BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of Mental

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya distress ( tidak nyaman, tidak tentram dan rasa nyeri ), disabilitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma disekitar, budaya

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasakan sebagai ancaman (Nurjannah dkk, 2004). keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Penderita gangguan skizifrenia di seluruh dunia ada 24 juta jiwa dengan angka

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

1. Bab II Landasan Teori

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006). pasien mulai mengalami skizofenia pada usia tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat. ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

KONSEP PERAWATAN KESEHATAN JIWA

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

: Evi Karota Bukit, SKp, MNS NIP : : Kep. Jiwa & Kep. Komunitas. : Asuhan Keperawatan Jiwa - Komunitas

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

BAB I PENDAHULUAN. Psychiatric Association,1994). Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. dalam dirinya dan lingkungan luar baik keluarga, kelompok maupun. komunitas, dalam berhubungan dengan lingkungan manusia harus

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KOMUNITAS (CMHN)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sehat adalah suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial serta

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, dan sosialisasi dengan orang sekitar (World Health Organization,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang. mencerminkan kedewasaan kepribadiannya (WHO, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. unipolar, penggunaan alkohol, gangguan obsesis kompulsif (Stuart & Laraia,

BAB I PENDAHULUAN. meliputi keadaan fisik, mental, dan sosial, dan bukan saja keadaan yang bebas dari

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Proses Adaptasi Psikologi Ibu Dalam Masa Nifas

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB I PENDAHULUAN. Stroke masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Di dunia, stroke

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan bahwa jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dari tahun ke. baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Stanley, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) adalah : Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioural or psychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that is associated with present distress (eg., a painful symptom) or disability (ie., impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of freedom. Artinya, gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai sindrom psikologis atau pola behavioral yang terdapat pada seorang individu dan diasosiasikan dengan distress (misalnya simtom yang menyakitkan) atau disabilitas (yakni, hendaya di dalam satu atau lebih wilayah fungsi yang penting) atau diasosiasikan dengan resiko mengalami kematian, penderitaan, disabilitas, atau kehilangan kebebasan diri yang penting sifatnya, yang meningkat secara signifikan (APA-DSM, 2000). Konsep disability dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders adalah keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil). Gangguan

kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak digunakan sebagai komponen esensial untuk didiagnosis gangguan jiwa, oleh karena itu hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas. Dari konsep tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan jiwa meliputi : (a) adanya gejala klinis yang bermakna berupa sindrom atau pola perilaku dan sindrom atau pola psikologik. (b) gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), antara lain dapat berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, disfungsi organ tubuh, dan lain-lain dan (c) gejala klinis tersebut menimbulkan disabilitas (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup. Menurut Depkes RI (2003) gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, perasaan, dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari (fungsi pekerjaan dan fungsi sosial) dari orang tersebut. Sedangkan menurut Muslim (2002) gangguan jiwa merupakan sindrom atau pola prilaku atau psikologi seseorang yang secara klinis cukup bermakna dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih fungsi penting dari manusia. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Gangguan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan

menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari, 2006). Penggunaan istilah gangguan jiwa maupun gangguan mental sering dipakai secara bergantian. Penelusuran istilah gangguan jiwa justru akan memunculkan mental illness atau mental disorder. Mental illness atau sakit jiwa merupakan kondisi gangguan secara medis berkaitan dengan proses berpikir, suasana hati, kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, dan fungsi sehari-hari sebagai individu (National Alliance on Mental Illness, 2012). Sedangkan mental disorder atau gangguan mental menekankan pada permasalahan yang lebih kompleks dari gangguan individu yakni gangguan dari luar individu yang mempengaruhi individu seperti: keluarga, budaya, ekonomi, dan masyarakat. Penggunaan istilah gangguan mental saat ini sering digunakan karena lebih menekankan pada upaya kesehatan mental (mulai tahun 1600) yang merupakan upaya penyembuhan, perawatan, dan pemeliharaan pada permasalahan gangguan mental individu yang menyangkut permasalahan pribadi maupun di luar diri individu termasauk keluarga dan masyarakat sekitar. 2.1.2 Faktor Penyebab Gangguan Jiwa Penyebab gangguan jiwa bermacam-macam, ada yang bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan pada otak.

Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi karena tidak dapat memuaskan macam-macam kebutuhan jiwa mereka. Beberapa contoh dari kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam kelompok. Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga, kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang mengungkapkan bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan. Sebab-sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai superioritas di dalam hidup. Kegagalan yang terus-menerus ini akan menyebabkan kecemasan dan ketegangan emosi. Dari pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan jiwa seperti yang dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh karena ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah diri. Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi biologis, psikologis, sosial budaya atau lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada

seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri. Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan mengobatinya. Proses mengenai timbulnya gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor. Suryani (2007) mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga faktor yang berperan sama yaitu : 1. Faktor Biologik Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria penyakit dalam ilmu kedokteran yang terkait dengan kelainan-kelainan neurotransmiter, biokimia, anatomi otak, dan faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa. 2. Faktor Psikologik Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan orang itu. Hal ini sangat tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial, perubahan sosial dan tingkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman hidup seseorang. Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali. Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak

kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa bayi sampai dewasa. 3. Faktor Sosio-budaya Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosiobudaya tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu budaya dengan budaya yang lainnya, merupakan salah satu faktor terjadinya perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa. Inkulturasi dapat menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Prubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi, inkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa. Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan afektif. 2.1.3 Tanda atau Gejala Gangguan Jiwa Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah : a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatanperbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk. b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu bisikan yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah,

padahal orang di sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul dari dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi, klien bias mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada menurut orang lain. c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan. d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan (waham kebesaran), tetapi di lain waktu ia bias merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi) sampai ada ide ingin mengakhiri hidupnya. e. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang berlebihan naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat, melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam lama tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh. (Yosep, 2007). Gangguan kesehatan jiwa sering ditandai dengan sikap kurang percaya diri dan orang lain, perasaaan malu, ragu-ragu, dan perasaan bersalah yang berlebihan. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa kesehatan jiwa sangat tergantung pada seberapa jauh seorang individu mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk mengembangkan sifat-sifat positif dalam berbagai fase kehidupan. Atau kita dapat mendefinisikan kesehan jiwa sebagai sebuah kondisi dimana seseorang bebas

dari gejala gangguan jiwa, yang disertai dengan rendahnya konflik psikologi, dan memiliki kepuasan dalam bekerja serta mampu menghargai dan mencintai orang lain Penderita gangguan jiwa biasanya ditandai dengan kelemahan prilaku, kelemahan proses pikir, kelemahan ekspresi emosi, atau pembicaraan yang sulit dimengerti, atau mengisolasi diri dari lingkungan. Para penderita gangguan jiwa mengalami fluktuasi periode baik dan buruk secara ekstrim. Mereka yang mengalami gangguan jiwa biasanya lebih mudah terstigmatisasi, yang ditandai dengan rendahnya status sosial, dan penuh prasangka. Hal ini dapat mengakibatkan kesulitan untuk menilai diri sendiri sebagai orang yang membutuhkan pertolongan, sehingga sulit mencari pertolongan, atau sulit untuk mengenal diri sendiri dan orang lain (APA, 2001). Gangguan psikis berbeda dengan gangguan jiwa, dimana gangguan psikis biasanya ditandai dengan beberapa gejala seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur dan lain-lain. Gangguan ini sangat tergantung pada tipe dan beratnya gejala, dan dapat mempengaruhi kemampuan menyelesaikan masalah, kesenangan dalam hidup, dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Gejala yang dialami orang dengan gangguan psikis belum bisa digunakan untuk menegakkan sebuah diagnosa. Gangguan psikis merupakan reaksi normal terhadap sebuah kesulitan dalam kehidupan. Sementara gangguan jiwa merujuk pada kesulitan psikis yang sudah mengarah pada sebuah diagnosa (Aiyub, 2012). Sementara ketika orang sakit dan merasa stres berat dalam hidup, dan orang kurang mampu menilai realitas kenyataan, biasanya disebut periode psikotis (Johannessen, 2007).

