Cahya Edi Setyawan STAI Masjid Syuhada Yogyakarta Abstract

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dalam BAB I ini dipaparkan tentang : a. Konteks Penelitian, b. Fokus

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap dunia pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. sempurna yang bertaqwa pada Allah SWT. Serta untuk mencapai kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Burhan Nurgiyantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, (Yogyakarta : BPFE, 1988), hlm. 1

2015 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN CIPARI DESA SUKARASA KECAMATAN PANGATIKAN KABUPATEN GARUT TAHUN

IMPLEMENTASI MODEL PENDIDIKAN PESANTREN DI AL WUSTHO ISLAMIC DIGITAL BOARDING COLLEGE CEMANI SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. mengajar dengan materi-materi kajian yang terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Lia Nurul Azizah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam dunia pesantren ada beberapa hal yang menjadi kendala

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak orang tua.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

BAB I PENDAHULUAN. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami,

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. A. Manajemen Pendidikan Life Skills Santri di Pondok Pesantren Darul

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI SEKOLAH BERBASIS PESANTREN DI SMP DARUL MA ARIF BANYUPUTIH KABUPATEN BATANG

BAB I PENDAHULUAN. Pondok pesantren adalah suatu wadah pendidikan keagamaan yang

Pengembangan Standarisasi Pondok Pesantren

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu

POLA KEPEMIMPINAN K. H. M. THOHIR ABDULLAH, A.H DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR AN DI MANGKANG SEMARANG

BAB I LANDASAN KURIKULUM AL-ISLAM, KEMUHAMMADIYAHAN DAN BAHASA ARAB DENGAN PARADIGMA INTEGRATIF-HOLISTIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai macam permasalahan remaja dalam hal ini salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan Kyai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap

2. BAB II TINJAUAN UMUM

PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Eksistensi pondok pesantren Mamba us Sholihin dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur an(tpq) Tahun Pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. (Bandung: Mizan,1995), hlm Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses Islamisasi kehidupan masyarakat. Pada proses perjalanan

2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. beragama yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki

PERLUKAH PERGURUAN TINGGI PASCA PESANTREN. Disusun oleh : Azwan Lutfi Pembina Ponpes As ad Jambi

BAB V ANALISIS. melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta: Amzah, 2007), hlm Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur an,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia

BAB V KESIMPULAN. peran yang cukup penting bagi dinamika intelektual bangsa Indonesia. Pesantren

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, t.th.), h Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA. Imam Gunawan

BAB I PENDAHULUAN. tertua sekaligus merupakan ciri khas yang mewakili Islam tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB I PENDAHULUAN. baik oleh individu maupun masyarakat secara luas. teknologi telah melahirkan manusia-manusia yang kurang beradab.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. jasmaniah dan rohaniah berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan koperasi di Negara-negara Eropa Barat dan Jepang

BAB I PENDAHULUAN. didik ke arah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab. Untuk. hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

BAB I PENDAHULUAN. dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam

I. PENDAHULUAN. agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

BAB V PENUTUP. di lapangan mengenai rekonstruksi kurikulum Ponpes Salafiyah di Ponpes

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan yang pasti akan dialami oleh setiap individu atau organisasi. Ketika

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2005 tentang guru dan dosen serta UU RI No 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENGAJIAN TAFSIR AL-QUR AN DAN UPAYA PEMECAHANNYA DI DESA JATIMULYA KEC. SURADADI KAB. TEGAL

BAB I PENDAHULUAN. untuk melaksanakan proses belajar mengajar yang diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Quran menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DINIYAH TAKMILIYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2013 NOMOR 1 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN DINIYAH TAKMILIYAH

Peran PTAIN Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan. mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia

Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berasal dari jawaban responden

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan

BAB VI PENUTUP. implikasi teoritik, dan keterbatasan studi sebagai berikut: 1. Model integrasi Ma had Sunan Ampel Al-Aly ke dalam sistem pendidikan

KIAI WAHID HASYIM SANG PEMBAHARU PESANTREN. Oleh, Novita Siswayanti, MA. *

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi sekolah erat hubungannya dengan masyarakat. dan didukung oleh lingkungan masyarakat. 1

BAB I. I PENDAHULUAN

PONDOK PESANTREN DALAM UNCERTAINTY SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA

BAB I. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 pasal 3. 2

BAB I PENDAHULUAN. mengalir begitu cepat ini memberikan pengaruh terhadap perilaku peserta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 25.

