BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN HARGA DIRI DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

2015 SUBJECTIVE WELL-BEING PENGEMUDI ANGKUTAN KOTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PENYANDANG TUNA DAKSA

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bidang pelayanan kesehatan tempat yang mendukung rujukan dari pelayanan

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN HARGA DIRI DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. penelitian antara dua kelompok penelitian.adapun yang dibandingkan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PENARI STUDIO SENI AMERTA LAKSITA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia seseorang dikatakan sejahtera apabila dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. usahanya tersebut. Profesi buruh gendong banyak dikerjakan oleh kaum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Lieben und arbeiten, untuk mencinta dan untuk bekerja.

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir dan dewasa awal. Menurut Monks (dalam Desmita, 2012) remaja akhir

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar seperti makan, minum, dan pakaian hingga kebutuhan untuk diakui

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk paling unik di dunia. Sifat individualitas manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MASYARAKAT MISKIN DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO JEBRES SURAKARTA.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana karakteristik komunikasi interpersonal orang tua tunggal dalam mendidik

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. gambaran harga diri (self esteem) remaja yang telah melakukan seks di luar nikah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. didik, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari anggota masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja adalah suatu periode transisi dari fase anak hingga fase

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan asset yang kelak akan menjadi penerus keluarga, menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan berbagi tugas seperti mencari nafkah, mengerjakan urusan rumah tangga,

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005,

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu dapat mencapai tujuan hidup apabila merasakan kebahagian, kesejahteraan, kepuasan, dan positif terhadap kehidupannya. Kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap individu dapat bersumber dari berbagai macam hal dan sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang bersifat subjektif inilah dikenal dengan istilah sebagai subjective well being. Subjective well being yang tinggi akan berdampak pada kondisi yang lebih baik pada kesehatan, kinerja, hubungan sosial, dan perilaku etis. Dengan kondisi Subjective well being yang tinggi diharapkan individu dapat menjadi produktif, khususnya pada individu yang memasuki usia dewasa dimana seseorang harus bisa hidup mandiri. Subjective well being meliputi evaluasi subjektif seseorang terhadap keadaan dirinya saat ini dan merupakan kombinasi antara adanya afek positif atau ketiadaan afek negatif serta kepuasan hidup secara umum (Diener, 2008). Subjective well being penyandang tunadaksa adalah penilaian individu tunadaksa pada kondisi hidupnya secara kognitif yaitu seberapa ideal individu memandang hidupnya dengan kondisi cacat tubuh yang dimiliki, kepuasannya terhadap apa yang telah dicapai walaupun kondisi fisiknya agak sedikit menghambat. Subjective well being penyandang tunadaksa juga berkaitan dengan penilaian individu secara emosional terhadap keadaan hidupnya ketika mengalami cacat. 1

2 Individu tunadaksa menilai seberapa tingkatan afek positif yang dirasakan misalnya apakah tetap bersemangat bekerja dan merasakan memiliki kekuatan untuk melakukan berbagai hal, tidak terpuruk dan tetap aktif menjalani berbagai aktivitas. Penyandang tunadaksa juga menilai seberapa tingkat afek negatif yang dirasakan misalnya apakah sedih karena tidak bisa mengakses beberapa fasilitas umum yang kurang bersahabat, tidak bisa bekerja ditempat yang baik karena keterbatasan pendidikan dan streotype yang melengkapi kehidupannya, serta apakah merasa khawatir akan masa depan kehidupannya (Pavot dan Diener, 2004). Berdasarkan BPS tahun 2004, individu tunadaksa selalu merasa tertekan dan didiskriminasi oleh masyarakat, diantaranya sikap masyarakat mengejek atau menertawakan sebanyak 69,9%, sikap masyarakat menolak kehadiran mereka sebanyak 35,5%, sikap acuh tak acuh sebanyak 15%, dan sikap masyarakat terlalu protektif sebanyak 13,7% (BPS, 2004 dalam Gladys, 2010). Data-data tersebut sejalan dengan temuan-temuan data awal di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso. Data tersebut adalah sebagai berikut :