2.1.4 Jenis-Jenis Gangguan Jiwa Dalam ICD X (International Classification of Diseases X), jenis gangguan jiwa tersebut antara lain : (a) gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan narkotika dan zat- zat adiktif lainnya, (b) skizofrenia dan gangguan psikotik lain, (c) gangguan afektif (depresi, mania), (d) ansietas (kecemasan yang tidak beralasan), gangguan somatoform (psikosomatis), (e) gangguan mental organik (demensia, delirium, epilepsi, pasca stroke, dll). (f) gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja (gangguan perkembangan belajar, gangguan tingkah laku, hiperaktifitas, autisme, gangguan cemas dan depresi). Penggolongan gangguan jiwa sangatlah beraneka ragam menurut para ahli berbeda-beda dalam pengelompokannya, menurut Maslim (2002) macam-macam gangguan jiwa dibedakan menjadi gangguan mental organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja. a. Skizofrenia Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang

(Maramis, 2005). Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bias timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak atau cacat. b. Depresi Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dan Sadock, 2005). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 2007). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2008). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai.

c. Kecemasan Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya Maslim (2002). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik. Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Stuart dan Sundeen (2009) mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan panik. d. Gangguan Kepribadian Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan inteligensi tinggi ataupun rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa gangguan kepribadian, neurosa dan gangguan inteligensi sebagian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif, kepribadian histerik, kepribadian astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequat. e. Gangguan Mental Organik Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,2005). Gangguan fungsi jaringan otak ini

dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan menahun. f. Gangguan Psikosomatik Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah (Maramis, 1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik. g. Retardasi Mental Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.

2.2 Penanganan dan Perawatan Gangguan Jiwa Penanganan gangguan jiwa dapat dilakukan dengan beberapa terapi yang mempunyai teknik dan metode tertentu : a. Terapi psikofarmaka Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2005). Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-panik, dan anti obsesifkompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika (Hawari, 2005). b. Terapi somatik Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu system tubuh lain. Salah satu bentuk terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy (ECT). Terapi elektrokonvulsif merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia di dalam otak

(Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. (Daulima, 2006). c. Terapi Modalitas Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif. Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain: (1) Terapi individual, terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. 2) Terapi lingkungan. Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi

kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi. 3) Terapi Kognitif. Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif. 4) Terapi Keluarga. Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masingmasing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk

mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya. 5) Terapi Kelompok. Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning operan, Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi aversi atau rileks kondisi. 6) Terapi Bermain. Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut. Keperawatan kesehatan jiwa komunitas merupakan pelayanan keperawatan yang komprehensif, holistik dan paripurna berfokus pada masyarakat yang sehat jiwa, rentan terhadap stress dan dalam tahap pemulihan serta pencegahan kekambuhan. Pelayanan keperawatan yang komprehensif adalah pelayanan yang

difokuskan pada pencegahan primer pada anggota masyarakat yang sehat jiwa, pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa dan pencegahan tersier pada pasien gangguan jiwa dengan proses pemulihan (Videbeck, 2008) Varcarolis (2006) pelayanan keperawatan diberikan secara terus menerus (continuity of care) dari kondisi sehat sampai sakit dan sebaliknya, baik di rumah maupun di rumah sakit, (di mana saja orang berada), dari dalam kandungan sampai lanjut usia. Perawat dapat mengaplikasikan konsep kesehatan jiwa komunitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga anggota masyarakat sehat jiwa dan yang mengalami gangguan jiwa dapat dipertahankan di lingkungan masyarakat serta tidak perlu dirujuk segera ke rumah sakit jiwa. Perawat yang memiliki pengetahuan penanganan psikis diharapkan dapat berperan sebagai pendeteksi awal gangguan psikis dan kejiwaan yang ada di lapangan, yang selanjutnya jika diketahui mengalami masalah psikososial agar segera dibawa ke puskesmas untuk mendapat perawatan lanjutan dengan pendekatan Community Mental Health Nursing (CMHN). 2.2.1 Pendekatan Model Konsep Keperawatan Jiwa dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa di Masyarakat Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Perilaku kesehatan yang berhasil diadopsi masyarakat maka akan bertahan lama bahkan selama hidup dilakukan oleh