BAB I PENDAHULUAN. ahlinya. 1 Secara umum para lulusan dari sekolah/madrasah dan

METODE TEPAT GUNA MENULIS ILMIAH BAGI SANTRI PONDOK PESANTREN AL ITQON DAN THOLABA BAROKATIL QURAN KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. E. Mulyasa, Manajemen PAUD, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hlm

Pondok Pesantren Modern di Semarang BAB I PENDAHULUAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENDIDIKAN DINIYAH DI KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hlm Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,

BAB IV DAMPAK KEBERADAAN PONDOK PESANTREN DALAM BIDANG SOSIAL, AGAMA DAN PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT TLOGOANYAR DAN SEKITARNYA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama khususnya Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih optimal, berdaya guna,

MADRASAH DAN PEMBEDAYAAN PERAN MASYARAKAT Oleh: Soprayani

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 308 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM NON FORMAL

Menjadikan Jurusan Syari`ah sebagai institusi pendidikan Tinggi yang berkualitas serta berorientasi pada keilmuan dan pasar kerja. C.

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah pembangunan di bidang pendidikan yang bertujuan untuk

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA REMAJA MUSLIM DENGAN MOTIVASI MENUNTUT ILMU DI PONDOK PESANTREN

Transkripsi:

Menggagas Model Pengembangan Standarisasi Sistem Pendidikan Pesantren STAI Masjid Syuhada Yogyakarta Cahya.edi24@gmail.com Abstract Pesantren in the current era is a portrait of the movement and development of Islamic education. Pesantren is already a style of Islamic education. Image boarding now is not as ancient as the place that impressed traditional education, but schools are now renew their education systems. Many boarding schools grow up into semi-modern, semi modern like in Gontor. Even schools already teach science and tegnologi like Darul ulum. Then automatically schools already have a quality standard that is ideal at this time. Through this article will explain about thinking dipesantren education standards. Keywords: Pesantren, Islamic Boarding School, Islamic Education, Education System. Standardisation of Islamic Education. A. Pendahuluan Pesantren1 merupakan satu di antara lembaga pendidikan di lingkungan masyarakat yang diakui telah memiliki andil yang cukup besar di dalam pengembangan generasi muda bangsa ke arah pencapaian cita-cita pendidikan nasional tersebut. Bahkan, pesantren telah banyak melahirkan pemimpin bangsa di masa lalu, kini, dan (tetap diharapkan) juga di masa depan. Namun, adanya perubahan sosial yang begitu cepat sebagai akibat modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), pesantren kini 1 Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Menurut para ahli, suatu lembaga dapat disebut pesantren bila memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: (1) ada kiayi, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, dan (5) ada pengajian kitab kuning. lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosda Karya, 2001), p.191. Vol. 11, No. 2, Desember 2016