3 Tabel 1. Hasil Quesioner terbuka Siswa Penyandang Tunadaksa di BBRSBD (26-27 November 2014) 1 Kepuasan hidup siswa Sangat puas Puas 10% Cukup puas Tidak puas 5% 50% 35% 2 Hal yang sering menimbulkan kepuasan hidup teman 45% keluarga 38,3% pasangan 8,3% Sendirian 8,3% 3 Hal yang sering menimbulkan perasaan tidak puas 4 Kenyamanan hidup siswa 5 Hal yang mengganggu pikiran siswa 6 Hal yang membuat siswa bahagia 7 Hal yang membuat siswa sedih Tidak punya teman 55% Sangat nyaman 6,7% Masa depan suram 45% teman 66,7% Merasa tidak berguna 41,7% Tidak punya pacar 8,3% Nyaman 11,7% Tidak punya pasangan 16,7% keluarga 33,3% Diasingkan keluarga 16,7% Sendirian 28,3% Cukup nyaman 48,3% Tidak mempunyai teman 30% Jauh dari keluarga 25% Tidak punya keluarga 8,3% Tidak nyaman 33,3% Diasingkan oleh keluarga 8,3% Berpisah dengan teman 16,7% Berdasarkan hasil kuesioner terbuka diperoleh kesimpulan bahwa siswa penyandang tuna daksa merasa cukup puas dengan kehidupannya saat ini dan yang dapat menimbulkan kepuasan hidup ketika bersama dengan temantemannya. Siswa penyandang tuna daksa beranggapan bahwa dirinya merasa tidak berguna di masyarakat dan memiliki masa depan yang suram. Hasil temuan data awal dalam tabel 1 sesuai dengan pendapat Hallahan (2006) bahwa efek besar yang dialami oleh individu dengan physical disability (tunadaksa) dalam bidang akademik adalah kurangnya pengalaman pendidikan dan tidak bisa memanipulasi materi sekolah dan merespon tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh orang-orang kebanyakan. Dianawati (2005) menambahkan bahwa pada umumnya individu tunadaksa kurang memiliki pengalaman yang positif dikarenakan mereka tidak memiliki posisi yang menguntungkan dalam hubungan sosial sehingga mereka menjadi inferior. Perasaan inferioritas pada individu tunadaksa adalah penerimaan

4 yang buruk mengenai diri sendiri, rendah diri sehingga menyebabkan kurangnya kepercayaan diri, sifat malu pada diri sendiri yang kemudian mengarahkan individu pada usaha mengisolasi dirinya sendiri dan akibatnya individu tersebut cenderung merasa berbeda secara negatif. Subjective well being dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya harga diri, tujuan hidup, kepribadian, hubungan sosial, kesehatan, demografi, sumber pemenuhan kebutuhan, budaya, adaptasi, kognitif, dan religiunitas/spiritualitas (Diener, Oishi & Lucas, 2002). Menurut Schimmack dan Diener (2002) harga diri merupakan prediktor yang signifikan untuk semua pengukuran subjective well being. Harga diri yang tinggi membuat seseorang memiliki beberapa kelebihan termasuk pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan pedoman yang berharga dalam hubungan interpersonal dan merupakan hasil alamiah dari pertumbuhan seseorang yang sehat. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi biasanya menggunakan lebih banyak proses peningkatan diri. Harga diri menjadikan sikap positif atau negatif pada individu ke arah kesempurnaan diri, yang berhubungan erat dengan subjective well being secara keseluruhan. Individu yang memiliki harga diri negatif (rendah) akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga, disamping itu cenderung tidak berani mencari tantangan-tantangan baru dalam hidupnya, lebih senang menghadapi hal-hal yang sudah dikenal serta menyenangi hal-hal yang tidak penuh dengan tuntutan, cenderung tidak merasa yakin akan pemikiran-pemikiran serta perasaan yang dimilikinya, cenderung takut menghadapi respon dari orang

