BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. Trilogi pembangunan yang salah satunya berbunyi pemerataan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional karena. pembangunan ekonomi diharapkan dapat menjadi motor penggerak

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

PENDAHULUAN Latar Belakang

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara maritim, dimana 70 persen dari luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

RINGKASAN EKSEKUTIF. vii. LAKIP 2015 Dinas Kelautan dan Perikanan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani

2015 PERBANDINGAN KONDISI SOSIAL EKONOMI ANTARA PETANI PLASMA DENGAN PETANI NON PLASMA DI KECAMATAN KERUMUTAN

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KERJA

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. daratannya. Selain itu, Indonesia juga merupakan Negara dengan garis

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya, petani dan nelayan selalu lebih miskin dibandingkan penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Analisis ekspor karet dan pengaruhnya terhadap PDRB di Provinsi Jambi

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%)

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat melalui kontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1).

PENDAHULUAN. dan km2 Lautan. NTT sebagai salah satu provinsi kepulauan, memiliki potensi yang cukup besar dalam

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

Peranan Sektor Perikanan dan Kelautan Dalam Perekonomian Wilayah Propinsi Riau

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesejahteraan adalah mengukur kualitas hidup, yang merefleksikan aspek ekonomi, sosial dan psikologis. Dalam aspek ekonomi, maka kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang diperlukan. Sumber untuk memenuhi kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar kemampuannya. Secara ekonomis, kemampuan memenuhi ini tergambarkan dari kemampuan membeli/membayar semua kebutuhan hidup, sehingga tergambarkan dari perbandingan antara pendapatan dengan biaya/pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup. Secara umum, bila seseorang mempunyai penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan, maka secara ekonomis mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kurangnya pembinaan mengenai tehnologi manajemen industri dan kebijakan pengelolaan hasil laut yang belum ditunjukkan oleh instansi terkait terhadap nelayan merupakan sebagian faktor penyebab nelayan menjadi miskin. Lemahnya modal, pengetahuan dan keterampilan nelayan menjadi penyebab rendahnya hasil yang didapat, ditambah lagi masih kurangnya prasarana yang dimiliki serta lemahnya posisi tawar nelayan dalam pemasaran hasil tangkapan. Sementara disisi lain nelayan dihadapkan meningkatnya harga-harga untuk input kegiatan mereka sehingga kondisi demikian menyebabkan tingkat kesejahteraan para nelayan sangat lambat peningkatannya bahkan cenderung tidak bergerak. 1

Nelayan sangat tergantung terhadap musim, pada musim penangkapan nelayan sangat sibuk melaut dan sebaliknya pada musim paceklik banyak yang menganggur dan yang sering terjadi adalah ketika mereka pulang melaut, mereka dapat membeli barang barang mahal dan ketika paceklik, kehidupan mereka sangat buruk. Dengan kondisi yang demikian, maka keterpurukan masyarakat pesisir/nelayan dalam jurang kemiskinan tidak dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu adanya usaha pemanfaatan sumber daya alam kearah yang lebih optimal, swadaya serta produktivitas masyarakat guna dapat menciptakan kehidupan sosial ekonomi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup (Nurfiarini, 2003). Produktifitas nelayan pada umumnya masih rendah diakibatkan oleh rendahnya ketrampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan maupun perahu yang sederhana, sehingga aktifitas dan efisiensi alat tangkap maupun perahu belum optimal. Keadaan ini berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima nelayan relatif rendah, keadaan ekonomi dan kesejahteraan nelayan pada umumnya masih tertinggal bila dibandingkan dengan masyarakat petani atau masyarakat lainnya (Barus et al, 1991). Kondisi di atas bukan hanya merupakan gambaran kehidupan nelayan secara umum di Indonesia, tetapi juga terjadi di Provinsi Jambi. Kehidupan nelayan di daerah pesisir Provinsi Jambi memperlihatkan kondisi nelayan yang masih berada dibawah tingkat kesejahteraan ideal bagi masyarakat pada umumnya. Upayaupaya yang dilakukan oleh Pemerintah ini baik Pusat maupun Daerah harus dilihat tingkat keberhasilannya melalui evaluasi yang menggunakan indikator-indikator tertentu sehingga kebijakan yang telah dilaksanakan dapat tepat sasaran dan 2