228 dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tertinggal, susah diajak maju, tidak memiliki lulusan yang siap kerja dan tidak mampu bersaing ditingkat global. Hal ini dikarenakan kebanyakan sistem pendidikan pesantren dianggap masih sangat tradisional. Mukti Ali, sebagai penggagas kurikulum keterampilan di pesantren, mengatakan: Suatu kenyataan yang kita ketahui bersama bahwa selama ini tidak semua keluarga pesantren ingin menjadi ulama, atau tidak semuanya berbakat ulama. Banyak di antara alumni pondok pesantren yang memilih bekerja di luar bidang agama tanpa memiliki keahlian yang mereka peroleh selama belajar di pondok pesantren, sehingga, kurikulum keterampilan perlu diberikan di pondok pesantren. Ini berarti akan meningkatkan peranan pondok pesantren dalam menunjang pembangunan, khususnya pembangunan di daerah pedesaan. Masuknya beberapa komponen baru itu supaya kurikulum pondok pesantren berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Masyarakat Indonesia kini sedang membangun dan akan terus membangun. 2 Pernyataan Mukti Ali di atas, mengisyaratkan agar pesantren tidak hanya mengedepankan kepandaian otak (menghafal), dan terlalu menonjolkan keutamaan akhlak (tasawwuf), tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek keterampilan yang dapat dijadikan bekal hidup para santri kelak setelah kembali ke masyarakat. Dengan kata lain, seorang santri idealnya harus mampu menyerasikan antara otak (head), akhlak (heart), dan keterampilan tangan (hand). Sehingga, output pesantren (yang merupakan pendidikan nonformal) dapat dihargai setara dengan output pendidikan formal, sesuai standar nasional pendidikan yang berlaku. Dengan demikian, posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional sebenarnya memiliki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas pendidikan di pesantren. Maka, dalam perkembangannya perlu adanya sebuah perumusan tentang standarisasi sistem pendidikan pesantren. Makalah ini akan membahas standarisasi model pengembangan pendidikan pesantren. 2 A. Mukti Ali, Peranan Pondok Pesantren dalam Pembangunan (Jakarta: PT. Paryu Barkah, 1974) hlm. 6, sebagaimana dikutip oleh Minhaji. Inovasi Pendidikan dalam Perspektif Pesantren (studi tentang Pola Inovasi Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren), Jurnal Lisan al-hal Vol. 6 No. 1 Juni 2014. p. 161. Jurnal At-Ta dib

Menggagas Model Pengembangan Standarisasi Sistem Pendidikan Pesantren 229 B. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Pesantren Secara etimology, pesantren berasal dari kata santri dengan mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Istilah santri sendiri konon berasal dari bahasa Sanskerta, shastri yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Ada pula yang mengatakan, santri berasal dari kata cantrik yang berarti para pembantu begawan atau resi dengan upah ilmu pengetahuan dari begawan atau resi tersebut. Di Indonesia (terutama di wilayah Jawa, Sunda, dan Madura) pesantren lebih dikenal dengan sebutan pondok yang berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana. Sedang di Aceh dikenal dengan istilah dayah, atau rankang, atau menuasa. Sedangkan di Minangkabu dikenal dengan sebutan surau. 3 Secara terminology, pesantren dapat dimaknai dengan sebuah lembaga pendidikan tradisional yang para siswanya disebut santri yang tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang disebut kyai, dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. 4 Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. 5 Dari pengertian di atas, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa suatu lembaga dapat disebut pesantren bila memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: (1) ada kyai, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, dan (5) ada pengajian kitab kuning. 6 Adapun mengenai tujuan pendidikan pesantren, menurut Mastuhu (1994), adalah untuk menciptakan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berkhikmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau menjadi abdi 3 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), p 5. 4 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta: LP3S, 1983), p. 18. 5 Sudjono Prasodjo. Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), p. 6. 6 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosda Karya, 2001), p.191. Vol. 11, No. 2, Desember 2016

230 masyarakat yang mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Selanjutnya, keberhasilan pendidikan pesantren tidak terlepas dari pandangan akan tingkat religiusitas dari lulusannya, sehingga penilaian seperti ini akan senantiasa melekat pada diri santri sebagai sosok yang dihasilkan oleh pesantren guna mengembangkan, menjaga dan melestarikan nilai-nilai ajaran agama Islam dalam kehidupan keseharian. Religiusitas yang senantiasa melekat pada mutu lulusan pesantren merupakan suatu standar bagi masyarakat dalam mengukur keberhasilan program penyelenggaran pendidikan yang dilaksanakan oleh pesantren. Sementara, aspek lain yang dijadikan standar dalam mengukur keberhasilan program pendidikan yang dilaksanakan oleh pesantren yaitu akselerasi dalam menjawab kebutuhan perkembangan peradaban manusia masa sekarang dan masa mendatang yaitu meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan yang adaptif dalam menghadapi tuntutan yang semakin berkembang. C. Tipologi Pesantren dan Problem Mendasar Pendidikan Pesantren Secara umum, pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santri berdasarkan kitab-kitab kuning, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) di dalam lingkungan pesantren tersebut. Namun, secara khusus, tiap pesantren memiliki ciri khusus yang bervariasi. Pola pendidikan pesantren dapat dibedakan berdasarkan kategorikategori dari berbagai perspektif, antara lain: dari segi spesifikasi keilmuan yang diajarkan, dari segi kurikulum yang digunakan, dari segi tingkat kemajuan, dari segi keterbukaan terhadap perubahan, dan dari segi sistem pendidikannya. Perbedaan pola pendidikan pesantren terjadi umumnya karena adanya perbedaan selera kyai, atau perbedaan keadaan sosial-budaya, dan/atau perbedaan sosio-geografis yang mengitarinya. Berikut ini beberapa pemikiran yang terkait dengan tipologi pesantren: Jurnal At-Ta dib

