Info URDI Vol. 14 PROFIL KEMISKINAN DI PERDESAAN Oleh : Tatag Wiranto Direktur Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas I. Pendahuluan Strategi besar pembangunan di masa lalu adalah mencapai pertumbuhan yang cepat dengan melakukan trade-off terhadap pemerataan. Dalam atmosfer strategi ini, memunculkan budaya konglomerasi yang diharapkan akan menghasilkan trickle down effect kepada lapisan ekonomi di bawahnya. Pendekatan ini memfokuskan diri pada pembagunan industri secara besar-besaran, dimana kedudukan pemerintah memainkan peran mendorong kekuatan entrepreneur. Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle down effcts, dimana mekanisme tersebut sebenarnya sangat diyakini akan terbentuk sejalan dengan meningkatnya akumulasi kapital dan perkembangan institusi ekonomi yang mampu menyebarkan ksejahteraan yang merata. Dengan kata lain, di satu sisi penerapan pendekatan ini berhasil membangun akumulasi kapital yang cukup besar, namun di sisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara simultan, baik kesenjangan desa oleh kota, maupun kesenjangan antar kelompok dimasyarakat. Proses perkembangan ekonomi perdesaan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pendekatan tersebut, meskipun demikian terdapat elemen-elemen dasar yang menjadi penentu ekonomi perdesaan dan sumberdaya alam sebagai primer-movernya dan menjadi pola dasar kehidupan masyarakat perdesaan. Kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat pada dasarnya diakibatkan oleh faktor (1) sosialekonomi rumah-tangga atau masyarakat, (2) struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah-tangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam & lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan (4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Salah satu issu yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah penurunan kualitas hidup, ketersediaan sarana dan prasarana, ketidakmampuan institusi ekonomi menyediakan kesempatan usaha, lapangan kerja, serta pendapatan yang memadai, yang saling berkaitan dan sangat kompleks. Dengan demikian untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, perlunya peningkatan produktivitas yang sesuai dengan karakteristik perdesaan. Sedangkan pertumbuhan dan perkembangan wilayah perdesaan berkaitan dengan bidang usaha pertanian yang mendominasi perdesaan. Dalam dua dekade terakhir ini terdapat perubahan struktur lapangan usaha di bidang pertanian, sehingga terjadi kecenderungan penurunan di sektor pertanian, terutama dari segi lapangan usaha penduduk dan ketanagakerjaan. Dari kondisi ini maka akan membawa perubahan struktur di bidang sosial-ekonomi dan kelembagaan masyarakat perdesaan. Hambatan dalam pengembangan ekonomi perdesaan tidak saja dihadapkan pada pergesaran dari pertanian ke non pertanian yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat perdesaan, tetapi 1
juga modernisasi pola usaha tani secara terpadu serta pengembangan institusi ekonomi perdesaan yang belum sepenuhnya dibangun secara konsisten. Persoalan institusi ekonomi perdesaan bukan menjadi faktor satu-satunya, faktor modal juga menjadi kendala dalam mendukung pengembangan investasi perdesaan. Masalah pokok yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah proses kemiskinan masyarakat perdesaan sebagai akibat kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung. II. Pendekatan untuk keluar dari Proses Kemiskinan masyarakat di Beraneka ragam teori telah berupaya mencari penjelasan mengapa terjadi proses pemiskinan. Secara garis besar, kemiskinan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah (Nasution, 1996). Kemiskinan struktural sering disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak langsung kemiskinan kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah aturan permainan yang diterapkan. Sedangkan kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Pada kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lemah/terbatas, peluang produksi relatif kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah. Beranjak dari