masyarakat. Pendidikan atau promosi kesehatan adalah suatu bentuk tindakan atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan. 2.2.2 Community Mental Health Nursing (CMHN) Manajemen adalah proses pelaksanaan kerja yang dilakukan melalui orang (Gillies, 1994). Manajemen keperawatan adalah pendekatan sistem yang menjelaskan sebagai suatu proses yang sejajar dan menunjang proses keperawatan. Proses manajemen keperawatan selaras proses keperawatan meliputi tahapan pengumpulan data (pengkajian), diagnosa atau identifikasi masalah kesehatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Adanya keselarasan antara proses manajemen keperawatan dengan proses asuhan keperawatan diharapkan keduanya saling menopang dalam mewujudkan pelayanan keperawatan yang professional. Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk masyarakat yang membutuhkannya, sehingga manajemen pelayanan keperawatan yang adekuat perlu diterapkan dalam mewujudkan pelayanan keperawatan yang berkualitas (Keliat dan Akemat, 2011). Pelayanan Keperawatan atau intervensi keperawatan untuk penanganan masalah gangguan jiwa berdasarkan paradigma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan lebih menekankan pada upaya pencegahan (preventif) dan promotif, namun upaya ini tidak akan tercapai bila hanya dilakukan di rumah sakit. Oleh karena itu pandangan hospital based bergeser menjadi community based.

CMHN memberikan perawatan dengan metode yang efektif dalam merespon kebutuhan kesehatan jiwa individu, keluarga atau kelompok. Konsep dari community mental health nursing ditujukan kepada kesehatan jiwa secara kolektif bagi semua orang yang tinggal dimasyarakat (Mohr, 2006). Tujuan CMHN yaitu memberikan pelayanan, konsultasi dan edukasi, informasi mengenai prinsip-prinsip kesehatan jiwa kepada para agen komunitas lainnya, menurunkan angka risiko terjadinya gangguan jiwa. 2.3 Pemberdayaan Keluarga dalam Penanganan Gangguan Jiwa Pemberdayaan keluarga dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat jiwa, disertai pengembangan lingkungan yang mendukung pengembangan perilaku sehat jiwa. Pemberdayaan keluarga diperlukan untuk membantu keluarga merawat pasien gangguan jiwa dan mengatasi masalah dan beban dalam merawat pasien gangguan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga dapat dilakukan di masyarakat dan tatanan pelayanan kesehatan Upaya pemberdayaan keluarga bertujuan membantu keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga, yaitu (1) mengenal gangguan jiwa anggota keluarganya, (2) menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan, (3) merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, (4) merawat diri sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), (5) memodifikasi lingkungan keluarga yang mendukung penyembuhan pasien gangguan jiwa, (6) menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Berikut akan diuraikan tentang upaya

pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga. 2.3.1 Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga Menurut Depkes RI (2006) pemberdayaan keluarga ini dibatasi pada pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, namun untuk berdayanya keluarga yang mengalami gangguan jiwa harus didukung seluruh pihak yang terkait dengan penanganan penderita gangguan jiwa. Kegiatan yang terkait adalah : a. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pemberian informasi dan psikoedukasi masalah kesehatan jiwa. b. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam merawat pasien gangguan jiwa. c. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pemberian dukungan psikologis pada keluarga pasien gangguan jiwa. d. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam peningkatan kemandirian melalui jejaring dukungan keluarga. e. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa melalui kerjasama lintas sektor. f. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pencatatan dan pelaporan. g. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam monitoring dan evaluasi. 2.3.2 Strategi Pemberdayaan Keluarga Strategi yang harus dikembangkan dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, antara lain: a. Meningkatkan sosialisasi kebijakan, strategi dan materi program pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa pada seluruh stakeholder. b. Mengoptimalkan peran dan fungsi-fungsi sektor terkait sesuai dengan tugas pokok, dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, serta mekanisme

kerja dan koordinasi program yang dilaksanakan secara sinkron dan sinergis dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa. c. Mengembangkan kelompok-kelompok jejaring dukungan keluarga (Family Support Network) yang berbasis wilayah, dalam meningkatkan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga pasien gangguan jiwa. d. Meningkatkan kemandirian dan kualitas keluarga pasien gangguan jiwa. 2.3.3 Upaya Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Family Psycho Education Family Psychoeducation (FPE) adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart dan Laraia, 2005). Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan pasien karena keluarga yang akan merawat pasien dirumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka panjang. Psikoedukasi keluarga ini merupakan sebuah metode yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga keperawatan jiwa professional sebagai bagian dari keseluruhan tindakan klinik untuk anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Keliat dan Akemat, 2011). Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi kekambuhan pasien gangguan jiwa, meningkatkan fungsi pasien dan keluarga sehingga mempermudah pasien

kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi pasien gangguan jiwa. Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga untuk bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga atau orang lain (Keliat dan Akemat, 2011). Terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan kognitif karena dalam terapi mengandung unsur untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Tujuan program pendidikan ini adalah meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan keluarga bagaimana teknik pengajaran untuk keluarga dalam upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan mengetahui gejala-gejala perilaku dan mendukung kekuatan keluarga (Stuart dan Laraia, 2005). Aktifitas program psychoeducational untuk keluarga menurut Stuart dan Laraia (2005), dapat meningkatkan kemampuan terdapat unsur didaktik yaitu : Komponen didaktik: memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan sistim kesehatan jiwa. Kemampuan kognitif yang mengalami peningkatan yaitu keluarga mampu mengetahui penyebab gangguan jiwa, tanda gejala gangguan jiwa akibatnya keluarga mampu untuk merawat pasien gangguan jiwa.

Kebanyakan program pendidikan mempunyai batasan dan didesain terbatas terutama untuk pola pikir dan perilaku dari keluarga. Yang paling penting dari program psikoedukasi keluarga adalah bertemu keluarga berdasarkan pada kebutuhan dan keluarga memberi kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan bersosialisasi dengan anggota yang lain dan profesi kesehatan mental. Psikoedukasi keluarga sangat efektif diberikan kepada keluarga. Kenaikan kemampuan psikomotor pada kelompok intervensi dimungkinkan karena terapi psikoedukasi keluarga yang berkaitan dengan adanya komponen ketrampilan latihan yang terdiri dari : komunikasi, latihan menyelesaikan konflik, latihan asertif, latihan mengatasi perilaku dan mengatasi stress. Komponen latihan terdapat dalam sesi tiga yaitu demonstrasi keluarga cara berinteraksi dan berkenalan dengan orang lain, memperagakan cara beraktifitas dan meragakan cara memberikan obat pada pasien. Peningkatan kemampuan psikomotor ini kemungkinan berkaitan dengan teori belajar yang menjelaskan bahwa seorang belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan, peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan artinya seseorang mampu memiliki ketrampilan tertentu bila terdapat jalinan positif dan stimuli yang diamati dan karakteristik diri seseorang. Kemampuan psikomotor dalam merawat klien ditujukan pada kemampuan keluarga untuk senantiasa memberi pujian dan penghargaan pada klien, berupaya memberi dukungan pengobatan dengan membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan.

Notoatmodjo (2007) menentukan bahwa kecakapan untuk menyelesaikan problem praktis, meningkat pada usia 40-50 tahun. Kemampuan psikomotor didapatkan sebagian besar keluarga mampu meragakan cara berinteraksi, berkenalan dengan orang lain dan yang jarang dilakukan adalah mengontrol minum obat dan melibatkan dalam aktifitas, karena klien masih dirawat di rumah sakit. Penelitian Wardani dkk, (2006) dalam penelitian yang berjudul pengaruh psikoedukasi terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien halusinasi di Yogyakarta. Keluarga yang mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemampuan yang bermakna sebesar 25,36 kali. Goldenberg (2004) menyatakan bahwa psikoedukasi adalah terapi yang diberiakan untuk memberikan informasi terhadap keluarga yang mengalami distress, memberikan pendidikan pada mereka untuk meningkatkan ketrampilan, untuk dapat memahami dan meningkatkan koping akibat gangguan jiwa yang dpat mengakibatkan masalah pada keluarga. Lawrenece dan Veronika (2002) mengungkapkan terjadi peningkatan 33% pada kelompok klien skizofrenia setelah diberikan terapi psikoedukasi keluarga, karena dalam psikoedukasi keluarga berisi tentang : peningkatan hubungan yang positif antara anggota keluarga, meningkatkan stabilitas keluraga, menajemen stess keluarga, kemampuan motorik keluarga melalu role play. Dengan demikian dapat disimpulkan penelitian ini menjawab hipotesa bahwa terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemampuan keluarga secara bermakna dalam merawat klien isolasi sosial.

Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu mengenal gangguan jiwa, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat (lingkungan tempat tinggal) dan tatanan pelayanan kesehatan, yaitu puskesmas, rumah sakit umum daan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, dan rumah sakit jiwa. a. Upaya Petugas Kesehatan di Masyarakat dalam Membantu Keluarga Mengenal Gangguan Jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat adalah perawat dan dokter Puskesmas yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya tenaga kesehatan di masyarakat dalam membantu keluarga mengenal masalah, dilakukan dengan cara: 1) Memberikan penyuluhan gangguan jiwa tentang: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa. 2) Mendeteksi pasien gangguan jiwa melalui pengkajian. 3) Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami oleh pasien. 4) Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga. 5) Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. 6) Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. b. Upaya Petugas Kesehatan di Pelayanan Kesehatan dalam Membantu Keluarga Mengenal Gangguan Jiwa. Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan adalah perawat dan dokter Puskesmas, Rumah Sakit Umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, serta Rumah Sakit Jiwa, yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga untuk

mengenal masalah, dilakukan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dengan cara: 1) Menginformasikan tentang gangguan jiwa: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa, melalui informasi langsung pada pengunjung, pembagian leaflet, pemasanganan poster. 2) Mendeteksi gangguan jiwa melalui pengkajian terhadap pasien yang berkunjung ke Puskesmas, RS Umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Misalnya tenaga kesehatan mendeteksi pasien yang bicara atau senyum-senyum sendiri, atau tanda dan gejala gangguan jiwa lainnya, saat pasien sedang menunggu giliran panggilan untuk pemeriksaan. 3) Menjelaskan kondisi gangguan jiwa yang dialami oleh pasien. 4) Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga. 5) Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. 6) Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. c. Keluarga Menetapkan Pelayanan Kesehatan Jiwa yang Akan Digunakan. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan untuk merawat anggota yang mengalami gangguan jiwa dan merawat dirinya sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), dilakukan tenaga kesehatan dengan cara:

1) Mendiskusikan dan membantu keluarga untuk dapat menetapkan pelayanan kesehatan jiwa untuk membantu proses penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga. 2) Memotivasi keluarga untuk tetap menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa untuk penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga. d. Keluarga Merawat Pasien (Anggota Keluarga yang Menjadi Care Giver) Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk merawat diri sendiri diperlukan agar keluarga tetap dapat memberikan perawatan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat dan di pelayanan kesehatan dapat membantu keluarga mengatasi masalah dan mengurangi beban yang dialami dengan cara memberikan pendidikan kesehatan untuk mengatasi masalah dan beban yang dirasakan keluarga, yaitu dengan cara: memberikan psikoedukasi keluarga dan melatih manajemen stres. e. Keluarga Memodifikasi Lingkungan yang Mendukung Penyembuhan Pasien Gangguan Jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu memodifikasi lingkungan, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat dan pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pengetahuan tentang cara menciptakan kondisi suasana lingkungan (fisik dan non fisik) yang dapat mendukung penyembuhan, mencegah kekambuhan, dan kepatuhan minum obat. f. Keluarga Menggunakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa. Upaya tenaga kesehatan dalam memfasilitasi keluarga pasien gangguan jiwa menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, adalah:

1) Menginformasikan pada keluarga tentang kondisi-kondisi pasien yang membutuhkan perawatan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. 2) Menginformasikan tentang pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia untuk mengatasi masalah keluarga. 3) Menginformasikan keberadaan lintas sektor yang dapat digunakan untuk proses penyembuhan pasien. 4) Memotivasi keluarga menggunakan lintas sektor untuk proses penyembuhan pasien. 5) Menginformasikan tentang jejaring dukungan keluarga yang dapat digunakan untuk proses penyembuhan pasien. 6) Memotivasi keluarga untuk terlibat dalam jejaring dukungan keluarga. 2.3.4 Kemampuan Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa Dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan merupakan komponen dalam sumber koping yang perlu dikembangkan. Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau orang orang disekitar pasien termasuk kader (Notoatmodjo, 2012). Keluarga sebagai care giver bagi pasien harus memiliki kemampuan-kemampuan tentang cara merawat pasien harga diri rendah kronik. Kemampuan yang harus dimiliki keluarga terdiri dari kemampuan memahami dan mengerti tentang cara meningkatkan kemampuan positif dan kemampuan memberikan bantuan dalam meningkatkan kemampuan positif. Kader kesehatan jiwa sebagai pendukung harus memiliki kemampuan dalam merawat pasien dengan harga