Menggagas Model Pengembangan Standarisasi Sistem Pendidikan Pesantren 231 Kategori pondok pesantren berdasarkan spesifikasi keilmuan antara lain: 1) pondok pesantren alat (yakni, pesantren yang mengutamakan penguasaan gramatika bahasa Arab) seperti Pesantren Lirboyo Kediri; Pesantren Fiqh seperti Tebuireng, Tambak Beras Jombang; 2) pesantren qiro ah Al-Qur an, seperti pesantren Krapyak Jogjakarta; dan 3) pondok pesantren tasawuf, seperti pondok pesantren Jampes Kediri; Kategori pesantren dari perspektif keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, sebagaimana disebutkan oleh Zamakhsari Dhofier, yaitu: 1) pondok pesantren salafiy, yakni pesantren yang tetap mengajarkan kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapannya sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. 2) pondok pesantren khalafiy, yakni pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasahmadrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di dalam lingkungan pondok pesantren. Kategori pondok pesantren dari segi kelembagaannya yang dikaitkan dengan sistem pengajarannya, sebagaimana diungkap oleh Ahmad Qadri Aziziy, yaitu: 1) Pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum; 2) Pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmuilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; 3) Pondok pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; Vol. 11, No. 2, Desember 2016

232 4) Pondok pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta lim); dan 5) Pondok pesantren untuk asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa. Kategori pondok pesantren yang sedang popular di lingkungan perguruan tinggi saat ini adalah Ma had Aliy (pondok pesantren tingkat tinggi), seperti Ma had Aliy di pesantren Denanyar Jombang yang menekankan pada kitab-kitab standar terutama ushul fiqh. Kemudian Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ma had Aliy di pesantren al-hikam Malang. Dan bermunculan di beberapa PTAIN/ PTAIS di seluruh Indonesia. Dengan mencermati tipologi pesantren ini, dapat ditemukan problem-problem yang tengah dihadapi masing-masing pesantren dalam melakukan pengembangan sistem pendidikannya. Secara umum, beberapa problem yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu: 1. Image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini. 2. Sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera dibenahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai. 3. Sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren. Jurnal At-Ta dib

Menggagas Model Pengembangan Standarisasi Sistem Pendidikan Pesantren 233 4. Aksesibilitas dan networking. Salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren adalah penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas. 5. Manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur. 6. Kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama karena menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan. 7. Kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan ke depan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak cukup. D. Output Ideal Pesantren Masa Kini Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan pesantren sebagaimana telah disebutkan di atas, dan berangkat dari kenyataan tentang pentingnya aspek kurikulum yang berorientasi life skills bagi para santri yang mondok di pesantren, maka jelaslah bahwa pesantren di masa sekarang dituntut untuk berbenah, menata diri untuk melakukan perubahan guna menghadapi persaingan global. Namun, perubahan dan pembenahan yang dimaksud tidak boleh meninggalkan nilai-nilai positif pesantren yang justru menjadikan lulusannya ora iso ngaji (tidak pandai membaca al-qur an dan kitab kuning). Untuk merespon arus perubahan, pesantren harus tetap berpegang pada kaidah al-muhafadlatu ala al-qodimi alshalih wa al-akhdzu Vol. 11, No. 2, Desember 2016

234 bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan khazanah lama yang masih relevan dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Oleh karena itu, pesantren harus mempersiapkan santrinya memasuki dunia global, para santri perlu dibekali bukan saja hanya penguasaan ilmu-ilmu melalui kitab klasik (kitab kuning), tetapi pesantren sudah harus melakukan pembelajaran melalui sarana teknologi dan memperkenalkan mereka dengan teknologi, sehingga santri nantinya tidak gagap teknologi dengan kemajuan teknologi ketika berbaur di tengah kehidupan masyarakat luas. 7 Sehingga, output pesantren masa kini, sebagaimana diisyaratkan oleh Mukti Ali, tidak hanya memiliki kepandaian otak (menghafal), dan terlalu menonjolkan keutamaan akhlak (tasawwuf), tetapi juga harus memiliki keterampilan hidup (life skills) yang dapat dijadikan bekal hidup para santri kelak setelah kembali ke masyarakat. Dengan kata lain, lulusan pesantren masa kini idealnya harus mampu menyerasikan antara otak (head), akhlak (heart), dan keterampilan tangan (hand). Sehingga, output pesantren (yang merupakan pendidikan nonformal) dapat dihargai sejajar dengan output pendidikan formal, sesuai standar nasional pendidikan yang berlaku. E. Pengembangan Standarisasi Sistem Pendidikan Pesantren Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. 8 Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. p. 13. 7 Minhaji, Inovasi Pendidikan dalam.., p. 163-164. 8 Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Amissco, 1996), Jurnal At-Ta dib

Menggagas Model Pengembangan Standarisasi Sistem Pendidikan Pesantren 235 Sejak berlakunya UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jenis pendidikan di samping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan ketrampilan khusus. Bahkan, sejak terbitnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, output pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/ umum/ kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Namun, posisi pesantren, khususnya pesantren salaf yang semata menjalankan kurikulum ilmu keislaman yang belum diakui pemerintah, antara lain karena pesantren salaf lazimnya tidak menerapkan ketentuan pemberian ijazah kepada para santri yang telah menyelesaikan pendidikan. Sampai akhir tahun 1990-an masih ada lulusan pesantren, yang karena belum mendapatkan pengakuan pemerintah tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi negeri keagamaan seperti IAIN dan STAIN. Kendala lain dapat berupa tidak diakuinya pendidikan mereka ketika mencari lapangan pekerjaan. Dengan adanya kendala-kendala tersebut, banyak dari lembaga pendidikan Islam pola pesantren ini mengubah pendidikannya ke dalam bentuk madrasah dan menerapkan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga lulusannya mendapatkan pengakuan baik dari pemerintah maupun dari sektor lain. 9 Melihat fakta di atas, pada gilirannya banyak masyarakat yang lebih memilih untuk memasukkan putra-putrinya ke sekolah dengan alasan lulusan pesantren tidak dapat melanjutkan pendidikan atau tidak dapat langsung bekerja. Sikap ini ternyata merupakan tantangan paling berat bagi kelangsungan pesantren, khususnya bagi pesantren kecil. Sedang, pesantren-pesantren besar dapat bertahan, tetapi setelah pesantren membuka lembaga-lembaga pendidikan umum, yakni dengan menyelenggarakan SMP dan SMA/SMK. Musibah yang hampir sama menimpa pesantren kembali pada tahun 1970an ketika sekularisasi gencar memasuki seluruh aspek kehidupan manusia di Indonesia. 9 Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), p. 189-190. Vol. 11, No. 2, Desember 2016

236 Latar belakang timbulnya lembaga-lembaga pendidikan umum di pesantren seperti SD, SMP dan SMA akan menemukan paling tidak dua jawaban: pertama, sebagai upaya pesantren dalam melakukan adaptasi dengan perkembangan pendidikan nasional, atau oleh Mastuhu dikatakan karena dampak global dari pembangunan nasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan kedua adalah karena kepentingan menyelamatkan nyawa pesantren dari kematian selama-lamanya. Kebutuhan adaptasi sebenarnya telah dirintis sejak mendirikan madrasah, yang memperlancar proses pembaharuan kelembagaan. Sedang upaya penyelamatan kehidupan pesantren merupakan tindakan yang strategis dan spontan. Kedua faktor ini saling mempengaruhi berdirinya lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai pengembangan (pemantapan pembaharuan) institusi pesantren. Lembaga-lembaga pendidikan umum seperti SD, SMP dan SMA tersebut terus berkembang, bahkan semakin mendapat dukungan dari masyarakat santri yang memiliki keterikatan moral dengan pesantren. Mereka ingin agar putra-putrinya belajar ngaji di pesantren sekaligus dapat mengikuti pendidikan di SD, SMP dan SMA di dalamnya, lantaran cara demikian lebih memberikan jaminan keutuhan pribadi santri. Sebab di samping pengetahuan dan pengalaman ajaran agama tertanam dengan baik, santri juga dapat mengembangkan potensi intelektualnya melalui penerapan sistem pembelajaran yang modern. 10 Akhirnya, tanpa banyak pertimbangan kebanyakan pesantren mengikuti sistem yang dikembangkan pemerintah secara keseluruhan. Maka beberapa pesantren cenderung mendirikan perguruan tinggi dengan meniru sistem perguruan tinggi nasional secara totalitas. Para pengamat melaporkan bahwa banyak pesantren besar seperti Tebuireng, Tambakberas, Rejoso, Gontor, dan Cipasung yang mendirikan perguruan tinggi dengan membuka fakultas-fakultas agama Islam seperti Ushuluddin, Syari ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab, serta fakultas umum seperti Hukum, Ekonomi, Sosial Politik dan sebagainya. Di Jawa Barat juga banyak yang membuka fakultas, misalnya pesantren As-Syafi iyyah dan Cipasung. Di luar Jawa, pesantren yang telah mendirikan perguruan tinggi adalah Pesantren Diayatul Islamiyyah di Seriguna Tanjung Lubuk Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. 10 Mujamil Qomar, Pesantren dari..., p. 97-98. Jurnal At-Ta dib

Menggagas Model Pengembangan Standarisasi Sistem Pendidikan Pesantren 237 F. Standar pendidikan Islam Menurut Ahmad Syar i, standar pendidikan Islam dalam konteks nasional setidaknya harus terdapat salah satu dari dua kriteria berikut: 11 Pertama, harus dilihat dari materi dan tujuannya apakah materi pendidikan yang dikembangkan merupakan kajian, telaahan, dan implementasi dari ajaran dan atau nilai-nilai Islam. Serta apakah tujuannya dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT? Pengertian kajian, telaahan, dan implementasi dari ajaran dan atau nilai-nilai Islam tidak dalam arti sempit seperti materi aqidah akhlak, fiqh, hukum Islam dan sejenisnya, namun lebih luas dari itu, seperti mengkaji atau membaca alam dengan segenap potensi dan kekayaannya sebagai wujud dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Demikian pula dengan tujuan akhirnya, apakah akan mendekatkan pemahaman manusia dan pendekatan dirinya kepada Tuhan atau sebaliknya. Kedua, dilihat dari personil dan lembaga pengelolanya harus Islam. Karena banyak lembaga pendidikan non muslim, bahkan mungkin anti atau tidak simpati pada Islam justru mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan yang mengkaji ajaran Islam. Namun sekali lagi tujuannnya justru hanya untuk keperluan pengembangan pengetahuan belaka, bahkan tidak mustahil dapat dijadikan wahana untuk menonjolkan Islam itu sendiri. Dari penjelasan di atas dapat diuraikan bahwa standar pendidikan Islam harus memenuhi minimal empat standar berikut: 1) Standar bahan ajar yang memuat materi-materi bernuansa Islam 2) Standar kurikulum yang memiliki tujuan akhir pengabdian kepada Allah 3) Standar tenaga pendidik yang muslim 4) Standar lembaga pendidikan yang bercirikan Islam Berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 2008, standar pendidikan Islam baru diatur pada standar lulusan dan standar isi. Sedangkan untuk standar-standar yang lainnya masih mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.19 Tahun 2005 yang memuat 8 (delapan) komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang meliputi: (1) Standar Kompetensi Lulusan/ SKL, (2) Standar Isi, (3) Standar Proses, (4) Standar Pendidikan dan 11 Ahmad Syar i, Filsafat Pendidikan Islam.., p. 127 Vol. 11, No. 2, Desember 2016

238 Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan Pendidikan, dan (8) Standar Penilaian Pendidikan. Mencermati fakta-fakta sosio-historis yang mengiringi perkembangan pendidikan pesantren, maka pengembangan standarisasi sistem pendidikan pesantren dapat dilakukan dengan bantuan pemerintah dengan mengacu pada UU dan PP yang berlaku, dan/atau dilakukan institusi pesantren sendiri secara sporadis dengan mengacu pada selera kyai, atau keadaan sosial-budaya, dan/atau sosio-geografis setempat, karena pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Jadi, tawaran tentang pengembangan sistem pendidikan di pondok pesantren bisa saja diambil dan diadopsi oleh pesantren atau bisa juga tidak. G. Kesimpulan Setelah penulis mencermati pembahasan tentang pemikiran tentang pengembangan standarisasi sistem pendidikan pesantren dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama yang dipimpin oleh seorang kiai yang mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santri baik yang mondok (santri muqim) maupun tidak mondok (santri kalong) di asrama dalam pesantren tersebut. Tujuan pendidikan pesantren secara umum adalah menciptakan kepribadian muslim yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Namun, tujuan pendidikan tiap pesantren berbeda-beda sesuai misi dan visi serta tipologi pesantren yang diselenggarakan. 2. Tipologi pesantren adalah berbagai tipe pendidikan pesantren yang sebabkan oleh perbedaan selera kyai, atau perbedaan keadaan sosial-budaya, dan/atau perbedaan sosio-geografis yang mengitarinya, termasuk problem-problem mendasar yang dihadapi pesantren tersebut. Secara umum, problem-problem mendasar yang dihadapi pesantren antara lain: (1) dianggap sebagai lembaga tradisional, (2) tidak memiliki sarana dan prasarana penunjang yang memadai, (3) sumber daya manusia hanya tahu bidang keagamaan dan tidak ada/belum tersedia SDM untuk bidang kehidupan sosial masyarakat lain, (4). Jurnal At-Ta dib

Menggagas Model Pengembangan Standarisasi Sistem Pendidikan Pesantren 239 Lemahnya aksesibilitas dan networking, (5) manajemen kelembagaan yang masih belum terstruktur, dan (6) kemandirian ekonomi kelembagaan belum tersedia dan terencana dengan baik, serta (7) belum memuat kurikulum yang berorientasi life skills. 3. Output atau Lulusan pesantren masa kini idealnya harus mampu menyerasikan antara otak (head), akhlak (heart), dan keterampilan tangan (hand). Sehingga, output pesantren (yang merupakan pendidikan nonformal) dapat dihargai sejajar dengan output pendidikan formal, sesuai standar nasional pendidikan yang berlaku. 4. Pengembangan standarisasi sistem pendidikan pesantren dapat dilakukan dengan mengikuti pemerintah dengan mengacu pada Undang-Undang dan/atau Peraturan Pemerintah yang berlaku, dan/atau dilakukan oleh institusi pesantren sendiri secara sporadis dengan mengacu pada selera kyai, atau keadaan sosial-budaya, dan/atau sosio-geografis setempat, karena pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Daftar Pustaka A. Mukti Ali, Peranan Pondok Pesantren dalam Pembangunan (Jakarta: PT. Paryu Barkah, 1974). Ahmad Syar i, Filsafat Pendidikan Islam, (Rineka Cipta. 2010). Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosda Karya, 2001). Jamaluddin Malik, Pemberdayaan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Amissco, 1996) Minhaji. Inovasi Pendidikan dalam Perspektif Pesantren (Studi tentang Pola Inovasi Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren), Jurnal Lisan al-hal Vol. 6 No. 1 Juni 2014. Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2002). Vol. 11, No. 2, Desember 2016

240 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, ( Jakarta: Paramadina, 1997) Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta: LP3S, 1983). Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan (Jakarta: Rajawali Pers, 2009). Sudjono Prasodjo. Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982). Jurnal At-Ta dib