EMPAT SEGEL DHARMA (THE FOUR SEALS) oleh Yang Suci Dalai Lama

dokumen-dokumen yang mirip
Gatha Dasar Jalan Tengah (Mulamadhyamakakarika) The Fundamental Wisdom of the Middle Way oleh Arya Nagarjuna. Pengantar

English / Indonesian/Original Term Daftar Istilah Original Term

Pratityasamutpada: Sebuah Pujian Buddha (Dependent Arising: A Praise of the Buddha) oleh Je Tsongkhapa

Dalam bahasa Sanskerta ajaran ini disebut Arya Vajra Chedaka Nama Prajna Paramita Mahayana Sutra.

Ulasan Tentang Bodhicitta Exposition of Bodhicitta (Sanskerta: Bodhicittavivarana) oleh Arya Nagarjuna

Suluh Pada Jalan Penggugahan (The Lamp for the Path to Enlightenment) Skt: Bodhipathapradipam Tibet: Byang-chub lam-gyi sgron-ma

Tujuh Belas Pandita dari Universitas Nalanda (The Seventeen Pandits of Nalanda Monastery)

oleh Tog-me Zong-po (Thogs.med bzang.po, )

Amatilah citta kita. Jika kita benar-benar percaya

Sutta Kalama: Kepada Para Kalama (Kalama Sutta: To the Kalamas)

EMPAT DAYA Praktik Purifikasi untuk Menghilangkan Karma-karma Negatif Masa Lampau

Bhadracarya Pranidhana

Sutta Maha Kammavibhanga: Penjelasan Mendetail Tentang Kamma (Maha Kammavibhanga Sutta: The Great Exposition of Kamma) Majjhima Nikaya 136

Doa-doa Sesudah Pembabaran Dharma (Prayers After the Teachings)

Kehidupan Agung dan Prajna yang Tak Terbayangkan (Unfathomable Exalted Life and Transcendental Wisdom).

12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

SILA-SILA BODHISATTVA (THE VOWS OF THE BODHISATTVA)

Tibetan title: lam gyigtsobornam pa gsum Dalam bahasa Tibet: lam gyigtsobornam pa gsum

A Mahayana Training of the Mind Pengembangan Citta Mahayana. Theg-pa chen-po i blo-sbyong mtshon-cha khor-lo

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SMPLB TUNADAKSA

Rp ,- Daftar Isi

Bhavanakrama Madhya (Tahap-tahap Meditasi versi Menengah) oleh Acharya Kamalashila

PUJA Bhagavan Buddha Bhaishajyaguru Vaiduryaprabharaja. The Wish- Fulfilling Jewel

62 Pandangan Salah (6)

Sutta Mahavacchagotta (The Greater Discourse to Vacchagotta)

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SMPLB TUNARUNGU

Sutta Magandiya: Kepada Magandiya (Magandiya Sutta: To Magandiya) [Majjhima Nikaya 75]

PRINSIP-PRINSIP KARMA & AKIBATNYA SUMBER SEGALA KEBAHAGIAAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. karena kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

Sutta Nipata menyebut keempat faktor sebagai berikut: Lebih lanjut, murid para

RASA BAKTI PADA GURU

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya

Meditasi Pagi. (Daily Meditation)

Suvarnaprabhasottama Sutrendrarajasutra

PENGENALAN TANTRA. Edisi khusus cetak ulang dalam rangka Peringatan 25 Tahun kedatangan Rinpoche ke Indonesia ( )

(SUTRA MAIIA KESADARAN YANG SEMPURNA) JILID 2. oleh: Tripitakacarya Buddhatrata. (+ 650 tahun SM) Terjemahan Bahasa Indonesia oleh: Editor:

Tidak Ada Ajahn Chan. Kelahiran dan Kematian

AN 7.63 Sutta Nagara: Benteng (Nagara Sutta: The Fortress)

