ANALISIS SENSITIFITAS FINANSIAL SERAIWANGI Chandra Indrawanto Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Minyak seraiwangi merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Sekitar 40% produksi minyak seraiwangi Indonesia diekspor. Pangsa pasar Indonesia di pasar internasional saat ini baru sekitar 5%. Salah satu kendala pengembangannya adalah rendahnya mutu minyak yang disebabkan masih banyaknya pemakaian varietas lokal dengan rendemen yang rendah dan minyak yang dihasilkan memiliki kandungan sitronellal dan geraniol dibawah standar SNI. Varietas unggul seraiwangi dengan mutu minyak lebih baik dan tingkat rendemen lebih tinggi dalam pengembangannya terkendala oleh produktivitas terna yang rendah walaupun secara keseluruhan industri pemakaian varietas unggul lebih menguntungkan karena rendemen yang tinggi. Hasil analisis finansial agroindustri penyulingan menunjukkan usaha penyulingan dengan bahan baku terna varietas unggul masih menguntungkan pada harga terna hingga Rp 190,- per kg, sedangkan jika memakai terna varietas lokal usaha sudah berada pada kondisi titik impas pada harga terna Rp 125,- per kg. Untuk mengatasi kendala pengembangan ini maka perlu dibentuk kelembagaan yang menjalin hubungan yang saling menguntungkan antara petani dengan pengusaha penyulingan. Pengusaha penyulingan haruslah menghargai lebih tinggi terna varietas unggul yang memiliki rendemen yang lebih tinggi dari terna varietas lokal. Salah satu alternatif adalah dengan memakai sistem bagi hasil minyak seraiwangi yang dihasilkan antara petani pemilik terna dengan pengusaha penyuling. PENDAHULUAN Industri minyak atsiri memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam penyediaan bahan bakunya. Selain itu pembangunan minyak atsiri akan menimbulkan efek berganda berupa peningkatan pendapatan petani tanaman atsiri, pembukaan lapangan kerja dibidang agroindustri serta pengenalan sistem dan perilaku industri dipedesaan. Minyak atsiri seraiwangi diperoleh dari proses penyulingan bagian daun tanaman seraiwangi (Andropogon nardus L.). Minyak ini mengandung senyawa sitronellal, geraniol, sitronellol, geranil asetat dan sitronellal asetat. Dua senyawa penting yang menjadi standar mutu minyak seraiwangi adalah sitronellal dan geraniol yang merupakan bahan dasar pembuatan ester untuk parfum dan kosmetik. Di Indonesia minyak seraiwangi merupakan komoditas ekspor. Sekitar 40% produksi minyak seraiwangi Indonesia diekspor dengan rata-rata volume ekspor pertahun sekitar 100 150 ton (BPS, 2006) atau sekitar 5% dari kebutuhan minyak seraiwangi dunia yang mencapai 2000 2500 ton per tahun (Paimin dan Yunianti, 2002). Daerah sentra produksi seraiwangi di Indonesia adalah Propinsi Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Jawa Timur (Ditjenbun, 2007). Akan tetapi pada umumnya petani masih memakai varietas lokal yang memberikan hasil minyak seraiwangi dengan kandungan sitronellal maksimal 145
27% dan geraniol maksimal 82%, kurang dari standar ekspor yang ditetapkan dalam SNI 06-3953-1995 yaitu kandungan sitronellal minimal 35% dan geraniol minimal 85%. Untuk meningkatkan mutu minyak seraiwangi Indonesia, saat ini sudah ada varietas unggul seraiwangi G1 untuk daerah pengembangan dengan ketinggian hingga 150 m, G2 untuk daerah pengembangan dengan ketinggian hingga 600 m dan G3 untuk daerah pengembangan hingga 1200 m dengan kandungan sitronellal antara 39 45% dan kandungan geraniol antara 88 90%. Rendemen hasil minyak seraiwangi varietas unggul ini rata-rata 0,99% (Balittro, 2006), lebih tinggi dibandingkan varietas lokal dengan rata-rata rendemen 0,8% (Daswir dan Kusuma, 2006). Akan tetapi, produktivitas terna varietas unggul lebih rendah dibandingkan varietas lokal. Hal ini mengakibatkan adopsi teknologi varietas unggul seraiwangi oleh petani menjadi terhambat karena biasanya harga yang diterima petani hanya berdasarkan berat terna yang dihasilkan tanpa mempertimbangkan kwalitas rendemen minyaknya. Untuk itu perlu dilakukan analisis sensitifitas finansial usahatani dan agroindustri penyulingan seraiwangi dengan varietas unggul dan varietas lokal sehingga dapat diantisipasi kebijakan yang diperlukan agar petani tertarik untuk mengadopsi teknologi varietas unggul. ANALISIS FINANSIAL SERAIWANGI Faktor penting yang pertlu dikaji dalam analisis finansial menurut Husnan dan Suwarsono (1994) adalah kebutuhan dana, biaya modal, cash flow, kriteria penilaian investasi dan analisis sensitivitas. Tiga kriteria peni0- ian kelayakan finansial adalah net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan benefit cost ratio (B/C ratio). Kriteria NPV