BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritik 1. Merokok a. Definisi Rokok Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, diketahui bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus yang meliputi kretek dan rokok putih yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tobacun, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar atau bahan tambahan. 6 Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600). 7,8 Berdasar banyaknya rokok yang dihisap menurut Smet, perokok ringan (menghisap 1-4 batang/hari), perokok sedang (5-14 batang/hari), dan perokok berat (>15 batang/hari). 9 b. Jenis Rokok Dibedakan menjadi: 8 1) Berdasar atas bahan pembungkus rokok a) Klobot = rokok yang bahan pembungkus berupa daun jagung. b) Kawung = rokok yang bahan pembungkus berupa daun aren. c) Sigaret = rokok yang bahan pembungkus berupa kertas. d) Cerutu = rokok yang bahan pembungkus berupa daun tembakau. 2) Bahan baku atau isi rokok a) Rokok putih = rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. http://digilib.unimus.ac.id 5
b) Rokok kretek = rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. c) Klembak = rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. 3) Proses pembuatan rokok a) Sigaret kretek tangan = rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. b) Sigaret kretek mesin = rokok yang proses pembuatannya menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. Keluaran yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. 4) Penggunaan filter a) Rokok filter = rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus. b) Rokok non filter = rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus. c. Kandungan Rokok Rokok memiliki beberapa jenis kandungan zat kimia antara lain: 8 1) Nikotin Nikotin memiliki efek adiktif dan psikoakftif. Nikotin merangsang sejumlah reaksi kimia yang mempengaruhi hormon dan neurotransmiter seperti adrenalin, dopamin, dan insulin. Diperkirakan peningkatan dopamin dari otak berhubungan dengan euforia, relaksasi, dan kecanduan. Sedangkan efek peningkatan adrenalin adalah detak jantung yang sangat cepat, meningkatnya tekanan darah, dan tarikan nafas yang berat dan cepat. http://digilib.unimus.ac.id 6
2) Tar Tar bukanlah zat tunggal, namun terdiri atas ratusan bahan kimia gelap dan lengket, dan tergolong sebagai bahan karsinogen (penyebab kanker). Tar sejenis cairan berwarna coklat tua atau hitam yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru, sehingga membuat paru-paru perokok menjadi coklat, begitu juga di gigi dan kuku. Tar yang ada dalam asap rokok menyebabkan paralisis silia yang ada di saluran pernafasan dan menyebabkan penyakit paru lainnya seperti emfisema, bronkitis kronik, dan kanker paru. 8 3) CO (Karbon Monoksida) Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin lebih kuat dibandingkan dengan oksigen yang terdapat dalam eritrosit. Bila ada asap tembakau dan kadar oksigen udara sedang berkurang, sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan spasme, yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini terus menerus, maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan) yang dapat terjadi di pembuluh darah manapun. Selain itu, CO juga menaikkan kadar lemak pada pembuluh darah yang dapat menyebabkan penyumbatan. Dengan terpaparnya CO dalam jumlah besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. 7,10 2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) a. Definisi Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2001 dan di-update tahun 2005, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakterisasi oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak http://digilib.unimus.ac.id 7
reversibel sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang sama. 11 b. Klasifikasi Berdasarkan tandanya, penyakit PPOK dapat diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu 1. Tipe A yang didominasi oleh enfisema, disebut juga pink puffer 2. Tipe B yang didominasi oleh bronchitis kronis, disebut blue bloaters Karakteristik tipe emfisema atau pink puffer 1. Pasien emfisema biasanya lebih tua dari pada bronchitis kronis. Keluhan utama adalah meningkatnya dyspnea, termasuk dalam keadaan istirahat, dengan batuk yang jarang. 2. Pasien akan bernapas dengan cepat (takipnea) karena pusat pernapasan merespon hipoksemia dan wajah pasien akan terlihat kemerahan, karena itu sering disebut pink puffer (tipe A). Hal ini karena pasien melakukan hiperventilasi untuk mengompensasi hipoksemia dengan bernafas short puff (pendek-pendek), akibatnya pasien terlihat berwana pink dengan sedikit penahanan karbon oksida dan sedikit kejadian edema. 3. Pasien akan terlihat lemah dan bibir mengatup dalam usaha untuk mengkompensasi kurangya elastisitas pengempisan dan mengeluarkan sejumlah besar udara. Pasien juga juga mengalami takipnea saat istirahat dan sering duduk dengan dada ke depan dan tangan beristiran di lutut karena posisi seperti ini membutuhkan energi sedikit untuk bernafas. http://digilib.unimus.ac.id 8