Sutta Devadaha: Di Devadaha (Devadaha Sutta: At Devadaha) [Majjhima Nikaya 101]

MODUL PENGANTAR FILSAFAT (PSI 113) MODUL 1 PENGERTIAN DAN PERENUNGAN KEFILSAFATAN DISUSUN OLEH. Drs. MULYO WIHARTO, MM, MHA UNIVERSITAS ESA UNGGUL

Arya Sanghata Sutra Dharma-paryaya

Sang Buddha. Vegetarian&

YANG MULIA KHENZUR RINPOCHE LOBSANG TENPA EMPAT SEGEL AGUNG BUDDHA DHARMA BAGIAN 2

Agama dan Tujuan Hidup Umat Buddha Pengertian Agama

Meditasi. Oleh : Taridi ( ) KTP. Standar Kompetensi Mengembangkan meditasi untuk belajar mengendalikan diri

35. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SMP

Jadwal Kagyu Monlam ke December January, 2013

Solilokui Panjang. Solilokui ( Percakapan Seorang Diri) Yang Panjang

PRINSIP-PRINSIP KARMA & AKIBATNYA SUMBER SEGALA KEBAHAGIAAN

2015 PENERAPAN TEKNIK MENULIS BERANTAI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS TEKS ULASAN FILM ATAU DRAMA

VEN. DAGPO RINPOCHE LOBSANG JHAMPEL JHAMPA GYATSO

Vajrachedika Prajna Paramita Sutra 普陀觀音堂

Beberapa Kunci Penting Dalam Latihan

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SMPLB TUNANETRA

12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Maha. Vaipulya Paripurnabuddhi. Nitartha. Sutra

Sutta Cula- Malunkyovada: Petunjuk Singkat Kepada Malunkya (Cula- Malunkyovada Sutta: The Shorter Instructions to Malunkya) [Majjhima Nikaya 63]

PELITA SANG JALAN MENUJU PENCERAHAN

o Di dalam tradisi Theravāda, pāramī bukanlah untuk Buddha saja, tetapi sebagai prak/k yang juga harus dipenuhi oleh Paccekabuddha dan sāvakā.

Sadhana Vajrayoga Padmakumara III

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat saat ini,

TOKI NYUDO DONO GO-HENJI CHIBYO-SHO WNS Doct.2 Hal.251

Sila-sila Zhen Fo Zong

Memahami Buddhisme. Tradisi Mahayana. Oleh Ven. Master Chin Kung

JALAN MUDAH MENUJU KEMAHATAHUAN

PENJELASAN AJARAN DALAM PRAJNA PARAMITA HDRAYA SUTRA (SIN CING) Nyoto STABN Sriwijaya

YANG MULIA KHENZUR RINPOCHE LOBSANG TENPA EMPAT SEGEL AGUNG BUDDHA DHARMA BAGIAN 1

地母真經手抄文件 Penyalinan Sutra Bodhisattva Di Mu

Bab 2. Landasan Teori. Buddhisme dengan suatu citra tertentu, sedangkan dalam komunitas Buddhis tradisional

Freeing Problems in Life with Metta Ajahn Brahm Dhamma Talk 30 Jan 2009 SELAMAT!!!!!!!

佛說出家功德經手抄文件 Penyalinan Sutra Pahala Menjadi Bhikkhu

AJARAN AGUNG PARA GURU

1. The Dharma taught by the Buddhas Is based upon the doctrine of the two levels of truths: The conventional truth that deceives the world

Tiga Sumpah Agung. Hal 1.

E. Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman. Belajar sesungguhnya adalah ciri khas manusia dan yang

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman

Kasih dan Terima Kasih Kasih dan Terima Kasih

SANDAI HIHO HONJO-JI (Surat Perihal Tiga Hukum Rahasia Agung)

佛說長壽命滅罪護諸童子陀羅 尼咒經手抄文件

BAB I PENDAHULUAN. tengah menunjuk pada cara pandang dan bersikap. Dalam kehidupan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KARAKTERISTIK DAN ESENSI AGAMA BUDDHA

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan. terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

Jangan membiarkan, jangan mengundang iblis. (*Dengan Komentar Shifu) Dengan Pikiran Lurus manfaatkan waktu menyelamatkan manusia

KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI)

JALAN MUDAH MENUJU KEMAHATAHUAN

SUTTA SATIPATTHANA [JALAN LANGSUNG]

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

Jadikan Batinmu Seluas Samudra

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

1.Definisi Hukum. 2.Pembagian/jenis-jenis Hukum

Aturan -Moralitas Buddhis

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

YANG MULIA DAGPO RINPOCHE LOBSANG JHAMPEL JHAMPA GYATSO

SUTRA 42 BAGIAN. B. Nyanabhadra

BAB I PENDAHULUAN. membentuk manusia yang berkualitas, berkompeten, dan bertanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

A: Sebagaimana kita telah rembuk kemarin malam, apakah akan dilanjutkan juga musyawarah kita ini?

Transkripsi:

1 EMPAT SEGEL DHARMA (THE FOUR SEALS) oleh Yang Suci Dalai Lama Empat Segel Dharma: (1) Semua yang terbentuk/tergabung adalah anitya (2) Semua Dharma/fenomena bersifat shunya (3) Semua fenomena yang terkontaminasi (sasrava) adalah duhkha, dan (4) Nirvana adalah kedamaian sejati

2 EMPAT SEGEL DHARMA Empat Segel (the Four Seals) yang disebutkan di atas mempunyai implikasi yang mendalam bagi seorang praktisi Buddhis. Segel yang pertama menyatakan bahwa semua fenomena yang terbentuk/tergabung adalah anitya. Pertanyaan mengenai anitya telah diuraikan secara terperinci (dan menyeluruh) oleh (para) Pengikut Sutra (Sautrantika), yang menjelaskan bahwa semua fenomena yang terbentuk (tergabung) bersifat anitya, dalam arti bahwa karena dihasilkan dari suatu sebab, sebuah fenomena bersifat anitya atau (menuju) kehancuran. Jika sesuatu dihasilkan dari suatu sebab, maka tidak diperlukan sebab lainnya untuk hancur. Saat di mana sesuatu dihasilkan dari suatu sebab, proses kehancurannya telah dimulai. Oleh karena itu, kehancurannya tidak membutuhkan sebab lain. Ini adalah makna mendalam (lebih sukar dipahami) dari anitya, bahwa sesuatu yang dihasilkan dari sebab-sebab adalah dikendalikan oleh yang lain (other-powered) dalam arti bahwa terkait pada sebab-sebab dan kondisi-kondisi, dan oleh karena itu, berubah-ubah dan (menuju) kehancuran. Ini sangat mendekati penjelasan para ahli fisika mengenai sifat keberadaan, fenomena sesaat. Segel yang kedua menyatakan bahwa semua fenomena yang terkontaminasi bersifat duhkha. 1 Di sini, fenomena yang terkontaminiasi mengacu pada jenis fenomena yang dihasilkan dari karma-karma negatif (sasravakarma) dan klesha. Seperti yang dijelaskan di atas, sesuatu yang dihasilkan adalah dikendalikan oleh yang lain (other-powered) dalam arti tergantung pada sebab-sebab. Dalam kasus ini, sebab-sebab mengacu pada avidya 2 dan klesha 3 kita. Karma-karma negatif (sasravakarma) dan avidya membentuk fenomena negatif, kesalahpengertian mengenai realitas, dan selama sesuatu di bawah pengaruh negatif demikian, akan mempunyai sifat duhkha. Di sini, duhkha tidak hanya berarti penderitaan fisik, tetapi (sesuatu) yang bersifat tidak memuaskan. Dengan berkontemplasi pada kedua segel mengenai anitya dan sifat duhkha dari fenomena terkontaminasi, kita dapat mengembangkan sikap yang tulus mengenai pengentasan diri, 4 determinasi untuk terbebas dari duhkha. Timbul pertanyaan kemudian, apakah mungkin bagi kita untuk mencapai keadaan terbebas seperti itu? Di sinilah masuk Segel Ketiga, bahwa semua fenomena adalah shunya dan anatmata. 5 Pengalaman kita tentang duhkha muncul karena sebab-sebab dan kondisi-kondisi, yang merupakan karma-karma negatif dan disebabkan oleh avidya. Avidya ini adalah kesalahpengertian. Avidya tidak memiliki basis yang sahih dan karena avidya mengaprehensi fenomena dalam cara yang bertentangan dengan yang sesungguhnya, maka terdistorsi, keliru dan bertentangan dengan kenyataan. Sekarang, jika kita dapat menghilangkan kesalah-pengertian ini, maka berakhirnya duhkha (nirodha) 6 menjadi mungkin. Jika kita menembus sifat dari realitas, itu juga memungkinkan untuk menghentikan duhkha dalam citta kita dan seperti yang dinyatakan Segel Keempat, berakhirnya duhkha atau kebebasan seperti ini merupakan kedamaian yang sesungguhnya. Ketika kita memperhatikan penjelasan-penjelasan yang berbeda dari berbagai tradisi (cara pikir) filosofis Buddhis, 7 termasuk tradisi-tradisi (cara pikir) Mahayana, adalah perlu untuk membedakan sutra-sutra yang definitif dan sutra-sutra yang membutuhkan interpretasi lebih lanjut. Seandainya kita membedakan ini hanya berdasarkan kitab ajaran (teks) saja, maka kita harus melakukan verifikasi atas kitab ajaran (teks) yang kita