mencerminkan nilai sekarang dari selisih anatar arus kas masuk dan arus kas keluar dari suatu usaha (Kadariyah et al., 1999). Apabila nilai NPV < 0 berarti usaha tersebut mengalami kerugian secara finansial sehingga menjadi tidak layak, bila NPV = 0 berarti usaha tersebut dalam posisi break event point dan bila NPV > 0 berarti usaha tersebut mendapat keuntungan secara finansial yang berarti pula layak untuk diusahakan. Semakin besar nilai NPV maka semakin besar keuntungan yang didapat. Kriteria IRR menunjukkan persentase keuntungan pertahun yang berhasil didapat. Bila nilai IRR lebih kecil daripada tingkat diskonto atau nilai bunga maka usaha mengalami kerugian, bila nilai IRR sama dengan tingkat diskonto maka usaha dalam posisi break event point, dan bila nilai IRR lebih tinggi dari tingkat diskonto maka usaha mengalami kerugian. Semakin besar nilai IRR semakin besar keuntungan yang dicapai usaha. 146
Kriteria B/C ratio adalah perbandingan antara seluruh nilai kini keuntungan yang didapat dengan seluruh nilai kini biaya yang dikeluarkan. Bila nilai B/C ratio lebih kecil dari satu maka usaha mengalami kerugian, jika nilai B/C ratio sama dengan satu maka usaha dalam kondisi break event point dan bila B/C ratio lebih besar dari satu maka usaha mengalami keuntungan. Semakin besar nilai B/C ratio semakin besar keuntungan usaha yang didapat (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh perubahanperubahan parameter dalam aspek finansial terhadap keputusan yang diambil (Soeharto, 1990). Analisis ini diperlukan untuk mencegah resiko jika terjadi kesalahan dalam menaksir biaya atau manfaat dan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahanperubahan parameter tersebut diluar kendali usaha. Semakin besar perubahan nilai parameter yang dapat ditanggung suatu usaha maka semakin baik usaha tersebut. Usahatani Analisis finansial usahatani seraiwangi dilakukan untuk pertanaman satu hektar dengan periode enam tahun. Investasi yang dibutuhkan untuk persiapan lahan, bibit, pemupukan dan lain-lain sekitar Rp 2.888.750,-. Analisis kelayakan finansial usahatani seraiwangi dengan varietas local dan varietas unggul dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Produksi terna seraiwangi varietas unggul rata-rata sekitar 48 ton/ha/tahun (Balittro, 2006), sedangkan produksi terna varietas lokal rata-rata sekitar 112,5 ton/ha/tahun (Zainal et al., 2003). Lebih tingginya produksi terna varietas lokal dibanding varietas unggul mempengaruhi hasil analisis finansial. Hasil analisis finansial usahatani seraiwangi dengan varietas unggul menunjukkan, dengan tingkat harga terna seraiwangi Rp 125,- per kg dan biaya pemanenan Rp 100,- per kg, layak secara finansial dengan NPV positif, B/C lebih dari satu dan IRR diatas tingkat suku bunga, akan tetapi nilai NPV yang didapat lebih rendah dibandingkan nilai NPV varietas lokal pada tingkat biaya panen dan harga terna yang sama (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan pengembangan usahatani varietas unggul seraiwangi hanya dapat dilakukan jika harga terna seraiwangi varietas unggul lebih tinggi daripada harga terna seraiwangi varietas lokal sehingga keuntungan yang didapat petani yang menanam seraiwangi varietas unggul sama atau bahkan lebih baik daripada keuntungan yang didapat petani yang menanam seraiwangi varietas lokal. Agroindustri Analisis finansial agroindustri penyulingan seraiwangi dilakukan untuk kapasitas alat suling 5000 liter atau sekitar satu ton terna perkali suling dengan frekwensi suling 2 kali per hari dan masa kerja 25 hari per bulan. Periode analisis dilakukan selama 20 tahun sesuai dengan perkiraan masa pakai alat suling. Biaya investasi usaha yang terdiri dari biaya untuk alat suling, peralatan penunjang, tanah dan bangunan sebesar Rp 109.500.000,-. 147
Tabel 1. Hasil analisis finansial usaha-tani seraiwangi (per ha) Investasi ditahun pertama Biaya panen (Rp/kg) Harga terna (Rp/kg) Discount faktor Parameter Varietas Unggul Varietas Lokal 5.618.750 100 125 12% 4.418.750 100 125 12% NPV B/C IRR Rp 1.722.355,- 1,79 45,8% Rp 8.231.302,- 4,24 108,1% Proyeksi aliran kas usaha agroindustri penyulingan seraiwangi dengan bahan baku terna varietas local dan varietas unggul dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Hasil analisis finansial usaha penyulingan minyak seraiwangi dengan bahan baku terna seraiwangi varietas unggul menunjukkan, dengan tingkat harga terna Rp 125,- per kg dan harga minyak seraiwangi Rp 35.350,- per kg, layak secara finansial dengan NPV positif, B/C ratio diatas satu dan IRR diatas tingkat suku bunga. Sedangkan hasil