Karakteristik tipe bronkitis atau blue bloaters 1. Biasanya pasien kelebihan berat badan, mempunyai riwayat batuk produktif dan telah meningkat dalam frekuensi dan durasinya, dan adanya peningkatan dispnea. 2. Pasien mengalami blue bloaters (tipe B) karena cenderung untuk menahan karbondioksida akibat penurunan respon pusat pernafasan terhadap hipoksemia dan terjadi hiperkarbia. 3. Terdapat edema perifer akibat cor pulmonale dan biasanya kecepatan nafas saat istirahat normal atau meningkat sedikit. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat: 12 1. Derajat I: COPD ringan Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1> 80% Prediksi). VEP (Volume Ekspirasi Paksa) dan KVP (Kapasitas Vital Paksa). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal. 2. Derajat II: COPD sedang Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1< 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya. 3. Derajat III: COPD berat Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% < VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien. http://digilib.unimus.ac.id 9
4. Derajat IV: COPD sangat berat Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan. c. Manifestasi Klinik Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah 11 : 1. Batuk kronis : terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari (tidak seperti asma yang terdapat gejala batuk pada malam hari). 2. Produksi sputum secara kronis: semua pola produksi sputum dapat mengindikasikan adanya PPOK. 3. Bronkitis akut: terjadi secara berulang. 4. Sesak nafas (dispnea): bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan. 5. Riwayat paparan terhadap faktor risiko: merokok, partikel, dan senyawa kimia, asap dapur. Adapun gejala klinik PPOK adalah sebagai berikut 11 : 1. Smoker s cough (batuk khas perokok), biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin, kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun. 2. Sputum, biasanya banyak dan lengket (mucoid), berwarna kuning, hijau atau kekuningan bila terjadi infeksi. 3. Dispnea (sesak nafas), ekspirasi menjadi fase yang sulit pada saluran pernafasan. Gejala ini mungkin terjadi beberapa tahun sebelum kemudian menjadi sesak nafas menjadi nyata yang membuat pasien mencari bantuan medik. Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah 11 : 1. Peningkatan volume sputum. 2. Perburukan pernafasan secara akut. 3. Dada terasa berat (chest tightness) http://digilib.unimus.ac.id 10
4. Peningkatan purulensi sputum. 5. Peningkatan kebutuhan bronkodilator. 6. Lelah, lesu. 7. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengahengah). Pada gejala berat dapat terjadi 11 : 1. Cyanosis (kulit membiru), akibat terjadi kegagalan respirasi. 2. Gagal jantung kanan (cor pulmonale) dan edema perifer. 3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang memerah yang disebabkan polycythemia (erythrocytosis, jumlah eritrosit yang meningkat), hal ini merupakan respon fisiologis normal karena kapasitas pengangkutan O2 yang berlebih. d. Diagnosis 1. Anamnesis 3 a) Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan. b) Batuk kronik hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. c) Kadang-kadang pasien hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. d) Perkembangan gejala bersifat progresif lambat. e) Riwayata pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan, dan tempat kerja). f) Sesak saat melakukan aktivitas dengan atau tanpa bunyi mengi. 2. Pemeriksaan Fisik a) Inspeksi Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu). Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding). Penggunaan otot bantu nafas. Pelebaran sela iga. http://digilib.unimus.ac.id 11
b) Palpasi Fremitus melemah Sela iga melebar c) Perkusi Hipersonor d) Auskultasi Suara nafas vesikuler melemah atau normal Ekspirasi memanjang Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) Ronki 3. Pemeriksaan Penunjang 8 a) Fungsi Paru Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa detik pertama, nilai normalnya 3,2 Liter KVP = Kapasitas Vital Paksa, nilai normalnya 4 Liter Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 % VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, pemeriksaan APE (Arus Puncak Ekspirasi) walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. b) Laboratorium Darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik). http://digilib.unimus.ac.id 12