3 gunakan untuk menentukan apakah itu interpretatif 8 atau definitif 9 dengan sutra yang lain. Dan karena verifikasi seperti ini perlu dilakukan terus-menerus terhadap sutra-sutra sebelumnya yang kita gunakan, maka itu bukanlah metode yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, kita harus menentukan apakah sebuah sutra itu definitif atau interpretatif berdasarkan logika (penalaran). Jadi, ketika kita membicarakan tentang tradisi (cara pikir) filosofis Mahayana, logika (penalaran) lebih penting daripada kitab ajaran (teks). Bagaimana kita menentukan apakah sesuatu itu interpretatif? Ada jenis-jenis kitab ajaran yang berbeda yang termasuk dalam kategori interpretatif, sebagai contoh, sutrasutra tertentu menyebutkan seorang harus membunuh orang tuanya. Sekarang, karena sutra-sutra ini tidak dapat diartikan secara harafiah, diperlukan interpretasi lebih lanjut untuk mengerti nilai yang terkandung dalam sutra-sutra ini. Orang tua yang dirujuk di sini adalah karma-karma negatif dan keterikatan yang menyebabkan kelahiran kembali di masa mendatang. Sama halnya, dalam ajaran-ajaran Tantra seperti Guhyasamaja, Buddha mengatakan bahwa Tathagata atau Buddha harus dibunuh dan jika Anda membunuh Buddha, Anda akan mencapai Anuttara Samyaksambodhi (penggugahan yang lengkap dan sempurna). Jelas bahwa sutra-sutra ini membutuhkan interpretasi lebih lanjut. Tetapi ada juga sutrasutra lain yang kurang dapat diinterpretasikan. Sutra yang menjelaskan tentang Duabelas Mata Rantai Pratityasamutpada, 10 menyatakan bahwa karena sebab ini, maka hasilnya/akibatnya begini. Sebagai contoh, karena ada avidya, maka muncul karmakarma negatif. Walaupun isi dari sutra jenis ini adalah benar dalam satu tahap, ini dikategorikan sebagai interpretatif, karena ketika avidya dikatakan menyebabkan karma-karma negatif, ini tidak mengacu pada pandangan yang paling mendalam (ultimate). Hanya dalam tahap konvensional bahwa sesuatu dapat menyebabkan sesuatu yang lain. Dari sudut cara pandang yang paling mendalam (ultimate), sifatnya adalah shunyata. 11 Jadi, karena ada tahap lebih lanjut, lebih mendalam, yang tidak dirujuk dalam sutra-sutra ini, maka dikatakan interpretatif. Sutra-sutra yang definitif adalah sutra-sutra seperti Prajnaparamita, di mana Buddha membicarakan sifat terdalam dari fenomena, bahwa rupa adalah shunyata dan shunyata adalah rupa; di luar dari rupa, tidak ada shunyata. Karena sutra-sutra seperti ini membicarakan tentang sifat terdalam dari fenomena, keberadaan mereka yang paling mendalam, shunyata, maka dikatakan definitif. Tetapi, kita juga harus memperhatikan bahwa di antara tradisi-tradisi (cara pikir) filosofis Buddhis, terdapat cara-cara yang berbeda untuk membedakan sutra-sutra yang definitif dan interpretatif. Secara singkat, teks-teks dari tradisi (cara pikir) Madhyamaka Prasangika, 12 secara khusus teks-teks yang ditulis oleh Arya Nagarjuna dan muridnya Arya Chandrakirti adalah definitif, dan menjelaskan secara rinci dan menyeluruh mengenai pandangan shunyata yang diajarkan Buddha. Pandangan mengenai shunyata yang dijelaskan dalam teks-teks ini tidak bertentangan dengan logika (penalaran), malah saling mendukung. Termasuk sutra-sutra definitif di antaranya adalah sutra-sutra yang termasuk dalam Dharmacakra (Pemutaran Roda Dharma) yang Ketiga, secara khusus Sutra Intisari Tathagata (Tathagata Essence Sutra), yang sebenarnya merupakan sumber-sumber pokok dari risalat-risalat 13 Madhyamaka seperti Sublime Continuum (Ratnagotravibhagamahayanottara-tantra-sastra) dan Kumpulan Puji-pujian (Collection of Praises) yang ditulis oleh Arya Nagarjuna. Juga termasuk dalam Dharmacakra (Pemutaran Roda