analisis finansial dengan tingkat harga terna dan harga minyak seraiwangi yang sama untuk bahan baku terna seraiwangi varietas lokal menunjukkan tingkat titik impas (break event point) (Tabel 2). Perbedaan ini disebabkan tingkat rendemen varietas unggul yang lebih tinggi dibandingkan tingkat rendemen varietas lokal. Hasil ini menunjukkan usaha agroindustri penyulingan dengan memakai bahan baku terna seraiwangi varietas unggul masih mendapatkan keuntungan walaupun harga terna varietas unggul dinaikkan. Diharapkan dengan peningkatan harga beli terna varietas unggul oleh penyuling akan mendorong petani menanam varietas unggul seraiwangi. Analisis sensitifitas Analisis sensitifitas terhadap kelayakan finansial agroindustri penyulingan seraiwangi menunjukkan usaha penyulingan dengan bahan baku varietas unggul akan mencapai titik impas pada harga terna seraiwangi Rp 190,- per kg dengan kondisi lainnya tetap. Hal ini berarti jika harga terna seraiwangi varietas unggul naik hingga Rp 190,- per kg, usaha penyulingan dengan bahan baku varietas unggul dengan tingkat rendemen 0,99% masih layak. Hal yang berbeda terjadi pada usaha agroindustri penyulingan dengan bahan baku seraiwangi varietas lokal. Kenaikan harga terna diatas Rp 125,- per kg akan mengakibatkan NPV menjadi negatif, B/C kurang dari satu dan IRR lebih rendah dari tingkat suku bunga. 148
Tabel 2. Hasil analisis finansial agroindustri penyulingan seraiwangi Parameter Varietas Unggul Varietas lokal Harga terna seraiwangi (Rp/kg) Kapasitas ketel (kg) Rendemen Frekwensi suling per bulan Harga minyak seraiwangi (Rp/kg) Lama usaha (tahun) Discount faktor 125 1.000 0,99% 50 35.350 20 12% 125 1.000 0,8% 50 35.350 20 12% NPV B/C IRR 275.192.351 4,04 42,6% 411.708 1,00 12% Analisis sensitifitas terhadap kelayakan finansial usahatani seraiwangi menunjukkan usahatani dengan memakai varietas unggul akan memiliki nilai NPV yang sama dengan usahatani seraiwangi memakai varietas lokal jika harga terna varietas unggul Rp 160,- per kg sedangkan harga terna varietas lokal tetap Rp 125,- per kg. Hal ini terjadi karena produktivitas terna varietas unggul lebih rendah daripada produktivitas terna varietas lokal. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil analisis sensitifitas diatas menunjukkan varietas unggul seraiwangi dapat dikembangkan jika harga terna yang dihasilkan, dengan tingkat rendemen yang lebih tinggi dibandingkan varietas lokal, dihargai lebih tinggi dari harga terna varietas lokal. Jika harga terna varietas lokal Rp 125,- per kg maka harga terna varietas unggul haruslah diatas Rp 160.- per kg. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat usaha agroindustri penyulingan seraiwangi dengan bahan baku terna seraiwangi varietas unggul masih menguntungkan pada harga terna hingga Rp 190,- per kg. Dengan kondisi ini disarankan agar pengembangan varietas unggul seraiwangi haruslah dibarengi dengan pengembangan kelembagaan yang menjalin hubungan yang saling menguntungkan antara petani dengan pengusaha penyulingan. Pengusaha penyulingan haruslah menghargai lebih tinggi terna varietas unggul yang memiliki rendemen yang lebih tinggi daripada terna varietas lokal. Salah satu alternatif adalah dengan memakai sistem bagi hasil minyak seraiwangi yang dihasilkan antara petani pemilik terna dengan pengusaha penyuling. DAFTAR PUSTAKA Balittro, 2006. Varietas dan Nomor Harapan Unggul Tanaman Obat dan Aromatik. Balai Penelitian 149
Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. p. 33-39. BPS, 2006. Statistik Ekspor. Biro Pusat Statistik, Jakarta. p. 200-205. Daswir dan I. Kusuma, 2006. Pengembangan Tanaman Seraiwangi di Sawah Lunto Sumatera Barat. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. p. 12-22. Ditjenbun, 2007. Statistik Perkebunan: Seraiwangi. Direktorat Jendral Perkebunan. Jakarta. 63 p. Gittinger, JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI Press- John Hopkins, Jakarta. 505 p. Husnan S dan Suwarsono, 1994. Studi Kelayak Proyek. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. 67 p Kadariyah, Karlina L dan Gray, C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. 56 p. Paimin F.R dan I. Yunianti, 2002. Pasar Ekspor Seraiwangi. Majalah Trubus No. 394. PT Trubus Swadaya. Jakarta. p 67-68. Soeharto, 1990. Manajemen Proyek Industri. Erlangga, Jakarta. 130 p. Zainal, M., Daswir, I. Kusuma, Ramadhan, Idris, A. David dan Y. Fery, 2003. Laporan Akhir Pengembangan Tanaman Perkebunan Berwawasan Konservasi di Sawah Lunto. Kerjasama Pemerintah Kota Sawah Lunto dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. (Unpublish). 150
151
152
153
154