BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trombosit Trombosit adalah badan kecil tanpa nukleus dan tak berwarna yang ditemukan dalam darah. Badan kecil ini berfungsi untuk pembekuan darah pada tempat cedera pembuluh darah, serta mencegah kehilangan darah yang berlebihan. Trmobosit berbentuk cakram bikonveks tipis, berdiameter 2-3µ (Fawcet, 2002). Trombosit dibentuk dalam sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma megakariosit, yaitu sel besar yang bernukleus banyak. Trombosit terus dibentuk dan dilepaskan ke dalam darah dan bertahan hidup selama 9-10 hari. Meskipun tidak memiliki nukleus dan tidak sanggup membuat protein, trombosit tetap dapat melakukan berbagai aktivitas sel-sel utuh. Trombosit mengkonsumsi oksigen dan mempunyai metabolisme aktif yang tergantung pada enzim pembangkit energi dari sati atau dua mitokondria kecil dalam sitoplasmanya (Fawcet, 2002). Gambar 2.1 Struktur trombosit (Fawcet, 2009) 2.1.1 Fungsi Trombosit Trombosit beredar dalam darah, tidak saling melekat, tidak melekat pada sel darah lain, dan tidak pula melekat pada pembuluh darah. Namun, jika ada
endotel yang cedera, trombosit menjadi lengket dan dengan cepat saling melekat pada tempat cedera untuk mengawali pembekuan darah untuk membatasi darah yang hilang. Jika lapisan endotel tidak utuh dan memaparkan jaringan ikat di bawahnya, maka trombosit dengan cepat melekat pada kolagen melalui protein pengikat kolagen yang terdapat dalam trombosit. Perlekatan ini kemudian mengaktifkan trombosit, selanjutnya terjadi perombakan ATP dan pembebasan ADP serta glikoprotein adesif ke lingkungan sekitarnya. ADP adalah pemicu agregasi trombosit yang kuat, dengan demikian akan memicu trombosit lainnya untuk melekat dalam jumlah yang besar pada endotel yang rusak (Waterbury, 2001). Bersamaan dengan kejadian ini, reaksi pembekuan kompleks dimulai. Substansi yang disebut tromboplastin jaringan dilepaskan oleh sel endotel yang cedera, mengawali sederetan reaksi dalam plasma darah yang mengkonversi protrombin menjadi trombin. Trombin pada gilirannya akan mengkatalis pengkonversian fibrinogen menjadi fibrin yang berpolimerasi membentuk anyaman fibril halus bergaris melintang. Fibril ini mengikat reseptor spesifik pada membran trombosit, membantu melekatkan satu sama lain, dan pada waktu yang sama menangkap banyak eritrosi dalam anyaman fibrin utnuk membentuk bekuan darah mirip gel (Waterbury, 2001). Fungsi platelet diatur oleh tiga kategori substansi. Kelompok pertama terdiri dari agen-agen yang dibentuk di luar platelet yang berinteraksi dengan reseptor-reseptor yang terdapat pada membran platelet, misalnya katekolamin, kolagen, trombin dan prostasiklin. Kategori kedua terdiri dari agen-agen yang dibentuk di dalam platelet yang berinteraksi dengan reseptor membran, misalnya
ADP, prostaglandin D 2, prostaglandin E 2, dan serotonin. Kategori ketiga terdiri dari agen-agen yang dibentuk di dalam platelet dan bekerja di dalam platelet, misalnya prostaglandin endoperoksida dan tromboksan A 2, nukleotida siklis camp dan cgmp, serta ion kalsium (Mehta dan Hoffbrand,2006). 2.1.2 Trombositopenia Gangguan jumlah ataupun fungsi trombosit dapat menyebabkan terganggunya waktu perdarahan dan kelainan refraksi bekuan. Hitung trombosit merupakan kuantifikasi trombosit yang beredar dalam darah, sedangkan untuk mengevaluasi seberapa banyak trombosit yang diproduksi, perlu dilakukan pemeriksaan megakariosit sumsum tulang. Apabila hitung trombosit normal, tetapi gejala klinis dan uji laboratorium penapisan mengisyaratkan gangguan trombosit, maka diindikasikan bahwa trombosit mengalami gangguan fungsi, sehingga perlu dilakukan uji kualitatif trombosit (Brusher, 2003). Salah satu bentuk gangguan jumlah trombosit yang sering terjadi adalah trombositopenua. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit yang beredar dalam pembuluh darah kurnag dari jumlah normal. Penyebab utama trombositopenia dapat diklasifikasikan menjadi dua katergori yaitu kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi trombosit dan peningkatan destruksi perifer. Menurut Fawcet (2002), penyebab trombositopenia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Trombositopenia akibat penurunan produksi trombosit Hal-hal yang mengganggu pematangan selular sumsum tulang sering menyebablan trombositopenia. Pada sebagian besar kasus diperlukan pemeriksaan aspirat dan biopsi sumsum tulang untuk memastikan