4 Dharma) yang Ketiga adalah sutra-sutra seperti Samdhinirmochana Sutra, yang menurut beberapa Guru Tibet dikategorikan sebagai definitif. Para terpelajar (seperti para Jonangpa) mempunyai pandangan unik mengenai shunyata, yang secara teknis disebut shunyata dari yang lain (emptiness of other), dan mereka membicarakan jenis-jenis shunyata yang berbeda yang menggambarkan fenomena yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa fenomena konvensional adalah shunya dari sisinya sendiri dan fenomena yang paling mendalam (ultimate) adalah shunya dari fenomena konvensional. Anda dapat menginterpretasikan penjelasan ini mengenai shunyata, bahwa fenomena konvensional adalah shunya dari sisinya sendiri, untuk mengatakan bahwa karena fenomena konvensional bukan merupakan sifat keberadaan yang paling mendalam (their own ultimate nature), maka mereka shunya dari sisinya sendiri. Tetapi para terpelajar Tibet ini tidak menginterpretasikannya dengan cara demikian, mereka berpendapat karena fenomena shunya dari sisinya sendiri, maka mereka tidak eksis. Seperti yang kita ketahui dari sejarah, banyak Guru dalam kelompok para terpelajar ini sebenarnya mencapai realisasi-realisasi tinggi dari tahap membangkitkan (utpattikrama) dan tahap menyempurnakan (sampannakrama/utpannakrama) dari Tantra, mereka pasti mempunyai pengertian mendalam mengenai interpretasi khusus tentang shunyata. Tetapi seandainya kita menginterpretasikan shunyata sebagai sesuatu yang shunya dari sisinya sendiri dengan cara seperti ini, bahwa mereka tidak eksis sama sekali, maka itu seperti mengatakan bahwa tidak ada yang eksis sama sekali. Karena mereka berpendapat bahwa fenomena konvensional tidak ada, shunya dari sisinya sendiri, mereka berpendapat bahwa sifat keberadaan yang paling mendalam (ultimate nature) merupakan fenomena yang eksis secara benar-benar (satyasat; truly existent) yang exists in its own right (svalakshanasiddhi), mempunyai sifat hakiki dari sisinya sendiri (svabhavasiddhi; inherent existent). Dan ketika mereka membicarakan ketidak-hakikian dari kenyataan yang paling mendalam (Sanskerta: paramarthasatya, Inggris: ultimate truth), mereka mengacu pada ketidak-hakikiannya sebagai fenomenafenomena konvensional. Dharmashri, putra dari Yumo Mingur Dorje, salah satu penganut pandangan ini, menyatakan dalam suatu teks yang pernah saya baca bahwa pandangan Arya Nagarjuna mengenai shunyata adalah pandangan nihilistik. Jadi, tradisi-tradisi (cara pikir) filosofis ini berpendapat bahwa, karena fenomena konvensional adalah shunya dari sisinya sendiri, yang ada hanya kenyataan yang paling mendalam (paramarthasatya; ultimate truth), dan bahwa kenyataan paling mendalam (Sanskerta: paramarthasatya, Inggris: ultimate truth), eksis secara benar-benar (exists truly) dan bersifat hakiki (inherently). Jelas bahwa menganut pandangan filosofis seperti ini secara langsung bertentangan dengan pandangan mengenai shunyata yang dijelaskan dalam sutra-sutra Prajnaparamita, di mana Buddha telah menyatakan secara tegas dan jelas bahwa sepanjang menyangkut ketidak-hakikian (empty nature), tidak ada perbedaan antara fenomena konvensional dan fenomena yang paling mendalam. Beliau telah menjelaskan ketidak-hakikian dari fenomena yang paling mendalam dengan menggunakan banyak sinonim yang berbeda-beda mengenai kenyataan yang paling mendalam (Sanskerta:

5 paramarthasatya, Inggris: ultimate truth), menunjukkan bahwa dari rupa sampai pengetahuan sempurna (sarvakarajnana), semua fenomena adalah sama-sama shunya. Walaupun para penganut Madhyamaka Prasangika tradisi (cara pikir) filosofis Buddhis tertinggi, membicarakan tentang ketidak-hakikian dari fenomena dan bersifat shunya, ini tidak berarti fenomena tidak eksis sama sekali. Tetapi, fenomena tidak eksis dari sisinya sendiri, in their own right (svalakshanasiddhi), atau bersifat hakiki. Kenyataannya adalah fenomena mempunyai karakteristik keberadaaan, seperti muncul karena terkait pada faktor-faktor lain atau kondisi-kondisi penyebab. Oleh karena itu, tidak berdiri sendiri, (tetapi) terkait (pada sebab-sebab dan kondisi-kondisi). Kenyataannya adalah fenomena mempunyai sifat keterkaitan. Kenyataan bahwa fenomena terkait pada faktor-faktor lain merupakan indikasi bahwa mereka tidak berdiri sendiri. Jadi, ketika para (penganut) Madhyamaka Prasangika berbicara mengenai shunyata, mereka membicarakan sifat keterkaitan fenomena dalam pengertian Pratityasamutpada. Oleh karena itu, pengertian mengenai shunyata tidak bertentangan dengan kenyataan konvensional (samvrtisatya) dari fenomena. Karena kemunculan fenomena terkait dengan faktor-faktor lain, kondisi-kondisi penyebab dan sebagainya, para penganut Madhyamaka Prasangika menggunakan sifat keterkaitan sebagai landasan akhir untuk menegakkan sifat ketidak-hakikiannya. Tidak berdiri sendiri, fenomena-fenomena tidak memiliki sifat hakiki (inherent existence). Logika mengenai Pratityasamutpada sangat berdaya kuat, bukan hanya karena menghilangkan kesalah-pengertian bahwa sesuatu eksis secara hakiki, tetapi karena pada saat yang sama juga melindungi seseorang terjatuh pada pandangan ekstrim nihilistik. Dalam tulisan Arya Nagarjuna sendiri, kita menemukan bahwa shunyata harus dipahami dalam konteks Pratityasamutpada. Dalam Mulamadhyamakakarika (Teks Pokok Mengenai Prajna), Arya Nagarjuna mengatakan, Karena tidak ada fenomena yang muncul tanpa terkait dengan yang lain (Pratityasamutpada), maka tidak ada fenomena yang tidak shunya. Jelas bahwa pandangan Arya Nagarjuna mengenai shunyata harus dipahami dalam konteks Pratityasamutpada, tidak hanya dari tulisan beliau sendiri, tetapi juga dari para komentator yang muncul belakangan seperti Buddhapalita (yang sangat tepat dan jelas), dan ulasan-ulasan Arya Chandrakirti dalam Ulasan Mengenai Risalat Madhyamaka (Mulamadhyamakavrtti), Prasanna-pada, karya dan ulasan beliau dalam Pelengkap Tentang Madhyamaka (Madhyamakavatara), dan juga ulasan beliau dalam Ulasan Mengenai Empat Ratus Syair Aryadeva. Jika Anda membandingkan semua teks ini, akan menjadi sangat jelas bahwa pandangan mengenai shunyata yang dijelaskan secara rinci oleh Arya Nagarjuna harus dipahami dalam konteks Pratityasamutpada. Dan jika Anda membaca ulasan-ulasan ini, Anda akan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap Arya Nagarjuna.