mampu mengangkat harkat dan martabat nelayan. Indikator yang tepat adalah dengan menggunakan Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang akan mempertimbangkan seluruh pendapatan/penerimaan (revenue) dan pengeluaran (expenditure) keluarga nelayan. BPS tahun 2012 mempublikasikan Indikator Kesejahteraan Rakyat yang terdiri atas berbagai aspek yaitu: kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, kemiskinan, dan aspek sosial yang lain. Dalam publikasi ini hanya disajikan berbagai kondisi yang terkait dengan keenam aspek tersebut tetapi tidak ada angka khusus untuk mengukur kesejahteraan secara umum. Dalam indikator kesejahteraan rakyat tersebut dapat dibedakan antar wilayah atau provinsi namun tidak dapat dibedakan antara rumah tangga dengan berbagai jenis mata pencaharian, misalnya rumah tangga petani, nelayan, pedagang, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Salah satu proksi untuk mengukur kesejahteraan petani adalah nilai tukar petani (NTP) yang dikembangkan oleh BPS sejak tahun 1983. Pada saat itu digunakan untuk mengukur nilai tukar komoditas pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan). Sejak tahun 2008 baru diukur Nilai Tukar Nelayan (NTN) secara khusus atas kerjasama Kementerian kelautan dan perikanan (KKP) dengan Badan pusat statistik (BPS). Nilai tukar nelayan dan pembudidaya ikan diharapkan dapat menjadi indikator kesejahteraan karena nila tukar ini mengukur tingkat daya beli rumah tangga. Meningkatnya nilai tukar berarti meningkatnya daya beli yang berarti meningkatnya kesejahteraan. Konsep tersebut akan diaplikasikan sebagai pendekatan pengukuran tingkat kesejahteraan nelayan di Indonesia termasuk 3

di Provinsi Jambi. Apabila dari hasil perhitungannya nanti diperoleh besaran NTN yang kurang menguntungkan, maka diperlukan langkahlangkah pengaturannya kembali kearah peningkatan NTN. Karena NTN yang rendah dapat dianggap sebagai hal yang tidak merangsang pertumbuhan produksi hasil tangkapan dan memberi peluang terhadap keluarnya beberapa sumber daya dari sektor perikanan ini ke sektor lain. Bila hal ini terjadi, maka sumbangan (share) sector perikanan dan kelautan yang masih relatif kecil terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sulit untuk ditingkatkan. Berdasarkan data pencapaian Nilai Tukar Nelayan yang dipublikasikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) pada tahun 2012, Nilai Tukar Nelayan (NTN) Provinsi Jambi sebesar 90,71. Jika di urut pencapaian nilai tukar nelayan seluruh provinsi se Indonesia, Provinsi Jambi merupakan provinsi dengan nilai tukar nelayan (NTN) peringkat 27 dari 32 provinsi se Indonesia. Nilai tukar nelayan (NTN) Provinsi Jambi sangat jauh tertinggal dari Nilai Tukar Nelayan (NTN) Provinsi Maluku sebesar 125,46, NTN Provinsi NTT sebesar 116,48 dan NTN Provinsi Sumatera Selatan sebesar 115,43. Pencapaian nilai tukar nelayan (NTN) Provinsi Jambi ini tidak sejalan dengan besarnya potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Provinsi Jambi. Provinsi Jambi dengan panjang garis pantai 210 km., yang terletak pada dua Kabupaten yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat 19 km dan Tanjung Jabung Timur 191 km., memiliki potensi sumberdaya perikanan yang besar (Dinas Perikanan Provindsi Jambi, 2008). Oleh karena itu sumberdaya tersebut harus 4

