BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG

Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000)

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG

PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN DESA/KELURAHAN DI JAWA TIMUR 22 MEI 2012

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR TIMUR

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 557 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN / KOTA SEHAT PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2016

P E N U T U P P E N U T U P

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2015

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 121 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2017

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode statistik. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Program dari kegiatan masing-masing Pemerintah daerah tentunya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/43/KPTS/013/2006 TENTANG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR

RESUME PEMERIKSAAN ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH TAHUN ANGGARAN 2015 IHPS I TAHUN 2016

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

2. JUMLAH USAHA PERTANIAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 Tentang Sengketa perselisihan hasil suara pilkada provinsi Jawa Timur

MEWUJUDKAN BIROKRASI AKUNTABEL, EFEKTIF DAN EFISIEN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG

BAB III METODE PENELITAN. Lokasi pada penelitian ini adalah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur.

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/359/KPTS/013/2015 TENTANG PELAKSANAAN REGIONAL SISTEM RUJUKAN PROVINSI JAWA TIMUR

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2015


DANA PERIMBANGAN. Lampiran 1. Data Dana Perimbangan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 110 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG BADAN KOORDINASI WILAYAH PROPINSI JAWA TIMUR

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. ditingkatkan saat beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

per km 2 LAMPIRAN 1 LUAS JUMLAH WILAYAH JUMLAH KABUPATEN/KOTA (km 2 )

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan di Indonesia masih terus dilaksanakan sampai dewasa ini

GUBERNUR JAWA TIMUR MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR: 21/Kpts/KPU-Prov-014/2013 TENTANG

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG BADAN KOORDINASI WILAYAH PROPINSI JAWA TIMUR

PERKIRAAN BIAYA (Rp) PENUNJUKAN LANGSUNG/ PEMBELIAN SECARA ELEKTRONIK PENGADAAN LANGSUNG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah yang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH

EVALUASI PROGRAM KKBPK DATA MARET 2017 PERWAKILAN BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL PROPINSI JAWA TIMUR,

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia

BAB 3 METODE PENELITIAN. disajikan pada Gambar 3.1 dan koordinat kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur disajikan

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada awal tahun 2001 mulai diberlakukannya kebijakan otonomi daerah,

VISITASI KE SEKOLAH/MADRASAH BADAN AKREDITASI NASIONAL SEKOLAH/MADRASAH

KETERSEDIAAN DATA KESEHATAN MASYARAKAT DI PROP. JAWA TIMUR DINKES PROPINSI JATIM

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ANGGARAN DAN REALISASI PADA APBD KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

KABUPATEN / NO ORGANISASI PERANGKAT DAERAH ALAMAT KANTOR KOTA. Dinas PMD Kab. Trenggalek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ekonomi suatu daerah baik itu Kabupaten maupun kota yang

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

TABEL II.A.1. LUAS LAHAN KRITIS DI LUAR KAWASAN HUTAN JAWA TIMUR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan suatu reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis konsep pembangunan ekonomi berbasis desentralisasi di Indonesia. Tujuan yang paling penting dari kebijakan otonomi daerah adalah untuk memberi wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah terutama dalam mengatur pembangunan daerahnya sendiri (Suandi, 2014). Daerah diberi kewenangan yang luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki dengan harapan pelaksanaan otonomi daerah mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Adi, 2008). Diberlakukannya kebijakan Otonomi daerah, pemberian otonomi yang luas membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk itu setiap 1

2 daerah dituntut agar dapat membiayai daerahnya sendiri melalui sumber-sumber keuangan yang dimilikinya. Kemampuan daerah dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah yang dimilikinya sebagai sumber pendapatan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi daerah tersebut. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tersebut ditindaklanjuti dengan terbitnya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 20014 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Nomenklatur pengelolaan keuangan daerah saat ini secara teknis berpedoman pada Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir menjadi Permendagri No.21 tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mengalami perbedaan yang cukup signifikan dengan Permendagri No.29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang menjadi pedoman teknis dalam pengelolaan keuangan daerah sebelumnya. Perbedaan tersebut salah satunya adalah dalam Permendagri No.29 tahun 2002 pada struktur belanjanya menggunakan istilah belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik yang masing-masing dirinci menjadi kelompok belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, sedangkan pada Permendagri No.13 tahun 2006, belanja terdiri dari belanja tidak langsung yang dikelompokkan menjadi belanja pegawai, belanja hibah, belanja bantuan sosial,