5 lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia (Schimmack dan Diener, 2002). Hasil penelitian Luhman, dkk (2012) menyatakan bahwa kejadian hidup yang besar dapat memiliki efek yang kuat pada subjective well being dan kekuatan efek ini bervariasi tergantung pada pertimbangan kejadian hidup. Yang dimaksud dengan pertimbangan kejadian hidup adalah adaptasi atau penyesuaian diri pada kejadian hidup tersebut. Penyesuaian diri menuntut kemampuan individu untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga individu merasa puas terhadap diri sendiri dan lingkungannya (Willis, 2005). Kumalasari dan Nur (2012) menjelaskan bahwa banyak individu yang tidak dapat mencapai kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri, baik dengan lingkungan keluarga, sekolah, pekerjaan dan masyarakat pada umumnya. Sehingga cenderung menjadi individu yang rendah diri, tertutup, suka menyendiri, kurang adanya percaya diri serta merasa malu jika berada diantara orang lain atau situasi yang terasa asing baginya. Individu dituntut dapat berkembang dan menyesuaikan diri agar menjadi modal utama ketika berada dalam masyarakat luas. Apabila individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, maka individu akan memiliki sikap negatif dan tidak bahagia.

6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being? C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik hubungan penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being. D. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi pengetahuan dalam bidang psikologi pendidikan khususnya tentang penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu individu penyandang tuna daksa agar lebih percaya diri, nyaman serta sehat secara mental sehingga dapat meningkatkan subjective well being. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai subjective well being pada remaja telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Diantaranya adalah penelitian Riyanto (2010) dengan subjek siswa Sekolah Menengah Atas kelas X-XII,

7 sebanyak 299 siswa. Penelitian ini mengungkap pengaruh self esteem dan pola pendidikan terhadap well being remaja. Hasil penelitian ini menemukan bahwa self esteem dan pola pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap well being remaja. Penelitian mengenai subjective well being juga telah dilakukan di luar negeri. Penelitian Luhman, Eid, Hofmann dan Lucas (2012) tentang subjective well being dan adaptasi pada peristiwa kehidupan: sebuah studi meta analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peristiwa hidup memiliki efek yang berbeda pada kesejahteraan afektif dan kognitif dan sebagian besar peristiwa memiliki efek yang lebih kuat dan lebih konsisten pada kesejahteraan kognitif. Perbedaan peristiwa hidup berbeda pada efek subjective well being pada masing-masing individu tetapi efek-efek ini bukan merupakan fungsi untuk menduga peristiwa seperti yang diinginkan. Abdo dan Alamudin (2007) pada penelitian yang telah dilakukan tentang predictors subjective well being diantara anak muda kampus di lebanon, hasil penelitian menunjukkan bahwa subjective well being anak muda kampus berkolerasi secara positif dengan harga diri, optimisme dan pengaruh positif, menguji variabel demografi dari jenis kelamin penulis menemukan laki-laki memiliki skor pengaruh positif yang lebih tinggi di bandingkan perempuan. Sebuah tren muncul dan menyarankan bahwa dominasi bahasa dan status sosial ekonomi tergabung dengan level subjective well being. Vacek, Coyle, dan Vera (2010) pada penelitian yang telah dilakukan tentang harapan, optimisme, harga diri, dukungan sosial, stress dan kesejahteraan

8 di kota, remaja dengan minoritas etnis, hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara subjective well being dengan harapan, optimisme, harga diri, dukungan sosial, stress dan pendapatan rendah di pengaruhi oleh gender dan jenis keterkaitan. Hubungan antara gander dan stress (r = 0,33, p <0, 001) dan gender dan negatif effect (r = 0,26, p=0,005) yaitu significant. Perempuan mempunyai score yang lebih tinggi dari pada laki-laki pada tingkat stress. Stress sangat berpengaruh negatif pada subjective well being namun tingkat stress pada laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada metode penelitian, fokus kajian dan subjek yang digunakan. Dalam penelitian yang telah ada dengan menggunakan metode meta analysis, sedangkan penelitian ini menggunakan analisis regresi ganda. Fokus kajian dalam penelitian terdahulu adalah peristiwa hidup, jenis kelamin, dan stress, sedangkan dalam penelitian ini fokus kajiannya pada penyesuaian diri dan harga diri dengan subjective well being. Subjek yang digunakan pada penelitian terdahulu dengan menggunakan mahasiswa, sedangkan subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah tuna daksa di BBRSBD Prof Dr. Soeharso Surakarta, dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya.