EVALUASI PERAN FORUM KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN (FCSS) DALAM PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI LOGAM TUMANG BOYOLALI TUGAS AKHIR

dokumen-dokumen yang mirip
PERAN FORUM LINTAS PELAKU KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN DALAM PENGEMBANGAN KLASTER PARIWISATA SELO-SAWANGAN TUGAS AKHIR

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D

RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengaruh Modal Sosial Terhadap Pertalian Usaha Klaster Pariwisata Borobudur

KARAKTERISTIK JARINGAN USAHA PADA KLASTER INDUSTRI KERAJINAN TEMBAGA DESA TUMANG KECAMATAN CEPOGO KABUPATEN BOYOLALI TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI PROSES PERENCANAAN PENGEMBANGAN KLASTER BATIK MASARAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

PENGARUH PERUBAHAN TEKNOLOGI TERHADAP PERKEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: A. ARU HADI EKA SAYOGA L2D

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

PERAN STAKEHOLDER DALAM UPAYA PENCIPTAAN EFISIENSI KOLEKTIF PADA KLASTER JAMBU AIR MERAH DELIMA DI KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PARTISIPASI KELOMPOK USAHA SOUVENIR REBO LEGI DALAM SISTEM PARIWISATA DI KLASTER PARIWISATA BOROBUDUR TUGAS AKHIR. Oleh : GRETIANO WASIAN L2D

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM FORUM FOR ECONOMIC DEVELOPMENT AND EMPLOYMENT PROMOTION

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah

KEMITRAAN USAHA DALAM KLASTER INDUSTRI KERAJINAN ANYAMAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA TUGAS AKHIR

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Investasi memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

Pengarahan KISI-KISI PROGRAM PEMBANGUNAN KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

STRATEGI PENGEMBANGAN PENGUSAHA KECIL MELALUI CAPACITY BUILDING DI DAERAH TUJUAN WISATA

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah pada dasarnya menuntut Pemerintah Daerah untuk

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN DAERAH

BUPATI MALUKU TENGGARA

Rusunawa Buruh di Kawasan Industri Mangkang Semarang

PENGARUH PERSEBARAN LOKASI UMKM BERBASIS RUMAH (HOME BASED ENTERPRISES) TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI KEL. BUGANGAN DAN JL.

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Adanya Kegiatan Usaha

A. LATAR BELAKANG PENGERTIAN DASAR

BAB XI PROGRAM PENGEMBANGAN SENTRA BISNIS UMKM A. TUJUAN PROGRAM PENGEMBANGAN SENTRA BISNIS UMKM

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dan Pertumbuhan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) merupakan salah satu motor pengerak yang sangat

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN OBJEK WISATA VULKANOLOGI KETEP DAN KONTRIBUSINYA DALAM MENUNJANG INDUSTRI PARIWISATA DI KABUPATEN MAGELANG TUGAS AKHIR

DAMPAK PERKEMBANGAN INDUSTRI BESAR TERHADAP SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN TEMANGGUNG TUGAS AKHIR. Oleh: RIZKI OKTARINDA L2D

PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 23/PER/M.KUKM/XI/2005 T E N T A N G

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

KAJIAN PELUANG PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNIS EKOEFISIENSI PADA KLASTER INDUSTRI KNALPOT DI KABUPATEN PURBALINGGA TUGAS AKHIR

INDUSTRIALISASI DAN MIGRASI TENAGA KERJA SEKTOR DI KOTA CILACAP

STUDI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPONEN WISATA DI PULAU RUPAT KABUPATEN BENGKALIS TUGAS AKHIR. Oleh : M. KUDRI L2D

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN

BAB 25 PEMBANGUNAN PERDESAAN

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pengembangan industri kecil dan menengah tertuang dalam

RPJM PROVINSI JAWA TIMUR (1) Visi Terwujudnya Jawa Timur yang Makmur dan Berakhlak dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam konteks desentralisasi ekonomi maka setiap daerah harus kreatif,

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya lokal dan proses produksi sederhana yang produknya dijual secara lokal telah

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERAN INSTITUSI LOKAL DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH (Studi Kasus: Proses Difusi Inovasi Produksi Pada Industri Gerabah Kasongan Bantul, DIY)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

KARAKTERISTIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN KAWASAN RAWA JOMBOR KABUPATEN KLATEN TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN MODEL KONSENTRASI SPASIAL PENGUATAN USAHA KECIL MENENGAH (Kasus Industri Kecil Menengah di Pantura Jawa Tengah)

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANAA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SALATIGAA TAHUN 2017

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN PELABUHAN TANGLOK GUNA MENDUKUNG PENGEMBANGAN SEKTOR EKONOMI DI KABUPATEN SAMPANG TUGAS AKHIR (TKP 481)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK. Kata kunci : Produk unggulan, strategi pengembangan

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 32 TAHUN 2014

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

KAJIAN PRIORITAS PENYEDIAAN KOMPONEN WISATA BAGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PULAU NIAS TUGAS AKHIR. Oleh: TUHONI ZEGA L2D

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang

MENINGKATKAN INVESTASI DAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

PASAR FESTIVAL INDUSTRI KERAJINAN DAN KULINER JAWA TENGAH

Transkripsi:

EVALUASI PERAN FORUM KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN (FCSS) DALAM PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI LOGAM TUMANG BOYOLALI TUGAS AKHIR Oleh : A. CANDRA WASONO PUTRO L2D 003 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

ABSTRAKSI Pengembangan klaster merupakan konsep memaksimalkan potensi lokal, yang akan berdampak posistip bagi pengembangan.wilayah. Klaster merupakan konsentrasi geografi oleh perusahaan-perusahaan yang saling terkait dan juga berhubungan dengan institusi penunjangnya dalam fungsional tertentu yang memiliki banyak kesamaan dan bersifat saling melengkapi (Porter, 1998 dalam Andersson et al, 2004). Salah satu lembaga penunjang usaha klaster adalah forum lintas pelaku klaster. Forum lintas pelaku pada tingkat wilayah produksi klaster disebut dengan forum lokal klaster, pada konteks Prov. Jateng disebut Forum Rembug Klaster (FRK). Forum lintas pelaku klaster sangat penting dalam pengembangan klaster, karena ini merupakan badan pembangunan konsensus dimana sumberdaya lokal dapat berpartisipasi dan betul-betul dimanfaatkan (JICA, 2004). Salah satu klaster di Prov. Jateng adalah klaster industri logam Tumang. terletak di Dukuh Tumang, Desa Cepogo, Kec.Cepogo, Kab.Boyolali. Dalam perkembangannya terdapat berbagai permasalahan, yang disebabkan karena kurang maksimalnya kinerja FCSS (Forum Klsater Pariwisata Cepogo Selo Sawangan), sebagai forum lokal klaster, dalam pengembangan klaster industri logam Tumang. Hal ini ditunjukkan dengan program-program FCSS tidak mengakomodasi semua aspek pengembangan klaster dan jika terdapat implementasi program tidak sesuai kebutuhan pelaku usaha. Kurang maksimalnya peran FCSS ini menimbulkan permasalahan dalam sistem produksi klaster. Langkah langkah penelitian untuk memperoleh tujuan meliputi beberapa sasaran, yaitu pertama mengetahui karakteristik perkembangan dan sistem produksi klaster. Sasaran kedua mengetahui kondisi dan aktivitas FCSS dalam klaster. Kondisi FCSS yang dimaksudkan adalah: tujuan pembentukan, lingkup kerja, struktur operasional serta manajemen internal diskusi forum. Aktivitas FCSS untuk mengetahui peran FCSS terhadap klaster, yang berhubungan dengan: penguatan pertalian usaha, penguatan proses produksi, perbaikan iklim usaha dan penguatan pasar. Serta sasaran terakhir melakukan penilaian kinerja FCSS, yang terdiri: kinerja kondisi (struktur operasional dan manajemen internal) dan aktivitas FCSS dalam pengembangan klaster. Pendekatan penelitian yang diambil adalah yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif, karena dalam menyusun kerangka analisis dan mendapatkan hipotesis, yaitu menjurus ke kinerja forum efektif atau tidak, sangat berpedoman terhadap teori. Namun demikian teknik analisis yang digunakan bersifat kualitatif, karena data melibatkan banyak stakholder dan diungkap mendalam. Teknik analisis ini dijabarkan menjadi teknik diskripsi kualitatif, untuk mengetahui karakteristik perkembangan dan sistem produksi klaster, serta untuk mengetahui kondisi dan aktivitas FCSS. Dalam penelitian ini juga menggunakan teknik analisis diskripsi komparatif yaitu sintesis kondisi karakteristik klaster dengan kondisi dan aktivitas forum yang dikaitkan dengan teori kinerja forum untuk penilaian kinerja forum. Hasil dari penelitian ini, mengenai karakteristik sistem produksi klaster industri logam Tumang, menunjukkan kerjasama antar pengrajin masih belum berkembang. Hal ini menyebabkan aktivitas sistem produksi belum optimal, khususnya aspek efisiensi kolektif dalam memenuhi bahan baku, peralatan, dan penetrasi pasar. Keadaaan ini tidak didukung dengan adanya kelembagaan lokal (paguyuban dan koperasi) yang aktif menerapkan aspek kerjasama kolektif. Keadaan klaster seperti ini tidak direspon oleh FCSS sebagai lembaga dialog stakeholder dalam wilayah usaha klaster yang berfungsi memfasilitasi program pengembangan klaster. Kinerja FCSS dalam klaster belum efektif, terlihat dari kinerja mekanisme operasionalnya, yang terdiri dari struktur operasional dan manajemen internal, tidak efektif dalam mendukung aspek pengembangan klaster berupa: adanya diskusi forum yang dapat mengakomodasi kepentingan klaster serta penguatan capacity building stakeholder. Kurang maksimalnya mekanisme operasional forum disebabkan dengan lingkup kerja yang luas membuat forum tidak optimal sebagai lembaga koordinasi stakeholder, sehingga diskusi menjadi tidak representatif dan penerapan serta penguatan peran stakeholder ke klaster tidak terkoordinasi. Kinerja FCSS belum efektif juga terlihat aktivitasnya tidak mendukung aspek pengembangan klaster, berupa: penguatan pertalian usaha, penguatan proses produksi, perbaikan iklim usaha, dan penguatan pasar. Ketidakefektivan ini dikarenakan FCSS belum optimal sebagai wadah konsensus sumber daya lokal klaster Tumang, sehingga belum ada sinergisitas antara peran lembaga penunjang dengan kebutuhan lokal. Ketidakefektivan kinerja FCSS juga dikarenakan belum diakomodasinya keseluruhan program yang berhubungan dengan aspek pengembangan klaster, dan FCSS belum optimal berkoordinasi dengan lembaga lembaga penunjang untuk implementasi program yang telah tersusun.. Maka untuk lebih maksimal pengembangan klaster industri logam Tumang diperlukan sebuah forum yang fokus ke klaster industri logam Tumang dan tetap berkoordinasi dengan forum antar klaster CSS untuk pengembangan kawasan pariwisata CSS dalam merespond jalur wisata SOSEBO. Kata Kunci: FCSS, Klaster usaha, Aspek pengembangan klaster

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah merupakan hal yang penting. Pembangunan merupakan proses menuju perbaikan taraf kehidupan masyarakat secara menyeluruh dan bersifat dinamis (Michael P. Todaro dalam Bintarto, 1993). Pengertian ini menunjukkan bahwa pembangunan akan memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat dan ini akan berkembang terus sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang akan terus berkembang. Agar aktivitas pembangunan dapat maksimal ke seluruh wilayah maka konsep pengembangan wilayah perlu diterapkan. Pengembangan wilayah merupakan suatu proses yang memaksimalkan potensi terbatas pada suatu wilayah yang pada akhirnya menimbulkan potensi baru di wilayah tersebut dan ini akan mengembangkan aktivitas-aktivitas baru di wilayah lainnya. Adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, menjadikan aktivitas pengembangan wilayah merupakan suatu hal yang penting, dimana setiap daerah harus mampu mengembangkan wilayahnya dengan memaksimalkan potensi lokal yang ada. Konsep pengembangan wilayah dengan memaksimalkan potensi lokal ini disebut pengembangan lokal (Tommy Firman, 2000 dalam Agrianza, 2006), Salah satu aktivitas yang dengan cepat memicu pengembangan wilayah adalah aktivitas industri. Ini dikarenakan dengan adanya aktivitas industri akan terjadi multiplier effect dalam banyak bidang, yang berfungsi untuk mendukung proses aktivitas industri tersebut. Bidang industri penting mendapat perhatian mengingat bidang ini memiliki kaitan inter maupun intra-sektoral yang luas, memiliki potensi penciptaan nilai tambah yang tinggi dan berpotensi menyerap banyak tenaga kerja (Supratikno, 2002). Pengembangan aktivitas industri ini lebih diutamakan pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Menurut FPESD (Forum Pengembangan Ekonomi Sumber Daya) Jateng, 2006, sektor UMKM memiliki kemampuan daya saing tinggi terhadap pembangunan ekonomi dan kesempatan kerja kepada masayarakat. Sektor UMKM ini mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada, sehingga dapat berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan akhirnya berdampak positip terhadap pengembangan lokal. Pengembangan sektor UMKM dengan pendekatan konsep klaster usaha, merupakan cara efektif dalam menunjang pengembangan wilayah. Klaster usaha merupakan konsentrasi geografi oleh perusahaan-perusahaan yang saling terkait dan juga berhubungan dengan institusi penunjangnya dalam fungsional tertentu yang memiliki banyak kesamaan dan bersifat saling melengkapi (Porter, 1998 dalam Andersson et al, 2004). Klaster usaha dalam pengembangannya tidak hanya fokus pada intinya saja (core industry), tetapi juga pengembangan industri terkait 1