dikelola dengan baik agar kelestariannya dapat terjaga dengan tetap memanfaatkannya secara optimal. Ditinjau dari letaknya, pesisir Provinsi Jambi dipandang sangat strategis karena secara geografis berbatasan langsung dengan kawasan pertumbuhan ekonomi di Pasifik Barat sehingga memberikan keuntungan komparatif daerah dalam menghadapi pasar internasional dan AFTA serta kerjasama dalam wadah ekonomi IMS-GT dan IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle dan Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle) Secara umum wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Dahuri,1996). Luas wilayah pesisir Provinsi Jambi sekitar 331.940 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 171.341 jiwa dan tingkat kepadatan 0,52 jiwa/ha. Wilayah pesisir di Kabupaten Tanjung Jabung Barat memiliki luas 37.050 ha dengan jumlah penduduk 68.655 jiwa. Sedangkan wilayah pesisir di Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki luas 294.890 ha dengan jumlah penduduk 102.688 jiwa. Kawasan ini ditinjau dari aspek ekonomi, politik, keamanan dan sosial budaya merupakan kawasan yang strategis. Potensi yang terkandung dalam wilayah ini meliputi: perikanan, perkebunan, pertanian, transportasi dan lain-lain. Ciri khas utama dari wilayah pesisir dan lautan di Provinsi Jambi adalah tingginya keaneka ragaman 5

hayati baik satwa maupun tumbuhan, yang merupakan ekosistem produktif (DKP Provinsi Jambi, 2008) Potensi lestari sumberdaya ikan di perairan laut Provinsi Jambi diperkirakan sekitar 114.000 ton/tahun. Pada tahun 2002 tercatat 23.300 ton ikan dan 19.200 ton udang yang didaratkan di pesisir Provinsi Jambi. Ini berarti baru dieksploitasi sekitar 67 % dan berpeluang untuk dikembangkan sebesar 33 % lagi. Wilayah pesisir Provinsi Jambi memiliki 3.300 unit armada penangkapan ikan. Selain itu wilayah pesisir Provinsi Jambi juga memilki lahan yang cocok untuk tambak seluas 18.000 ha. Akan tetapi sampai saat ini baru dimanfaatkan sekitar 1.700 ha dengan total produksi pada tahun 2002 sebesar 1.070 ton udang dan 380 ton ikan yang didominasi oleh ikan bandeng, belanak dan kakap. Jumlah petani tambak pada tahun 2002 adalah 2460 orang (DKP provinsi Jambi, 2010) Penduduk asli wilayah pesisir Provinsi Jambi umumnya didominasi oleh etnis Melayu. Selain itu, banyak juga keturunan Bugis dan Banjar. Umumnya mereka berusaha di bidang perikanan laut (nelayan), bertani ladang, kebun kelapa dan pengolahan hasil hutan. Sebagaimana diketahui etnis Bugis dan Banjar di Indonesia ini telah terkenal sebagai pelaut dan mereka merupakan nelayan yang tangguh, sehingga secara tidak langsung usaha perikanan laut mereka mampu memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perikanan laut di wilayah pesisir Provinsi Jambi. Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jambi mempunyai potensi yang tinggi bagi pertumbuhan ekonomi daerah, pengembangan dunia usaha dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kekayaan yang besar ini mengundang berbagai pihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) untuk 6

mengelola dan memanfaatkannya secara besar-besaran, tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, akibatnya terjadinya kompetisi yang pada akhirnya dapat menyebabkan konflik kepentingan antar sektor dan antar pihak, konflik kewenangan antar daerah dengan daerah lainnya dan pusat, disamping itu terjadi pula degradasi sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, dan dapat mengusahakan serta mengelola keuangannya secara mandiri. Hal ini dapat mendorong pemerintah daerah untuk dapat berinovasi dalam memperoleh keuangan sebagai masukan dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), agar dapat dipergunakan dalam peningkatan pembangunan daerah. Namun disisi lain dengan mengejar PAD yang sebesar-besarnya maka berimbas terhadap eksploitasi yang tidak terkendali terhadap sumber daya alam sehingga berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan terkurasnya sumber daya alam lokal. Hal lain yang juga timbul adalah terjadinya perebutan kepemilikan sumber daya sehingga dapat mengakibatkan konflik sosial ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu analisis kebijakan pada suatu daerah harus dilaksanakan secara tepat dan terarah guna mendapatkan alternatif kebijakan yang dapat diprioritaskan dalam pelaksanaan program pembangunan daerah. Termasuk kebijkan pada sektor perikanan dan kelautan sehingga hasil pembangunan yang dilaksanakan pada sektor tersebut dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Pengembangan wilayah yang berbasis pada sumber daya lokal adalah pengembangan wilayah yang menggunakan pendekatan ekonomi lokal atau yang 7