diri. Kemampuan yang harus dimiliki kader adalah kemampuan dalam memberikan dukungan, dorongan dan motivasi melakukan kegiatan positif, memberikan reinforcement positif atas keberhasilan pasien melakukan kegiatan positif dan merujuk pasien bila ada penurunan kemampuan (Keliat, dkk, 2011). Keluarga penderita gangguan jiwa perlu dimotivasi untuk menghadapi keadaan secara realita, bahwa penderita gangguan jiwa membutuhkan dorongan agar dapat berfungsi secara optimal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Peran serta masyarakat melalui upaya promotif kesehatan jiwa sangat penting untuk mengurangi stigma terhadap gangguan jiwa, tanpa peran serta masyarakat maka upaya kesehatan jiwa tidak akan mencapai hasil seperti yang diinginkan. Misal perlu dijalin kerjasama dengan pesantren, baik promosi dan prevensi maupun terapi gangguan jiwa. Hal ini sangat penting karena sampai saat ini pesantren masih merupakan institusi yang dipercaya oleh masyarakat dan di indonesia jumlahnya banyak tersebar dimana-mana. Dan hal yang paling penting adalah perubahan paradigma masyarakat agar tidak membiarkan kelompok resiko terkena gangguan jiwa ini tanpa perawatan. Orang yang mengalami gangguan jiwa memerlukan perhatian dan pengertian yang lebih, kasih sayang dan perhatian serta pengertian yang sungguh-sungguh merupakan kunci utama dalam merawat pasien gangguan jiwa. Pada aspek yang lain, keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus diberi penjelasan untuk dapat menerima kondisi pasien. Jika keluarga dan lingkungan masyarakat tidak menerima, akan menjadi masalah bagi pasien, keluarga dan masyarakat serta pemerintah.

Keluarga sebagai orang terdekat dengan klien merupakan sistem pendukung utama dalam memberikan pelayanan langsung pada saat klien berada dirumah. Oleh karena itu keluarga memiliki peran penting didalam upaya pencegahan kekambuhan penyakit pada klien jiwa. Melihat fenomena diatas, maka keluarga perlu mempunyai pemahaman mengenai cara perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perawat dapat melaksanakan penyuluhan guna memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga. Dalam pelayanan kesehatan jiwa modern, petugas yang melakukan perawatan dan pengobatan memiliki tiga kewajiban terhadap pasien, yaitu (1) kewajiban memberikan perawatan dan pengobatan yang baik dan bermartabat untuk mencapai hasil sebaik mungkin dalam upaya mengurangi atau menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi dan kemampuan yang dimiliki pasien sebelumnya, atau sebagai tindakan rehabilitasi; (2) petugas memiliki kewajiban untuk membentuk dan mempertahankan pengobatan dan perawatan yang komprehensif kepada semua pasien yang membutuhkan; dan (3) kewajiban memperbaiki pengetahuan, baik tentang diagnostik maupun perawatan, dan memberikan pasien sebuah perawatan dan pengobatan sesuai kebutuhan, fleksibel sesuai dengan metode yang efektif (Aiyub, 2012). Orang yang bekerja dengan pasien gangguan jiwa harus memiliki rencana tindakan yang bagus, karena tujuan utama pelayanan kesehatan jiwa adalah menstimulasi perawatan pasien secara mandiri, penuh dukungan, dan membangun rasa saling percaya sehingga pasien dapat mengatasi permasalahan dalam

