Bab 5 Ringkasan Pada umumnya orang sering menyebutkan bahwa orang Jepang suka bekerja keras, suka berkelompok, dan sebagainya. Kehidupan berkelompok dalam masyarakat Jepang disebut juga dengan shuudan shugi. Orang Jepang pada umumnya cenderung kuat rasa keterikatannya terhadap kelompok di mana dia berada, terutama perusahaan tempat kerjanya. Bilamana perusahaannya menghadapi masalah atau tugas yang mendesak dan harus segera dituntaskan, maka para karyawan merasa terpanggil untuk ikut memikul beban kerja bersama-sama, dengan mengesampingkan kepentingan dan kesenangan pribadinya. Kesetiaan kelompok tidak terbatas di perusahaan atau kantor saja. Bisa saja dalam kelompok klub olahraga, klub kesenian, kelompok ketetanggaan, kelompok kelas di sekolah, kelompok seangkatan di universitas, dan lain lain. Kesadaran stratifikasi dalam kehidupan berkelompok pada masyarakat Jepang menciptakan kerukunan bersama sebagai harmoni kelompok yang melahirkan rasa saling memiliki dan rasa kebersatuan sesuai dengan status dan peran di dalam kelompok. Kesadaran stratifikasi, rasa memiliki, dan rasa kebersatuan ini menjadi nilai budaya masyarakat Jepang yang lahir dari pembinaan, pendidikan, atau pelatihan. Nilai ini ditanamkan pada anak mereka karena anak adalah generasi penerus masyarakatnya. Prestasi seorang individu dalam kelompok bukan lagi prestasi pribadi yang bersangkutan tapi menjadi prestasi kelompoknya. Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme, apalagi yang mencolok seperti dalam masyarakat Barat. Masyarakat Jepang selalu menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan, dan alam. 52
Akan tetapi tidak semua kehidupan kelompok dalam masyarakat Jepang menghasilkan suatu yang positif. Ada juga dampak negatif yang dihasilkan oleh kehidupan berkelompok. Bermunculannya tindak delikuen yang dilakukan para kelompok remaja Jepang ini menimbulkan banyak perdebatan dan juga keresahan di kalangan masyarakat Jepang itu sendiri. Masa remaja seharusnya menjadi masa yang menyenangkan bagi seorang remaja walaupun masa transisi ini harus diawasi oleh pihak dewasa agar remaja tidak salah jalan dalam menemukan jati dirinya. Di Jepang sendiri adanya bentuk pengabaian sosial seperti merenggangnya hubungan antar anggota keluarga, pihak orang dewasa yang acuh tak acuh, juga masalah-masalah ijime di sekolah menyebabkan berkembangnya perilaku-perilaku menyimpang pada remajanya. Para generasi mudanya tidak lagi menempatkan budaya mereka dalam hal tata krama melainkan mereka lebih senang untuk menyerap unsur budaya yang masuk dari luar Jepang itu sendiri. Masuknya dan diserapnya pengaruh dari luar ini menyebabkan para remaja Jepang bertindak di luar aturan sehingga sekarang ini pergaulan di Jepang menjadi sangat bebas sehingga munculah penyimpangan-penyimpangan perilaku pada remaja di negara tersebut. Perilaku menyimpang juga telah dibedakan definisinya yaitu secara keseluruhan, semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, dan lain lain) dapat disebut perilaku menyimpang. Akan tetapi, jika penyimpangan itu terjadi terhadap norma-norma hukum pidana barulah disebut kenakalan. Dengan demikian, kenakalan remaja akan dibatasi pengertiannya pada tingkah laku yang jika dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan. Di luar itu, penyimpangan-penyimpangan lainnya hanya disebut perilaku menyimpang saja. 53
Munculnya bentuk kekhawatiran masyarakat mengenai kenakalan remaja sendiri sudah terjadi dimana-dimana dan mereka yang nantinya bergantung kepada remajaremaja ini sangat khawatir mengenai tanggung jawab yang akan mereka jalani. Tindakan para remaja ini tidak hanya mengungkapkan permasalahan internal dalam diri mereka sendiri tetapi menunjuk pada tekanan-tekanan yang dibebankan pada para remaja ini oleh perubahan dalam masyarakat Jepang itu sendiri. Banyaknya kenakalan remaja atau anak di bawah umur menimbulkan keresahan dan perdebatan dalam masyarakat. Sebagaimana di negara-negara lain yang mengalami hal yang sama dalam menghadapi kenakalan remaja, reaksi pemerintah dan media massa di Jepang adalah menganjurkan agar hukuman diperberat dan proses hukum bagi remaja juga diperketat, disamakan dengan orang dewasa. Selain pengaruh- pengaruh di atas, kenakalan remaja juga di akibatkan karena pesatnya pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk daerah- daerah perkotaan menjadi cepat pula berubah. Sebagian besar daerahnya dipakai untuk mendirikan bangunan-bangunan, industri, perumahan penduduk, kantor pemerintah dan militer. Semua upaya pembangunan itu mempunyai dampak samping berupa disrupsi sosial (kekacauan sosial). Disrupsi ini dicerminkan oleh semakin meningkatnya keluarga yang pecah berantakan, kasus bunuh diri, alkoholisme, korupsi, kriminalitas, pelacuran, dan juga kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang terjadi dari berbagai faktor seperti lingkungan, kultural, sosiogenis, juga industrialisasi memainkan peranan besar dalam terbentuknya kenakalan remaja. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut memainkan peranan dalam menentukan tingkah laku delikuen pada anak-anak remaja. Mereka sangat terpengaruh oleh kondisi sosial yang jahat sehingga anak pun menjadi delikuen. 54