3 belanja bagi hasil kepada kabupaten/kota, belanja bantuan keuangan kepada kabupaten/kota dan pemerintah desa, belanja tidak terduga, dan belanja langsung yang dikelompokkan menjadi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal (Hardiningsih dan Rachamawati, 2013). Belanja modal yang diperuntukkan dalam penyediaan fasilitas publik, seperti rumah sakit, sekolah, jembatan dan prasarana umum lainnya adalah menjadi tanggungjawab dan merupakan komitmen pemerintah dalam memperbaiki layanan publik, sehingga dapat disimpulkan, bahwa alokasi belanja modal yang besar menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyediakan fasilitas publik. Perilaku pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah akan berpengaruh dalam proses penganggaran daerah. Struktur anggaran daerah mencerminkan besar kecilnya upaya pemerintah daerah dalam pembangunan daerah, terutama jika melihat pada porsi belanja modal. Ditinjau dari perspektif teori keagenan, masalah-masalah keagenan dapat muncul dalam proses penganggaran publik, baik itu masalah antara pemerintah daerah dengan legislatif (DPRD) maupun masalah antara legislatif dengan publik. Munculnya permasalahan keagenan tersebut adalah wajar dalam konteks hubungan antara agen dengan prinsipal, namun diharapkan masalah tersebut didasari oleh altruisme semata untuk kemajuan daerah, pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas, sehingga kinerja keuangan yang baik akan berpengaruh pada struktur anggaran yang condong pada pembangunan daerah (Hidayat, 2013).

4 Alokasi belanja modal yang ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diformalkan dengan Peraturan Kepala Daerah dalam setiap tahun. Salah satu pertimbangannya adalah kondisi keuangan seperti PAD, total belanja, capaian realisasi, dana perimbangan. Pemerintah daerah yang mempunyai kondisi keuangan yang sehat tentunya akan mempunyai keleluasaan yang lebih besar untuk mengalokasikan sumber dayanya kedalam belanja, sehingga kemungkinan akan menetapkan alokasi belanja modal yang lebih besar, dan sebaliknya apabila kondisi keuangan pemerintah daerah kecil, kemungkinan untuk mengalokasikan kedalam belanja modal juga akan kecil. Dalam menyusun anggaran, pemerintah daerah dituntut untuk akuntabel, karena pada umumnya penganggaran akan menghadapi masalah pengalokasian. Masalah pengalokasian ini terutama terkait dengan sumber daya dan potensi. Dengan sumber daya yang terbatas, pemerintah daerah harus dapat mengalokasikan penerimaan yang diperoleh untuk belanja daerah yang bersifat produktif. Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum (Kawedar dkk, 2008). Berikut ini adalah tren belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2012.

5 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1 Kab. Ngawi Kab. Magetan Kab Ponorogo Kab Trenggalek Kab. Bojonegoro Kab. Lamongan Kab. Lumajang Kab. Bangkalan Kota Pasuruan kab pacitan Kab. Sampang Kab. Situbondo Kab. Sumenep Kota Mojokerto Kab. Malang Kab. Probolinggo Kab. Blitar Kab. Jombang Kota Blitar Kab. Bondowoso Kota Probolinggo Kab. Tuban Kab. Nganjuk Kab. Gresik Kab. Tulungagung Kota Batu Kota Kediri Kab. Kediri Kab. Pasuruan Kab. Sidoarjo Kab Madiun Kab. Pamekasan Kota Malang Kab. Banyuwangi Kab.Mojokerto Kota Madiun Kab. Jember Kota Surabaya Sumber: data sekunder yang diolah Gambar 1 Alokasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Jawa Timur Paparan grafik di atas, rasio belanja modal yang tertinggi terdapat di Kota Surabaya yaitu sebesar 27,93% dan yang terkecil di Kabupaten Ngawi sebesar 12,64% sedangkan nilai rata-rata sebesar 18,70%. Dilihat dari grafik, menunjukkan bahwa kondisi rasio belanja modal sebagian besar Kabupaten/Kota di Jawa Timur masih menganggarkan belanja modal dengan porsi yang kecil, yaitu dibawah rata-rata, ini berarti bahwa sebagian daerah masih belum memberikan perhatian yang cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonominya, apalagi dengan munculnya Permendagri No.27 tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun anggaran 2014, dimana disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja modal pada APBD Tahun Anggaran 2014