2 (related industries), industri pendukung (supporting industries) dan jasa-jasa lainnya. Kata kunci dalam aktivitas klaster adalah adanya efisiensi kolektif dan kerja sama kegiatan (Schmitz, 2002 dalam Supratikno, 2002). Jadi dalam klaster usaha terdapat mata rantai hubungan saling keterkaitan antara industri inti, dengan industri terkait, industri penunjang, dan didukung oleh jasa / prasarana pendukung, sehingga ini akan menciptakan rantai nilai (value chain) yang baik dalam klaster. Rantai nilai merupakan hubungan antar perusahaan yang menyebabkan efek nilai tambah melalui peningkatan produktifitas (Supratikno, 2002). Adanya sistem rantai nilai yang baik akan mendukung penguatan sistem produksi klaster (input-proses-output) untuk menciptakan kondisi kondusif pada klaster dan ini akan berdampak posistip untuk pengembangan lokal. Perwujudan klaster dengan adanya sistem rantai nilai yang baik, harus dimulai dengan memperkuat tiap-tiap aspek dalam klaster tersebut, salah satunya adalah adanya dukungan dari jasa / prasarana pendukung, yang merupakan peran dari lembaga penunjang usaha klaster. Fungsi utama dari adanya lembaga penunjang usaha ini sebagai penguat kapasitas klaster UKM, yang dirancang untuk menggeser klaster tak aktif menjadi klaster dinamis, dari UKM-UKM yang berpotensial aktif, menjadi UKM yang aktif dan dari operasi individual menjadi operasi bersama / terspesialisasikan (JICA, 2004). Partisipasi para pihak dalam lembaga penunjang klaster diharapkan berasal dari pemerintah pusat (para pembuat kebijakan), peneliti dan pengembangan (RDC), pemerintah daerah, para fasilitator, forum klaster, dan para penyedia layanan (JICA, 2004). Salah satu pihak dari lembaga penunjang usaha, yang dalam sistem kelembagaannya lebih mengutamakan konsep perencanaan partisipatif sumberdaya lokal klaster adalah forum klaster atau forum lintas pelaku klaster. Keberadaan lembaga forum lintas pelaku klaster sangat penting dalam pengembangan klaster, karena forum ini merupakan badan pembangunan konsensus dimana sumberdaya-sumberdaya lokal yang berpartisipasi dalam forum itu betul-betul dimanfaatkan (JICA, 2004). Forum lintas pelaku juga merupakan wadah yang bisa dipakai sebagai instrumen dalam memberdayakan kekuatan sumber daya lokal guna memberi masukan bagi lembaga-lembaga di daerah dalam menyusun program pembangunan setempat (Suprapto dan van Raaij, 2007), berdasarkan informasi-informasi sumber daya lokal inilah pengembangan klaster akan lebih efektif. Forum lintas pelaku klaster dibentuk pada setiap tingkatan, yaitu forum lintas pelaku klaster pada tingkat propinsi, tingkat kabupaten dan pada tingkat lokal / wilayah produksi (JICA, 2004), dari ketiga tingkatan forum ini yang sangat berperan dalam penerapan konsep perencanaan partisipatif sumber daya lokal klaster adalah forum lintas pelaku pada tingkat lokal klaster atau forum lokal klaster. Forum lokal klaster merupakan implementasi dari forum lintas pelaku klaster pada tingkat wilayah usaha produksi, dimana dalam konteks Propinsi Jawa Tengah disebut dengan Forum Rembug Klaster (FRK) dengan nama-nama spesifik sesuai dengan daerah klaster, untuk klaster industri logam Tumang disebut FCSS (Forum Klaster Pariwisata Cepogo Selo Sawangan).

