KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH

dokumen-dokumen yang mirip
Dinamika Politik Pemekaran Daerah

SINKRONISASI DAN HARMONISASI HUKUM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH: STUDI DI PROVINSI BALI

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

Prayudi POSISI BIROKRASI DALAM PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA

Editor: DR. Lili Romli DPR RI PERIODE : Catatan Akhir Masa Bakti

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

Penyunting: DR. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si. PUTUSAN PENGADILAN TERKAIT SENGKETA TANAH DI INDONESIA

POTENSI DAN MASALAH PULAU PERBATASAN: KABUPATEN PULAU MOROTAI DAN KABUPATEN PULAU RAJA AMPAT

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

POLITIK PEMILUKADA 2010: Sebuah Kajian Terhadap Penyelenggaraan Pemilukada di Dumai dan Indragiri Hulu

- 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat;

Ujianto Singgih Prayitno KONTEKSTUALISASI KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Dr.jur Udin Silalahi, SH., LL.M. KAJIAN SEPUTAR PROBLEMATIKA KEUANGAN NEGARA, ASET NEGARA, DAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN KONSERVASI: Studi Pemberdayaan Masyarakat Melalui Model Desa Konservasi. Sri Nurhayati Qodriyatun

-1- QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2017 TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si. PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2004 TENTANG MAJELIS RAKYAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

FUNGSI LEGISLASI: PEmbENtUkAN dan PELAkSANAAN beberapa UNdANG-UNdANG republik INdoNESIA

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

QANUN ACEH NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

QANUN ACEH NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG REUSAM GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA BANDA ACEH

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH

QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN DI ACEH

Bunga Rampai Model Penyelenggaraan

-1- BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMILIHAN DAN PEMBERHENTIAN IMUM MUKIM DI ACEH

- 3 - Pemilihan Umum Tahun 2019 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 138);

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerinta

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

DAERAH, DEMOKRASI, & PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENAGA KERJA: PERSPEKTIF HUKUM, EKONOMI, DAN SOSIAL

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PNPM-MANDIRI PERKOTAAN DI KOTA BATAM (Sebuah Perspektif Intervensi Sosial)

Argumentasi/ Rasionalisasi

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

Upaya Peningkatan Kerjasama INDONESIA - AS DI SEKTOR PERTAMBANGAN

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN AQIDAH

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG DALAM KOTA LANGSA DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA LANGSA,

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA SUBULUSSALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BUPATI ACEH TIMUR PROVINSI ACEH QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT GAMPONG

KEPUTUSAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG HASIL RAPAT KOORDINASI - II MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH TAHUN 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA WALI NANGGROE

QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TENGAH,

Transkripsi:

KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH Penyunting: Lili Romli Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika

Judul: Kebijakan dan Implementasi Otonomi Khusus di Papua dan Aceh Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) xi+143 hlm.; 17x24 cm Cetakan Pertama, 2012 ISBN: 978-979-9052-74-2 Penulis: Riris Katharina Handrini Ardiyanti Debora Sanur L. Dedeh Haryati Dewi Sendhikasari Dharmaningtias Penyunting: Lili Romli Desain Sampul: Ferry C. Syifa Penata Letak: Zaki Diterbitkan oleh: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia Gedung Nusantara I Lt. 2 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270 Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245 Bersama: Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/ DIY/ 2012 Kantor Pusat: Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta Telp. +62 274-6882748 Perwakilan Jabodetabek: Graha Azza Grafika Perumahan Alam Asri B-1 No. 14 Serua Bojongsari Kota Depok 16520 Telp. +62 21-49116822 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidanan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH: Catatan Pengantar Lili Romli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI Kebijakan desentralisasi asimeteris atau pemberian otonomi khusus kepada suatu daerah bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Pola relasi khusus antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah sudah dipraktikkan sejak tahun 1950. Pada waktu itu Pemerintah Pusat memberikan kekhususan beruapa daerah Istimewa kepada kepada Provinsi Yogyakarta, dengan sebutan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pertimbangan memberikan status istimewa bagi Yogyakarta adalah terkait dengan faktor historis dan kultural. Atas dasar alasan itu, antara lain, maka posisi Gubernur dan Wakil Gubernur tidak dipilih tetapi diangkat dari Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alam. Kini tentang Keistimewaan Yogyakarta tersebut diatur dalam UU No.13 Tahun 2012. Status istimewa Yogyakarta ini merupakan bagian dari proses berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dulunya merupakan maklumat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sebagaimana diketahui bahwa Yogyakarta memiliki nilai perjuangan serta historis dan terus konsisten untuk melestarikan budaya dan kearifan lokalnya. Melalui UU Keistimewaan merupakan bentuk pengakuan Yogyakarta secara jelas yang berlandaskan hak asal usul, kerakyataan, kebhinekaan, efektivitas pemerintah, serta pendayagunaan kearifan lokal. Selain Yogyakarta, Pemerintah Pusat juga memberikan kekhususan bagi Ibu Kota Jakarta dengan sebutan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Sebagai ibu kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berbeda dengan daerah-daerah lainnya di mana kota dan kabupaten (lima kota: Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan satu kabupaten: Kepulauan Seribu) bukan sebagai daerah otonom tetapi sebagai daerah adiministeratif sehingga para walikota dan bupatinya tidak dipilih langsung oleh rakyat tetapi diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta. Gubernur dan wakil Gubernur langsung dipilih oleh rakyat. Mengacu pada UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pemenang harus memperoleh suara lebih dari 50% suara sah. Selanjutnya dalam menjalankan tugas, Gubernur dan Wakil Gubernur dibantu iii

4 orang Deputi Gubernur. Deputi diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur. Selain kedua daerah di atas, dalam era reformasi ini sesuai dengan perkembangan dan dinamika politik yang terjadi, Pemerintah Pusat juga memberikan status otonomi khusus kepada Provinsi Papua, Papua Barat dan Aceh. Untuk otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat diatur melalui UU No. 21 Tahun 2001. UU ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hakhak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP adalah satu seperempat kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi. Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundangundangan. Berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, yaitu Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat orang asli Papua. Selain itu juga mengatur tentang keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP), yang beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masingmasing sepertiga dari total anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan MRP adalah 5 tahun. MRP mempunyai tugas dan wewenang, yang diatur dengan Perdasus, antara lain: memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersamasama dengan Gubernur. Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka iv

pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur. Sedangkan pemberian status otonomi khusus bagi Aceh berdasarkan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA mengatur beberapa kekhususan, antara lain, terkait dengan Kewenangan Khusus, Gubernur Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota (DPRA/K), Partai Politik Lokal, Wali Nanggroe, pengakuan terhadap Lembaga Adat, Syari at Islam, dan Mahkamah Syar iyah. Dalam diktum menimbang dikemukakan bahwa pemerintahan mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan DPRA dan DPRK yang sama dengan DPRD di Provinsi dan Kabupaten lainnya, mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Yang membedakan adalah di mana Jumlah anggota DPRA paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan undang-undang. DPRA mempunyai tugas dan wewenang, antara lain, membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama; melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundangundangan lain;. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional; dan memilih Wakil Gubernur dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Gubernur; Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang Warga v

Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Asas partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh. Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Pemerintah mengakui keberadaan dan perananan lembaga-lembaga adat yang ada di Aceh. Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Pemerintah juga mengakui akan peranan dan keberadaan syari at Islam. Syari at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar iyah dan akhlak. Syari at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh. Peradilan syari at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah Syar iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah Syar iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari at Islam. Di Pememrintah Aceh dibentuk apa yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang di daerah-daerah lain tidak di atur dalam UU. Anggota MPU terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. MPU bersifat independen dan kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama dengan fungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan vi

daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan,pembinaan masyarakat, dan ekonomi. UUPA juga mengakui dan mengembalikan keberadaan Mukim dan Gampong, yang di masa Orde Baru dihilangkan. Dalam UU disebutkan bahwa dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong. Mukim dipimpin oleh imeum mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh tuha peuet mukim atau nama lain. Imeum mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Selanjutnya dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk gampong. Pemerintahan gampong terdiri atas keuchik dan badan permusyawaratan gampong yang disebut tuha peuet. Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Buku yang ada dihadapan pembaca ini mencoba membahas tentang implementasi kebijakan otonomi khusus di Papua dan Aceh. Tulisan pertama dipaparkan oleh Riris Katharina dengan judul Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua: Tinjuan Terhadap Peran DPRP dan MRP. Ia berpendapat bahwa kinerja para anggota DPRP dalam bidang legislasi rendah yang berakibat pada terlambatnya pencapaian tujuan UU Otsus Papua. Peran MRP dalam bidang legislasi hampir tidak ditemukan. MRP hanya hadir pada saat pengesahan sebuah rancangan Perdasus atau rancangan Perdasi menjadi Perdasus dan Perdasi. Ini terjadi karena kapasitas SDM anggota DPRP dan MRP. Faktor perbedaan pandangan antara Pemerintah Pusat dan DPRP terhadap Otsus Papua dan Pengawasan yang minim dari Pemerintah Pusat juga menjadi kendala. Handrini Ardiyanti menulis tentang Hubungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Implementasi Otonomi Khusus. Berdasarkan tinjauan teori sikap terhadap pelaksanaan otonomi khusus Papua terdapat keseragaman pendapat tentang tuntutan adanya dialog antara pusat dengan Papua guna membahas lebih dalam tentang pelaksanaan otonomi khusus di Papua khususnya terkait dengan hak-hak yang menurut rakyat Papua seharusnya diberikan oleh pusat. Tinjuan teori dialektika tentang pelaksanaan otonomi khusus Papua menghasilkan kesimpulan bahwa pemerintah pusat sudah waktunya membuat inventarisir berbagai hal yang dianggap tabu sebagaimana dijelaskan dalam aspek segmentasi pada teori dialektika. Berdasarkan tinjauan komunikasi sosial budaya, hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah menafsirkan perilaku pihak lain dan mempengaruhi kelompok sosial, maka dalam hubungan pusat dan daerah dalam kerangka otonomi khusus di NAD dan Papua, pemerintah pusat harus mampu menafsirkan dengan tepat berbagai perilaku sosial. Tulisan lain adalah tentang Hubungan Kelembagaan Antara DPRP, MRP dan Gubernur Papua, yang ditulis oleh Debora Sanur. Ia menjelaskan bahwa hubungan antara Gubernur, DPRP, dan MRP belum maksimal bersinergi dalam vii

konsentrasi pembangunan Papua. Hubungan antara Gubernur, DPRP, dan MRP kurang didukung dengan koordinasi horisontal yang memadai, terutama dalam proses penyusunan peraturan pelaksanaan tindak lanjut Undang-Undang Otsus Papua dan dalam menyikapi berbagai kebijakan strategis di Papua. Sedangkan tulisan Dedeh Haryati yang berjudul Penguatan Fungsi Legislasi DPR Aceh mengatakan bahwa peran DPRA/panlek cukup kuat sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun, namun dalam fungsi legislasi, DPRA belum mempunyai kedudukan yang setara dengan pemerintah daerah. Banyak produkproduk qanun yang merupakan inisiasi dari pemerintah daerah, bukan dari DPRA. Faktor yang mempengaruhi lemahnya kinerja DPRA adalah pemberian kewenangan kepada DPRD sebagai pusat pembentukan qanun, tidak dibarengi dengan adanya fasilitasi dan sarana pendukung yang memadai, misalnya:belum adanya dukungan staf ahli yang memadai, yang akan membantu kinerja dewan khususnya dalam memperkuat fungsi legislasi, belum adanya dukungan sarana teknologi informasi yang memadai, untuk memberikan akses kepada masyarakat atas kinerja dewan dan sebaliknya, serta belum adanya sistematisasi peningkatan kapasitas dan kualitas SDM secara terprogram dan terencana. Tulisan kelima berjudul Peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Aceh yang ditulis Dewi Sendhikasari Dharmaningtias, menyimpulkan bahwa MPU cenderung lebih aktif berperan dalam penentuan kebijakan daerah yang berkaitan dengan syari at Islam. Semoga beberapa tulisan di atas, yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI ini memberikan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dalam rangka mewujudkan peran otonomi khusus bagi kesejahteraan rakyat dan peningkatan dan penguatan demokrasi lokal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga! viii