kehidupannya, meningkatkan kemandirian, rasa memiliki, dan memperkuat kemampuan untuk mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Hasil yang diharapkan dari tindakan perawatan adalah pasien memiliki kemampuan mengatasi stres dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian petugas harus berfungsi sebagai motivator bagi pasien dalam mengembangkan kepribadian mereka (Aiyub, 2012). 2.3.5 Komponen Psikoedukasi dalam Perawatan Gangguan Jiwa Psikoeduksi dikembangkan oleh Mottaghipour dan Bickerton pada tahun 2005 ahli kesehatan mental orang dewasa bekerjasama dengan Australiaan National Standards for Mental Health Services, berupa kerangka kebutuhan pelayanan keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental yang disebut Pyramid of Family Care. Menurut Mottaghipour dan Bickerton (2005), psikoedukasi adalah merupakan suatu tindakan yang diberikan kepada individu dan keluarga untuk memperkuat strategi koping atau suatu cara khusus dalam menangani kesulitan perubahan mental. Psikoedukasi dapat dilaksanakan diberbagai tempat pada berbagai kelompok atau rumah tangga. Tindakan psikoedukasi memiliki media berupa catatan seperti poster, booklet, leaflet, vidio, dan beberapa eksplorasi yang diperlukan. Proses pemberian psikoedukasi sangat diperlukan kehadiran keluarga sebagai kunci keberhasilan intervensi. Perawat dapat membangun hubungan saling percaya agar dapat melakukan pengkajian yang tepat dan memberikan pengertian terhadap keluarga bagaimana psikoedukasi memberikan keuntungan pada mereka, dapat mengatasi dan mencegah terjadinya gangguan emosional dengan strategi koping yang efektif.

Psikoedukasi adalah suatu tindakan yang diberikan untuk memperbaiki atau meningkatkan respons positif sesuai yang diharapkan yang difokuskan pada mempertahankan keutuhan psikososial (self concept needs), perubahan fungsi atau peran dan ketergantungan atau kebutuhan interaksi. Psikoedukasi dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan dengan metode atau cara eksplorasi, asesmen, diskusi, bermain peran dan demonstrasi. Menurut Albin (2001), pemberian psikoedukasi mengenai perubahanperubahan yang dialami selama hidup dan bersikap terbuka dengan orang lain, serta penggunaan koping yang efektif dapat membantu untuk mengurangi kecemasan, membuat perasaan menjadi lebih baik dan dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi, mengurangi depresi dan menumbuhkan rasa percaya diri. Menurut Bastable (2002), pendidikan keluarga dalam bentuk psikoedukasi merupakan pendidikan atau pelatihan bagi orang yang mengalami gangguan jiwa yang akan membantu orang tersebut dalam proses pengobatan dan rehabilitasi. Program psikoedukasi keluarga diimplementasikan dengan pendekatan secara terstruktur dan eksperiantial. Program pendidikan dianggap berhasil apabila pengetahuan keluarga meningkat secara signifikan. Jewell et al (2009) menyatakan bahwa psikoedukasi yang mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarga menunjukkan hasil yang konsisten terhadap peningkatan pemulihan penderita. Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah komponen didaktik, berupa pendidikan kesehatan, yang menyediakan informasi mengenai penyakit dan system kesehatan jiwa; komponen ketrampilan, yang

menyediakan pelatihan tentang komunikasi, penyelesaian konflik, pemecahan masalah, asertif, manajemen perilaku dan manajemen stres; komponen emosional, yaitu memberi kesempatan ventilasi dan berbagi perasaan disertai dukungan emosional; serta komponen sosial, yaitu peningkatan penggunaan jejaring formal dan non formal. Menurut Jewell et al (2009) serta Stuart dan Laraia (2005) upaya mendukung keberhasilan psikoedukasi keluarga yang mengalami gangguan jiwa perlu didesain dengan komponen-komponen sebagai berikut : a. Komponen Didaktik Komponen didaktik ini merupakan metode memberikan informasi dengan cara yang tidak menakutkan. Lama waktu penyampaian informasi ini disesuaikan dengan kemampuan penerima, metode pengajaran dilakukan secara bervariasi untuk memperkuat dan mempertahankan minat peserta, penjelasan diberikan menggunakan bahasa yang sederhana. Peserta penyuluhan diberikan waktu istirahat sebagai kesempatan untuk dapat digunakan mempraktekkan apa yang telah diinformasikan. b. Komponen Keterampilan Komponen keterampilan merupakan metode yang dilakukan dengan pendekatan behavioural. Komponen ini menekankan pada keterampilan melalui suatu proses belajar dengan 4 tahap, yaitu : modeling keterampilan oleh para terapis atau tenaga penyuluh, permainan peran dan mempraktekkan keterampilan, para peserta diberi tugas yang akan dipraktekkan di rumah dalam kehidupan sehari-hari dengan