3 Konsep perencanaan partisipatif sangat kental dalam forum lokal klaster yang ditunjukkan pada waktu diskusi, dimana setiap perwakilan dari stakeholder melakukan pembahasan mengenai pengembangan klaster. Pembahasan itu dilakukan secara bersama untuk mendapatkan kesepakatan skala prioritas permasalahan, kesepakatan program penanganannya. dan mendapatkan komitmen stakeholder pengembangan klaster dalam penanganan permasalahan tersebut (Wijaya, 2007). Program-program yang telah tersusun dalam forum akan diimplementasikan oleh para stakholder pengembangan klaster dengan dikoordinasi oleh forum lokal klaster, seperti pada permasalahan yang berkaitan dengan infrastruktur publik dan peraturan maka selanjutnya dapat diajukan forum ke pihak pemerintah dengan fasilitasi pihak forum di tingkat pemerintahan (Wijaya, 2007). Hal ini dikarenakan forum bukan sebagai pelaksana program tetapi wadah yang mengakomdasi dialog / koordinasi stakeholder dan program pengembangan klaster (Suprapto & van Raaij, 2007: 17). Salah satu bentuk pengembangan klaster usaha di Propinsi Jawa Tengah adalah klaster industri logam Tumang, Boyolali. Klaster ini terletak di Dukuh Tumang, Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten boyolali. Klaster ini ditetapkan oleh pemerintah propinsi Jawa Tengah sebagai bagian dari desa wisata dengan dukungan klaster industri di dalamnya. Klaster industri logam Tumang merupakan pendukung dalam pengembangan kawasan wisata dan industri SSB (Solo- Selo-Borobudur). Sebagian besar penduduk di Dukuh Tumang bermata pencaharian di sektor industri dan perdagangan, unit-unit usaha dalam klaster industri Tumang terdapat 3 (tiga) kelompok, yaitu : kelompok pengrajin alat rumah tangga tembaga, kelompok pengrajin ukir logam, dan kelompok pengrajin alat rumah tangga aluminium (Lembaga Keuangan BMT Tumang, 2006). Klaster industri logam Tumang, Boyolali, merupakan klaster industri yang memiliki prospek bagus. Hal ini ditunjukkan dengan adanya semangat dari masyarakat lokal untuk selalu menjaga budaya seni kerajinan logam, walaupun bahan bakunya bukan dari Tumang sendiri, tetapi dengan budaya ini seni kerajinan logam tetap ada. Bahan baku kerajinan logam ini sebagian besar diperoleh dari Solo dan Surabaya, yang mana ini merupakan bahan baku impor. Klaster industri logam tumang ini juga didukung adanya jaringan telekomunikasi yang cukup bagus, ditunjukkan dengan adanya jaringan telepon faksimile dan internet. Jika dilihat dari hasil produk yang ditawarkan, sudah ada yang memiliki kualitas ekspor. Dari segi tenaga kerja juga mununjukkan hal positif, yaitu penyerapan tenaga kerja dalam klaster industri logam Tumang cukup tinggi, dimana yang terlibat di dalamnya terdapat 716 karyawan, jumlah ini belum termasuk rumah tangga-rumah tangga yang memproduksi secara kecil-kecilan (Lembaga Keuangan BMT Tumang, 2006). Adanya kondisi seperti ini, maka klaster industri logam tumang juga memberi kontribusi perekonomian nasional dan juga daerah, khususnya Kecamatan Cepogo. Klaster industri logam Tumang dalam perkembangannya terdapat banyak permasalahan, secara garis besar terjadi karena kurang maksimalnya peran forum lokal klaster dalam usaha