DAFTAR ISI Catatan Pengantar...iii Daftar Isi...ix BAGIAN KESATU: IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PROVINSI PAPUA (TINJAUAN TERHADAP PERAN DPRP DAN MRP) Riris Katharina...1 A. Pendahuluan...3 B. Otonomi Khusus...6 C. Otonomi Khusus Ditinjau dari Peran Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)...9 D. Implementasi Otonomi Khusus Ditinjau dari Peran MRP... 30 E. Penutup... 35 Daftar Pustaka... 38 BAGIAN KEDUA : HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM KERANGKA IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS : (SUATU TINJAUAN TEORI SIKAP, TEORI DIALEKTIKA DAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA) Handrini Ardiyanti... 45 A. Konsep Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus dalam Negara Kesatuan... 47 B. Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam... 49 C. Otonomi Khusus Papua... 51 D. Teori Sikap... 54 E. Teori Dialektika... 55 F. Komunikasi Sosial Budaya... 55 G. Otonomi Khusus NAD dalam Tinjauan Teori Sikap... 57 H. Otonomi Khusus NAD dalam Tinjauan Teori Dialektika... 58 I. Otonomi Khusus Papua dalam Tinjauan Teori Sikap... 60 ix

J. Otonomi Khusus Papua dalam Tinjauan Teori Dialektika... 61 K. Arti Penting Komunikasi Sosial Budaya dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus... 64 L. Penutup... 68 Daftar Pustaka... 70 BAGIAN KETIGA : Hubungan Kelembagaan Antara DPRP, MRP dan Gubernur Papua Debora Sanur L... 73 A. Pendahuluan... 75 B. Otonomi Daerah... 76 C. Pemerintah Lokal... 77 D. Elit.78 E. Akuntabilitas Politik... 80 F. Peran Lembaga-Lembaga di Provinsi Papaua dalam Pembentukan Peraturan Pelaksana Undang-Undang... 81 G. Peran Gubernur, DPRP, dan MRP dalam Pembentukan Peraturan Pelaksana UU... 84 H. Hubungan DPRP, MRP, dan Gubernur serta Kendalanya dalam Pembentukan Peraturan Pelaksana UU... 85 I. Kesimpulan... 91 Daftar Pustaka... 93 BAGIAN KEEMPAT : PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPR ACEH Dedeh Haryati... 97 A. Pendahuluan... 99 B. Lembaga Perwakilan dalam Pemerintahan Demokratis...100 C. Fungsi Lembaga Perwakilan dalam Negara Demokrasi...103 D. Peran DPRA dalam Pemerintahan Aceh...104 E. Program Legislasi Aceh(PROLEGA)...107 F. Pelaksanaan PROLEGA Aceh Tahun 2007-2012...111 G. Penguatan Peran dan Fungsi Legislasi DPRA...115 H. Partisipasi Publik dan Transparansi...117 I. Penutup...117 Daftar Pustaka...119 x

BAGIAN KELIMA: PERAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ACEH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS DI PROVINSI ACEH Dewi Sendhikasari Dharmaningtias...121 A. Pendahuluan...123 B. Perumusan Masalah...124 C. Otonomi Daerah...125 D. Teori Organisasi...128 E. Peran Ulama di Aceh...128 F. Profil Majelis Permusyawaratan Ulama...130 G. Hubungan MPU dengan Pemerintah Daerah...133 H. Peran MPU dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus...137 I. Kesimpulan...139 Daftar Pustaka...143 xi