6 sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari belanja daerah sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014. Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Menurut rilis Kemendagri tahun 2013, bahwa minimal alokasi belanja modal adalah 30% dari total belanja daerah. Belanja modal sendiri ditambah belanja barang dan jasa, merupakan belanja pemerintah yang diharapkan memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Halim dan Abdullah (2006), menunjukkan bahwa pengalokasian belanja modal berkaitan dengan ketersediaan pendanaan dari pendapatan daerah. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, Pemerintah melakukan transfer dana APBN kepada daerah berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membiayai kegiatan khusus prioritas nasional yang menjadi urusan daerah yang diarahkan pada kegiatan yang bersifat investasi pembangunan berbagai sarana dan prasarana pelayanan publik. Daerah penerima DAK memiliki kewajiban untuk menyediakan dana pendamping dalam APBD minimal sebesar 10% dari jumlah DAK yang diterima. Dengan demikian, peningkatan transfer berupa DAK akan turut mendorong peningkatan alokasi belanja modal pada APBD. Penelitian Legrensi dan Milas (2001) dalam Abdullah dan Halim (2003) menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh

7 terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal. Penelitian Ikin Solikin (2007) menunjukkan hubungan positif yang kuat antara pendapatan asli daerah dengan belanja modal. Sularso dan Restianto (2011) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa alokasi belanja modal dipengaruhi oleh kinerja keuangan, dan alokasi belanja modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung dipengaruhi oleh kinerja keuangan daerah. Penelitian Zhang dan Zou (1998) dan Xie, et all (1999) mendapatkan hasil bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kurang menguntungkan bagi pembangunan. Sebaliknya, hasil studi Limi (2005) dan Malik dkk (2006) menunjukkan hasil berbeda, yakni bahwa desentralisasi fiskal mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu pada objek penelitian dan jenis variabel independen yang digunakan. Pada penelitian ini yang menjadi obyek adalah pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur dan analisis data menggunakan analisis data panel untuk periode satu tahun yaitu tahun 2012. B. Rumusan Masalah Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka dibangun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Apakah derajat desentralisasi berpengaruh terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur.

8 2. Apakah efektifitas PAD berpengaruh terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. 3. Apakah kemandirian keuangan berpengaruh terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. 4. Apakah derajat desentralisasi, efektivitas PAD dan kemandirian keuangan berpengaruh terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dibuat, maka tujuan dari penelitian ini ditetapkan. 1. Untuk mengetahui pengaruh derajat desentralisasi terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. 2. Untuk mengetahui pengaruh efektivitas PAD terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. 3. Untuk mengetahui pengaruh kemandirian keuangan terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur. 4. Untuk mengetahui pengaruh derajat desentralisasi, efektivitas PAD dan kemandirian keuangan terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur.

9 D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak, diantaranya. 1. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pada pemerintah daerah dalam melakukan penilaian kinerja keuangannya, terutama dalam mengalokasikan belanja modal pada pemerintah daerahkabupaten/kota di Jawa Timur. 2. Bagi Legislator Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi legislator/dprd dimana mereka memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap pemerintah daerah terutama dalam hal kinerja keuangannya yang akan datang dalam hal mengalokasikan belanja modal daerah/kota Propinsi Jawa Timur. 3. Bagi Akademik Sebagai tambahan literatur yang dapat digunakan sebagai pengembangan penelitian selanjutnya oleh mahasiswa.