I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

MITIGASI BENCANA BENCANA :

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) berdasarkan Undang-Undang Republik

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 Jumlah Bencana Terkait Iklim di Seluruh Dunia (ISDR, 2011)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III LANDASAN TEORI

Definisi dan Jenis Bencana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

BAB I PENDAHULUAN I-1

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana sosial

Definisi Bencana (2) (ISDR, 2004)

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

Penataan Kota dan Permukiman

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor,

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan.

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAB II JENIS-JENIS BENCANA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang

BAB II DISASTER MAP. 2.1 Pengertian bencana

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga

Powered by TCPDF (

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. berada di kawasan yang disebut cincin api, kondisi tersebut akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang

Transkripsi:

1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang merupakan jenis bencana yang dominan di Indonesia. Bencana hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 70 % dari total bencana di Indonesia. Perubahan iklim global, perubahan penggunaan lahan dan meningkatnya jumlah penduduk makin memperbesar ancaman risiko bencana di Indonesia. Bencana tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar. Pada tahun 2009, terjadi 644 kejadian bencana di Indonesia. Jumlah orang meninggal mencapai 1.711, menderita dan hilang sekitar 1.398.923 orang. Rumah rusak berat 14.639 unit, rusak sedang 2.830 unit dan rusak ringan 25.030. Dari 644 kejadian bencana tersebut, sekitar 81,5% atau 517 kejadian bencana adalah bencana hidrometerologi. Sedangkan bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami dan gunung meletus masing-masing terjadi 13 kali (2%), 1 kali (0,2%) dan 3 kali (0,5%), dengan jumlah kerugian yang ditimbulkannya sangat besar (BNPB 2011). Dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah kejadian dan korban serta kerugian yang ditimbulkan bencana lebih kecil pada tahun 2009. Pada tahun 2010, jumlah kejadian bencana mencapai 1.675 kejadian. Jumlah korban meninggal mencapai 2.620 orang, menderita dan mengungsi sekitar 5,5 juta orang dan menimbulkan kerusakan rumah mencapai lebih dari 500 ribu unit. Pada tahun 2010 bencana gempa bumi di Jawa Barat dan Sumatera Barat adalah bencana terbesar pada tahun tersebut (BNPB 2011). Salah satu faktor penyebab meningkatnya kejadian bencana lingkungan di Indonesia antara lain adalah semakin meningkatnya alih fungsi lahan, khususnya dari hutan menjadi non hutan. Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan, dimana hingga saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003). Sedangkan pada tahun 2012, luas hutan di Indonesia hanya tinggal 90,7 juta hektar (KLH 2012). Penurunan luasan dan tingginya kerusakan hutan yang terjadi tersebut menyebabkan bencana banjir dan longsor.

2 Laju pembangunan yang pesat dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan, khususnya pada lahan dikawasan budidaya. Kebutuhan tersebut semakin meningkat, baik untuk kegiatan pembangunan di sektor pemukiman, industri, jasa perdagangan, pertanian, pariwisata dll. Namun kebutuhan yang tinggi ini menyebabkan tergesernya lahanlahan non budidaya atau kawasan lindung (hutan) yang merupakan kawasan yang harus dilindungi dan dipertahankan. Ketidaksesuaian antara pemanfaatan lahan baik pada kawasan budidaya dan kawasan lindung terhadap kondisi fisik di lapangan menyebabkan terjadinya penyimpangan peruntukan lahan yang berakibat menurunnya daya dukung lahan, sehingga sering berdampak negatif seperti erosi, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya. Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah datar sekitar sungai sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung alur sungai. Selain itu, banjir adalah interaksi antara manusia dengan alam dan sistem alam itu sendiri. Bencana banjir merupakan aspek interaksi antara manusia dengan alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan manusia (Suwardi 1999). Banjir merupakan salah satu contoh bencana yang disebabkan oleh faktor hidro-meteorologis, dimana berdasarkan hasil kajian dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, lebih dari 70 % bencana di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor hidro-meteorologis. Selain oleh faktor hidro-meteorologis, bencana banjir juga disebabkan oleh faktor manusia sebagai salah satu parameter yang dinamis, serta karakteristik fisik DAS yang merupakan salah satu parameter statis. Ibarat katalis, manusia dengan segala kebutuhan dan kemampuannya, berkontribusi terhadap percepatan perubahan tata guna lahan, terutama dari alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan. Hal tersebut sangat mempengaruhi fungsi daur hidro-orologis dalam suatu DAS, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap percepatan terjadinya bencana banjir dan longsor. Dengan perubahan kondisi lahan dari waktu ke waktu, ancaman banjir juga semakin besar. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : (1) Daya tampung sungai makin lama menjadi kecil akibat pendangkalan, (2) Fluktuasi debit air antara musim penghujan dan musim kemarau makin tinggi, (3) Terjadi konversi lahan pertanian dan daerah buffer alami ke lahan non pertanian dengan mengabaikan konservasi sehingga mengakibatkan rusaknya catchment area, dan (4) Eksploitasi air tanah yang berlebihan yang menyebabkan lapisan aquifer yang semakin dalam sehingga penetrasi air laut lebih jauh ke darat yang berakibat mengganggu keseimbangan hidrologi (Suratman dan Partowijoto 2002). Tanah longsor adalah hasil dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut lereng. Selanjutnya gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Alhasanah 2006). Somantri (2007) menyebutkan penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi,

3 curah hujan dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng dan penambangan. Tanah longsor dikategorikan sebagai salah satu penyebab bencana alam, disamping gempa bumi, banjir, angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam (Barus 1999). Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan struktur topografi yang berbentuk pegunungan dan perbukitan yang sangat dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan-kegiatan merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Somantri 2007). Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Disamping itu juga disebabkan tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002) menyebutkan bahwa kawasan rawan longsor Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/ kota, antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Purwakarta. Dilihat dari aspek demografi, sepuluh kabupaten/kota tersebut merupakan kawasan padat penduduk dan permukiman penduduk pada umumnya terletak pada lereng perbukitan. Oleh karena itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut, diperlukan upaya yang mengarah kepada tindakan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan. Mencegah bahaya banjir dan longsor lebih murah daripada menanggulangi atau membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Alhasanah (2006) menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai mitigasi, yang didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas di tempatnya. Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana banjir dan longsor (Somantri 2007).

4 Barus (1999) menyebutkan bahwa mitigasi dalam manajemen bencana banjir dan longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain dimulai dari penyusunan basis data daerah yang berpotensi terhadap banjir dan longsor hingga pembuatan peta zonasi rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor. Teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan metode yang tepat dalam melakukan pembuatan peta zonasi rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor untuk suatu cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Penerapan teknologi Penginderaan Jauh dan SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak bencana banjir dan longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak akibat bencana banjir dan tanah longsor dilakukan dengan cara membuat suatu model penyusunan SIG, yaitu dengan menggabungkan beberapa sebagai variabel untuk memperoleh kawasan yang rentan terhadap bahaya dan resiko bencana banjir dan tanah longsor (Barus 1999). Kerangka Pemikiran Definisi dari bencana (disaster) menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana pada dasarnya merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasi tanpa bantuan dari pihak luar. Beberapa istilah terkait dengan kebencanaan menurut BNPB (2011) antara lain sebagai berikut: (1). Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor; (2). Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa kegagalan teknologi, gagal modernisasi, epidemik dan wabah penyakit; (3). Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok dan antar komunitas masyarakat serta teror; (4). Bahaya/ Kerawanan (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan Iingkungan; (5). Resiko (risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan

5 gangguan kegiatan masyarakat; (6). Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya atau kerawanan (hazards); (7). Peta Bahaya/Kerawanan (hazard map) adalah peta petunjuk zonasi tingkat bahaya satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu; (8). Peta Risiko Bencana (risk map) adalah peta petunjuk zonasi tingkat risiko satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu. Peta ini bersifat dinamis, sehingga harus direvisi tiap waktu tertentu dan merupakan hasil perpaduan antara peta bahaya (hazard map) dan peta kerentanan (vulnerability map); serta (9). Peta Kerentanan (vulnerability map) adalah peta petunjuk zonasi tingkat kerentanan satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu. Bencana dapat terjadi karena saling bertemunya dua faktor, yaitu bahaya atau kerawanan (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau kerawanan (hazard) mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan (Mathew et al. 2007). Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah rendah sekitar sungai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung alur sungai. Akibat dari peristiwa banjir tersebut menyebabkan terjadi bentuk lahan bentukan banjir. Bentuk lahan ini biasanya terdapat pada dataran rendah, dimana akibat dari peristiwa banjir yang berulang-ulang tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah sasaran banjir, disamping faktor kemiringan lereng, ketinggian, penggunaan lahan, geologi dan struktur batuan, tekstur dan jenis tanah serta besarnya tebal hujan (Kadri 2007). Bencana tanah longsor adalah istilah yang umum dan mencakup ragam yang luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang banyak (Somantri 2007). Berkurangnya daerah tangkapan air adalah salah satu bukti penurunan kualitas lingkungan, dan hal ini berpotensi sebagai salah satu penyebab banjir dan longsor yang dapat mengakibatkan bencana. Banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai tempat aktivitas manusia dapat merupakan peristiwa alam atau sebagai akibat degradasi lingkungan yang akan terus berlangsung dan merusak jika tidak segera ditangani (Nugroho 2010). Penanganan masalah banjir dan longsor tidak bisa dilakukan secara parsial, karena seluruh sistem yang ada di suatu wilayah dapat memiliki pengaruh terhadap banjir dan longsor, dan kondisi itulah yang seharusnya dipahami oleh manusia. Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan

6 melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap bencana banjir dan tanah longsor. Peta zonasi bahaya banjir dan tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan memutuskan tingkat resiko dengan mempertimbangkan penghindaran, pencegahan atau mitigasi dari bahaya banjir dan tanah longsor sekarang dan yang akan datang. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada diagram yang ditampilkan pada Gambar 1 di bawah ini. Integrasi Basis Data dengan GIS/Penginderaan Jauh Implementasi Hukum dan Peraturan yang Berlaku Kurangnya Informasi Data Spasial yang Lengkap dan Akurat Penegakan Hukum yang Lemah dan Tidak Tegas Kurang Terintegrasinya RTRW dengan Program Pembangunan Kesadaran Hukum yang Rendah Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Kondisi / Peristiwa Alam Aktivitas Manusia (Berubahnya Keseimbangan Ekosistem) Bencana Lingkungan (Banjir dan Tanah Longsor) Pembangunan Tidak Ramah Lingkungan (Kaidah Konservasi Tanah dan Air) Valuasi Bencana Banjir dan Tanah Korban Jiwa Kerugian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Evaluasi Tata Ruang terhadap Potensi Rawan dan Resiko (Banjir dan Longsor) Solusi dan Langkah Tindak (Upaya Mitigasi) Analisis dan Penilaian Rawan serta Resiko (Banjir dan Longsor) = Komponen Solusi = Tidak diteliti pada penelitian Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian

7 Perumusan Masalah Provinsi Jawa Barat merupakan satu dari enam provinsi di Pulau Jawa yang mempunyai potensi kerentanan bencana banjir dan longsor yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah atau provinsi lainnya. Hal ini disebabkan karena sebagian wilayah Provinsi Jawa Barat mempunyai kondisi geo-fisik lahan yang berbukit dengan persentase kemiringan lereng >25 % sebesar 15 % dari luas total Provinsi Jawa Barat. Sedangkan daerah yang memiliki kemiringan lereng landai atau <2 % adalah sebesar 25 % dari luas total Provinsi Jawa Barat (KLH 2012). Tingkat pertumbuhan daerah ditandai dengan semakin berkembangnya kawasan permukiman penduduk. Lahan yang semakin terbatas akan memaksa perluasan kawasan permukiman ke arah daerah yang berlereng, yang berpotensi untuk terjadinya tanah longsor, serta ke daerah-daerah yang seharusnya merupakan area retensi air yang berpotensi untuk terjadinya bencana banjir. Sebagai upaya pengendalian banjir dan tanah longsor, pemerintah daerah telah melakukan berbagai cara, yaitu secara struktural seperti pelurusan dan pengerukan saluran, rehabilitasi lahan kritis di daerah hulu (catchment area), juga secara non struktural antara lain dengan penataan ruang yang bersumber dari pengumpulan data dan informasi, baik data fisik geografis maupun sosial ekonomi. Kondisi masyarakat yang secara sosial, ekonomi maupun budaya belum menyadari bahaya banjir juga dapat menjadi keterbatasan dalam upaya ini, disamping tidak adanya tindakan tegas dari aparat dalam menegakkan aturan atau penegakan hukum. Salah satu permasalahan dalam mitigasi bencana alam antara lain adalah kurangnya informasi kepada pembuat keputusan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan, khususnya untuk perencanaan tata ruang. Keterlambatan dalam memahami faktor-faktor penyebab terjadinya bencana banjir dan tanah longsor umumnya disebabkan kurang tersedianya data dan informasi keruangan yang rinci dan komprehensif dari aspek fisik, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, penyediaan peta yang akurat dan valid merupakan salah satu hal yang perlu dilaksanakan untuk dapat memberikan informasi kepada para pembuat keputusan dan kebijakan di pemerintahan yang dapat membantu dalam penentuan kebijakan yang akan diambil. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut : 1. Bagaimana kriteria dan parameter pembentuk bencana banjir dan longsor? 2. Bagaimana sebaran daerah yang berpotensi terjadinya rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor di Provinsi Jawa Barat? 3. Bagaimana kesesuaian rencana pola ruang dalam RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2030 terhadap potensi rawan (hazard) banjir dan longsor? Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang, kerangka pemikiran dan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : a) Menentukan kriteria dan parameter pembentuk bencana banjir dan longsor.

8 b) Mengetahui sebaran daerah yang berpotensi terjadinya rawan (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dan longsor di Provinsi Jawa Barat. c) Mengetahui kesesuaian rencana pola ruang pada RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2030 terhadap potensi rawan (hazard) banjir dan longsor. Kegunaan/Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang, kerangka pemikiran dan perumusan masalah di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat atau kegunaan sebagai berikut : a) Peta potensi rawan (hazard) dan resiko (risk) banjir dan longsor di wilayah Provinsi Jawa Barat diharapkan bermanfaat sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana banjir dan longsor yang dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah, masyarakat setempat maupun instansi terkait lainnya. b) Sebagai sumber informasi dan bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya bencana banjir dan longsor, misalnya kegiatan konversi lahan hutan menjadi non hutan yang dilakukan oleh masyarakat, bahaya tinggal di sekitar bantaran sungai yang rawan terhadap bencana banjir, serta bahaya tinggal di kawasan perbukitan dengan lereng yang curam yang berpotensi untuk terjadinya bencana longsor. Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah analisis kerentanan bencana banjir dan longsor dengan mengintegrasikan parameter-parameter utama, dalam hal ini ada 7 (tujuh) parameter, yaitu penggunaan lahan (land cover), bentuk lahan (landform), ketinggian (elevasi), kemiringan lereng (slope), curah hujan atau tebal hujan (isohyet), geologi atau formasi batuan, serta jenis tanah (great soil group). Penelitian ini juga melihat keterkaitan dan hubungan antara parameter yang berpengaruh terhadap bencana banjir dengan longsor, serta menyusun arahan pemanfaatan ruang berdasarkan potensi rawan (hazard) bencana banjir dan longsor. Keterkaitan antar parameter yang diteliti dalam penelitian ini dan arahan pemanfaatan ruangnya berdasarkan potensi rawan (hazard) bencana banjir dan longsor belum pernah dilakukan sebelumnya.