diagnosis. Hal-hal yang dapat mempengaruhi produksi trombosit antara lain, virus, obat-obatan, alkohol, dan defisiensi selektif megakariosit. b. Trombositopenia akibat sekuestrasi trombosit Limpa pada kondisi normal mengandung sampai sepertiga dari semua trombosit yang beredar dalam darah, walaupun relatif hanya sedikit trombosit yang mengalami destruksi setiap kali darah melewati limpa. Pembesaran masif limpa meningkatkan jumlah trombosit yang dibersihkan dari sirkulasi aktif melalui sekuestrasi limpa dan mengurangi umur seluruh trombosit dalam sirkulasi. Penyakit hati, hipertensi porta, dan limfoma merupakan penyakit yang sering menyebabkan spelnomegali yang sedemikian besar sehingga jumlah trombosit akan terpengaruh. c. Trombositopenia akibat destruksi imunoligik trombosit Trombosit dapat dihancurkan oleh autoantibodi, aloantibodi dan antibodi yang ditujukan terhadap obat. Aloantibodi relatif jarang menimbulkan masalah kecuali pada pasien trombositopenik yang mendapat transfusi trombosit berulang dan membentuk antibodi terhadap antigen leukosit manusia. Para pasien ini refrakter terhadap transfusi trombosit dari donor acak memerlukan trombosit dari donor dengan fenotipe HLA yang sesuai. Kasus yang lebih jarang terjadi adalah terdapat antibodi terhadap antigen trombosit spesifik; anti-hpa-1a. Biasanya hal ini terjadi pada ibu hamil yang melakukan imunisasi sehingga kadang-kadang anti-hpa-1a ibu melewati plasenta dan menghancurkan trombosit janin, sehingga bayi yang baru lahir dapat menderita trombositopenia aloimun neonatus.
d. Trombositopenia akibat obat dan pembentukan kompleks imun Banyak obat diperkirakan menjadi penyebab serangan trombositenia akut, sebagian besar kasus adalah idiosinkratik tersendiri. Obat yang sering menjadi penyebab adalah kuinin, dan isomer optisnya kuinidin. Digitoksin, heparin, dan tiazida kadang-kadang dapat pula menyebabkan trombositopenia. Biasanya antibodi ditujukan kepada obat, bukan kepada trombosit. Apabila trombosit menyerap obat dari plasma, antibodi akan merusak trombosit sewaktu melekat pada obat. Sekitar 5% dari semua pasien yang mendapat heparin untuk profilaksis maupun terapi memperlihatkan sindrom trombositopenia yang diinduksi heparin (HIT). Pasien yang mengalami HIT memiliki kompleks heparin-igg yang berikatan dengan reseptor Fc trombosit dan menyebabkan pembersihan trombosi dari sirkulasi. 2.2 Teh Tanaman teh (Camellia sinensis) berasal dari daratan Asia Selatan dan Tenggara, namun sekarang telah dibudidayakan di seluruh dunia, baik daerah tropis maupun subtropis. Tumbuhan ini merupakan perdu atau pohon kecil yang biasanya dipangkas bila dibudidayakan untuk dipanen daunnya. Ia memiliki akar tunggang yang kuat. Bunganya kuning-putih berdiameter 2,5-4 cm dengan 7 hingga 8 petal (Hartoyo, 2003). Daunnya memiliki panjang 4-15 cm dan lebar 2-5 cm. Daun segar mengandung kafein sekitar 4%[1]. Daun muda yang berwarna hijau muda lebih disukai untuk produksi teh; daun-daun itu mempunyai rambut-rambut pendek