biasa disebut pengembangan ekonomi lokal (Local Economic Development). Pengembangan ekonomi lokal adalaha proses dimana pemerintah lokal dan organisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara, aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Pada wilayah pesisir, sektor perikanan menjadi tumpuan hidup masyarakatnya. Konsep pengembangan ekonomi lokal di wilayah pesisir erat dengan sumberdaya alam, manusia, lembaga dan lingkungan sekitarnya. Tujuan dari pembangunan ekonomi lokal adalah membangun potensi ekonomi yang ada di suatu daerah tertentu untuk meningkatkan keadaan ekonomi dan kualitas hidup untuk semua di masa depan. Dalam proses ini masyarakat, dan mitra dari sektor swasta bekerja secara kolektif dalam menciptakan suatu kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi daerah dan penciptaan kesempatan lapangan kerja. Pengembangan ekonomi lokal menyediakan cukup banyak alternatif program atau kegiatan yang dapat dipilih sebagai prioritas dalam mendorong pengembangan ekonomi lokal di daerah salah satunya mendorong pertumbuhan klaster (Pratomo, 2008:1). Berdasarkan uraian diatas, potensi sumberdaya perikanan di Provinsi Jambi sangatlah besar. Akan tetapi tingkat kesejahteraan nelayan masih tergolong rendah dilihat dari nilai tukar nelayan yang dibandingkan nilai tukar nelayan propinsi lainnya di Indonesia berdasarkan data yang dirilis oleh KKP dan BPS, maka perlu disusun strategi peningkatan kesejahteraan nelayan di wilayah pesisir di Provinsi Jambi berbasis Local economic development (LED). 8

1.2. Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir yaitu rendahnya pendapatan, terbatasnya kemampuan modal usaha, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, keterbatasan pembinaan dan penyuluhan, terbatasnya fasilitas dan utilitas serta keterbatasan informasi dan peluang pasar, sehingga tingkat kesejahteraannya menjadi rendah. Permasalahan diatas menjadikan produk yang dihasilkan kualitasnya belum optimal akibatnya harga menjadi rendah dan mekanisme pasar pada umumnya dikuasai pedagang besar yang berprofesi sebagai pedagang perantara (broker). Permasalahan lain yang sangat dominan adalah : 1) Sumberdaya lahan yang sebagian besar adalah dataran rendah bergambut dimana kesuburan tanahnya sangat ditentukan oleh ketersediaan hara, kemasaman tanah yang sangat tinggi dan memerlukan input teknologi yang cukup besar. Hal ini menyebabkan masyarakat pesisir di Provinsi Jambi tidak bisa menggarap lahan yang ada untuk bertani sehingga tidak mempunyai pilihan mata pencaharian lain selain melaut, 2) kondisi lahan yang heterogen dan tidak mampu menunjang pembangunan sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini mengakibatkan lambatnya pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut dan 3) kondisi sosial ekonomi yang belum mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpikiran maju, hal ini yang menyebabkan usaha penangkapan ikan masih bersifat tradisional dan subsisten dengan adopsi teknologi yang sangat lamban. Masyarakat pesisir yang terdiri dari berbagai suku dan golongan, menyebabkan terbentuknya kelompok kelompok atau gap di dalam masyarakat. 9