Seseorang dapat menjadi buruk atau jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan wajar. Kenakalan remaja sering kali dikaitkan dengan ketidak seimbangan mental dari remaja tersebut. Ketidakseimbangan dalam diri remaja tersebut disebabkan oleh keadaan emosi yang berubah-ubah. Hal ini menyebabkan orang sulit memahami diri remaja dan remaja pun sulit untuk memahami diri mereka sendiri. Dalam pembentukan jati diri, para remaja sangat membutuhkan arahan dalam menentukan yang terbaik. Akan tetapi kurangnya komunikasi seakan membuat remaja ini bertindak sendiri dengan mencari perhatian lebih yang ternyata berlawanan dengan budaya dan masyarakatnya. Selain komunikasi, penghargaan dari pergaulan dan lingkungan sekitar terhadap remaja sangatlah penting. Baik buruknya reaksi yang diberikan terhadap remaja itu akan mempengaruhi kejiwaannya. Jika reaksi yang diterima remaja adalah sebuah reaksi buruk maka remaja akan menganggap diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki pengaruh. Banyaknya bermunculan kasus kejahatan di Jepang yang dilatar belakangi oleh para remajanya, menimbulkan banyak tanda tanya yang mengarah pada faktor pemicu terjadinya kasus tersebut. Yang mengejutkan masyarakat adalah para remaja pelaku 55
terkadang termasuk dalam individu yang sensitif, pintar, dan termasuk dalam keluarga menengah biasa. Dan ini terlihat dalam lima kasus yang telah dianalisa dalam skripsi ini. Dalam kasus yang telah dianalisa terdapat lima kasus delikuen sekelompok remaja yang berujung kepada tindak kriminalitas di Jepang. Diceritakan dalam kasus pertama yaitu kasus pembunuhan oleh sekelompok remaja yang terbentuk dengan sebuah visi yang sama yaitu balas dendam terhadap korban yang dulu pernah melakukan tindak kejahatan terhadap mereka. Pada kasus kedua terdapat kasus pemukulan oleh sekelompok remaja putri yang berujung pada kematian terhadap lelaki tua berumur 69 tahun di apartemennya, ini terjadi dikarenakan rasa kesal kelompok remaja putri tersebut karena lelaki tersebut tidak mengembalikan uang yang dipinjam dari mereka. Pada kasus ketiga terdapat kasus permerkosaan oleh sekelompok mahasiswa baru dari organisasi sebuah universitas ternama di Jepang, kasus kejahatan seksual ini memakan korban teman dari organisasi tersebut. Kemudian dalam kasus keempat terdapat kasus penyerangan oleh sekelompok remaja kekediaman seorang polisi dengan tujuan ingin menyelamatkan teman anggota mereka yang ditahan oleh polisi tersebut akibat tindak kejahatan yang dilakukan temannya itu yaitu menyalakan kembang api di salah satu pos jaga polisi, kasus ini memakan korban luka yaitu polisi yang diserang rumahnya tersebut. dan terakhir pada kasus lima yaitu kasus perampokan oleh sekelompok remaja dengan tujuan agar mendapatkan uang jajan lebih. Dan kasus ini merupakan kasus yang berulang kali dilakukan oleh sekelompok remaja yang sama dengan target operasi mereka adalah para salesman yang sedang dalam keadaan mabuk. Berdasarkan lima kasus diatas maka untuk memudahkan pembaca maka dalam skripsi ini penulis membuat tabel data kasus yang telah dibahas pada analisis data sehingga diharapkan bisa membantu pembaca dalam memahami tentang kasus yang ada. 56
Tabel 5.1 Tabel Kasus Delikuen Kelompok Remaja Jepang Kasus Pembunuhan Pemukulan Pemerkosaan Penyerangan rumah polisi Perampokan Tahun 1999 2000 2003 2004 2007 Usia 17-19 14-15 20-23 14-18 14-18 Jenis Kelamin Pria Wanita Pria Pria Pria Tingkat Pendidikan SMU SMU Mahasiswa SMU, SDF SMP, SMU Latar Belakang Kasus Emosi balas dendam Rasa kesal terhadap korban Ketidaksetujuan atas kegiatan kelompok tersebut Menyelamatkan teman yang ditahan Ingin uang jajan lebih Berdasarkan tabel diatas maka jelas bahwa kehidupan berkelompok masyarakat Jepang yang sudah menjadi budaya masyarakat itu sendiri tidak selamanya selalu berdampak positif. Ini bisa terlihat pada kasus dalam tabel diatas bahwa kegiatan berkelompok juga menghasilkan hal yang negatif dan ini banyak dilakukan oleh remaja Jepang itu sendiri yang akan menjadi generasi penerus bangsa Jepang. 57