putih di bagian bawah daun. Daun tua berwarna lebih gelap. Daun dengan umur yang berbeda menghasilkan kualitas teh yang berbeda-beda, karena komposisi kimianya yang berbeda. Biasanya, pucuk dan dua hingga tiga daun pertama dipanen untuk permrosesan. Pemetikan dengan tangan ini diulang setiap dua minggu (Hartoyo, 2003). Taksonomi teh menurut Setyamidjaja (2000), adalah sebagai berikut: Kerajaan Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies :Plantae :Spermatophyta :Angiospermae :Dikotiledon :Guttiferalis :Theaceae :Camellia :Camelia sinensis 2.2.1 Kandungan Kimia Daun Teh Menurut Balittri (20013), kandungan senyawa kimia dalam daun teh dapat digolongkan ke dalam empat kelompok besar, yaitu golongan fenol, golongan bukan fenol, golongan aromatis dan enzim, dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Golongan fenol Yang termasuk ke dalam golongan fenol yang terdapat dalam daun teh antara lain: i. Katekin Katekin adalah senyawa metabolit sekunder yang secara alami dihasilkan oleh tumbuhan dan termasuk ke dalam golongan
flavonoid. Senyawa ini memiliki akitvitas antioksidan berkat gugus fenol yang dimilikinya. ii. Flavanol Struktur molekul senyawa flavanol hampir sama dengan katekin tetapi berbeda pada tingkatak oksidasi dari inti difenolpropan primernya. Senyawa flavanol ini merupakan satu di antara sekian banyak antioksidan alami yang dapat mengikat logam. Senyawa flavanol dalam teh kurang disebut sebagai penentu kualitas, tetapi diketahui mempunyai aktivitas dapat menguatkan dinding pembuluh darah kapiler. Flavanol dari daun teh meliputi senyawa kaemferol, kuersetin, dan mirisetin dengan kandungan 3-4% dari bobot kering. b. Kandungan bukan fenol Golongan bukan fenol yang terdapat dalam daun teh adalah: i. Karbohidrat ii. iii. iv. Pektin Alkaloid Protein dan asam amino v. Klorofil dan zat warna lain vi. vii. viii. ix. Asam organik Vitamin Resin Mineral c. Senyawa aromatis
Aroma merupakan salah satu sifat yang penting sebagai penentu kualitas teh, dimana aroma tersebut sangat erat hubungannya dengan substansi aromatis yang terkandung dalam daun teh. Substansi aromatis yang terbe`ntuk secara alamiah jauh lebih sedikit dibandingkan substansi yang terbentuk selama proses pengolahan teh. Adapun senyawa aromatis yang secara alamiah sudah ada pada daun teh diantaranya adalah linalool, geraniol, benzil alkohol,dan metil salisilat. d. Enzim Enzim yang terkandung dalam daun teh diantaranya adalah invertase, amilase, β-glukosidase, oksimetilase, protease dan peroksidase yang berperan sebagai biokatalisator pada reaksi kimia dalam tanaman. Selain itu terdapat enzim polifenol oksidase yang berperan penting dalam proses pengolahan teh yaitu pada proses oksidasi katekin. Enzim pektase dan klorofilase masing-masing aktif dalam reaksi perubahan pektin dan klorofil. 2.2.2 Jenis - Jenis Teh Menurut Rossi (2010), secara umum, berdasarkan cara/proses pengolahannya, teh dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu: a. Teh hijau Teh hijau dibuat dengan cara menginaktifasi enzim oksidase yang ada dalam pucuk daun teh segar dengan cara pemanasan atau penguapan menggunakan uap panas, sehingga oksidasi enzimatik terhadap katekin dapat dicegah. b. Teh hitam
Teh hitam dibuat dengan cara memanfaatkan terjadinya oksidasi enzimatis terhadap kandungan katekin. Enzim yang berperan dalam proses oksidasi ini adalah enzim polifenol oksidase yang terdapat dalam daun teh itu sendiri. c. Teh oolong Teh oolong dihasilkan melalui proses pemanasan yang dilakukan segera setelah proses rooling/penggulungan daun, dengan tujuan untuk menghentikan fermentasi. Oleh karena itu, teh oolong disebut juga sebagai teh semi-fermentasi, yang memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan teh hitam dan teh hijau. 2.2.3 Teh Hitam Teh hitam adalah jenis teh yang dalam pengolahannya melalui proses fermentasi secara penuh. Fermentasi tidak menggunakan mikroba sebagai sumber enzim, tetapi menggunakan enzim polifenolo oksidse yang terdapat dalam daun teh itu sendiri. Aktivitas enzim sangat berperan untuk membetuk teaflavin dan tearubigin. Meskipun proses produksi teh hitam tergantung pada daerah masingmasing, tetapi secara umum proses produksi teh hitam adalah sebagai berikut: pemetikan daun teh, pelayuan, penggulungan, fermentasi dan penggulungan (Hartoyo, 2003). Teh merupakan sumber yang kaya akan polifenol, khususnya flavonoid. Flavonoid utama yang terdapat dalam teh hitam adalah epikatekin, epikatekin galat, epigalokatekin, dan epigalokatekin galat. Pada proses pembuatan teh hitam, katekin dioksidasi secara enzimatis menjadi teaflavin dan tearubigin. Teaflavin ini berkontribusi terhadap karakteristik warna kemerahan dari teh hitam. Teaflavin