kedua tipe kemiskinan itu, berbagai teori telah dikembangkan dalam upaya untuk memahami aspek-aspek yang menentukan terjadinya kemiskinan secara lebih mendalam. Keanekaragaman teori yang telah dikembangkan itu menggambarkan adanya perbedaan sudut pandang diantara pemerhati masalah kemiskinan. Secara umum teori-teori yang menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan, dapat dibedakan menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi dan teori yang berbasis pada pendekatan sosio -antropologi, khususnya tentang budaya masyarakat. Teori yang berbasis pada teori ekonomi antara lain melihat kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi, kegagalan kepemilikan, kebijakan yang bias ke perkotaan, perbedaan kualitas sumberdaya manusia, serta rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya perangsang untuk penanaman modal. Disisi lain, pendekatan sosio -antropologis menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural). Di sisi lain terdapat pandangan proses pemiskinan sebagai akibat kebijakan yang bias perkotaan. Lipton dan Vyas (1981) mengajukan konsep urban bias dalam menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan di negara sedang berkembang. Menurut Lipton dan Vyas: Small, interlocking urban elites comprising mainly businessmen, politicians, bureaucrats, trade-union leaders and supporting staff of professionals, academics and intelectuals can in a modern state substantially control the distribution of resources. Bias perkotaan ini dipercaya oleh Lipton, karena menurutnya memang terdapat antagonisme antara pend uduk perdesaan dan perkotaan, dimana yang pertama ditandai dengan kemiskinan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pembangunan yang hanya diarahkan ke perkotaan akan mengakibatkan semakin memburuknya kehidupan penduduk miskin di perdesaan. Untuk mengatasi kecenderungan yang negatif seperti itu, Lipton berpendapat bahwa negara sedang berkembang seharusnya mengarahkan kegiatan investasinya ke sumberdaya utama yang mereka miliki yakni pertanian yang padat karya (labour intensive). Dalam rangka dukungannya untuk mengurangi bias perkotaan, Lipton dan Vyas berpendapat bahwa sektor perdesaan adalah pengguna investasi terbatas yang lebih responsif dari pada sektor perkotaan. Sejauh ini gagasan Lipton tersebut telah mendapat banyak kritik namun juga dukungan di kalangan pemerhati masalah ekonomi pembangunan. 2
Tabel 1 Batas, Persentase dan Jumlah Penduduk, 1976-1999 Kota Desa Kota + Desa Penduduk Penduduk Penduduk Tahun Garis Kemiskinan Garis Kemiskinan (%) (%) (Rp/kapita/bulan) (Juta (Rp/kapita/bulan) (Juta (Juta (%) Jiwa) Jiwa) Jiwa) 1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1996 1998 1999 4.522 4.969 6.831 9.777 13.731 17.381 20.614 27.905 38.246 42.032 96.959 92.409 10,0 8,.3 9,5 9,3 9,3 9,7 9,4 8,7 7,2 9,6 17,6 15,64 Catatan : * Menggunakan Standar 1998 38,8 30,8 29,0 28,1 23,1 20,1 16,8 13,4 9,7 13,6 21,9 19,4 2.849 2.981 4.449 5.877 7.746 10.294 13.295 18.244 27.413 31.366 72.780 74.272 III. Pentingnya Informasi tentang Profil Kemiskinan di 44,2 38,9 32,8 31,3 25,7 20,3 17,8 17,2 15,3 24,9 31,9 32,33 40,4 33,4 28,4 26,5 21,2 16,4 14,3 13,8 12,3 19,9 25,7 26,0 54,2 47,2 42,3 40,6 35,0 30,0 27,2 25,9 22,5 34,5 49,5 47,97 Informasi tentang profil kemiskinan di perdesaan sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan terutama untuk penanganan masalah kemiskinan. Keterangan mengenai jenis persoalan dan akar permasalahan yang dihadapi berbagai jenis segmen penduduk miskin dapat membantu perencana program dalam menentukan program-program yang tepat. Dengan mengetahui profil kemiskinan di perdesaan, pengambil kebijakan bisa lebih memfokuskan pada program pengentasan kemiskinan di perdesaan sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin tersebut. Berbagai program pengentasan kemiskinan yang didasari pemahaman menyeluruh mengenai karakteristik sosial demografi dan dimensi ekonomi penduduk miskin dapat membantu perencanaan, pelaksanaan, dan hasil target yang baik. Karena, salah satu prasyarat keberhasilan program program pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Dalam program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya si miskin tersebut dan di mana si miskin itu berada. Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat profil kemiskinan. Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik karakteristik ekonominya seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/ pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial-budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya. Sebagai contoh, permasalahan yang dihadapi penduduk miskin dari segmen petani gurem bisa berakar dari asetnya yang justru terlalu kecil, atau dari persoalan alam dan infrastruktur dalam bentuk irigasi yang tidak mendukung, dan sebagainya. Akar permasalahan pengrajin kecil, pengangguran, buruh musiman, dan sebagainya bisa berbeda. Jika permasalahan yang membuat mereka sulit keluar dari kemiskinan itu dapat diidentifikasi dengan baik, maka program yang tepat akan dapat dirumuskan. Akar permasalahan seperti itu, entah itu berasal dari orangnya, masalah infrastruktur/struktural atau masalah ketrampilan, dan sebagainya, mestinya tersaji dalam profil kemiskinan di perdesaan. Namun demikian, 40,1 33,3 28,6 26,9 21,6 17,4 15,1 13,7 11,3 17,7 24,2 23,4 3
dengan melihat perbedaan karakteristik-karakteristik rumahtangga miskin dan membandingkannya dengan rumahtangga tidak miskin, beberapa catatan mengenai persoalan kemiskinan dapat diungkap. Wilayah Tabel 2 Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Wilayah, 1996-1999 Daerah a. Menggunakan Standar 1996 Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase Penduduk Feb '96 Des '98 Ags '99 Feb '96 Des '98 Ags '99 5.183.801 7.284.059 4.921.946 10,10 13,05 8,58 Jawa-Bali 7.642.839 11.906.302 8.550.042 11,24 17,82 12,89 + 12.826.640 19.190.361 13.471.989 11,45 15,65 10,89 1.116.060 1.544.254 1.155.934 8,77 11,11 8,07 Sumatera 3.130.139 4.107.306 3.149.902 10,75 14,02 10,72 + 4.246.199 5.651.561 4.305.836 10,15 13,08 9,85 923.328 2.744.146 1.253.387 9,61 26,19 11,61 Lainnya 4.454.642 8.927.033 5.153.687 16,15 31,81 18,27 + 5.377.970 11.671.179 6.407.075 14,46 30,28 16,42 b. Menggunakan Standar 1998 7.042.098 12.664.438 8.853.004 41,34 22,68 15,44 Jawa-Bali 13.404.063 17.020.461 13.343.510 19,45 25,48 20,20 + 20.446.160 29.684.899 22.196.514 17,33 24,20 17,99 1.377.741 2.259.530 1.801.683 11,33 16,25 12,76 Sumatera 4.441.417 5.257.169 4.104.370 15,38 17,94 13,63 + 5.819.158 7.516.699 5.906.053 14,18 17,40 13,34 1.225.613 2.656.041 1.744.950 13,35 25,35 16,30 Lainnya 7.011.773 9.664.492 7.675.651 25,68 34,44 27,13 + 8.237.386 12.320.533 9.420.601 22,58 31,97 24,13 4
IV. Perkembangan Kemiskinan di Pesatnya laju pembangunan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi harga selama periode 1970-1996, tingkat kemiskinan mengalami penurunan yang dramatis. Jumlah penduduk miskin menurun dari 54,2 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi 40,6 juta jiwa pada tahun 1981, dan turun lagi menjadi 27,2 juta jiwa pada tahun 1990 dan 25,9 juta jiwa pada tahun 1993. Penurunan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan ternyata jauh lebih cepat dari penurunan jumlah penduduk miskin daerah perkotaan. Dalam kurun waktu tersebut jumlah penduduk miskin daerah perdesaan menurun dari 44,2 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi 31,3 juta jiwa pada tahun 1981, 17,8 juta jiwa pada tahun 1990, dan 17,2 juta jiwa pada tahun 1993. Sementara itu jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang dari 10 juta jiwa pada tahun 1971 menjadi 9,3 juta jiwa pada tahun 1981, 9,4 juta jiwa pada tahun 1990, dan 8,7 juta jiwa pada tahun 1993. Dampak langsung dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin pada tahun 1999 menjadi 47,97 juta jiwa (15,64 juta jiwa di perkotaan dan 32,33 juta jiwa di perdesaan). Persentase penduduk miskin pada tahun 1999 ini mendekati kondisi kemiskinan pada tahun 1978 dan 1980. Dengan kata lain, krisis ekonomi menyebabkan kemajuan dalam kondisi kemiskinan pembangunan mengalami kemunduran lebih dari 15 tahun. Persebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih dari 59% berada di Jawa- Bali, 16% di Sumatera dan 25% di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Pemusatan kantong kemiskinan di Jawa-Bali erat kaitannya dengan pola persebaran penduduk yang sebagian besar berada di Jawa-Bali. Dengan pemusatan kantong kemiskinan di Jawa-Bali, penduduk di Jawa- Bali juga rentan terhadap krisis ekonomi sehingga berpengaruh terhadap kenaikan jumlah penduduk miskin. V. Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Dampak krisis ekonomi juga tercermin pada meningkatnya tingkat kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan. Tingkat kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index) menunjukkan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Tingkat keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index) menunjukkan penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan juga intensitas kemiskinan. Tabel 3 Tingkat Kedalaman kemiskinan dan tingkat Keparahan Kemiskinan 1996-1999 a. Menggunakan Standar 1996 *) Tingkat Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index) Tingkat Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity IndexI) 1996 Desember 1998 Agustus 1999 1,588 2,514 1,448 1,803 3,683 2,479 0,406 0,655 0,378 0,425 1,034 0,716 5
b. Menggunakan Standar 1998 **) 1996 Desember 1998 Agustus 1999 2,548 4,351 2,671 3,529 5,005 3,876 0,709 1,267 0,743 0,956 1,475 1,171 Dengan menggunakan standar 1998, menurut data BPS, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan lebih besar dibanding perkotaan. Data BPS juga menunjukkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan meningkat dari 2,548 pada 1996 (sebelum krisis) menjadi 4,351 pada 1998 (saat krisis), dan di perdesaan meningkat dari 0,709 menjadi 1,267. Indeks keparahan di perkotaan meningkat dari 3,529 menjadi 5,005, dan di perdesaan dari 0,956 menjadi 1,475. Meskipun terjadi perbaikan pada Agustus 1999, tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan masih belum kembali ke posisi sebelum krisis. Dilihat dari aspek regional, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya ternyata lebih besar dari Jawa-Bali dan Sumatera. Hal ini menyiratkan bahwa tingkat dan pola pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial yang terjadi di masing-masing wilayah berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus memperhatikan struktur kemiskinan, karakteristik sosial-budaya dan kapasitas masyarakat setempat. Tabel 4 Tingkat Kedalaman kemiskinan dan tingkat Keparahan Kemiskinan 1996-1999 Wilayah Daerah Tingkat Kedalaman Kemiskinan Tingkat Keparahan Kemiskinan Feb '96 Des '98 Ags '99 Feb '96 Des '98 Ags '99 a. Menggunakan Standar 1996 Jawa-Bali 1,691 1,689 2,251 2,893 1,316 2,252 0,435 0,394 0,574 0,710 0,334 0,609 Sumatera Lainnya 1,270 1,651 1,691 2,783 1,480 2,189 5,438 7,034 1,384 1,704 2,068 3,529 0,302 0,397 0,461 0,730 0,328 0,509 1,660 2,304 0,367 0,417 0,604 1,104 b. Menggunakan Standar 1998 Jawa-Bali Sumatera 2,724 3,297 1,688 2,535 4,622 4,366 2,533 2,945 2,675 3,776 2,409 1,984 0,763 0,857 0,414 0,646 1,383 1,150 0,608 0,723 0,726 1,074 0,699 0,487 6
Lainnya 2,794 5,287 5,291 8,560 3,127 6,424 0,832 1,557 1,606 2,948 0,938 2,171 2,548 Indonesia 3,529 4,351 5,005 2,671 3,876 0,709 0,956 1,267 1,475 0,743 1,171 VI. Karakteristik Rumahtangga Hasil pendataan BPS pada tahun 1999 menunjukkan sebagian besar dari rumahtangga miskin mempunyai 4,9 anggota rumahtangga. Jumlah rata rata anggota rumahtangga ini lebih besar dibanding jumlah rata rata anggota rumahtangga tidak miskin. Ini menunjukkan bahwa rumahtangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibanding rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di daerah perkotaan rata rata mempunyai 5,1 anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga miskin di daerah perdesaan rata rata mempunyai 4,8 anggota rumahtangga. Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidup ternyata lebih besar daripada rumahtangga miskin di daerah perdesaan. Tabel 5 Karakteristik Rumah Tangga dan Tidak 1996, 1998 dan 1999 Karakteristik 1996 1998 1999 Tidak a. Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tangga 1. Kota 5,30 4,37 4,84 3,88 Tidak 5,10 4,0 Tidak 2. Desa 5,16 4,09 4,70 3,76 4,80 3,8 3. Kota+Desa 5,20 4,19 4,75 3,81 4,90 3,9 b. Persentase Wanita sebagai Kepala Rumah tangga 1. Kota 13,03 12,81 9,43 9,01 13,08 14,59 2. Desa 10,34 12,14 8,19 7,72 11,27 12,88 3. Kota+Desa 11,97 12,3 8,63 8,24 11,85 13,58 c. Rata-rata Usia Kepala Rumah Tangga (tahun) 1. Kota 44,34 44,03 42,93 44,57 46,4 44,3 2. Desa 45,45 46,16 45,57 46,16 46,0 46,1 3. Kota+Desa 45,03 45,29 44,43 45,54 46,1 46,4 7
d. Rata-rata Lama Pendidikan Kepada Rumah Tangga (tahun) 1. Kota 4,53 8,57 5,89 9,13 6,3 9,4 2. Desa 3,27 5,01 3,99 5,73 5,1 6,4 3. Kota+Desa 3,67 6,30 4,66 7,11 5,5 7,7 Tabel 6 Karakteristik Rumah Tangga dan Tidak 1996, 1998 dan 1999 Kategori Rumah Tangga Pertanian Industri 1996 1999 Jasajasa Penerimaan Pendapatan Pertanian Industri Jasajasa Penerimaan Pendapatan 1. Desa 80,15 4,30 13,52 2,03 75,97 4,45 18,18 1,40 2. Kota 26,29 10,90 58,10 4,71 21,14 12,91 63,12 2,83 3. Desa+Kota Tidak 63,01 6,40 27,71 2,88 56,67 7,43 34,00 1,90 1. Desa 56,86 6,58 32,39 4,17 58,66 5,46 33,17 2,71 2. Kota 7,37 12,46 70,24 9,93 6,29 13,16 73,04 7,51 3. Desa+Kota 38,96 8,71 46,08 6,25 37,48 8,58 49,30 4,65 Ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipimpin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57,02% rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 31,38% dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan SD. Ciri ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala rumahtangga miskin di perkotaan lebih tinggi dibanding kepala rumahtangga di perdesaan. Ciri rumah tangga miskin yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah sumber penghasilan. Menurut data BPS, pada tahun 1996 penghasilan utama dari 63,0% rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya merupakan penerima pendapatan. Pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak mengalami pergeseran. Dengan membedakan menurut daerah dapat dicatat bahwa sebagian besar atau sekitar 75,7% rumahtangga miskin di perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Lebih 8
dari 75% rumahtangga miskin di perkotaan memperoleh penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian dan hanya 24,0% rumahtangga miskin mengandalkan pada sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumahtangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. Kegiatan ekono mi perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula bagi rumahtangga miskin di perkotaan. VII. Penutup Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Sebagai dasar utama untuk menyusun strategi besar pembangunan nasional tersebut adalah politik ekonomi yang berpihak terhadap kaum miskin dan berkeadilan. Adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven dimana rakyat akan menjadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis. Untuk mensukseskan hal itu diperlukan pelaksanaan perubahan paradigma yang meredefinisi peran pemerintah yang akan lebih memberi otonomi pada rakyat, adanya transformasi kelembagaan dari yang bersifat represif menjadi representatif, dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan. Mengingat hutang pemerintah kita yang sangat besar dan setiap rakyat harus ikut menanggungnya padahal sebagian dari mereka adalah kaum miskin yang tidak mengetahui pemanfaatan dari hutang tersebut, maka hal tersebut menyentuh rasa keadilan kita. Oleh karenanya upaya permintaan debt relief dari para donor perlu ditempuh sebagai upaya alternatif untuk lebih mempercepat pengurangan kemiskinan. Dalam upaya memperjuangkan kepentingan kelompok miskin tersebut, pemerintah telah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan yang akan mengembangkan diskursus setara kepada semua stakeholders tentang perlunya menjadikan si miskin menjadi aktor utama untuk menanggulangi kemiskinannya. Komite Penanggulangan Kemiskinan akan menjalankan fungsi mediasi, katalisasi, advokasi, fasilitasi dan koordinasi. 9