Berdasarkan publikasi BPS mengenai indeks nilai tukar nelayan yang diterbitkan setiap bulannya, indeks NTN di Provinsi Jambi cendrung meningkat setiap periode nya. Indeks NTN provinsi jambi pada bulan januari 2014 sebesar 99,1 dan naik menjadi 100,1 pada bulan februari 2014. Pada bulan juli 2014, indeks NTN mencapai 105,33, akan tetapi pada bulan september 2015, indeks NTN provinsi jambi turun menjadi 103,85. Indeks NTN tentunya sangat di pengaruhi oleh indeks yang diterima nelayan dan indeks yang dibayarkan oleh nelayan. Perkembangan dan dinamika NTN setiap bulannya dapat menjadi dasar dalam menentukan kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan. Dengan mengamati dan menganalisis NTN, dapat dilihat faktor apa yang mempengaruhi indeks Nilai tukar Nelayan tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagai mana karakteristik usaha perikanan tangkap dan keadaan masyarakat nelayan di wilayah pesisir Provinsi Jambi. 2. Bagaimana perkembangan dan dinamika indeks nilai tukar nelayan di Provinsi Jambi 3. Apa saja peluang, kekuatan, ancaman dan kelemahan dalam peningkatan kesejahteraan nelayan berbasis pengembangan ekonomi lokal di wilayah pesisir Provinsi Jambi? 4. Strategi dan kebijakan apa saja yang tepat dikembangkan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan. 10

1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Mendeskripsikan karakteristik usaha perikanan tangkap dan kondisi masyarakat nelayan di wilayah pesisir Provinsi Jambi. 2. Menganalisis pencapaian nilai tukar nelayan (NTN) Provinsi Jambi berdasarkan data publikasi BPS 3. Mengidentifikasi peluang, kekuatan, ancaman dan kelemahan peningkatan kesejahteraan nelayan berbasis pengembangan ekonomi lokal di Provinsi Jambi. 4. Menyusun strategi dan kebijakan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan di Provinsi Jambi. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumbangan pemikiran (bahan masukan) bagi pemerintah daerah provinsi jambi dalam merancang kebijakan dan strategi pembangunan kedepan serta untuk mengevaluasi pembangunan tersebut. 2. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang terkait. 1.5. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini meliputi : 1. Analisis deskriptif mengenai karakteristik perikanan di Provinsi Jambi, yang terdiri dari karakteristik usaha perikanan, karakteristik nelayan dan karakteristik sosial ekonomi. Karakteristik perikanan ini dilihat dari data sekunder dalam rentang waktu tahun 2010 2014, yang mencakup data 11

perikanan dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2. Analisis pencapaian nilai tukar nelayan (NTN) dibatasi dengan menganalisa perkembangan dan pencapaian nilai tukar nelayan (NTN) di Provinsi Jambi dilihat dari data yang dikeluarkan BPS setiap bulannya dari November tahun 2013 sampai Maret 2016. 1.6. Sistematika Penulisan BAB I. PENDAHULUAN Berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian. BAB II. TINJAUAN LITERATUR Memuat landasan teori yang mengemukakan pendapat dan pernyataan para pakar yang menjadi landasan penelitian dari berbagai lieratur, hasil penelitian terdahulu dan informasi yang mendukung penelitian. BAB III. METODE PENELITIAN Memuat tentang lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta definisi operasional variable yang diuji. BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Berisi uraian atau gambaran secara umum mengenai objek penelitian yang bersumber dari data yang bersifat umum. Deskripsi dilakukan dengan merujuk pada fakta yang bersumber pada data yang bersifat umum sebagai wacana pemahaman yang berkaitan dengan penelitian. 12

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Berisi semua temuan-temuan yang dihasilkan, menerangkan dan membahas tentang hasil analisa data yang diperoleh. Dalam bab ini juga dibahas Kebijakan dan Strategi Pengembangan Program. Berisi tentang hasil analisis yang memuat kebijakan dan strategi serta dilanjutkan dengan implikasi kebijakan yang ditempuh pemerintah daerah terkait. BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini menjelaskan secara singkat kesimpulan dari hasil penelitian dan memberikan saran dan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari analisa yang dilakukan dalam penelitian ini. 13