mampu mencegah terjadinya oksidasi lipid lebih efektif dari pada epigalokatekin galat. Selain itu teaflavin dapat meningkatkan antioksidan alami tubuh seperti glutatonin-s-transferase, glutatonin peroksidase, dismutase superoksida, dan katalase (Balittri, 2013). 2.3 Heparin Heparin adalah senyawa yang menyebabkan darah tidak menggumpal, yang secara alami diproduksi oleh tubuh. Organ yang banyak memproduksi heparin adalah paru-paru, hati dan endotel. Sebagai obat antikoagulan, heparin hanya dapat diberikan melalui injeksi. Indikasi pemberian heparin adalah pada angina pectoris yang tidak stabil atau pada pasien infark miokard sesudah pemberian trombolitik (Gray, dkk., 2001). Heparin terdiri dari dua sediaan, yaitu heparin unfractional dan low molecul heparin. Pemberian heparin kepada pasien harus dilakukan melalui infus secara perlahan-lahan dan dengan dosis yang semakin ditingkatkan (Neal, 2005). Kerja utama heparin sebagai antikoagulan disebabkan oleh pengikatan heparin pada antitrombin III. Heparin juga menginaktifkan faktor-faktor IIa, IXa, Xa, XIa, XIIa, dan XIIIa serta menetralkan tromboplastin jaringan. Heparin tidak terfraksi merupakan bentuk rantai mukopolisakarida yang dapat mengakselerasi kerja antitrombin III dan kofaktor heparin II yang ada secara alami. Dalam plasma, dibutuhkan sekitar 20x lebih banyak heparin tidak terfraksi untuk menginaktifasi trombin yang terikat pada fibrin daripada untuk menginaktivasi trombin bebas. Hal ini menjelaskan mengapa lebih banyak heparin yang
dibutuhkan untuk mencegah ekstensi trombosis vena daripada untuk mencegah pembentukan trombus awal (Davey, 2005). Heparin tidak diabsorbsi melalui mukosa gstrointestinal. Ketika berada dalam aliran darah setelah pemberian parental, heparin mengikat sel endotelial, makrofag mononuklear, dan sejumlah protein plasma. Peningkatan kadar protein plasma ini menjelaskan perbedaan dosis individu heparin untuk menghasilkan efek antitrombotik serupa (Davey, 2005). Low molekul heparin merupakan oligosakarida yang diekstraksi dari heparin. Senyawa-senyawa ini mempunyai rasio yang lebih aktivitas anti-xa sampai anti-iia yang lebih tinggi daripada heparin sehingga digunakan pada dosis yang lebih rendah. Selain itu, heparin berbobot molekul rendah mempunyai keterdediaan hayati injeksi subkutan lebih besar dan mempunyai waktu paruh lebih lama daripada heparin (Kee, 1996). Efek samping heparin yang utama adalah perdarahan, yang lebih tingi kemungkinan terjadinya jika heparin tidak terfraksi diberikan secara intermitten dibandingkan dengan infus kontinyu. Trombositopenia yang diinduksi heparin terjadi pada 2,4% pasien yang mendapatkan dosis terapeutik. Beberapa batasan penggunaan heparin tidak terfraksi dapat diatasi dengan heparin berat molekul rendah (Kee, 1996). Pengenalan dini trombositopenia merupakan tindakan yang penting karena keadaan ini bersifat refersible jika pemberian heparin dihentikan, tetapi bila dibiarkan saja dapat menyebabkan emboli arteri yang fatal. Ada dua bentuk trombositopenia yang ditemukan pada pemberian heparin, yaitu bentuk ringan, dimana terjadi pada 33% resipien dan akan hilang dengan sendirinya. Bentuk
lainnya adalah bentuk lambat/berat yang jarang terjadi dan dapat menimbulkan trombosis arteri atau vena (Brusher, 2003). Perdarahan biasanya dapat dikendalikan dengan menghentikan pemberian obat, karena heparin mempunyai durasi kerja yang singkat (4-6 jam). Bila dibutuhkan, heparin dapat dinetralkan dengan suntikan protamin intravena, suatu peptida basa yang terikat dengan heparin yang bersifat asam. Kadang-kadang heparin dapat menimbulkan reaksi alergi dan trombositopenia (Brusher, 2003).