6 Catatan kaki: 1 Duhkha (Sanskerta; Tibet: sdug bsngal). Sesuatu yang tidak memuaskan. Keberadaan dalam samsara ditandai dengan sifat duhkha tidak mungkin selalu memuaskan. 2 Avidya (Sanskerta; Tibet: ma rig pa, Inggris: ignorance/misknowledge; Indonesia: kesalahpengertian). Salah mengerti mengenai keberadaan, bahwa segala sesuatu mempunyai sifat hakiki dan bersifat independen. Kesalahpengertian inilah yang mendasari semua penderitaan, semua klesha dan karma. Avidya beserta dvesha dan raga/lobha disebut tri-visa (tiga racun). 3 Klesha (Sanskerta; Tibet: nyon mongs, Inggris: mental affliction/disturbing emotion). Pikiran dan emosi yang timbul dari dalam dan mengaduk kedamaian pikiran. Adanya klesha menyebabkan kemarahan, ketakutan, kesombongan, keserakahan, dan sebagainya, yang pada dasarnya mengganggu ketenangan dan kebahagiaan pikiran. Untuk menghilangkan gangguan ketenangan ini, biasanya disertai tindakan negatif tanpa memikirkan makhluk lain, yang justru menyebabkan penderitaan di masa yang akan datang. 4 Pengentasan diri (Sanskerta: niryana/nihsarana; Inggris: renunciation). Mengetahui bahwa keberadaan samsara bersifat tidak memuaskan, secara pasti seseorang bertekad mengentaskan diri untuk keluar dari kondisi ini dan mencapai kebebasan. Dalam menjalankan kehidupan ini, ia mengerti bahwa kebahagiaan yang ingin dicapai tidak lagi hanya tergantung pada faktor-faktor eksternal, namun bagaimana mengubah cara pandang dan cara hidup. 5 Anamata atau nairatmya (Inggris: selflessness). Tidak adanya diri yang tidak berubah-ubah, tidak mempunyai bagian dan berdiri sendiri. 6 Empat Kenyataan para Arya (Sanskerta: catuharyasathani, Tibet: phags pa'i bden pa bzhi, Inggris: four noble truths) merupakan ajaran dari Buddha mengenai: (1) Kenyataan Tentang Duhkha, (2) Kenyataan Sumber Duhkha, (3) Kenyataan Berakhirnya Duhkha, dan (4) Kenyataan Jalan untuk Mengakhiri Duhkha. Empat Kenyataan Arya dibagi dua kelompok menurut sebab dan akibat. Kelompok yang pertama berhubungan dengan samsara yaitu Kenyataan Sumber Duhkha (sebab) dan Kenyataan Tentang Duhkha (akibat). Kelompok yang kedua berhubungan dengan pembebasan dari samsara yaitu Kenyataan Jalan untuk Mengakhiri Duhkha (sebab) dan Kenyataan Berakhirnya Duhkha (akibat, yaitu kebebasan). Secara singkat, ajaran Kenyataan Arya merupakan ringkasan pengertian Buddhis mengenai sifat dasar samsara dan Nirvana. 7 Tradisi-tradisi (cara pikir) filosofis Buddhis secara umum dibagi empat yaitu: (1) Vaibhasika, (2) Sautrantika, 3) Yogachara/Cittamatra, dan (4) Madhyamaka. Vaibhasika dan Sautrantika adalah bagian dari tradisi (cara pikir) Hinayana, sementara Yogachara dan Madhyamaka adalah bagian dari tradisi (cara pikir) Mahayana. Madhyamaka terdiri dari dua, yaitu: (a) Madhyamaka Svatantrika, dan (b) Madhyamaka Prasangika. 8 Makna interpretatif (Sanskerta: neyartha, Tibet: drang don) adalah makna yang membutuhkan interpretasi lebih lanjut, atau dapat diinterpretasikan. 9 Makna definitif (Sanskerta: nitartha, Tibet: nges don) adalah makna yang secara langsung merujuk pada pandangan yang paling mendalam mengenai realitas dan tidak perlu "ditafsirkan" untuk mendapatkan pengertian yang tepat.