c) Radiologi Paru hiperinflasi atau hiperlusen. Diafragma mendatar. Corakan bronkovaskuler meningkat. Ruang retrosternal melebar. Untuk penegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya gagal jantung kongestif, TB Paru, dan sindrome obtruktif pasca TB Paru. Penegakkan diagnosis PPOK secara klinis dilakasanakan di puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakkan diagnosis dan penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2005, dilaksanakan di rumah sakit/fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki spirometri. 12 Diagnosis PPOK ditegakkan oleh adanya obstruksi aliran udara yang ditunjukkan dengan penurunan rasio FEV1 FVC<0,7 yang bersifat ireversibel (peningkatan FEV1<15%) dengan terapi bronkodilator atau steroid. 10 Pada pasien yang saya teliti di Poli Penyakit Dalam RSUD Tugurejo diagnosis dilakukan tanpa tes spirometri dikarenakan tidak tersedianya spirometer di RSUD Tugurejo. Sehingga pengukuran kapasitas vital paru menggunakan Spirotest Peak Flow meter merk Riester dan mouth piece. Diagnosis dilakukan oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam di RSUD Tugurejo berdasar diagnosis klinis sebagai berikut: 1) Batuk kronik. 2) Berdahak kronik. 3) Sesak nafas ssat melakukan aktivitas. 4) Penggunaan otot bantu nafas. 5) Pelebaran sela iga. http://digilib.unimus.ac.id 13
6) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa. 7) Ekspirasi memanjang. 8) Paru hiperinflasi atau hiperlusen. 9) Diafragma mendatar. 10) Corakan bronkovaskuler meningkat. Gambar 2.1 Spirotest Peak Flow meter merk Riester dan mouth piece Fitur: Modern casing dalam desain plastik biru Rentang pengukuran 1000-7000 cm3 Disertakan lengkap dalam kotak kardus dengan 50 corong plastik Cocok untuk pemeriksaan kebugaran dan pemeriksaan kesehatan di kantor dokter atau di rumah. Tambahan: 50 buah plastic mouthpieces 100 buah carton mouthpieces. Cara pemakaian: Pasang mouthpieces pada Spirometer, putar ke angka 0 Ambil nafas dalam kemudian segera tiup pada bagian mouthpiece, tiup sekuat-kuatnya dan secepatcepatnya Kemudian lihat hasilnya, setelah itu putar lagi ke angka 0, dan ulangi selama 3x. http://digilib.unimus.ac.id 14
e. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasar-dasar penatalaksanaan ini pada PPOK adalah: 13 1) Usaha mencegah perburukan penyakit 2) Mobilisasi lender 3) Mengatasi bronkospasme 4) Memberantas infeksi 5) Penanganan terhadap komplikasi 6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi. Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat mungkin. Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT (Standar Operasional Pelayanan Terpadu) penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya. 14 Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari: 15 1. Penatalaksanaan umum http://digilib.unimus.ac.id 15
2. Pemberian obat-obatan 3. Terapi oksigen 4. Rehabilitasi 3. Hubungan Merokok Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Merokok merupakan penyebab terbanyak PPOK di negara berkembang. Kelainan struktur jaringan berkaitan erat dengan respons inflamasi ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun, tetapi dinyatakan faktor utama dan paling dominan ialah asap rokok dibanding yang lain. Risiko terkena PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui penilaian derajat berat merokok seseorang berdasar Indeks Brinkman (IB), yakni perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Kategori perokok ringan apabila merokok antara 0-200 batang, disebut perokok sedang apabila jumlah batang antara 200-600, dan disebut perokok berat apabila menghabiskan 600 batang atau lebih. Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK. 16 Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru. Pada saluran nafas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasi). Pada saluran nafas kecil, terjadi radang ringan dan penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Terjadinya perubahan anatomi saluran napas berakibat perokok akan mengalami perubahan pada fungsi paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit paru obstruktif kronik. 17 http://digilib.unimus.ac.id 16
B. Kerangka Teori Faktor Perilaku Merokok Derajat Merokok Jenis Rokok Merangsang Peradangan Kronik Merangsang perubahanperubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia Faktor Host Genetik Usia Jenis Kelamin Gangguan Pertumbuhan Paru Penyakit Paru Obstruktif Kronik Faktor Lingkungan Polusi Udara Debu Bahan Kimia Menurunkan Fungsi Paru Keterangan: = yang diteliti = yang tidak diteliti http://digilib.unimus.ac.id 17
C. Kerangka Konsep Derajat Merokok Jenis Rokok PPOK D. Hipotesis 1. Ada hubungan antara derajat merokok dengan penyakit paru obstruktif kronik. 2. Ada hubungan antara jenis rokok dengan penyakit paru obstruktif kronik. http://digilib.unimus.ac.id 18