatory bowel disease, multiple sclerosis, asma, dan diabetes tipe 1) di daerah dimana paparan pada cacing jarang terjadi, pemberian obat anticacing meningkatkan gejala atopi, cacing memberikan proteksi terhadap immune-mediated disease pada binatang percobaan dengan meningkatkan respons regulatori, dan pengobatan immune-mediated disease dengan menggunakan cacing mengurangi aktifitas immune-mediated disease. 26 Dua mekanisme yang mungkin menimbulkan efek protektif infeksi cacing pada perkembangan atopi: pertama, jumlah besar IgE poliklonal memadati reseptor Fcε pada permukaan sel mast sehingga mengganggu ikatan IgE spesifik antigen pada sel mast, dan mencegah degranulasi sel mast (IgE blocking hypothesis): kedua, IL-10 dan/atau TGF-β yang

disekresikan oleh APC (antigen presenting cell) atau sel Tr (sel T reg) sebagai respons terhadap infeksi kronis cacing secara langsung menghambat degranulasi sel mast atau menghambat proliferasi sel Th2. 27 Penyakit atopi berhubungan secara signifikan dengan kadar allergenspesific IgE, sensitisasi kulit dengan alergen yang sama, dan gejala klinis pada kulit (eksim/dermatitis atopi), pada saluran nafas bagian atas (rinitis alergi) dan saluran nafas bagian bawah (atopic asthma). 10 Infeksi STH mungkin mempengaruhi respons terhadap sensitisasi alergi atau respons dari efektor alergi. Temuan dari penelitian terbaru telah memperkuat temuan sebelumnya karena sensitisasi alergi ditentukan berdasarkan peningkatan kadar IgE poliklonal atau IgE spesifik alergen pada populasi di daerah endemis infeksi STH. 10 Studi prospektif Rodrigues dkk pada anak di Salvador Brazil menunjukkan bahwa infeksi berat T.trichiura pada awal masa anak-anak menurunkan risiko reaktifitas uji alergi kulit pada tahapan usia selanjutnya. 28 Mekanisme yang dapat dipengaruhi oleh infeksi STH termasuk komponen efektor dari hipersensitifitas tipe segera dan respons fase lambat, yang dicapai melalui inhibisi aktifasi sel mast dan inhibisi terhadap pengumpulan dan fungsi sel efektor di tempat terjadinya reaksi inflamasi. Alergen sama halnya dengan antigen cacing merupakan inducer kuat bagi respons Th2 dan diketahui bahwa penyakit alergi termasuk asma, eksim, dan rinitis berkaitan dengan inflamasi yang ditimbulkan oleh Th2. 10 13

Studi pada 441 anak di Sulawesi menunjukkan tidak ada hubungan antara adanya cacing di usus dan reaktifitas uji kulit. 29 Soil Transmitted Helminth dan Asma. Infeksi cacing dikaitkan dengan atopic asthma oleh adanya persamaan fenomena imunologi; eosinofilia dan peningkatan antibodi IgE serum. Hubungan ini menimbulkan dua hipotesis yang bertentangan yaitu bahwa infeksi parasit memberikan efek proteksi terhadap asma dan bahwa infeksi parasit merupakan predisposisi untuk asma. Beberapa penelitian telah mempelajari hubungan antara gejala asma dan infeksi STH dengan hasil yang berbeda seperti ditulis oleh Cooper dkk. Penelitian terbaru menunjukkan bukti adanya hubungan terbalik antara gejala asma dan infeksi STH yang diketahui dari pemeriksaan tinja, sementara penelitian lain menunjukkan tidak ada hubungan signifikan atau bahkan menunjukkan adanya hubungan positif antara gejala asma dan infeksi STH atau terdapatnya IgE terhadap Ascaris. Perjalanan penyakit asma bisa berbeda pada individu yang terinfeksi STH, menyebabkan asma yang lebih ringan pada daerah dengan endemisitas yang tinggi, meskipun di daerah dengan prevalensi yang rendah keadaan sebaliknya bisa terjadi. Adanya kadar IgE dan eosinofil yang tinggi pada individu dengan infeksi cacing tapi jarang disertai inflamasi mukosa saluran nafas menimbulkan dugaan bahwa terdapat perbedaan antara respons terhadap cacing dan respons terhadap alergen udara. 30 17 10

Tidak semua infeksi parasit memberikan efek protektif terhadap asma, tapi infeksi cacing tambang mungkin mengurangi risiko asma. 31 Soil Transmitted Helminth dan Dermatitis Atopi. Eksim merupakan penyakit inflamasi kulit kronis yang ditandai dengan lesi kronis yang gatal. Terdapat dua jenis eksim: 70% sampai 80% pasien eksim menunjukkan bentuk atopi, dengan kadar IgE serum yang meningkat dan sensitisasi alergi, sementara 20% sampai 30% pasien menunjukkan bentuk non-atopi dengan kadar IgE serum yang normal dan sensitisasi pada sedikit alergen spesifik. 32 Prevalensi dermatitis atopi diketahui lebih rendah di daerah pedesaan dibandingkan daerah perkotaan Ethiopia, tapi risiko dermatitis atopi tidak berkaitan dengan infeksi STH. Suatu penelitian crosssectional pada anak usia sekolah di Ecuador menunjukkan tidak ada bukti hubungan antara dermatitis atopi dan infeksi STH. Suatu penelitian intervensi di Uganda menunjukkan bahwa bayi dari ibu dengan infeksi STH pada saat melahirkan mempunyai risiko yang lebih rendah untuk menderita eksim jika dibandingkan dengan bayi dari ibu tanpa infeksi STH (masing-masing 9% dan 39%). 10 Soil Transmitted Helminth dan Rinitis Alergi. Prevalensi rinitis alergi di populasi sebesar 5% sampai 40%, menimbulkan morbiditas yang tinggi karena mempengaruhi kehidupan sosial, aktifitas pekerjaan, dan prestasi belajar di sekolah terutama pada anak. 33 Cooper dkk menyebutkan bahwa penelitian di Ecuador menunjukkan tidak ada hubungan

antara gejala rinitis alergi dan parasit STH, penelitian di daerah perkotaan Taiwan membuktikan adanya hubungan terbalik antara enterobiasis dan diagnosis rinitis alergi dan penelitian di Afrika Selatan membuktikan adanya hubungan positif antara gejala rinitis dan terbentuknya IgE terhadap Ascaris. 10 2.5. Kerangka Konseptual Sanitasi dan higiene Infeksi STH Status nutrisi - Berat badan - Tinggi badan Sel Th2 CD4+ IL-4 IL-5 IgE serum total Eosinophil Reseptor IgE Alergen Gejala dan atau tanda penyakit atopi Riwayat atopi dalam keluarga : Hal yang diamati dalam penelitian