7 10 Pratityasamutpada (Sanskerta; Inggris: dependent origination/dependent arising). Segala sesuatu tidak eksis secara independen atau berdiri sendiri, namun terkait pada sebab-sebab dan kondisi-kondisi serta pada citta yang melabelnya. Pengertian pratityasamutpada yang paling mendalam adalah bahwa keberadaan segala sesuatu saling terkait. Ke-12 Mata Rantai Pratityasamutpada adalah: (1) avidya, (2) samskara, (3) kesadaran, (4) nama dan rupa, (5) basis atau enam sumber, (6) kontak, (7) perasaan, (8) keterikatan, (9) cengkeraman, (10) keberadaan, (11) lahir, (12) usia tua dan kematian. 11 Shunya; shunyata (Sanskerta; Tibet: stong pa nyid, Inggris: emptiness/voidness). Cara keberadaan segala sesuatu yang sesungguhnya, yaitu tidak mempunyai sifat hakiki (Sanskerta: svabhava; Inggris: inherent existence/essence). Karena segala sesuatu bersifat shunya, maka keberadaannya secara konvensional hanya sebagai proyeksi atau imputasi, bukanlah keberadaan yang sesungguhnya. 12 Madhyamaka Prasangika (Sanskerta; Tibet: dbu ma thal 'gyur pa, Inggris: middle way consequentialist/ middle way consequence school) merupakan cabang dari tradisi (cara pikir) Madhyamaka, bahwa semua keberadaan tidak mempunyai sifat hakiki bahkan secara konvensional. Madhyamaka Prasangika dianggap merupakan cara pikir yang paling mendalam di antara semua sistim filosofi Buddhis. 13 Risalat (Sanskerta: sastra, Tibet: bstan bcos, Inggris: treatise) adalah teks yang membahas suatu topik secara mendalam. Potowa Center Revisi: Jan 2009